#Saat Istriku Tak lagi kerja
Beberapa kali aku mengusap wajah frustasi. Untung saja tadi aku langsung mengikuti Rania untuk kabur. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi bahan tertawaan karena kencan dengan seorang wanita tua yang gendut.
Arghhh ... bisa-bisanya Mama memintaku untuk berkencan dengan wanita seperti itu. Masa standar Mama dalam mencari menantu sangat rendah.
Apa Mama lupa kalau aku tidak mungkin mau dengan perempuan seperti itu?
"Pagi, Pak." sapa seseorang dari luar. Tunggu, dari suaranya aku merasa asing.
"Siapa?" tanyaku teriak.
"Saya Dara, Pak."
Dara? Oh iya, Dara yang kemarin aku ajak kenalan di taman sebelum ketemu wanita suruhan Mama itu.
Cantik, sih. Tapi tetap cantikan Raya.
"Masuk," titahku dengan nada tetap tenang. Padahal jantung ini terasa mau melompat.
"Saya ke sini untuk melamar pekerjaan, Mas. Sesuai yang Mas janjikan kemarin," ucapnya sambil menunduk. Mungkin dia malu.
"Ya sudah, kebetulan saya sedang butuh asisten pribadi. Jadi tugasmu hanya perlu berada di sampingku," ucapku semangat, bahkan sampai lupa kalau dia belum kupersilahkan duduk.
Aku semangat bukan karena Dara, tapi aku bisa memanas-manasi Rania dengan kehadirannya. Bisa saja setelah ini dia akan semakin menempel padaku dan akan kembali bekerja.
"Yang benar, Mas?" tanyanya tidak percaya.
"Tentu saja, kamu bisa mulai kerja besok."
"Ya ampun, Mas. Terima kasih, banyak, ya," ucapnya haru. Dia mencoba melangkah mendekat, tapi aku menahannya dengan tangan kanan yang diangkat ke atas.
Entah kenapa aku merasa jijik, apa karena masih belum kenal, ya?
"Besok bawa berkas yang seharusnya sebagai formalitas. Sekarang kamu bisa pergi," titahku kemudian.
Dara pun keluar dari ruangan dengan senyuman yang sulit diartikan.
Aku sudah tidak sabar untuk menceritakan tentang Dara pada Rabia, aku yakin dua akan cemburu. Ya, pasti seperti itu. Kan dulu dia yang jatuh hati padaku.
***
"Siapa tadi? Cantik betul," ucap Randy, karyawan rasa teman.
"Biasa, asisten baru." Aku tersenyum nakal.
"Kau mau macam-macam?" Bara menatapku dengan tatapan membunuh.
"Apa yang kau maksud," sanggahku tidak terima.
"Seharusnya aku yang bertanya, bukan kau!" suara Bara semakin meninggi.
"Cukup! Kenapa kalian menjadi seperti kucing dan tikus?" Randy memisahkan kita yang akan saling meninju satu sama lain.
"Dia yang memulai duluan!" Bara dan aku berbicara bersamaan.
"Kalian itu harusnya tidak terpisahkan, bukan benar-benar berantem," kesal Randy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pokoknya aku tidak mau mendengar keluh kesahmu tentang Rania jika kau ditinggalkan!" ucapnya kejam.
"Aku tidak akan ditinggalkan, dia sangat mencintaiku," jawabku yakin.
"Heh, kau terlalu percaya diri, Riko. Ingatlah, semua yang kau punya sekarang karena dukungan istrimu, bukan yang lain," ucapnya lagi.
Aku sangat tidak terima. Karena bagiku, dibalik kesuksesanku ada Mama dan Ica, bukan Rania.
"Meskipun kau tidak percaya, tidak apa-apa. Tapi akan kupastikan kau langsung jatuh miskin jika mencampakkan atau dicampakkan Rania," teriaknya mendoakan.
Ya ampun, kenapa bisa aku punya sahabat seperti ini?
"Maaf, Riko, tapi kurasa apa yang dikatakan Bara benar. Banyak para suami yang sukses ketika sudah menikah, itu karena ada rezeki istri dalam usaha kita," bela Randy.
"Ternyata kau sama-sama pengecut, Ren. Kau hanya takut aku jatuh miskin lalu kau tidak punya pekerjaan buka?" ucapku emosi sambil menunjuk ke arahnya.
"Semua yang Bara katakan memang benar, Riko! Randy juga benar, kau yang salah," sahut seseorang yang baru saja datang dari lorong.
Pak Dirga.
Kenapa dia ikut campur?
Aku sedang membicarakan bisnis, bukan tentang pekerjaan di sini.
"Jangan kau marah karena aku ikut campur dalam pembahasan kalian. Meksipun sedang membicarakan masalah pribadi, tapi ini wilayahku," ucapnya menyeringai.
"Cukup! Aku tahu," kesalku mengalah.
"Ingatlah, kau akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan istrimu dan kehidupan terburukmu sedang menanti," ucapnya lagi.
"Aku tidak percaya takhayul!" makiku pada Pak Dirga sambil merapikan pakaian dan berjalan ke parkiran.
Percuma saja debat dengan mereka, bisanya keroyokan.
***
"Kamu kenapa, Mas? Kok berantakan?" tanya Rania ketika aku baru sampai pintu.
"Apa kau tidak bisa lihat kalau aku baru pulang?" bentakku kesal.
"Aku cuman tanya, Mas," lirihnya pelan.
"Tapi aku baru pulang kerja! Aku capek, harusnya sebagai istri kamu ngerti ... arghhh!" teriakku kencang.
Entah kenapa setelah melihat Rania, emosiku meningkat tajam. Sama sekali tidak bisa ditahan. Lagi dan lagi aku memakinya.
"Eh, anak Mama sudah pulang," ucap Mama lembut sambil membawa tubuh ini dalam pelukannya.
Memang, seharusnya Mama yang aku bahagiakan. Bukan orang lain. Apalagi Rania. Buktinya hanya ada Mama disaat aku terpuruk seperti ini. Bukan dia.
"Tuh, jadi istri itu harus seperti Mama," desisku pada Rania. Dia hanya diam dan mungkin sedang menahan tangis. Tapi aku tidak peduli.
"Sudah Mama bilang, carilah istri yang sesuai sama kita. Terutama yang mau menghormati Mama dan menyayangi Ica," pesannya lagi.
"Iya, Ma. Tapi jangan carikan lagi, ya? Biar aku yang cari sendiri," ucapku kencang. Sengaja untuk membuat telinga Rania semakin panas.
Mungkin aku bisa menjalin hubungan dengan Dara, dia tidak hanya cantik, tapi ramah dan lembut. Sepertinya akan cocok dengan Mama dan Ica.
"Aku ke kamar dulu, ya, Ma," pamitku melangkah keluar dengan malas dan masuk ke kamar.
Mataku terbelalak ketika melihat semua barang di kamar berantakan. Selimut dan bantal dimana-mana.
"Apa kerjamu sebagai istri?" teriakku pada Rania yang sedang duduk santai di sofa.
"Istri?" Rania memicingkan matanya.
"Lalu? Kau bukan ibu atau adikku, apalagi kalau bukan istri?" pekikku sambil melempar bantal ke arahnya.
"Jadi kau masih mengakui aku sebagai istrimu?" ucapnya dengan suara mulai meninggi.
"Tentu saja, jadi kau harus membuat kamar dan rumah ini menjadi nyaman," ucapku menyeringai.
"Aku bukan pembantu! Jadi kau bisa memperkerjakan orang untuk membantumu membereskan semua ini dan ya, ini adalah pertemuan kita yang terakhir," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah koper besar dari dalam lemari.
"Tunggu, mau kemana kau?" jantungku berdebar kencang ketika melihat dia mulai memasukkan semua bajunya ke dalam koper itu.
"Hentikan Rania!" lagi-lagi dia membuatku berteriak.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kau menalakku, Mas," ucapnya lantang.
"Talak dia, Riko, dia hanyalah beban untuk kita. Sudah pengangguran, pelit lagi," sahut Mama mengompori.
***
Apakah Riko akan langsung menalaknya?
Jawabannya ada di part selanjutnya, ya.
Kira-kira sebaiknya mereka bercerai atau lanjut, ya?
Untuk part selanjutnya akan langsung di lock dan akan ada 3 pemenang untuk yang menjawab dengan pertanyaan di atas dengan alasan yang paling ngena dan pengumumannya akan ada di part 11.
Hadiahnya koin emas yang langsung akan ditransfer setelah part 11 terbit.
Terima kasih untuk yang sudah membaca sampai part ini, love yang banyak untuk kalian ???.
Jika mau berteman dengan sahabat UNP, bisa chat ke nomor yang di bawah ini, ya. Mungkin mau curhat atau kehidupannya mau dijadikan cerbung juga bisa, ya.
0856 – 9159 – 2674
Pokoknya bebas selama itu baik.
Jangan lupa batu Subscribe, ya, bagi yang sudah, semoga Allah mudahkan rezekinya ??