BAB 13: HOME SWEET HOME

2905 Words
Aku terbangun mendengar suara ayam berkokok. Keras sekali. Kurasakan pengap dan berat menghinggapi tubuhku. Ada apa ini? Apa aku ketindihan? Ya, benar. Aku ketindihan, tapi bukan ketindihan makhluk halus, melainkan ketindihan Harsa, sepupuku. Tubuhnya yang semakin tinggi dan besar benar-benar berat. Kucoba menyingkirkannya, tapi ia malah mempererat pelukannya padaku. Tolong! Aku terkurung! Setelah usaha yang cukup keras, aku berhasil melepaskan diri dari pelukan Harsa. Kubuka jendela kamarku. Mantap. Udara pedesaan yang dingin dan sejuk langsung menyambutku. Segar. Udara bersih yang tidak bisa aku dapatkan di Jakarta. Pintu kamarku terbuka, menampilkan wajah cantik Ibunda Ratu yang cerah berseri. Beliau tidak terlihat seperti seorang ibu satu anak, melainkan seorang gadis, kembang desa incaran saudagar-saudagar kaya raya. Seawet muda dan secantik itulah Ibunda Ratu. “Hello, sunshine! Sudah bangunkah wahai anakku tersayang?” tanya beliau. “Hello, world! Tentu saja si tampan ini sudah bangun.” “Sarapan dulu sana. Ibu sudah merebus ubi dan singkong. Sekalian, bangunkan Harsa. Belanja ke pasar.” “Shap! Perintah diterima!” Aku memberi hormat. Kucoba membangunkan Harsa. Dia bergeming. Kucolek-colek, kugelitik, kucubit, kutonjok, bahkan kuhina-hina dia menggunakan bahasa arab, Harsa sama sekali tidak merespons. Saat aku coba mencubit putingnya menggunakan tang, dia malah menarikku, memelukku erat, dan berusaha untuk menidurkanku lagi. “Hey! Aku tidak bisa bernapas,” kataku. Pelukan Harsa terlalu kuat. Kurasakan tubuh Harsa bergetar. Dia tertawa dalam diam. Ternyata dia berpura-pura tidur. Awas ya, akan kuberi pelajaran kau. Menggunakan sihir, kualirkan listrik tegangan rendah ke tubuhnya, membuat Harsa terlonjak bangun sembari mengerang kesakitan. “Abang, kenapa aku disetrum?” katanya. “Salah sendiri tidak mau bangun,” balasku. “Cepat bangun, sarapan, habis itu antar aku ke pasar.” Aku bangkit. Menuju kamar mandi. Sesudah menyikat gigi dan mencuci muka, aku bergegas menuju ruang makan. Di meja makan sudah menunggu Ibunda Ratu, Baginda Nenek dan Abah. Kusapa mereka dan mereka menyapaku balik. Panggilan Ayang yang aku rindukan akhirnya kudengar lagi. Ya, di sini aku dipanggil Ayang. Ubi dan singkong rebus tersaji di atas meja. Segelas jahe merah panas dengan asap masih mengepul menemani. Waktunya kembali menjadi orang desa. Kemarin, aku tiba di sini pukul 12 siang. Perjalananku cukup melelahkan, karena macet di mana-mana. Jalan sedikit, macet. Belok sedikit, macet. Suka sama doi, tapi doi malah suka yang lain, cintaku bertepuk sebelah p****t, macet. Aku kan jadi frustrasi. Beruntung aku tidak mengacak-ngacak muatan bagasi. Itu semua berkat pesan dari Ibunda Ratu: Jangan lupa nanti mampir ke warung Mang Acong. Beli telur 2 kilo. Ya, begitulah kira-kira pesannya. Harsa menjemputku di perempatan desa. Aku tidak turun di terminal bus. Daerah tempatku tinggal bukan berada di wilayah kota. Aku turun di pertengahan jalan sebelum bus memasuki kawasan kota. Orang-orang langsung menyambut kedatanganku, bak pangeran di sebuah kerajaan nun jauh di sana. Perhatian gadis-gadis desa tertuju kepadaku. Ya, aku dan Harsa memang populer di sini. Kami tampan, tubuh kami bagus, gagah, dan yang terpenting kami adalah cucu Abah. Ibunda Ratu sempat bertanya perihal lukaku. Jatuh saat study tour, itu jawabanku. Beruntung beliau percaya dan tidak bertanya apa-apa lagi. Aku selamat. Seusai sarapan, aku dan Harsa berbelanja ke pasar. Siang ini kami akan makan besar, piknik di kebun Abah. Aku antusias. Aku benar-benar rindu ngeliwet di kebun. Makan beralaskan daun pisang, bersama dengan keluarga tercinta. Ibunda Ratu memberikan catatan panjang berisikan apa-apa saja yang harus dibeli. Untungnya aku rajin menemani Ibunda Ratu dan Baginda Nenek ke pasar, sehingga aku bisa membedakan mana jahe, mana lengkuas dan mana kunyit. Kami akan menaiki motor. Kuminta Harsa yang mengendarai, tapi ia menolak. Alasannya malas. Akhirnya aku yang mengendarai motor. Dari berangkat, hingga sampai di pasar Harsa terus memelukku. Erat. Orang-orang bahkan sampai memperhatikan kami. Beruntung, kebiasaan ini sudah kami lakukan sejak kecil, jadi tidak ada seorang pun yang berpikiran aneh-aneh tentang kami. Inilah alasan Harsa tidak mau mengemudikan motor. Ia ingin memelukku. Sepertinya dia benar-benar rindu padaku. Kukira, setelah badannya semakin tinggi dan besar—berotot tentu saja, ia takkan bersikap manja lagi padaku. Ternyata aku salah. Dia tetap Harsa yang suka bergelayut manja di lenganku. Ngomong-ngomong, kami seumuran. Harsa lahir beberapa bulan lebih awal dariku. Tapi di dalam keluargaku, aku yang dijadikan sebagai abang. Itu karena ibuku lahir lebih dulu dari ibu Harsa. Setibanya di pasar, kami langsung berbelanja. Orang-orang di setiap penjuru pasar menyapa kami. Mereka yang melihatku mengatakan bahwa aku terlihat semakin tampan, lebih terlihat seperti anak kota. Ah, masa sih? Apakah efek angin dan air Jakarta sehebat ini? Rasa-rasanya aku merasa tidak ada yang berubah. Gadis-gadis mendekatiku. Mencoba menarik perhatian. Tapi, salah satu dari mereka mendapatkan perlakuan kurang baik dari Harsa. Saat kutanya kenapa? Harsa menjawab, gadis itu adalah mantannya. Mantan yang paling menyebalkan. “Kukira dia setia, tapi dia malah selingkuh. Sudah begitu selingkuhnya sama yang jelek. Harga diriku terasa dibanting,” katanya. Aku tertawa mendengarnya. Dari SD, SMP hingga sekarang, hubungan asmara Harsa selalu saja dibumbui hal-hal yang tidak terduga. Lagi pula, Harsa kan seorang casanova. Ia bisa berkencan dengan 5 gadis sekaligus dalam satu waktu. Tapi, bisa-bisanya dia merasa kesal karena diselingkuhi. Benar-benar aneh. “Eh, ada orang kota. Kapan sampai, Ka?” tanya Bi Sopiah, teman senam Ibunda Ratu. “Kemarin, Bi,” kataku. “Sudah punya pacar belum di Jakarta? Kalau belum, tuh anak Bibi masih single.” Seperti biasa, Bi Sopiah selalu menjodohkanku dengan anak gadisnya. Harsa membalikkan badan. Aku yakin dia sedang menahan tawa. Aku merespons Bi Sopiah hanya dengan senyuman canggung. Aku tak tertarik pada anaknya. Sama sekali tidak. Bukan mau menghina, tapi anak gadis Bi Sopiah sangat jorok. Dia suka makan upil. Bahkan, dia pernah mengenakan pembalut yang sama, yang pernah ia pakai sebelumnya. Ia bilang, “Pembalutnya sudah kucuci. Jadi, aman.” Tapi, bukan seperti itu cara kerja pembalut. Setelah membeli bumbu-bumbu dapur yang diperlukan, aku dan Harsa bergegas pergi. Lagi, Bi Sopiah masih berusaha untuk menjodohkanku dengan anaknya. Tapi, aku langsung ambil langkah seribu, meninggalkannya. Bye, Bi Sopiah. Daripada pacaran sama anak Bibi, lebih baik saya mengolah pupuk kandang saja. Itu lebih baik, bisa dapat untung pula. Di rumah, aku membantu Ibunda Ratu dan Baginda Nenek memasak. Baginda Nenek memuji keahlian memotongku. Cepat dan rapi. Selain itu, beliau juga memujiku yang bisa dalam banyak hal. Pekerjaan laki-laki maupun pekerjaan perempuan, aku bisa melakukan semuanya. Beliau yakin, calon istriku nanti pasti akan sangat bersyukur karena bisa mendapatkanku. Sembari memasak, Ibunda Ratu bertanya tentang sekolahku. Bagaimana perasaanku, apakah aku senang dan bahagia selama bersekolah di sana dan apakah aku mengalami kendala selama bersekolah. Tentu, aku menjawab, iya. Aku sangat senang dan bahagia. Aku sama sekali tidak mengalami kendala. Aku menceritakan semuanya pada Ibunda Ratu. Tentang ketiga bestie-ku: Divya, Baskara dan Citra, teman-teman kelasku yang seru dan asyik, guru-guru yang baik dan semua kegiatan positif yang aku ikuti. Beliau mendengarkan dengan seksama. Tersenyum, senang mendengarkan ceritaku. “Syukurlah. Ibu lega mendengarnya. Tadinya Ibu khawatir kamu ikut-ikutan ormas. Ternyata tidak.” Beliau fokus mengupasi telur rebus. Tapi, tiba-tiba ia kembali menatapku. “Kamu benar tidak ikutan ormas kan, Nak?” Ibunda Ratu memastikan. “Tentu saja tidak, Ibunda Ratu. Anakmu ini tidak punya waktu untuk mengikuti kegiatan seperti itu,” kataku. Ya, anakmu ini terlalu sibuk menjadi seorang Dukun Ibukota. Hahaha. Baginda Nenek yang habis mencuci sayur-mayur untuk lalap muncul dari balik pintu. “Apakah kamu sudah punya pacar?” tanya Baginda Nenek tiba-tiba. Beliau ini, seperti tidak ada pertanyaan lain saja. “Belum, Nek,” kataku sembari tertawa kecil. Tapi, aku sempat mencintai seseorang, walau harus bertepuk sebelah tangan. Naraya. Aku tidak akan mengatakan hal ini pada Baginda Nenek. “Jika nanti kamu jatuh cinta dan berpacaran, jangan berbuat yang aneh-aneh ya.” Yups. Waktunya Baginda Nenek memberi petuah. Hal yang aku rindukan selama merantau. Ayo, Nek. Sirami aku dengan dakwahmu. Sucikan batinku. “Hargai wanitamu. Perlakukan dia dengan baik. Anggap dia seperti permata paling berharga di dunia yang harus kau jaga. Jangan sekalipun merusaknya.” Aku yang sedang memotong sawi menghentikan kegiatanku. Kutatap Baginda Nenek yang kini sedang menyusun sayur-mayur di dalam sebuah tempat. “Cintai wanitamu dengan sepenuh hati.” Baginda Nenek menatapku. Tersenyum. Aku mengangguk. Beliau sering sekali berpesan seperti ini. Mungkin, beliau takut suatu hari nanti aku melukai hati seorang perempuan. Persis seperti yang dilakukan oleh ayahku kepada Ibunda Ratu. “Eh, iya!” Tiba-tiba saja Baginda Nenek terlihat panik. “Ada apa, Nek!?” tanyaku. Ikutan panik. “c*****t Nenek yang terbang, belum sempat Nenek diambil. Tolong ambilkan dulu, Ayang. Tadi nyangkut di atas jambannya Pak Wawa.” Eh? Apa-apaan ini? Bisa-bisanya ada kejadian seperti ini di momen yang seperti ini. Lagi pula, kenapa sih c*****t beliau suka sekali terbang ke sana kemari. Centil sekali. “c*****t yang kembang-kembang itu kan, Nek?” tanyaku. Memastikan. “Bukan, tapi yang gambar awan Akatsuki,” jawabnya. Oke, sekarang aku tahu kalau beliau seorang wibu. Ibu dari ibuku adalah seorang wibu. Sangat menggemparkan. Tepat pukul 1 siang, aku, Harsa, Ibunda Ratu dan Baginda Nenek tiba di kebun. Abah dan para pekerjanya baru saja beristirahat. Hari ini panen besar. Berkilo-kilo cabai dan tomat berhasil dikumpulkan. Sepertinya, besok Arka si Tukang Sayur akan kembali berjualan. Ya, aku suka menjual sayur-mayur hasil kebun Abah. Lumayan, uangnya bisa untukku semuanya. “Wah, harum sekali,” kata Abah ketika aku membuka satu per satu tutup rantang. “Ayam goreng ini pasti Ayang yang goreng.” “Kok Abah tahu?” tanyaku. “Dari warna dan harumnya, pasti pakai bumbu rahasia buatan Ayang.” Aku tersenyum. Ya, beliau selalu tahu apa-apa saja yang aku kerjakan. Setelah semua hidangan disajikan di atas daun pisang, acara ngeliwet pun dimulai. Semua orang mulai makan, tapi tidak denganku. “Makan, Bang,” kata Harsa. Aku menggeleng. Semua orang langsung memperhatikanku. Beginilah aku di sini. Sangat diperhatikan. “Ada apa, wahai anakku, permata hidupku, dengarlah matahariku, suara tangisanku, kubersedih karena panah cinta menusuk jantungku—loh kok Ibu malah nyanyi?” Ibunda Ratu tertawa. “Ada apa, Nak? Katakan pada ibumu yang cantik jelita ini,” tanyanya. Kali ini beliau serius. “Suapi aku,” kataku. Sembari memasang wajah memelas. “Aaaaaahhhhh ….” Semua orang kompak berkata seperti itu. Mereka yang awalnya terlihat khawatir, kini lanjut makan. “Uluh, uluh, uluh, anak Ibu mau disuapi?” Aku mengangguk. Masih dengan wajah memelas. “Sini, sini, Ibunda suapi pakai cangkul.” Dari mana cangkul itu berasal? Kenapa tiba-tiba ada di tangannya? Apakah Divya yang mengirimnya? Jika iya, itu berarti cangkul itu adalah cangkul sakti. Gawat! “Masa pakai cangkul? Pakai tangan lah, Bu.” Mukaku semakin memelas. Akhirnya, aku makan disuapi oleh Ibunda Ratu. Tidak, bukan dengan cangkul, tapi pakai kaki. Aku hanya bercanda. Tentunya pakai tangan. Rasanya nikmat sekali. Harsa yang sebelumnya makan sendiri, kini minta untuk disuapi juga. Kami berdua disuapi. Lucu, kami sempat berebutan untuk disuapi. Beruntung, Ibunda Ratu tidak mengeluarkan Cobek Saktinya untuk menengahkan kami. Enak sekali makan siang di kebun Abah. Kami bisa menikmati pemandangan bukit, hamparan perkebunan dan hutan hijau yang indah. Udara di sini benar-benar sejuk agak dingin. Aku seperti menjernihkan otak dan paru-paruku dari hiruk pikuk dan polusi kota Jakarta. Harsa makan sangat banyak. Di saat aku sudah kenyang, dia masih minta tambah, lagi, lagi dan lagi. Ibunda Ratu sampai pegal menyuapi. Aku yang melihatnya geleng-geleng kepala. Bahkan, porsi makannya melebihi porsi makan Abah yang setara takaran monster. “Besok jadwalku latihan. Aku harus memperkuat tubuhku,” katanya. Ah, jadi itu alasannya. Ya, aku ingat. Ibunda Ratu pernah berkata, selama setahun terakhir ini Harsa melatih kekuatan fisiknya. Sangat keras dan disiplin. Ia berlatih bersama Abah. Bahkan saat angin topan melanda kawasan Garut 3 bulan lalu, Harsa tetap berlatih di bawah guyuran hujan deras. Beruntung ia tidak disambar petir. Aku dan Harsa sama-sama terlahir dengan kemampuan sihir. Bedanya, aku bergantung pada mantra dan kekuatan pikiranku, sedangkan Harsa bergantung pada sihir dan kekuatan fisiknya. Hal inilah yang menjadikan Harsa sebagai seorang penyihir petarung, yang selalu siap maju di garda terdepan pertarungan. Kekuatan fisik Harsa bisa dibilang sangat di luar nalar. Ia luar biasa tangguh dan kuat. Push up ribuan kali dalam satu waktu? Easy! Lari bolak balik dari sini ke kota Garut selama seharian penuh? Bukan apa-apa! Tidak tidur selama berminggu-minggu? Hal biasa! Sehari saja tidak memiliki pacar? Oh, tentu tidak bisa. Kelemahan Harsa hanya wanita. Tidak boleh sampai tidak memiliki pacar. Pacaran adalah sebuah kewajiban. Mutlak, tidak boleh diganggu gugat. Berbagai macam ilmu bela diri Harsa kuasai. Menggunakan senjata untuk bertarung pun ia andal. Ia tidak terkalahkan. Apalagi, Abah menggemblengnya dengan latihan fisik yang luar biasa berat. Beliau terus melatihnya agar semakin kuat dan semakin tangguh. Terbukti, kini tubuh Harsa sangat terbentuk dan berotot. Tingginya meningkat drastis. Aku bahkan harus sedikit mendongak untuk melihat kedua matanya. Bagaimana denganku? Apakah aku tidak dilatih? Tentu saja, aku juga dilatih. Tapi, latihanku tidak sekeras dan seberat Harsa. Metode latihan kami berbeda. Alasannya, karena tugasku dan tugas Harsa di keluarga ini berbeda. Harsa ditugaskan sebagai pelindung, sedangkan aku ditugaskan sebagai penerus. Tugasku adalah menguasai seluruh jenis sihir—sihir putih, sihir hitam, maupun sihir terlarang, karena saat Abah telah tiada, akulah yang akan menggantikan posisinya. Akulah penerus yang akan memimpin keluarga ini. “Besok Ayang juga latihan ya. Abah akan ajarkan ilmu sihir yang baru,” kata Abah. Dengan antusias aku mengiyakannya. Malam harinya aku pergi ke karnaval yang diadakan di alun-alun desa. Lokasinya persis di sebelah pasar. Aku pergi dengan Harsa, hanya berdua. Tapi setibanya di karnaval, teman-teman kami yang lain datang menghampiri. Waktunya bagi para anak laki-laki untuk bermain. Satu per satu wahana permainan kami datangi. Dari yang biasa sampai yang luar biasa. Rumah hantu menjadi wahana yang paling menguras adrenalin. Teman-temanku berteriak dan menjerit ketakutan. Suaranya melengking bak anak perempuan. Salah satu dari mereka yang amat sangat ketakutan tak sengaja menarik celana temanku yang lain, membuat celananya melorot hingga ke bawah. Beruntung, ia tidak memakai celana dalam. Sesuatu menggantung di sana, bergerak bebas ke kanan dan ke kiri seperti belalai gajah. Aku dan Harsa yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Kecil sekali punyanya—eh!? “Ayo main lempar bola,” ajak Harsa. “Ayo!” Semua orang termasuk aku mengiyakan. “Yang paling sedikit menjatuhkan kaleng harus dihukum.” “Oke,” kataku. Mengiyakan syarat Harsa. Tak takut sama sekali. Kami mulai bermain. Dalam satu lemparan, aku berhasil menjatuhkan semua kaleng. Harsa pun sama. Teman-teman kami yang lain juga berhasil menjatuhkan kaleng, tapi tidak semua. Itu pun butuh dua sampai tiga kali percobaan. Menyisakan salah satu teman kami yang bernama Dadang yang hanya bisa menjatuhkan 4 buah kaleng saja. Jumlah yang paling sedikit dari semuanya. “Dadang kalah! Dadang harus dihukum!” Kami berembuk membicarakan hukuman apa yang pantas untuk Dadang. Sementara itu, Dadang di belakang sana tampak harap-harap cemas. “Hukumanmu adalah berjoget di tengah-tengah karnaval,” kata Harsa. Setelah kami berunding. Dadang tampak bersyukur. “Oke, aku terima,” kata Dadang dengan penuh percaya diri. “Tapi—“ “Tapi apa?” “Kau harus berjoget menggunakan pakaian wanita yang seksi.” Di sinilah Dadang sekarang. Di tengah keramaian orang-orang. Memakai bra transparan dan celana pendek ketat berwarna merah muda. Burungnya terceplak, menonjol jelas di celananya yang super ketat. Ia didandani ala kadarnya. Dadang tampak seperti waria di perempatan lampu merah yang habis terkena azab. “Memang kampret kalian semua,” kata Dadang. Kami tertawa. Musik jedag-jedug berkumandang. Dadang mulai berjoget. Semua mata tertuju ke arahnya. Awalnya Dadang terlihat kaku. Tapi, lama kelamaan dia berjoget semakin luwes. “Mah, Dede takut,” ucap anak kecil di sebelahku. Ia menyaksikan Dadang dengan begitu jelas. “Tidak usah takut, De. Itu bukan iblis, itu manusia,” kata ibunya dan lalu menggendong si anak. Samar-samar terdengar anak itu melantunkan ayat-ayat suci. Terus dan terus, Dadang semakin luwes berjoget. Dari yang niatnya sebagai hukuman, kini berubah menjadi penampilan solo Dadang. Dia telah menjelma menjadi seorang biduan karnaval. Dia menikmatinya. Beberapa orang bahkan ikut berjoget dengannya. Keadaan seketika berubah seru. “Ayo, kita ikut berjoget juga,” ajak Harsa. Semua teman mengiyakan. Tanganku ditarik oleh Harsa, menuju ke tengah-tengah, dekat Dadang. Ia dan yang lain mulai berjoget. Tampak seperti orang kerasukan. Aku malu, tak bisa berjoget, tapi Harsa memaksa. “Ayolah.” Aku menggeleng. Emoh! Dadang mendekatiku, masih berjoget. Teman-teman yang lain juga. Mereka kini berjoget memutariku. Orang-orang yang lain anehnya juga mengikuti. Kini, aku seperti seorang dewa yang disembah. Baiklah! Aku akan berjoget! Pada akhirnya aku berjoget bersama mereka, bersama semua orang. Kami menggila. Ini benar-benar menyenangkan. Rasanya bebas, tidak terkekang. Mungkin begini rasanya dugem. Apakah aku harus mencobanya sekembalinya aku ke Jakarta? Sepertinya jangan. Aku kan anak baik-baik. Malam ini kuhabiskan bersama teman-temanku. Bermain, tertawa bersama, jalan-jalan malam dari satu tempat ke tempat lain, menggoda para gadis—aku tidak ikutan, mabuk-mabukkan? No! Kembung bajigur? Yes! Dan diakhiri dengan bernyanyi sembari bermain gitar di pos ronda. Dadang masih mengenakan pakaian seksinya lengkap dengan make up yang sengaja tidak dia hapus. Sepertinya dia mulai nyaman. Kami sungguh bersenang-senang. Momen yang membahagiakan ini berakhir saat satu per satu dari kami tertidur. Bukan karena mabuk ya, kami tidak minum-minuman keras. Kami tertidur karena capek. Aku yang hampir tertidur di pangkuan Isak, tiba-tiba digendong oleh Harsa. Ia mengajakku pulang. Aku mengiyakan. Kami tidak tidur di pos seperti yang lain, kami pulang. Aku yang digendong mulai merem-merem ayam. Aku tidur, tapi masih bisa mendengar suara-suara di sekitarku. Samar-samar aku juga masih bisa melihat terangnya lampu-lampu jalan yang aku lewati. Aku masih sedikit sadar. “Semoga kita bisa terus seperti ini ya, Bang.” Harsa, aku yakin dia yang mengatakan itu. Aku mengangguk, mengiyakan. Setelah mendengar suara itu, semuanya jadi benar-benar gelap. Tak ada lagi suara yang kudengar. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD