BAB 2: SULASTRI

2741 Words
“Untung kau mendengarkan ucapan kami. Jika tidak, selamat, kau akan mengandung janinnya,” ucapku pada Divya. “Benar, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku sampai hamil anaknya,” kata Divya. “Mungkin anakmu akan terlahir tampan atau cantik,” celetuk Citra yang langsung dilempar galon kosong oleh Baskara. “Yang benar saja kau!” kata Baskara menggebu-gebu. Kedua matanya melotot. “Kan aku hanya bercanda,” ucap Citra sembari mengelus-elus kepalanya. Okay, kini kami telah resmi menjadi generasi putih abu-abu. Dan sekarang, aku siap mencari jodoh. Hey! Tidak begitu! Aku siap untuk mencari teman sebanyak-banyaknya dan memulai kehidupan remajaku yang penuh warna. Akankah masa-masa SMA-ku indah dan menarik seperti tokoh-tokoh yang ada di dalam novel atau serial televisi? Yang dibumbui dengan konflik percintaan, pertemanan dan lainnya? Entahlah. Aku tak bisa membayangkannya. Apalagi dengan circle pertemananku yang aneh ini. Sepertinya akan lebih banyak bumbu persahabatan dan ke-absurd-an ketimbang bumbu-bumbu yang lain. Membahas bumbu, aku jadi ingin ayam kari. Perihal Kak Bagas dan Lucinta, seperti perkataan Pak Ernan kemarin, mereka berdua dikeluarkan dari sekolah. Entah bagaimana hubungan mereka ke depannya, tak ada yang tahu. Kasus ini pun berusaha ditutupi dari dunia luar. Pak Ernan bahkan menekankan kepada seluruh siswa dan siswi agar tidak melakukan hal serupa, karena hal tersebut bisa mencoreng nama baik sekolah dan juga reputasinya. “Saya tidak mau sekolah ini jadi jelek cuma gara-gara kalian yang tidak bisa menahan hawa nafsu. Kalian bukan kucing, jadi jangan sampai kalian saya kebiri,” kata Pak Ernan yang entah mengapa membuatku, Divya, Baskara dan Citra tertawa. Bayanganku langsung melayang, membayangkan Baskara dan Citra disteril di petshop terdekat. Hari-hariku berlangsung sangat baik. Para senior yang saat kegiatan MOS bersikap galak dan menyeramkan, kini sudah kembali ke mode aslinya. Beberapa dari mereka ada yang sangat baik, beberapa lagi sangat aneh, sisanya benar-benar di luar nalar. Aku terkenal di seantero sekolah. Guru-guru, para senior, murid-murid seangkatanku, mereka semua menyukaiku. Terbukti dari banyaknya perhatian dan hadiah yang aku dapatkan. Iya, hadiah: traktiran, barang-barang mahal, tiket ke suatu event terkenal, dan masih banyak lagi. Ina dan Ara yang sudah lepas dari mantra sihirku pun kembali mendekatiku. Bahkan, salah satu senior laki-laki dengan gamblang bilang suka padaku dan ingin menikmati bibirku. Tidak, ini benar terjadi. Senior laki-laki ingin mencium bibir perawanku. Hal ini lantas menjadi guyonan di dalam circle pertemananku. “Ciyeee … Arka disukai homo.” “Awas lubang pantatnya! Nanti dijebol!” “Jangan lupa sedia obat ambeien.” “Kalau dianya kaya mah, gaskeun aja!” Itulah segelintir kata dari orang-orang gila yang mengetahui kisahku. Benar-benar tidak beradab. Tapi, saran terakhir boleh juga. Kalau dia kaya, kan lumayan aku bisa dikasih uang jajan tiap bulan. Bisa happy-happy selama hidup di sini. Pletak! Sadar! Jangan jadi gila cuma karena uang! Aku selalu menolak hadiah dan traktiran yang diberikan. Alasannya? Aku tidak merasa berhak mendapatkan semua itu. Beberapa minggu telah kulalui. Aku sungguh tidak menyesal memilih sekolah ini. Sungguh sekolah yang bagus dan berkualitas. Ya … minusnya beberapa murid di sini bagian software-nya sudah kena. Rusak permanen. Hingga akhirnya, pada suatu sore yang cerah, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak. Kok malah nyanyi? Tepat saat aku dan teman-teman sekelasku sedang bermain basket, sesosok wanita tiba-tiba saja menarik perhatianku. Bukan, bukan Miss Mei, guru bahasa inggris yang cantik itu. Tapi, sosok hantu yang ada di ruang perpustakaan. Sulastri. Akhirnya ia menampakkan diri, setelah sekian lama kudengar kisahnya, kini aku bisa melihat wujudnya. Hem, ia seperti kuntilanak. Bedanya, rambutnya keriting. Apakah dia habis di-curly di salon yang ada di pinggir jalan sana? Jika iya, maka dia termasuk hantu yang fashionable. Aku dan Sulastri saling tatap. Cukup lama, sebelum akhirnya dia menghilang. Okay, dia berhasil membuatku penasaran. Tidak, aku tidak jatuh cinta padanya. Aku hanya penasaran, bagaimana bisa arwah gentayangan itu berakhir di sana? Apa yang telah menimpanya? Aku akan mencari waktu untuk mengobrol dengannya. Apakah aku harus membawa martabak sebagai simbol perkenalan diri? Sepertinya tidak perlu. Tiga hari kemudian, akhirnya aku memiliki waktu untuk pergi ke ruang perpustakaan seorang diri. Namun sayang, sosok Sulastri tak ada di sana. Ke mana si kribo ini pergi? Padahal, aku sudah membawa martabak. Spesial pula. Rugi kalau tak bertemu dengannya. Saat aku akan beranjak pergi, tiba-tiba saja sosok Sulastri muncul. Ia melihat ke arah tanganku. “Mau dibawa ke mana martabakku,” katanya. Yups! Ternyata ia suka martabak. Kami pun akhirnya bisa mengobrol. Tak sia-sia aku mengantre cukup lama untuk membelinya. Tak seperti kata gosip yang beredar, Sulastri ternyata adalah sosok arwah gentayangan yang ramah. Malah, cenderung pemalu. Ia terus saja menyembunyikan wajahnya di balik rambut kribonya yang seperti hutan belantara. Ia juga terlihat masih muda. Mungkin di bawah atau seumurku. Namun, gosip mengenai fisiknya yang mengerikan dengan luka babak belur di sekujur tubuhnya adalah benar. “Kenapa kau berada di sini?” tanyaku. Sulastri menggeleng. Ia tak ingat. “Sudah berapa lama kau di sini?” tanyaku lagi. Hantu itu kembali menggeleng. Aku ingin kembali melontarkan pertanyaan, tapi aku yakin, Sulastri pasti akan kembali menggeleng dan mengatakan bahwa ia tak ingat. “Aku hanya merasakan bagian leherku yang sakit,” kata Sulastri dan lalu menunjukkan lehernya yang terdapat bekas luka biru kehitaman melingkar di sana. Sepertinya dia tewas karena dicekik. Kasihan sekali. Saat Sulastri menyibak rambut kribo panjangnya untuk memperlihatkan bagian lehernya, di situlah aku sedikit bisa melihat wajahnya yang ternyata sangat cantik. Dia hantu tercantik yang pernah aku lihat. Walaupun, kecantikannya harus tertutupi dengan berbagai macam luka di sana. Sungguh kasihan. Kami terus mengobrol—lebih tepatnya aku yang banyak bercerita. Sulastri hanya mendengarkan. Tampaknya ia suka mendengar ceritaku. Sampai akhirnya bel sekolah berbunyi tanda jam pelajaran akan dilanjutkan. Aku lantas pamit padanya. “Nanti aku akan datang lagi,” kataku. Sulastri mengangguk. “Habiskan martabaknya,” pintaku dan lalu pamit pergi. Hari-hari berlalu. Tak hanya hubunganku dengan Divya, Baskara dan Citra yang semakin dekat, tapi juga hubunganku dengan Sulastri. Hantu itu tak lagi berdiam diri di ruang perpustakaan. Sesekali ia mulai berani berkeliling, mengunjungi ruangan-ruangan lain. Tapi, hal ini ia lakukan saat kondisi sekolah sudah kosong dan sepi. Namun pada suatu hari, aku tak bisa menemukannya di mana pun. Sulastri menghilang! Apakah dia diculik Wewe Gembel!? Salah! Wewe Gombal! Masih salah! Wewe Gimbal! Cukup! Wewe Gombel! Ini yang benar. Tapi, tidak mungkin. Masa iya hantu diculik jin? Kan, tidak masuk, Pak Eko. Maaf, maksudnya tidak masuk akal. Kalau Citra yang diculik, itu baru masuk akal. Kan s**u mereka sama-sama menggelambir. Eh, maaf Citra. Kenapa aku jadi banyak meminta maaf? Aku tak melihatnya selama dua minggu. Hal ini lantas kuceritakan pada Divya, Baskara dan Citra. Mereka terkejut karena ternyata selama ini aku berkomunikasi dengan Sulastri, urban legend sekolah ini. “Jadi, selama ini kau rajin ke perpustakaan hanya untuk bertemu dengan Sulastri?” tanya Citra, dan aku mengangguk. “Gila ya, cewek di sekolah ini banyak yang cantik, tapi kau malah memilih hantu,” katanya lagi, membuatku melempar gapura kabupaten yang ada di depan jalan ke wajahnya. Tidak ya, aku tidak sekejam itu. Aku hanya melemparnya menggunakan botol—berisi batu. “Apakah dia sangat menyeramkan?” tanya Divya. “Tidak. Dia malah terlihat memprihatinkan,” jawabku. Aku lantas menjelaskan semua hal tentang Sulastri, membuat ketiga temanku ini menjadi iba. Sama sepertiku, mereka berpikir, selama hidupnya pasti Sulastri selalu disiksa, hingga akhirnya tewas, dan berakhir menjadi arwah gentayangan. Luka fisik dan batin yang ia alami selama hidup pun membuatnya lupa ingatan. Itulah kenapa hantu itu tak mengingat apa pun. “Benar-benar malang,” kata Divya yang diangguki oleh Citra. “Ajak kami bertemu dengannya,” pinta Baskara, namun berhasil membuatku naik pitam. “Bagaimana caranya aku mempertemukan kalian, kalau sosoknya saja tidak bisa kutemukan akhir-akhir ini?!” kataku. “Benar juga ya. Bodoh kau, Cit!” kata Baskara. “Loh, aku? Apa hubungannya?” Citra heran. Kenapa jadi dia yang dikatai bodoh. “Tidak ada sih. Aku hanya ingin menghinamu saja,” jawab Baskara. “Yuh! Dasar Cadel!” Citra balas menghina. “Oh, main fisik? Okay! Dasar Citra s**u Gantung!” “Yeh … gendut!” “Hey! Ngaca! Kau juga seperti karung beras bulog!” Keduanya malah bertengkar. Tapi, untungnya Divya langsung menengahi. Gadis tomboy, tapi cantik itu langsung menjambak mulut keduanya. Seketika membuat mereka berdua diam dan berhenti bertengkar. “Sekali lagi kalian bertengkar, maka ubun-ubun kalian yang akan aku jambak!” ujar Divya, membuat Baskara dan Citra diam, anteng seperti anak soleh yang rajin sembahyang dan mengaji. “Sekarang yang harus kulakukan adalah menemukan Sulastri. Aku takut dia kenapa-napa.” Jujur, aku merasakan firasat yang tidak enak. “Seandainya kami bisa melihat yang tak kasat mata sepertimu, pasti kami akan ikut membantu mencarinya,” kata Divya. “Bukankah orang-orang spesial sepertimu bisa membuka mata batin orang lain?” Aku mengangguk, mengiyakan perkataan Baskara. Aku bisa melakukannya. “Lalu, tunggu apa lagi? Cepat buka mata batin kami,” pintanya. Divya mengangguk, mengiyakan. Tapi, tidak dengan Citra yang terlihat panik. Membuka mata batin tidak seperti membuka bra setelah seharian digunakan. Bukannya membuat lega, tapi malah bisa membuat ketakutan setengah mati. Orang-orang biasa seperti mereka takkan bisa bertahan dengan mata itu. “Tidak. Itu saran yang buruk,” kataku. “Benar.” Citra menimpali. Karena aku tak mau membuka mata batin mereka, lantas aku meminta kepada mereka untuk menunggu sampai aku bisa menemukan Sulastri kembali. “Doakan saja, semoga dia baik-baik saja.” *** Satu bulan berlalu. Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali melihat keberadaan Sulastri. Tapi, bukan di ruang perpustakaan sekolah. Melainkan, di salah satu rumah warga yang berada tidak jauh dari sekolah. Tempat ini sangat terpencil, sehingga aku tidak pernah mendatanginya. Aku pun ke sini karena ingin makan mie ayam yang menurut penuturan anak Perhotelan, mie ayam di tempat ini memiliki rasa yang sangat enak dan otentik. Tapi, tak kuduga aku malah bertemu dengan Sulastri. “Sulastri!” Aku langsung memanggilnya. Divya, Baskara dan Citra seketika menoleh ke arahku. “Dia di sini?” tanya Baskara semangat. Aku mengangguk, mengiyakan. Sulastri melihatku dengan salah satu matanya yang tampak dari balik rambutnya yang tebal. Dia menangis? Apa yang terjadi? Hantu itu masuk ke dalam rumah tempatku melihatnya. Sebuah rumah yang sangat tertutup, bahkan jendela-jendela dan seluruh lubang ventilasi ditutup oleh kardus. Apakah rumah itu berpenghuni? “Mas, apakah rumah itu ada orangnya?” tanyaku pada mas-mas penjual mie ayam. “Enggak ada, Mas. Rumah itu milik Pak RT, tapi tidak digunakan untuk tempat tinggal, melainkan untuk gudang,” ujar mas-mas penjual mie ayam yang wajahnya mirip Denny Cagur. “Begitu ya.” “Ada apa?” tanya Divya. “Ada yang tidak beres, dan aku akan mencari tahunya,” kataku. Malamnya, aku kembali lagi ke tempat aku membeli mie ayam. Sepi, kosong dan cukup gelap. Tak ada siapa pun di sini. Dengan pakaian serba hitam yang aku kenakan, kujamin takkan ada orang yang melihatku. Tapi, semoga saja aku tidak dikira maling. Bisa-bisa nanti aku digebuki warga. Kan tidak lucu, tiba-tiba saja ada berita, seorang pemuda tampan bak Zayn Malik ketahuan mencuri dan lalu digebuki warga hingga babak belur. Kini wajahnya berubah menjadi seperti Thanos, ungu dengan dagu menonjol paripurna. Aku tak mau! Kudekati rumah yang siang tadi dimasuki oleh Sulastri. Kuputari rumah tersebut, namun tak kutemukan sedikit pun celah untuk melihat ke dalamnya. Sosok Sulastri pun tak tampak. Mau tidak mau aku harus menggunakan kekuatanku. Kupejamkan kedua mataku dengan posisi kedua telapak tangan saling terkait membentuk sebuah simbol. Beberapa saat kemudian, aku berhasil melakukan astral projection, sebuah teknik melepaskan jiwa dari raga. Kini, aku bisa masuk ke dalam bangunan rumah dengan leluasa. Gelap sekali, bau pula. Daripada menyeramkan, tempat ini lebih seperti menjijikkan untukku. Kutelusuri rumah yang ternyata cukup luas di bagian dalamnya. Aku terus menelusuri, sampai akhirnya aku menemukan sosok Sulastri yang tengah terbaring meringkuk. Ia tidak sendiri, melainkan ada sesosok gadis kecil di sana. Gadis dengan tubuh memar penuh luka yang kini sedang dipeluk oleh Sulastri. “Sulastri.” Sulastri bangun dan lalu menghampiriku. “Siapa dia? Ada apa ini? Jelaskan padaku.” Sulastri pun buka suara. Ia menjelaskan semuanya sembari terisak. Gadis malang itu adalah anak adopsi milik Pak RT, namanya Mira. Malang, bukannya dirawat dan diberi kasih sayang sebagai anak, Mira malah dijadikan sebagai objek pelampiasan nafsu oleh Pak RT yang adalah seorang p*****l. Gadis berusia 12 tahun itu diruda paksa, disiksa dan bahkan tidak diberi makan jika melawan. Pita suaranya dirusak, sehingga Mira tidak bisa berteriak untuk meminta tolong. Bejatnya lagi, istri dan anak-anak Pak RT tahu akan kelakuan b***t Pak RT. Dan, mereka membiarkannya. Hal ini sudah berlangsung semenjak Mira berusia 10 tahun. Kedua tanganku mengepal. Berengsek sekali Pak RT dan keluarganya. Ternyata, inilah alasan di balik menghilangnya Sulastri. Ia ingin menjaga dan melindungi Mira. Sebuah dorongan kuat dan aneh membuatnya bisa keluar dari area sekolah dan berakhir di sini. “Kau tidak perlu khawatir. Aku akan mengurus hal ini. Tapi ….” Kutatap Sulastri. “Kau harus membantuku.” Sulastri mengangguk setuju. Saat itu juga kami berdua pergi menuju rumah Pak RT. Waktunya menebar teror. Dengan Sihir Atma (jiwa), kuberikan Sulastri kuasa untuk bisa menyentuh objek fana dan juga menampakkan wujudnya di Alam Fana. Dengan kuasa ini ia langsung menebar teror di rumah Pak RT. Keadaan yang semula hening dan tenang, kini berubah menjadi sangat kacau dan mencekam. Sulastri tak hanya meneror, tapi juga meluapkan amarahnya. Wujudnya berubah menjadi sangat, sangat, sangat, sangat mengerikan! Aku yang melihatnya saja sampai tidak percaya kalau itu adalah sosok Sulastri yang selama ini aku kenal. Sampai akhirnya, Pak RT dan seluruh anggota keluarganya berlarian keluar rumah. Beberapa dari mereka terluka, Pak RT yang paling parah. Kepalanya bocor dan lehernya mengalami cedera parah, karena dilempari galon berisi air yang masih penuh. Para warga yang mendengar keributan sudah berkumpul di depan rumah Pak RT. Mereka langsung menghampiri Pak RT beserta seluruh anggota keluarganya. Namun, hal yang mengejutkan mereka dapati dari Pak RT dan seluruh anggota keluarganya yang kini memohon-mohon sembari mengatakan fakta-fakta yang selama ini keluarga tersebut sembunyikan. “Maafkan saya! Maafkan saya! Saya takkan lagi merudapaksa Mira! Saya janji! Saya janji akan menghentikannya!” kata Pak RT. “Ampuni kami! Ampuni kami! Kami bersalah!” kata istri Pak RT. Para warga kaget. Karena, setahu mereka Mira sudah meninggal. Fakta ini pun membuatku tercengang. Itu berarti, Pak RT dan keluarganya telah memalsukan kematian Mira. Benar-benar keluarga iblis. Pak RT dan seluruh anggota keluarganya akhirnya diamankan oleh para warga. Aku yang berbaur dengan warga—tak lagi mengenakan pakaian serba hitam—mendengarkan dengan jelas seluruh pengakuan dan penuturan Pak RT. Ia bahkan memberitahu para warga tempat Mira selama ini disekap. Para warga pun bergegas untuk ke sana. Beruntung, Mira berhasil diselamatkan dan kini dibawa oleh salah satu warga yang terkenal dermawan. Sayang, kondisinya kritis. Kasihan sekali anak itu. Beberapa warga yang emosi berniat menghakimi Pak RT dan seluruh anggota keluarganya. Namun, Pak RW segera turun tangan. Ia dan beberapa bapak-bapak mengamankan keluarga b***t itu ke kantor lurah yang berada tidak terlalu jauh dari sini. Para warga pun diminta tenang, karena Pak RT dan seluruh anggota keluarganya akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Semoga saja begitu. Masalah terselesaikan. Kudengar, Mira yang kritis berhasil diselamatkan. Anak itu kini dirawat di salah satu rumah sakit bagus di Jakarta dan diawasi oleh keluarga dari warga yang dermawan itu. Sulastri yang mendengarnya merasa lega. Ia kini bisa kembali ke ruang perpustakaan, tempatnya tinggal dan berdiam diri. Namun, berkat kasus ini, salah satu potongan puzzle ingatan Sulastri saat ia masih hidup terbuka. “Aku … meninggal karena … gantung diri ….” Hal ini sontak membuatku merasa merinding. Jadi, dia meninggal karena bunuh diri, bukan karena dicekik. Sulastri tampak berusaha mengingat-ingat. Sayang, hanya itu yang bisa ia ingat. “Jangan terlalu dipaksakan. Aku yakin, suatu hari nanti, ingatanmu pasti akan kembali,” kataku. Sulastri mengangguk dan lalu ia meminta untuk berjabat tangan denganku. Aku pun menurutinya. “Terima kasih, Arka,” katanya. Aku tersenyum, dan membalas, “Sama-sama.” Keesokan harinya, aku memperkenalkan Divya, Baskara dan Citra pada Sulastri. Aku tak membuat mereka bisa melihat Sulastri, ataupun sebaliknya, aku tak membuat Sulastri bisa terlihat. Aku hanya mengenalkan mereka secara satu arah. Aku sebagai perantaranya. Awalnya Divya, Baskara dan Citra mengira aku hanya mengerjai mereka. Tapi, setelah Sulastri membuktikan bahwa eksistensinya ada dengan menarik salah satu kursi dari ujung ruangan ke ujung ruangan satunya, barulah mereka bertiga percaya. “O—oke … kami percaya kamu ada,” ucap Baskara panik. Dia yang terlihat paling sok berani, tapi baru ditunjukkan hal seperti itu saja sudah sangat ketakutan. Wajahnya pucat, seperti orang ingin buang air besar. Dasar pengecut! Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD