Lagi, aku mendapatkan hadiah dari seniorku—sudah pasti perempuan ya—walau ada senior laki-laki yang juga menyukaiku, tapi kebanyakan yang memberiku hadiah adalah senior perempuan.
“Lumayan lah ya. Walau cinta bertepuk sebelah tangan, tapi tetap dapat hadiah dari para penggemar,” kata Citra.
Divya dan Baskara langsung tertawa terbahak-bahak, sedangkan aku bersiap untuk merapalkan mantra kutukan. Akan kuubah Citra menjadi pembalut. Dia akan menderita seumur hidup.
Ya, aku menceritakan perihal perasaan cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada mereka bertiga. Mereka awalnya menertawakanku—ya, namanya juga bestie—tapi setelahnya mereka menguatkanku. Dan, kini mereka meledekku. Asyem!
“Ada banyak ikan di laut, Brow. Jadi, tidak usah sedih,” kata Baskara.
“Benar, Ka. Tapi, ingat juga. Banyak nelayan bertebaran di laut, jadi kau harus siap bersaing,” timpal Divya.
“Nah, iya. kau—“
“Diam ya, Citra! Kau benar-benar ingin aku kutuk jadi pembalut!?” Aku memotong ucapan Citra sebelum ia mengeluarkan kata-kata yang menyebalkan lagi.
“Eh, iya maaf.” Citra langsung memberikan gestur sedang menggembok mulut rapat-rapat. Harusnya aku las saja mulutnya, biar tidak terbuka lagi untuk selama-lamanya.
Untuk menghilangkan rasa sedih dan kecewaku, Divya dan Baskara berniat mengajakku jalan-jalan keliling Jakarta. Aku pun setuju. Sepertinya bagus, mengalihkan pikiran dengan jalan-jalan. Tapi bodohnya Citra, dia malah mengajak teman-teman satu kelas yang otomatis Naraya juga akan ikut. Citra! Kau sungguh harus jadi pembalut!
Sepulang sekolah—beruntung hari ini kami pulang cepat, kami berkumpul di tempat parkir. Yoga menyarankan agar yang mengendarai motor adalah siswa laki-laki, sedangkan siswi perempuan yang dibonceng. Dia memang paling gentleman kalau soal ini. Dan, kebetulan jumlah siswa laki-laki di kelas kami ada 7, sedangkan siswi perempuannya ada 8, cukup seimbang. Itu berarti ada satu orang yang akan berkendara sendiri. Tapi, tapi, tapi, coba tebak siapa yang akan aku bonceng? Ya, tepat sekali! Divya! Untung saja. Aku akan mengendarai motornya.
Kami berangkat bersama-sama dengan Yoga, Zain dan Ibra yang memimpin jalan. Mereka yang paling tahu seluk beluk jalan di Jakarta. Aku, Baskara dan Citra berada di barisan tengah. Baskara membonceng Listi, sedangkan Citra membonceng Vira—Citra satu-satunya perempuan yang mengendarai motor. Kami bernyanyi lagu Cherrybelle di sepanjang jalan dengan Citra yang berjoget-joget ria. Aku, Divya, Baskara, Listi dan Vira tak henti-hentinya tertawa, pun dengan teman-teman kami yang lain. Citra seperti biduan yang sedang show.
Sial, di tengah perjalanan ada razia lalu lintas. Rombongan kami diberhentikan. Semua orang panik, karena tak ada satu pun dari kami yang memiliki SIM, hanya STNK.
“Citra, coba hubungi bapakmu. Bapakmu kan polisi,” kata Divya pada Citra.
“Oke, oke.”
Citra mencoba menghubungi bapaknya, tapi sayang tak kunjung mendapat jawaban. Yoga dan Zain yang mengalihkan perhatian polisi lalu lintas dengan mengobrol, tak lagi bisa mengalihkan. Baiklah, mau tidak mau aku harus turun tangan.
Kufokuskan pikiranku. Kuhampiri satu per satu anggota polisi lalu lintas yang memberhentikan kami. Kusentuh pundak mereka bergantian. Dan lalu, kuminta mereka agar membiarkan kami untuk pergi. Ya, berhasil. Mereka membiarkan kami pergi.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Baskara.
“Hipnotis,” jawabku.
“Hebat sekali.” Baskara memuji.
“Tidak sia-sia punya bestie seorang Dukun Cilik,” timpal Divya.
“Benar.” Baskara menimpali.
“Apakah kau bisa menggandakan harta kekayaan?” tanya Citra tiba-tiba. Si anomali ini selalu saja memiliki pertanyaan yang di luar nalar.
“Bisa,” kataku.
“Tapi, kau harus jadi seorang ibu dulu, Cit. Mau?” tambahku.
“Jadi seorang ibu?” Citra bingung.
“Iya, ibu dari para tuyul. Tugasmu hanya menyusui mereka, dan wala! Kau tiba-tiba jadi kaya raya.”
“Sialan kau.” Citra merengut. Divya dan Baskara tertawa.
“Tapi, kalau hasilnya meyakinkan mah boleh saja,” sambung Citra.
Divya dan Baskara tertawa semakin kencang. Aku geleng-geleng kepala.
“Citra, Citra,” ucap aku, Divya, Baskara kompak. Citra memang seorang anomali.
Perjalanan kami lanjutkan. Tempat pertama yang kami datangi adalah Kota Tua. Kami ingin mengunjungi Museum Fatahillah. Museum dengan nama lain Museum Sejarah Jakarta ini buka dari hari Selasa hingga Minggu dari pukul 9 pagi sampai pukul 3 sore. Hari Senin libur.
“Ladies and gentlemen, welcome to Museum Fatahillah,” ucap Yoga, berpura-pura jadi tour guide. Suaranya dibuat berat. Tubuhnya dibuat tegap. Ia berusaha keras agar tampak berwibawa.
“Salah, Yog. Yang betul, welcome to Fatahillah’s Museum. Di bahasa inggris, harus dibalik,” kata Frida, mengoreksi.
“Apaan sih, Frida. Sok asyik banget,” celetuk Zain.
“Tahu ih! Gak jelas banget. Emangnya kau tour guide-nya?” timpal Yoga. Keduanya tertawa. Mereka tidak serius, hanya meledek.
“ Ya udah sih! Kan aku cuma mengoreksi. Kalau gak terima ya yowis!” Frida cemberut, membuat Yoga dan Zain tertawa semakin kencang, Ibra juga ikutan. Mereka memang terkenal suka meledek orang lain.
Museum Fatahillah menyimpan sekitar 23 ribuan koleksi benda bersejarah yang menceritakan perjalanan Jakarta. Mulai dari masa prasejarah, kejayaan Kerajaan Padjadjaran dan Tarumanegara, era Jayakarta, hingga masa kolonial Belanda.
Terdapat replika Prasasti Tugu—prasasti yang berisi catatan mengenai perintah Raja Purnawarman untuk menggali dua kanal untuk mengatasi banjir dan kekeringan—dan Prasasti Ciaruteun—prasasti yang berisi puji-pujian untuk Raja Purnawarman yang diibaratkan seperti Dewa Wisnu.
Mebel dan perabotan antik, benda-benda seni rupa karya seniman ternama Indonesia, senjata dan peralatan perang zaman penjajahan, semuanya ada di sini.
Ruangan yang paling aku sukai adalah ruangan tematik. Terbagi menjadi beberapa ruang, yaitu ruang prasejarah Jakarta, ruang Tarumanegara dan Jayakarta, ruang Batavia, ruang Fatahillah, ruang Sultan Agung dan ruang MH. Thamrin. Banyak hal yang bisa aku pelajari di ruang-ruang tersebut. Aku cukup menyukai sejarah.
Sepanjang tur keliling museum Yoga dan Zain terus mengoceh, berpura-pura menjadi tour guide kami. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala karena bahasa inggris yang keluar dari mulut mereka masih belepotan. Bahkan, aku sempat tidak paham apa yang mereka ucapkan. Tapi, ini bukanlah sebuah masalah. Setidaknya mereka telah berusaha. Dulu waktu pertama kali aku belajar bahasa asing juga seperti mereka. Kacau. Tapi, karena aku membiasakan diri untuk terus menggunakan bahasa asing tersebut, pada akhirnya aku jadi lancar dengan sendirinya. Tanpa les dan tanpa bantuan orang lain. Benar-benar autodidak. Kuncinya, jangan takut dan jangan malu untuk salah, dan dengarkan jika ada yang memberi masukan.
Sampai tibalah kami mengunjungi ruang penjara bawah tanah. Okay, tak banyak yang bisa kujelaskan mengenai ruangan ini selain banyak sekali penunggunya. Dari yang berwujud manusia biasa penuh luka, tubuh yang tak berbentuk dengan organ-organ yang tercerai berai, sosok yang terus menjerit kesakitan dan menangis, hingga yang mengeluarkan bau sangat busuk, semua ada di sini. Aku tak suka ruangan ini. Benar-benar membuatku pusing dan mual.
Keluar dari Museum Fatahillah, kami lanjut bersantai, berfoto-foto dan menikmati wisata kuliner yang ada di Lapangan Fatahillah. Kerak telor berhasil menarik perhatianku. Aku, Divya, Baskara dan Citra membelinya. Sedangkan, teman-teman yang lain asyik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menyewa sepeda ontel untuk berkeliling, berfoto-foto ria. Zain dan Yoga—coba tebak mereka sedang apa? Yak betul! Mereka sedang menjadi tour guide gadungan dengan mendatangi satu per satu turis bule yang ada di sekitaran lapangan. Kedua remaja puber itu memang ada saja tingkahnya. Sungguh berani. Sedangkan Bima dan Biang, mereka hanya diam tak melakukan apa-apa. Aku takut mereka kesurupan, tapi ternyata tidak. Mereka memang seperti itu. Jauh lebih aneh dari aku dan yang lain.
Puas mengeksplorasi Kota Tua, kami melanjutkan perjalanan menuju Museum Gajah. Kami benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Di sini kami mengeksplorasi Museum Gajah selama 1 jam penuh. Museum ini berisi sejarah, arkeologi, etnografi, dan geografi Indonesia. Keren, aku suka tempat ini. Apalagi, tadi ada anak-anak SMA dari salah satu sekolah elite yang parasnya cantik-cantik. Lumayan, aku bisa cuci mata. Rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Toh, tujuan utama kami jalan-jalan adalah untuk menghilangkan rasa sedih dan kecewaku.
Sama seperti di tempat sebelumnya, di sini Yoga dan Zain lagi-lagi menjadi tour guide dadakan kami. Tapi kalau boleh jujur, pengucapan bahasa inggris mereka telah mengalami sedikit peningkatan. Apalagi, setelah kesalahan-kesalahan mereka dikoreksi. Hal ini mendorong teman-temanku yang lain, terkhusus Citra untuk mulai berani berbicara menggunakan bahasa inggris. Aku, Divya dan Baskara yang memang sudah lancar, memutuskan untuk membantu mereka. Dari sini, kami mulai mengobrol menggunakan bahasa inggris, bercampur bahasa indonesia.
Usai dari Museum Gajah, kami lanjut menuju Monas—Monumen Nasional. Kami memutuskan untuk makan siang di tempat ini. Makan siang yang sangat terlambat. Sekarang sudah jam 3 sore. Kami makan di pujasera yang kondisinya sangat ramai. Keadaan Jakarta sangat panas. Baju seragamku sampai basah karena keringat. Aku masih belum terbiasa dengan panasnya tempat ini.
Saat sedang makan, kulihat Ibra mencoba mendekati Naraya. Ia berusaha menarik perhatiannya. Tapi, respons yang diberikan Naraya jauh berbeda dari responsnya terhadapku. Ia agak mengabaikan Ibra. Entahlah, aku malah merasa senang. Bahkan tanpa sadar aku melebarkan senyum. Maaf, Ibra. Tapi, kau berhasil membuatku terhibur.
Seusai makan, kami memutuskan untuk masuk ke dalam Tugu Monas. Kami mau naik menuju puncak gemilang cahaya, mengukir cita, seindah asa. Loh kok malah nyanyi? Kami mau naik ke atas puncak Monas. Aku berniat menumbalkan Citra, menerjunkannya dari atas puncak hingga jatuh ke bawah, agar hujan segera turun mengguyur kota Jakarta.
Untuk bisa masuk ke dalam Tugu Monas kami harus membayar tiket seharga 13 ribu rupiah, harga yang diperuntukkan bagi mahasiswa. Beruntung antreannya tidak terlalu panjang, sehingga kami tidak perlu menunggu terlalu lama.
Wow! Demi gugusan bintang di langit malam! Aku bisa melihat dengan jelas seluruh kota Jakarta. Indah sekali. Kedua mataku sampai berkaca-kaca, bersyukur karena bisa menikmati pemandangan yang bagus ini. Tak salah bestie-bestie-ku mengajakku ke sini. Aku benar-benar terhibur. Aku bahkan sampai lupa dengan rasa sedih dan kecewaku terhadap Naraya. Padahal, saat ini Naraya sedang berdiri tidak jauh dariku.
Baskara merangkulku, disusul oleh Divya dan Citra. Kami saling rangkul, dan kini tinggal terjun ke bawah. Tidak, kami masih waras. Kami tidak melakukan hal itu.
“How you feel, enjoy?” tanya Baskara.
“Amazing,” jawabku dengan senyum yang merekah lebar.
“Jika kau merasa sedih lagi, beri tahu kami. Kami akan mengajakmu bepergian ke tempat yang jauh lebih keren dari ini,” kata Divya.
Aku hanya bisa merespons ucapannya dengan senyuman. Aku terharu. Aku bahagia. Rasanya air mataku ingin menetes.
“Guys, sepertinya bakso yang kumakan tadi terlalu pedas. Sekarang perutku mules,” kata Citra. Merusak suasana. Anomali ini kembali berulah.
“Bau!” kataku. Menutup hidung.
Kami langsung melepas rangkulan dan menjauh dari Citra. Bisa-bisanya dia kentut di saat-saat mengharukan seperti ini. Air mataku yang hampir menetes, kutarik lagi masuk.
“Bukan! Bukan aku! Aku tidak kentut!” Citra berusaha membela diri. Padahal sudah jelas-jelas dia yang mules.
Tiba-tiba saja Baskara yang berdiri di sampingku cengengesan.
“Maaf, guys. Aku yang kentut. Aku juga mules,” katanya.
Aje gile! Memang bestie-bestie tak berperianakdesaan. Jahat sekali. Untung Divya tidak seperti mereka berdua.
“Sebenarnya aku juga kentut,” ujar Divya. Aku kaget.
“Untung kentutku tidak bau,” katanya penuh rasa syukur.
Aku hanya bisa mengembuskan napas berat. Ternyata mereka bertiga sama saja.
Sepertinya bakso yang mereka makan tidak diolah dengan higienis, sehingga menyebabkan perut mereka mules. Beruntung, tadi aku memesan nasi padang. Walau perutku aman, tapi kondisi dompetku tidak. Sekarat. Ya, harga sepiringnya amat sangat mahal.
Usai puas menikmati pemandangan, kami memutuskan untuk turun. Matahari sudah tidak seterik sebelumnya. Embusan angin sejuk mulai menerpa. Jakarta perlahan mendingin. Kini, aku bisa menikmati perjalanan dengan nyaman.
Kami berkeliling memutari Monas. Berhenti di beberapa titik yang kami anggap bagus untuk berfoto. Bersenda gurau sepanjang perjalanan. Sebelum akhirnya, kami yang lelah memutuskan untuk duduk di sebuah taman yang terdapat replika patung bunga Raflesia Arnoldi berukuran besar. Kami lanjut foto-foto. Dari foto bersama—meminta bantuan orang yang lewat untuk memfoto kami. Lanjut memfoto seluruh anak laki-laki, baru setelahnya memfoto seluruh anak perempuan. Aku berfoto berempat dengan Divya, Baskara dan Citra. Yang lain juga berfoto dengan orang-orang terdekat mereka. Sampai akhirnya, secara tidak terduga Naraya meminta berfoto bersamaku di salah satu patung bunga Raflesia Arnoldi. Aku pun mengiyakan.
“Divy, tolong fotokan kami,” pinta Naraya. Divya mengiyakan. Baskara dan Citra memperhatikanku. Aku tahu apa yang sedang mereka pikirkan sekarang, pun dengan Divya. Tapi, ya sudahlah. Toh, aku sudah tidak merasa kecewa dan galau lagi. Aku sudah happy.
Satu foto diambil, lanjut ke foto kedua. Di sini, entah apa yang mendorongku, aku malah merangkul Naraya. Naraya pun tidak masalah. Ia malah mendekatkan dirinya padaku. Kami berpose sangat bahagia. Seperti sepasang kekasih. Cekrek! Satu foto terambil. Aneh, perasaan senangku tiba-tiba saja bertambah berkali-kali lipat. Huh … sepertinya aku benar-benar telah jatuh cinta dengan Naraya.
Sebentar? Kenapa jadi begini?
“Kirim fotonya ya, Divy,” pinta Naraya.
“Iya, Ra.”
Aku berjalan mendekati Baskara dan Citra. Mereka menepuk-nepuk pundakku. Berusaha menguatkan. Namun, perhatianku malah tertuju pada Ibra yang terus memperhatikanku. Ia tampak marah. Sepertinya, ia tidak suka karena aku baru saja berfoto berduaan dengan Naraya, dekat pula. Sementara ia, sejak tadi selalu ditolak oleh Naraya untuk berfoto berdua. Bahkan, Naraya benar-benar menghindarinya. Sepertinya, aku mencium bau-bau persaingan. Sudahlah, abaikan. Tidak penting.
Usai berfoto, kami berlima belas lanjut menikmati pemandangan langit sore yang menakjubkan. Lembayung, ditemani embusan angin sejuk yang bercampur polusi. Matahari terbenam dengan begitu cantik. Hari ini aku sangat bahagia. Momen kebersamaan ini takkan pernah kulupakan. Momen yang sangat berharga.
Di saat kedua mataku fokus memandangi satu-satunya bintang yang tampak di langit yang mulai menggelap, tiba-tiba saja sebuah penglihatan aneh muncul dalam benakku. Aku tiba-tiba saja berpindah ke tempat lain. Sebuah lorong panjang dengan banyak pintu putih di sisi kanan dan kirinya. Lorong ini tampak megah. Lampunya berwarna jingga kekuningan. Tempat ini terasa sangat dingin. Aroma melati segar tercium santer di indera penciumanku. Aneh, sepertinya lorong ini tidak berujung. Tempat apa ini?
Aku tersadar tak lama setelahnya. Ketiga bestie-ku dan teman-teman yang lain sudah mengerubungiku.
“Syukurlah, akhirnya kau sadar,” kata Divya. Ia tampak sangat khawatir.
Aku mendudukkan tubuhku. Katanya, aku tiba-tiba saja ambruk dengan kedua mata yang menatap lurus ke arah langit. Aku terdiam mematung seperti orang yang kesambet. Kata Citra, kedua iris mata cokelatku samar-samar berubah menjadi merah.
“Apa yang terjadi?” tanya Baskara.
Baru saja akan kujawab, tiba-tiba saja hidungku mimisan. Divya dan Citra panik, Baskara mengeluarkan sapu tangannya untuk diberikan kepadaku.
“Tenang, teman-teman. Aku baik-baik saja. Aku hanya … mendapatkan sebuah penglihatan. But it’s okay. I’m fine,” kataku.
Setelah aku tak lagi mimisan, kami memutuskan untuk pulang. Divya, Baskara, Citra dan teman-temanku yang lain mengkhawatirkan kondisiku. Seharusnya masih ada satu tempat lagi yang harus kami datangi, yaitu mal Sarinah. Kami mau makan malam di sana. Tapi, karena takut kejadian tadi terulang lagi, maka kami memutuskan untuk membatalkannya.
“Kau bersamaku,” ucap Baskara.
“Eh, bagaimana dengan Listy?” tanyaku.
“Aku sama Ibra, Ka,” sahut Listy yang sudah berdiri di belakangku. Ya, Ibra memang tidak membonceng siapa pun sebelumnya. Sedangkan Divya, dia akan mengendarai motornya sendiri. Tak perlu khawatir, dia setengah pria.
Akhirnya, kami pulang dengan aku yang dibonceng Baskara. Kondisiku baik-baik saja. Tak ada perasaan pusing ataupun mual. Tapi tetap saja, aku sangat memikirkan perihal penglihatanku tadi. Tempat apa itu? Kenapa aku bisa mendapatkan penglihatan seperti itu? Apakah ini sebuah pertanda?
Bersambung …