Dia (Malvin)
"Vin, lo kenapa sih?"
"Apanya yang kenapa?"
"Tiba-tiba ngajakin ke taman di hari libur kayak gini, mana cuma diem aja lagi. Nggak jajan. tau gitu tadi gue bawa bekal biar kek piknik," cerocos Rendi, temen merangkap tetangga yang gue seret-seret pagi-pagi banget buat ke taman komplek.
"Nggak papa sih, pengen aja. Hehe ...." Gue nyengir sambil masang wajah tanpa dosa.
Ya, ngapain juga gue kudu ngerasa berdosa sama manusia modelan Rendi?
"Nggak mungkin nggak pa-pa, Vin. Pasti ada apa-apanya deh kalo lo ngajak gue ke sini. Makhluk nolep modelan lo keluar rumah pagi-pagi itu mencurigakan. Cerita ajalah sini, biasanya kalo ada apa-apa juga cerita." Rendi ngomong panjang lebar, nebak-nebak gue udah kayak cenayang.
Gue diem, karena emang bener banget omongan Rendi. Gue nih tipe orang yang aktif di sekolah, terus di rumah itu auto jadi anak manis. Anak rumahan. No life yang main game atau baca komik doang di kamar.
"Udahlah, kalo ada apa-apa tuh cerita. Jangan diem-diem aja kayak orang sariawan. Lo percaya gue, 'kan?"
Hadeh, that 'lo percaya gue, 'kan?' berasa kata kunci buat gue cerita. Karena gue sama Rendi nih udah berasa saudara. Masalah gue masalah dia, masalah dia masalah gue. Sepaket. Masa gue nggak percaya Rendi sih?
Akhirnya gue cuma bisa ngebuang napas pelan dan bilang, "Gue naksir seseorang."
Rendi langsung senyum ngegoda gue, di-ceng-cengin gitu. "Lo naksir cewek? Ooh, gue tau! Pasti lo lagi nungguin dia buat ketemuan di taman, 'kan?" kata Rendi sotoy.
"Nggak. Gue nggak nungguin dia. Dia udah ada di sini."
"Hah? Mana? Mana?" Rendi celingak-celinguk nyariin orang yang gue maksud, "Nggak ada cewek yang cantik, ah! Taman ini isinya ibu-ibu sama anak-anak semua. Ya kali lo suka sama emak-emak, apalagi anak-anak."
Hooooo ... kamu hanya tak tahu saja, Rendi!
"Yang gue taksir bukan cewek, Ren," kata gue dengan nada sok sedih.
"A-apa?" Rendi mangap. Speechless pake tampang bloonnya.
"Gue nggak lagi naksir cewek dan dia emang ada di sini, Rendi," ulang gue lagi dan lebih detail tentunya, gue juga natep Rendi lurus-lurus. Natep manik dia dengan saksama.
Rendi cengo.
Tiba-tiba dia mundur. Yang tadinya duduk deket gue, tiba-tiba mojok di ujung kursi taman, bersiap kabur buat kapan aja. "L-lo ... su-suka gue?"
Eh anjir, dia salah paham. Mana mau gue sama model centong sayur kayak dia.
"Nggaklah! Ya kali gue suka sama lo."
Rendi ngehela napas lega sambil duduk lagi yang bener, ngedeket ke gue. "Terus lo suka sama siapa?"
"Sama dia." Tangan gue nunjuk ke anak laki-laki yang lagi naik ayunan sambil ketawa kesenengan gara-gara ayunannya didorong kenceng-kenceng sama temen cowoknya. Dan seketika gue cemburu. Cemburu sama bocah yang seumuran sama anak yang gue taksir.
Wow, betapa dewasanya kamu, Malvin:)
Biar nggak makin cemburu, gue ngalihin pandangan gue dari si anak imut dan si k*****t tengik [re; temennya] ke arah Rendi.
"R-Ren. Lo nggak papa?" tanya gue agak horror begitu ngeliat muka dia yang mendadak pucet dan mulutnya yang mangap lebar berasa kayak ngeliat setan.
"L-lo suka sama anak ... TK?"
"Iya."
Dan untuk yang ke sekian kalinya, Rendi cengo dengan muka piasnya dan bolak-balik mangap nutup mulut tanda dia lagi speechless. Lah, dia kenapa responnya se-absurd itu dah?
"Sialan. Astagfirullah, kamu ini berdosa banget, Malvin."
•
•
•
—Bersambung—