Saat istriku tak lagi kerja
"Preman? Aku tidak yakin kalau ibu itu jujur?" ucapku pada Rania yang sedang menatapku dengan tatapan mengejek.
"Apa kau masih tidak percaya, Mas?" tanya Rania dengan tatapan semakin mengejekku.
"Apa kau juga masih belum puas mengejekku seperti itu?" gerutuku kesal.
Kini, Rania malah tertawa terbahak-bahak. Apa ini sikap istri shalihah? Perasaan dalam film-film, istri shalihah tidak akan tertawa di atas penderitaan suaminya.
Rania kini sudah berhenti tertawa, matanya menatapku lekat, "Mas, jika kamu meragukan ibu itu, sama seperti kamu meragukan ibumu sendiri."
"Cukup! Jangan samakan Mamaku dengan ibu-ibu yang tidak jelas itu," bentakku keras.
"Kau boleh melarangku untuk menyamakan, tapi di sini, aku hanya menilai mereka sama-sama seorang ibu dan ya, seorang ibu yang benar menyayangi anaknya tidak akan berbohong," jelasnya mencoba menenangkanku.
"Apa maksudmu mamaku berbohong?" tanpa aku sadari, tangan ini mencekal pergelangan tangannya dengan kuat.
"Tidak seperti itu juga, kau yang menafsirkannya sendiri, Mas," ucapnya masih tetap tenang.
Bukankah seharusnya dia takut?
Rania sudah banyak berubah.
"Lihatlah di sampingmu, Mas!" pintanya, untung saja jalanan sepi, jadi aku bisa berhenti sebentar.
"Mana setoranmu nenek tua!" dengan jelas, aku bisa mendengar kalau wanita yang kupuji cantik itu berteriak keras kepada seorang wanita yang sudah berumur. Tentunya lebih tua dari ibu yang tadi.
"Maaf," lirih, aku mendengar wanita tua itu meminta maaf.
"b******n! apa begini sikap asli orang-orang jalanan?" teriakku mengumpat.
Lagi-lagi Rania tersenyum.
"Semua ini bukan hanya sikap orang-orang jalanan, Mas. Tapi sikap mereka yang ingin terlihat baik di hadapan orang-orang tertentu," jelas Rania.
Tapi aku malah semakin tidak mengerti, padahal kata-kata yang digunakannya sangat sederhana.
"Apa kamu faham, Mas?" tanyanya seperti tahu isi pikiranku.
Belum sempat aku menjawab, bunyi klakson mobil terdengar keras.
"Jalan, Mas," ucap Rania memeringatkan. Tanpa menjawab, aku langsung mengemudikan mobilnya.
"Aku masih belum faham apa yang kau maksud tadi," ucapku pada Rania yang sedang mengeluarkan belanjaan dari bagasi.
"Apa kau sungguh mau tahu, Mas?" tanyanya seolah meremehkan.
"Aku tidak main-main, Rania!"
"Maksudku, setiap kebenaran yang terlihat oleh mata kita belum tentu itu kebenarannya," jelasnya sambil berjalan dan aku hanya mengekor di belakang.
"Tapi kan kalau melihat sudah pasti benar?" tanyaku lagi.
"Tidak, Mas. Seperti kamu menilai perempuan itu tadi, buktinya dia tidak seperti yang kamu tilai hanya dari penglihatan," jelasnya lagi.
Benar, kenapa Rania bisa mengerti sementara aku tidak? Bukankah ini tidak adil? Karena aku lebih pintar darinya.
***
"Riko! Ngapain kamu ikut Rania ke dapur?" tanya Mama, tatapannya tidak seperti biasanya. Apa marah padaku? Atau kepada Rania? Tapi kan kita baru saja sampai.
"Mas Riko habis menemani aku belanja, Ma," jawab Rania yang seolah tahu aku tidak bisa menjawab. Karena beberapa hari lalu aku sudah berjanji pada Mama, kalau aku akan menjauhi Rania dan mencari wanita lain sebagai gantinya.
"Riko! Ikut Mama ke kamar!" titah Mama dengan nada yang sama.
Kali ini, aku merasa kalau Mama sudah sangat keterlaluan.
"Aku hanya mengantarnya belanja, tidak ada yang lain," ucapku membela diri.
"Jangan membantah! Sekarang ikut Mama!" suara Mama naik beberapa oktaf.
Kini aku hanya bisa pasrah, mengikuti langkahnya dari belakang.
"Duduk!" titahnya lagi dengan telunjuk yang menunjuk ke sebuah sofa kecil.
Aku langsung duduk, sementara Mama duduk di tempat tidur yang lebih tinggi dari tempatku duduk.
"Mama sudah pernah katakan sama kamu, Riko. Jangan dekat-dekat sama Rania," hardiknya.
"Tapi Rania istriku, Ma," ucapku berani.
Memang, walau bagaimanapun Rania istriku. Tidak mungkin juga aku meminta dia belanja ditemani laki-laki lain.
"Kau! Rania tidak pantas menjadi istrimu."
"Jadi menurut Mama, yang pantas menjadi istriku siapa?" tanyaku sedih.
Aku merasa Mama berubah menjadi orang yang berbeda, bukankah selama ini selalu baik dan malah sering mengadu ditindas oleh Rania. Tapi kenapa sekarang menjadi sebaliknya?
"Jangan bantah Mama! Ingat, surgamu ada di telapak kaki ini," ucap Mama sambil mengangkat sebelah kakinya ke arah wajahku.
Hatiku terasa sakit ketika Mama memperlakukan aku seperti ini. Apa sikapnya pada Rania juga sama? Tidak, tidak mungkin.
Aku jangan sampai punya pikiran negatif terhadap Mama.
"Sekarang dengarkan Mama, jangan pedulikan lagi semua hal tentang Rania. Anggap dia tidak ada di matamu ataupun di hidup kita," tegas Mama.
"Baik," jawabku lemas.
Meskipun hatiku sendiri menolaknya, karena Rania adalah istriku.
"Lihat beberapa foto ini! Pilihlah satu yang ingin kau dekati," pintanya lagi.
Aku hanya bisa menurut dan memilih salah satu yang aku anggap cantik. Semoga saja baik.
"Besok temui dia di taman kota jam empat sore, jangan sampai telat,” perintahnya lagi. Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk membantah.
***
Sesuai perintah Mama, aku sudah ada di bangku taman kota untuk menemui wanita itu. Sudah tiga puluh menit, tapi masih belum ada tanda-tanda dia akan datang.
Baru saja aku hendak beranjak pergi, mataku membulat ketika melihat Rania sedang berjalan dengan seorang laki-laki.
"Rania!!" teriakku memanggil.
Mereka pun menoleh.
"Siapa laki-laki ini? Kenapa kau berkhianat di belakangku?" tanyaku beruntun.
"Khianat? Kau sendiri yang memutuskan untuk mematuhi Mama dengan menjauhiku," balasnya tajam.
Padahal kemarin, dia masih bicara baik-baik padaku. Kenapa sekarang sudah berubah lagi?
Ternyata dia mendengar percakapanku dengan Mama. Apa dia menguping?
"Kau sengaja menguping?" tuduhku.
"Aku tidak ada waktu, Mas," jawabnya santai dan matanya saling menatap dengan laki-laki itu.
"Kau sendiri sedang apa di sini?" tanyanya sambil menatapku dari atas sampai ke bawah.
"Aku sedang menunggu seseorang wanita cantik," jawabku bangga.
"Cantik? Kamu yakin?" ucapnya seolah merendahkanku.
"Tentu saja, kau pikir hanya kalian yang bisa pacaran. Aku juga bisa." dengan angkuh aku menjawabnya.
"Dengan seorang wanita yang ada di belakangmu?" ucapnya lagi dengan senyuman menyeringai.
Aku langsung membalikkan tubuh dan menatap seorang wanita yang ada di hadapanku.
Tepatnya seorang wanita gendut dengan beberapa jerawat di wajahnya.
"Tidak mungkin dia," sangkalku pada Rania.
Dengan percaya diri, Rania berjalan ke arah wanita ada di hadapanku.
"Kau Milla yang dijanjikan Mama Rosa untuk bertemu putranya Mas Rian, kan?" tanya Rania pada gadis itu.
"Iya, Mbak," jawabnya malu-malu.
Tidak, mau disimpan dimana wajahku ini jika harus berkencan dengan wanita seperti ini? Arghhh ... aku mengacak rambut frustasi.
"Ck! Khayakanmu tidak sesuai dengan kenyataannya, Mas. Lekaslah bangun dari mimpi," ucap Rania sambil menepuk pundakku dan kembali berjalan dengan laki-laki itu.
***
Cie ... yang ngaku mau jalan sama cewek cantik, tapi ternyata enggak sesuai??
Gimana, masih percaya sama mamamu gak?
??
Buat yang suka, bisa bantu Subscribe dan tinggalkan jejak, ya. Kalau tidak suka, boleh diskip, kok?