BAB 3: BESTIE

2700 Words
Kenyang. Tak kusangka nasi uduk seberang jalan porsinya akan sebanyak ini. Rasanya perutku sangat kencang, takut akan meledak. Mungkin aku akan kenyang sampai lebaran tahun depan. Semoga saja aku tidak kebelet buang air besar. Biasanya kalau makan terlalu banyak, perutku pasti akan mules hebat. Kini, yang perlu kulakukan adalah menunggu Baskara datang. Ya, dia akan menjemputku. Semenjak kami akrab, dia menyempatkan diri untuk menjemputku. Beruntung arah dari rumahnya ke sekolah melewati kosanku. “Kenapa kau?” tanya Baskara saat tiba di depan gerbang kosan menggunakan motor merah pejuangnya yang diberi nama Scarlet. “Kekenyangan,” jawabku. “Oh … kukira kau kena rabies.” “Matamu!” Setelah mengenakan helm, aku langsung naik ke atas motor, dan lalu Baskara melajukan motornya pergi dari kosanku. Tunggu, bau apa ini? Busuk sekali! Apakah ada bangkai di sini? Sebentar … sepertinya aku tahu bau apa ini. “Kau kentut ya?” tanyaku pada Baskara. “Iya. Hehehe,” jawab Baskara tanpa merasa bersalah. Seketika aku langsung memukul kepalanya sekuat tenaga. Plak! Suara itu terdengar sangat renyah. Dia malah tertawa. Yang mulai merasakan mules aku, tapi yang kentut duluan malah dia. Benar-benar lancang lubang duburnya. Aku kira kebiasaan ngebut di jalan raya hanya terjadi di desa-desa maupun perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Ternyata aku salah. Mau di desa ataupun di kota, ternyata sama saja. “Brow! Slow down! I don’t wanna die!” kataku sembari memegang erat pegangan belakang motor kuat-kuat. Entahlah seperti apa ekspresi wajahku sekarang. Yang jelas aku sangat tegang. “Calm down, Brow. Everything is gonna be okay. Trust me,” kata Baskara, dan lalu melajukan motor lebih cepat. Wush! Itu suara angin yang terdengar di kedua gendang telingaku. “You’re insane!” “Nah, Brow! In this city, we called this, Hidup Seperti Larry!” Kecepatan motor kembali bertambah. Jiwa dan ragaku rasanya ingin terpisah. Ini serius kan aku naik motor, bukan Buraq? Baskara mengemudikan motor seperti orang yang kesetanan Leak. Ngebut, benar-benar cepat! Jika diadu dengan Valentino Rossi, mungkin Baskara yang akan menang. Sedangkan ibu-ibu yang sen kanan, tapi belok ke kiri berada di posisi kedua. Karena, bayangkan saja, kondisi jalanan sedang padat merayap. Jalan dipenuhi oleh banyak kendaraan. Hanya ada celah-celah kecil sebagai akses jalan, tapi Baskara tetap melajukan motornya dengan sangat cepat, seakan-akan jalan-jalan kecil itu bukanlah masalah baginya. “Menunduk!” pekik Baskara tiba-tiba. Aku refleks menunduk. Gila! Itu kaca spion truk? Telat sedikit saja, kepalaku pasti akan hilang. Baskara benar-benar tidak waras. Hanya butuh waktu 15 menit bagi kami untuk sampai di sekolah. Padahal, waktu tempuh yang normal adalah sekitar 30 sampai 40 menit. Terbayang kan seberapa cepatnya Baskara membawa motor? Tapi, aku harus bisa membiasakan diri. Karena berkatnya, aku bisa mengirit pengeluaran di ongkos, dan juga mengirit waktu yang biasanya aku habiskan di angkutan umum. Keadaan lapangan masih cukup sepi. Beberapa senior laki-laki yang berada di lantai dua meledekku dan Baskara yang tampak acak-acakan seperti habis terkena angin topan. Mereka adalah senior kelas 11. “Mandi dulu sana, Dek” kata salah seorang senior. Kutatap senior itu dengan tatapan nakal. Dan, lalu kubalas ucapannya. “Mandiin aku, Kak. Mandiin!” kataku dengan nada bicara yang manja, lalu menggigit jari telunjukku. Genit. Para senior tertawa. Salah satu dari mereka berceletuk, “Gemasnya! Jadi pingin culik!” Dasar orang gila! Aku laki, masa iya mau diculik laki juga!? Yang benar saja! Tapi, salahku juga sih, karena aku yang menggoda duluan. Setelah itu aku dan Baskara berjalan pergi meninggalkan lapangan menuju kelas. Para senior sempat berteriak, mengajak kelasan kami untuk bermain basket sepulang sekolah nanti. Dan, aku pun mengiyakan. Walau suka mengejek dan menggoda murid-murid kelas satu, tapi para senior yang berada di lantai dua itu baik-baik. Kelasanku cukup akrab dengan mereka, apalagi para siswa laki-lakinya. Selain itu, mereka adalah anak-anak orang kaya, sehingga saat sedang berkumpul dengan mereka, aku tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk jajan, karena mereka pasti akan mentraktirku. Rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Tapi sebagai imbalannya, aku harus tidur dengan mereka. Eits! Tidak! Bukan begini! Aku harus membantu mereka berkenalan dengan siswi-siswi yang ada di kelasku. Tetap saja ya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Siswi-siswi di kelasku adalah primadona di sekolah ini. Tak ada satu pun yang tidak menarik. Semuanya cantik-cantik. Dari yang tampilannya anggun dan elegan seperti puteri Disney, sampai yang agak kelaki-lakian macam Divya, semuanya ada. Bebas, tinggal pilih. Semua siswa laki-laki dari semua jurusan dan angkatan mengincar siswi-siswi yang ada di kelasku. Saking terkenalnya, banyak siswi-siswi perempuan dari jurusan dan kelas lain yang merasa iri. Bahkan, pernah ada kakak kelas yang melabrak salah satu temanku yang bernama Maya. Mereka marah, karena laki-laki yang salah satu senior itu sukai, malah naksir dengan Maya. Bukannya takut, dengan percaya diri Maya melawan. Ia bangkit dari kursinya, menghadapi 6 senior seorang diri. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari para senior membuat para senior harus mendongak melihat wajahnya. Aku, Divya, Baskara dan Citra yang melihatnya sempat tertawa. Tapi, kami langsung berusaha memasang wajah datar. Baskara sempat kentut. Sial! Baunya mengalahkan telur busuk! Dari sini saja derajat mereka terlihat jelas. Sangat jauh. Sembari menatap senior yang mencari masalah, Maya berkata. “Makanya, Kak, rawat dirimu dengan baik. Minimal pakai sunscreen lah, biar kulitmu tidak dekil. Laki-laki setampan Teguh tidak mungkin mau mengejar perempuan dekil sepertimu. Dia pasti maunya mengejar wanita yang secantik bidadari. Ya … sepertiku lah.” Ucapan Maya, seketika membuat tawa satu kelas yang tertahan pecah. Memang benar, wajah senior yang melabrak itu sangat dekil seperti—maaf—babu. Bila dibandingkan dengan Maya yang cantik jelita bak model papan atas, mereka tidak ada apa-apanya. “Kau—“ Wajah senior itu merah padam. Hal ini jelas membuat para senior malu, dan lalu memutuskan untuk pergi. Maya menang. Para siswi di kelasku langsung menghampiri Maya, memujinya. “Kamu hebat, May.” “Keren sekali!” “Keberanianmu wajib diacungi jari tengah.” “Jempol dong, bodoh! Kalau jari tengah, itu untukmu!” “Oh iya, ya. Eh!?” Sejak saat itu aku mulai memandang beda Maya. Dia cantik dan hebat. Sangat percaya diri, walaupun sedikit oon. Tenang, tenang, aku tidak naksir padanya. Aku hanya kagum. Dia adalah yang tercantik di kelas dan juga di sekolah ini. Wajar kan, sebagai laki-laki normal aku mengaguminya? Oh iya, hanya mau memberitahu saja, Maya suka sekali dekat-dekat denganku. Hehe. Sepulang sekolah, usai main basket dengan para senior, aku, Baskara dan Citra memutuskan untuk main ke rumah Divya yang kebetulan dekat dengan sekolah. Kedatangan kami disambut baik oleh ibu Divya yang kami panggil Ibu. Beliau begitu ramah dan senang dengan kedatangan kami. “Anggap saja rumah sendiri ya,” kata beliau. Bahasa indonesianya medok sekali. “Iya, Bu,” jawabku, Baskara dan Citra kompak. Kami malu-malu kampret. Kami berada di saung yang berada di depan rumah Divya. “Jangan kaget kalau tiba-tiba Via nimba sumur atau nyangkul di kebun sebelah ya. Soalnya jiwa lakinya suka kambuh,” tambah beliau. Maksudnya Via adalah Divya. Di sini, dia dipanggil Via. Aku, Baskara dan Citra sontak menahan tawa. Ternyata Divya sejantan itu. “Bu, jangan begitu!” Divya dari dalam rumah protes. “Loh, kenapa, Nduk? Kamu kan memang suka tiba-tiba nyangkul di kebun Pak Romo,” kata Ibu yang membuat Divya keluar rumah sembari menahan malu. Lagi, Aku, Baskara dan Citra hanya bisa menahan tawa. “Ya mau gimana lagi, Nduk bosen. Jadinya Nduk nyangkul,” ujar Divya yang membuatku tak lagi bisa menahan tawa. Kucubit paha Baskara. Baskara yang juga tak kuat menahan tawa lantas mencubit s**u Citra—maksudnya mencubit paha Citra, dan Citra yang juga sama-sama tidak bisa menahan tawa mencubit paha bapak-bapak tetangga Divya yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelah. Kami saling main cubit-cubitan. Siapa yang cubitannya paling biru, dia yang menang. Setelah Ibu masuk ke dalam rumah, kami berempat memutuskan untuk mengisi waktu sore kami dengan bermain judi online, alias Line Get Rich. Aplikasi permainan monopoli online yang sedang naik daun. Kami akan memainkan permainan ini. “Pak, Bapak ngapain masih di sini?” tanyaku pada bapak-bapak ompong, tetangga Divya yang masih duduk di sebelah Citra. Dia ikut menatap layar ponsel. “Oh, iya ya. Ngapain saya masih di sini? Saya kan mau nengok janda sebelah.” Bapak-bapak itu lantas pergi, dengan kami yang terus menatap kepergiannya dengan datar. “Tetanggamu aneh,” kataku. “Sama seperti kita,” sahut Divya. “Benar juga,” kataku lagi. Kami mulai bermain Line Get Rich. Awalnya, kami berniat untuk bermain solo: 1 vs 1 vs 1 vs 1. Tapi, Baskara menyarankan agar kita main multiplayer: 2 vs 2. Okay, aku, Divya dan Citra setuju. Pemilihan tim ditentukan dengan gambreng. Di babak pertama Aku dan Baskara satu tim, sedangkan Divya dan Citra di tim satunya. Di babak selanjutnya kami akan kembali melakukan gambreng untuk menentukan anggota tim yang baru. Kami siap bertarung. “Yang kalah telanjang,” kata Baskara dan langsung mendapat sambutan hangat dari kepalan tangan Divya dan Citra. Mereka meninjunya. “Enak di kalian, rugi di kami!” kata Divya dan Citra kompak. Aku tertawa. Akhirnya hukuman yang kalah adalah ditaburi bedak di wajahnya. Kami semua setuju. Divya masuk ke dalam rumah untuk mengambil bedak. Aku dan Baskara tak sabar ingin membuat Divya dan Citra cemong seperti mochi. Permainan dimulai. Kami hanya berempat, tapi suara berisik kami berhasil mengalahkan suara berisik orang-orang di pasar. Sangat ramai. Beberapa kali tetangga Divya terlihat berhenti di tempat kami, memeriksa apa yang terjadi. Mungkin, mereka mengira ada tawuran antar warga di sini. Akhirnya, permainan babak pertama dimenangkan oleh timku dan Baskara. Hukuman pun dijalankan. Wajah Divya dan Citra dibuat cemong. Tidak jadi seperti mochi, mereka malah mirip seperti setan. “Easy sekali ya, Brow,” kataku pada Baskara. “Iya, rasanya seperti melawan komputer,” balas Baskara. Kami sama-sama sombong dan besar kepala. “Padahal, melawan anak SD saja tidak semudah ini,” kataku lagi. “Hooh. Memang lawannya saja yang payah. Tidak berbakat. Tidak punya skill dan dibenci masyarakat,” sahut Baskara. Kami tertawa. Divya dan Citra cemberut. Divya bahkan sampai tolak pinggang. “Jangan sombong dulu! Permainan masih berlanjut!” ucap Divya membara. “Benar! Kami pasti—uhuk! Uhuk! Uhuk!—bisa mengalahkan kalian!” sahut Citra. Walau sempat tersedak bedak, ia tak kalah membara dengan Divya. Karena Divya dan Citra ingin mengalahkan kami, maka anggota tim tak jadi ditukar seperti peraturan awal. Kami lanjut bermain dengan anggota yang sama. Sampai tiba di babak ke-8 permainan, Divya dan Citra barulah menyerah. Wajah dan tubuh bagian atas mereka sudah putih seutuhnya. Mereka mengalami kekalahan secara beruntun, dan kini mereka tak mau melanjutkan permainan. Aku dan Baskara tertawa puas. Kami tidak terkalahkan. “Sini, foto dulu,” kata Baskara. Cekrek! Tampak Divya dan Citra memasang wajah cemberut. Mereka terlihat seperti otak-otak yang siap digoreng. Permainan selesai. Kami memutuskan untuk bersantai. Setelah Divya dan Citra membersihkan diri dari bedak yang menyelimuti, kami menikmati pemandangan langit sore yang indah. Lembayung. Matahari sebentar lagi terbenam. Aneh, semakin sore, cuaca malah semakin panas dan pengap. Karena itulah, aku memutuskan untuk membuka seragam sekolahku. Tapi tenang, aku masih mengenakan kaos kutang. Wah! Adem sekali! Hitung-hitung pamer badan. Kan badanku bagus. Baskara juga, dia melepas seragam sekolahnya dan kini hanya mengenakan kaos oblong. “Aku juga mau buka baju ah,” kata Citra. “Kau pakai kaos dalam?” tanya Divya. Citra mengangguk. “Tanktop super ketat,” ujarnya. Divya menjambak bibir Citra, dan lalu berkata, “Daripada kau membuka baju seragammu, lebih baik kau kuguyur pakai air soda. Mau? Sama-sama dingin toh!” “Eh, jangan dong! Tapi, kalau dimandi madu boleh lah. Aku mau,” kata Citra dan lalu mulai mendesah. “Ah, ah, ah … mandi madu.” Ia juga berjoget. Aku dan Baskara tertawa hampir muntah. Sedangkan Citra meminta ampun, karena kini Divya mengambil cangkul dari kebun sebelah. Ia siap memacul otak Citra agar kembali waras. “Kan aku hanya bercanda,” ucap Citra. Tapi, dia sungguh kepanasan sama sepertiku dan juga Baskara. Divya lantas berniat meminjamkan baju untuk Citra. Baju yang adem saat dikenakan. Citra jelas mau. Keduanya masuk ke dalam rumah dan keluar tak lama kemudian. Nikmat sekali memandangi langit sore yang perlahan mulai menggelap. Aku tak menyangka hubungan kami berempat akan jadi sedekat ini. Kami nyaris ke mana-mana bersama. Menceritakan banyak hal, dan bahkan saling terbuka satu sama lain. Menghabiskan banyak waktu bersama. Benar-benar berempat. Tak lagi sebagai teman, aku mulai menganggap Divya, Baskara dan Citra sebagai sahabatku—bestie, itu kata anak zaman sekarang. Saat sedang duduk-duduk, aku melihat ada tukang bakso yang lewat. Karena merasa lapar, aku lantas mulai bernyanyi. “Abang tukang bakso mari-mari sini. Aku mau checkout.” Abang tukang bakso seketika mencari tiang besi dan lalu mulai menari striptis di sana. Sangat seksi, sangat erotis, rawr! Tidak. Aku hanya mengarang. Abang tukang bakso yang dipanggil Pakde oleh Divya langsung menghampiri kami. Kami memesan empat mangkuk bakso dengan menu yang berbeda-beda. Aku: bakso cincang, tidak pakai tetelan, tidak pakai bihun atau mie kuning, tapi pakai mie instan, banyakin bawang, tanpa seledri, untuk sambal dan saos sedikit, tidak pakai kecap. Divya dan Baskara: Bakso urat full tetelan dan tulang muda, tidak pakai mie atau bihun, pakai bawang dan seledri, sambal dan saos harus banyak. Bedanya, Baskara pakai kecap, Divya tidak. Divya pakai cuka, Baskara tidak. Baskara minta nasi di rumah Divya, Divya memperbolehkan. Tapi, Baskara melunjak. Ia minta nasi satu rice cooker penuh. Divya pun ngamuk, acak-acak rumah tetangga. Citra: Bakso urat full tetelan, tulang muda, dan kalau bisa pakde tukang baksonya direbus sekalian. Pakai mie kuning dan bihun, bawang, seledri, rumput liar, pakan ternak, semuanya masuk. Saos, sambal, kecap dan cuka harus banyak. Kuahnya pun harus luber, tumpeh-tumpeh. “Itadakimasu!” ucap kami berempat. Melahap bakso. Sebentar, kami kan bukan orang Kamboja. Kenapa kami mengucapkan kata-kata tadi? Bakso Pakde rasanya enak. Sebentar, biar aku luruskan. Maksudnya, bakso yang Pakde jual rasanya enak. Bakso yang dibuat dari daging sapi. Bukan bakso yang itu. Bakso yang—ah, enough! Kalian juga pasti paham. Aku menghabiskannya dengan cepat. Sekarang aku kekenyangan, pun dengan Divya. Baskara dan Citra nambah. Citra bahkan ikut meminta nasi. Katanya, kurang nendang. Tapi, saat aku ingin menendangnya, dia malah menolak. Wanita memang sulit untuk dipahami. Setelah kami semua kenyang dan Pakde telah pergi bersama gerobaknya—ya iyalah bersama gerobaknya. Kan tidak mungkin dia pergi sembari membawa ibunya Divya. Cari masalah itu namanya—Kami memutuskan untuk duduk-duduk sebentar sebelum pulang. Langit sudah gelap. Kami tak bisa berlama-lama di sini. Besok kami masih harus sekolah. Ada PR yang harus kami kerjakan. Sebuah motor keluaran lama muncul dari balik tikungan. Lampunya menyorot terang. Semua mata memandang ke arah motor tersebut. Ternyata, pengemudinya adalah bapaknya Divya. Kami lantas menyambut kedatangannya. “Malam, Om,” sapaku. “Malam,” sapa balik beliau. Kami bersalaman satu per satu. “Teman sekolahmu toh, Nduk?” tanya Bapak. Divya memanggilnya dengan sebutan Bapak, jadi aku dan yang lain juga ikut memanggilnya dengan sebutan Bapak. Tadinya aku mau memanggil beliau dengan sebutan Ses. Tapi, kuurungkan, karena takut Divya tiba-tiba saja melemparkan cangkul ke kepalaku. Kan bahaya. Bisa-bisa nanti kepalaku yang bocor. Aku masih mau hidup. Aku masih perjaka. “Iya, Pak,” jawab Divya. Bapak mengobrol akrab dengan kami. Sama seperti Ibu, beliau sangat ramah dan lemah lembut, khas orang Jawa Tengah. Walau begitu, beliau sangat berwibawa. Benar-benar sosok kepala keluarga yang sempurna. Huft, aku iri. Aku tak memiliki figur seperti itu di rumah. Kami langsung akrab dengan Bapak. Beliau bahkan menyuruh kami untuk sering-sering main ke sini, menemani Divya yang ternyata jarang bermain dengan anak-anak seumurannya. Mungkin karena Divya yang hobi bawa-bawa cangkul, sehingga anak-anak di sekitar sini takut padanya. Kami pun mengiyakan permintaan Bapak. Baskara mengobrol banyak dan bahkan sampai bercanda dengan Bapak, seperti seorang ayah dan anak laki-lakinya yang sedang bercakap-cakap akrab. Aku bisa saja melakukan hal yang sama, tapi fokusku saat ini sedang teralih. Ada satu hal yang kini menarik perhatianku. Yaitu, tiga sosok jin yang sejak tadi berada di belakang Bapak. Ya, beliau ternyata memiliki pegangan. Tiga jenderal asal Laut Selatan yang kuyakin memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Jika tiga jin itu sampai mengabdi pada Bapak, itu berarti Bapak bukanlah orang biasa. Beliau pasti orang sakti sama seperti Abah—kakekku. Tunggu sebentar … itu berarti Divya …? Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD