BAB 6: PENGHASILAN TAMBAHAN

3638 Words
Aku butuh penghasilan tambahan. Hidup di kota besar membutuhkan uang yang banyak. Apalagi, aku sekolah di sekolah pariwisata, otomatis harus sesering mungkin jalan-jalan. Mendatangi tempat-tempat baru hanya demi sebuah ilmu dan juga pengalaman. Wawasanku harus luas, aku harus banyak belajar. Tapi, tak mungkin aku meminta uang lebih pada Ibunda Ratu. Bukannya tidak mampu, beliau sangat mampu! Tapi, aku tak tega. Sebagai anak lelaki, aku harus bisa mandiri. Aku tidak boleh menyusahkan orang tua. Pekerjaan part time yang biasanya pihak sekolah buka untuk semua jurusan, kali ini hanya dikhususkan bagi jurusan perhotelan saja. Ya, sekolahku telah bekerja sama dengan banyak hotel-hotel bergengsi, sehingga cukup sering membuka lowongan pekerjaan part time bagi siswa siswi yang ingin mengikutinya. Bahkan, murid yang bukan berasal dari jurusan perhotelan pun diperbolehkan untuk mengikutinya, asalkan masuk kualifikasi HRD. Upahnya terbilang besar, apalagi kadang dibayar menggunakan dollar amerika. Aku sudah beberapa kali ikut, dan jujur, aku ketagihan. Lalu sekarang, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencari sugar aunty saja? Atau … sugar daddy? Wow! Tahan! Masih banyak pekerjaan baik yang bisa aku kerjakan. Kesampingkan dulu pekerjaan sesat itu. Lantas, apa yang harus aku kerjakan? “Arka,” panggil seorang senior. Dia adalah Kak Sabrina. Salah satu senior tercantik di sekolah ini. “Ya, Kak?” Aku menghampirinya. “Kau … anak indigo, kan?” tanyanya. “Ya … bisa dibilang begitu. Memangnya kenapa, Kak?” “Aku mau minta tolong. Kenalanku ada yang diganggu. Apakah kau bisa membantu? Tenang, ada bayarannya kok,” ujarnya. Pucuk dicinta, Lisa Blackpink pun tiba. Ini yang aku butuhkan. Tentu saja aku langsung menerimanya. “Berikan aku kontak dan alamat rumah kenalan Kakak,” pintaku. Kak Sabrina memberikan. Sepulang sekolah aku langsung mendatangi alamat yang Kak Sabrina berikan. Karirku sebagai dukun cilik ibukota akan dimulai dari sini. Bersiaplah, baby! Tapi, tunggu, apa sebaiknya aku menjadi penyanyi kafe saja, ya? Suaraku kan bagus. Mungkin penghasilanku akan banyak dari situ. Ah, kerjakan yang ada di depan mata dulu saja. Urusan penyanyi kafe bisa kupikirkan nanti. Lalu, bagaimana dengan Ibunda Ratu? Kalau beliau tahu aku menggunakan kekuatanku untuk pekerjaan ini, bisa-bisa nanti aku diceramahi 7 hari 7 malam. Biarkan lah. Akan kuurus nanti. Yang penting sekarang adalah uang, uang dan uang. Huwahahahaha! Aku berkenalan dengan kenalan Kak Sabrina, namanya Dodo. Seorang pengusaha muda. Dia wangi sekali. Wangi uang dan kekayaan. Ulala. Aku memanggilnya dengan sebutan mas. Dia awalnya meragukanku. Wajar saja, aku hanya anak SMA kelas 10. Terlalu bocah untuk disebut sebagai dukun. “Tenang saja, Mas. Aku sungguh bisa membantu,” kataku. “Jika gangguannya tidak pergi, Mas boleh kok tidak membayarku.” Mas Dodo mengangguk, mengiyakan. Tapi, raut wajah tidak percayanya masih terpampang jelas di sana. Mas Dodo bercerita kalau akhir-akhir ini adiknya yang bernama Joko dan pacarnya Wiwi, diganggu oleh entitas tidak dikenal. Entitas itu sering menampakkan diri di setiap hasil jepretan foto yang Mas Joko ambil. Banyak foto-foto Mas Joko yang juga tampak blur. Padahal, tidak ada masalah dengan kameranya. Mas Joko bekerja sebagai fotografer, dan karena gangguan ini, pekerjaannya jadi terancam. Banyak klien yang kecewa dengan hasil kerjanya. “Hanya itu? Lalu, bagaimana dengan pacarnya?” tanyaku. Wanita bernama Wiwi itu selalu diganggu tepat saat ia sedang sendirian. Kejadian seringnya saat ia sedang tidur atau sedang mandi. Teh Wiwi sering mengalami ketindihan, dan saat hal itu terjadi, sosok wanita bergaun putih selalu menampakkan dirinya di sudut ruangan. Namun, di kasus ketindihan terakhir, wanita itu duduk di atas tubuhnya. Wajahnya menatap lekat wajah Teh Wiwi. Hal ini tentunya membuat Teh Wiwi takut dan trauma. “Sosok yang meneror Wiwi persis dengan sosok yang selalu tertangkap di kamera Joko,” ujar Mas Dodo. “Boleh aku lihat hasil jepretan-jepretan Mas Joko?” “Tentu.” Mas Dodo langsung memberikan foto-foto hasil jepretan Mas Joko padaku. Tersusun rapi di dalam sebuah kotak boks. Jumlahnya sangat banyak. Kuperhatikan satu per satu foto, dan ternyata benar, ada sosok hantu wanita bergaun putih di sana. Itu bukan jin, melainkan arwah gentayangan. Arwah pendendam. “Di mana Mas Joko sekarang?” tanyaku. “Ada di kamarnya. Di lantai dua,” jawab Mas Dodo. “Kalau Teh Wiwi?” tanyaku lagi. “Kata Joko, dia ada di rumah kedua orang tuanya.” “Suruh Teh Wiwi ke sini. Sekarang,” pintaku dan langsung diiyakan oleh Mas Dodo. Selang satu jam, Teh Wiwi datang. Kami semua—Mas Dodo, Mas Joko, Teh Wiwi dan kedua orang tua Teh Wiwi—berkumpul di kamar Mas Joko. Aku mulai melontarkan pertanyaan pada dua sejoli itu. Apakah mereka tidak asing dengan sosok yang menghantui mereka? Awalnya mereka bungkam. Tapi, setelah kujejeli keduanya dengan pertanyaan yang sama selama berulang kali, barulah mereka mau buka suara. “Tiga bulan yang lalu, kami … tidak sengaja menabrak seorang wanita yang mengenakan gaun putih,” kata Mas Joko. “Lalu?” tanyaku. “Kami dengan tidak bertanggung jawab pergi meninggalkannya. Sepertinya wanita itu meninggal di sana,” ujar Mas Joko. Mas Dodo dan kedua orang tua Teh Wiwi sangat terkejut mendengar pengakuan Mas Joko. “Gila kau, Dek! Bisa-bisanya kau bertindak sejahat itu!” Mas Dodo membentak. “Aku panik, Mas! Saat itu aku sangat takut!” Mas Joko membela diri. Teh Wiwi hanya menunduk sembari menangis. Tampak jelas rasa penyesalan darinya. “Gila! Kau benar-benar gila! Akan kulaporkan kau ke pihak kepolisian!” Mas Joko yang mendengar itu langsing bersujud di hadapan Mas Dodo. Memohon agar tidak dilaporkan. Tapi, Mas Dodo teguh pada pendiriannya. Ia akan tetap melaporkan Mas Joko. Bagaimanapun juga adiknya itu harus bertanggung jawab. “Tenang, tenang.” Aku mencoba menengahkan. “Bukan wanita itu,” kataku. Semua orang bingung, terkhusus Mas Joko dan Teh Wiwi. “Maksudnya?” tanya Mas Dodo. “Sosok yang kulihat di foto sepertinya sudah wafat sangat lama. Jadi, bisa kusimpulkan, bahwa sosok yang mengganggu bukanlah wanita yang Mas Joko tabrak tiga bulan lalu. Melainkan sosok lain. Bahkan, ada kemungkinan wanita yang ditabrak itu masih hidup sampai sekarang,” jelasku. “Sosok lain? Siapa?” Mas Dodo meremas rambutnya. Kepalanya pusing. “Tanya adik Mas. Dia pasti tahu,” kataku. Mas Dodo menatap tajam Mas Joko. Pemuda yang ditatap itu hanya menunduk ketakutan. Sepertinya benar dugaanku. Ada sesuatu yang Mas Joko tutupi. Setelah terus dicecar bahkan diancam oleh Mas Dodo, akhirnya Mas Joko mau buka suara. Ia mengatakan rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Rahasia 5 tahun lalu. Tentang seorang gadis bernama Sasa. “Sasa … dia pacarku saat masih SMA. Dia sangat mencintaiku. Tapi, tidak denganku. Aku hanya memanfaatkannya. Aku hanya menjadikannya sebagai bahan pelampiasan nafsuku. Dan hal ini kulakukan terus menerus hingga kami lulus dan berpisah. Kami lost contact setelah itu. Dan sampai sekarang aku tak tahu kabarnya,” ujar Mas Joko. Semua orang terkejut bukan main, terkhusus Teh Wiwi. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan wajah syoknya. Mas Dodo bangkit dari kursi dan lalu meninju wajah Mas Joko. Ia mengumpat. Mas Joko tidak melawan. Sepertinya ia tahu kalau ia salah. “Lalu bagaimana sekarang?” tanya Mas Dodo padaku. Karena aku yakin bahwa sosok yang mengganggu Mas Joko dan Teh Wiwi adalah wanita bernama Sasa—mantan Mas Joko—maka hanya ada satu jalan yang bisa aku lakukan. Yaitu, berkomunikasi dengannya, dengan Sasa. Ritual pemanggilan jiwa pun dilakukan. Di halaman belakang rumah Mas Dodo. Orang-orang yang sama masih setia menunggu. Tenang, tidak ada tumbal atau pengorbanan ini itu. Aku hanya perlu memanggil arwah Sasa. Dengan lonceng sebagai media pemanggil, aku memulai ritual pemanggilan arwah. “Sasa, jika kau ada di sini. Maka tampakkanlah dirimu.” Ting! Kupukul lonceng setelah mengatakan hal tadi. “Sasa, jika kau ada di sini. Maka tampakkanlah dirimu.” Ting! Kuulangi lagi. Terus dan terus. Hingga sosok yang ditunggu-tunggu datang. Sasa menampakkan dirinya di hadapan kami. Semua orang dapat melihatnya. Sosok wanita bergaun putih dengan wajah yang sangat menyeramkan. Kulitnya biru kehitaman. Baunya sangat busuk. Bau bangkai bercampur bau anyir darah. Sungguh, dia adalah arwah pendendam. Aku harus waspada. “Baik, aku akan mulai berkomunikasi,” kataku pada semuanya. Namun, baru saja aku akan menyapa Hantu Sasa, hantu wanita itu langsung terbang menghampiri Mas Joko. Ia terlihat sangat marah. Cakar-cakar panjang hitamnya keluar. Siap mencabik. Beruntung, aku sempat membuat lingkaran penangkal menggunakan air yang kubacakan mantra. Sehingga Hantu Sasa tidak dapat menyergap Mas Joko yang kini jatuh terduduk karena takut. Hantu Sasa berusaha menjebol pertahanan lingkaran penangkal. Ia mencakar, memukul, menendang, bahkan menggunakan suara teriakan amarahnya. Tapi, semua itu sia-sia. Penangkal yang kubuat sangatlah kuat. “Tenanglah. Tahan amarahmu,” kataku. Berusaha menenangkan Hantu Sasa. “Berengsek!” Tapi, hantu itu malah mengumpat. “Karena kau hidupku berantakan! Karena kau aku kehilangan segalanya! Dan karena kau aku kehilangan nyawa!” Amarah Hantu Sasa meledak-ledak. Ia menunjuk-nunjuk Mas Joko yang masih terduduk diam. “Semua gara-gara kau!” Satu cakaran kuat berhasil merobek pertahanan lingkaran penangkal. Amarah yang menggebu-gebu membuat kekuatan Hantu Sasa meningkat sangat pesat. Tapi tenang, aku berhasil memperbaikinya. Setelah Hantu Sasa agak tenang, barulah aku memulai sesi komunikasi. Di sinilah fakta yang sebenarnya terungkap. Alasan di balik teror Hantu Sasa. “Dia menyebarkan foto-foto telanjangku! Menyebarkan videoku saat sedang berhubungan badan! Dan dia jugalah yang telah memberikanku pada teman-temannya untuk diperkosa beramai-ramai! Dialah orang yang telah menghancurkan hidupku! Menghancurkan hati orang tuaku! Dia yang telah membunuhku!” Ternyata, Mas Joko adalah dalang dari meninggalnya Hantu Sasa. Tidak seperti yang Mas Joko katakan sebelumnya. Setelah lulus sekolah, Mas Joko tidaklah lost contact dengan Sasa, mereka masih berhubungan. Mas Joko memiliki fantasi liar yang agak menyimpang. Ia suka berhubungan badan dengan satu wanita, tapi pria lain juga harus menyicipi wanita tersebut. Bisa dibilang, satu lubang ramai-ramai. Ia meminta agar Sasa mengikuti fantasinya. Karena terlalu cinta, Sasa pun menurut. Mereka melakukannya berkali-kali. Setelah berbulan-bulan berlalu, Sasa yang muak dan merasa hanya dimanfaatkan, memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka. Tapi, Mas Joko yang tidak terima malah menyebarkan video asusila yang hanya terpampang wajah Sasa di sana. Hal ini jelas membuat kehidupan Sasa hancur, pun dengan hati kedua orang tuanya. Nama dan keluarganya tercoreng. Sejak saat itu hidup Sasa seperti di neraka. Malang, saat Sasa menemui Mas Joko untuk mempertanggung jawabkan semuanya, Sasa malah diperkosa beramai-ramai hingga meninggal dunia. Mas Joko dan teman-temannya yang tidak mau kejahatan dan kebejatan mereka terbongkar, lantas membuang jasad Sasa di tempat terpencil dan tersembunyi. Saking tak terlacaknya tempat tersebut, hingga sekarang keberadaan Sasa tidak ditemukan. Ia masih dinyatakan hilang. Tak ada yang tahu bahwa gadis malang itu sudah meninggal. Aku langsung menatap Mas Joko. “Benar apa katanya?” Mas Joko diam. Tak menjawab. Kuhampiri dia. Aku berniat meninjunya. Tapi— Buakh! Mas Dodo sudah lebih dulu melakukannya. Satu, dua, hingga belasan pukulan mendarat di wajah Mas Joko. Pukulannya sangat kuat. Wajah Mas Joko bengap, tidak dikenali. Di sini akhirnya Mas Joko mengakui seluruh kesalahannya. Ia menyesal. Ia meminta maaf. “Maafkan aku. Aku salah. Aku mengaku salah. Maafkan aku, Sa. Maafkan aku.” Mas Dodo kembali memukulinya. Mas Joko masih terus meminta maaf. Aku buru-buru melerai, takut Mas Joko tewas dipukuli kakaknya sendiri. “Dasar berengsek! Kau pantas mati!” ucap Mas Dodo. Buru-buru aku tenangkan. Dengan wajah yang bengap dan penuh luka berdarah, Mas Joko bersujud di hadapan Hantu Sasa. Ia sungguh-sungguh meminta maaf. Ia benar-benar menyesal. “Kau pantas menghukumku! Kau pantas melakukan apa pun padaku! Aku akan terima semuanya! Aku akan terima! Bahkan jika harus mati sekalipun!” Aku, Mas Dodo, Teh Wiwi dan kedua orang tuanya hanya bisa diam, menyaksikan semua itu. Aku yang memimpin ritual pun tak sampai hati ikut campur. Entah, aku sudah tidak memiliki minat untuk menolong Mas Joko. Biarlah, jika Hantu Sasa mau membawa jiwanya. Aku rela. Secara mengejutkan, Hantu Sasa yang marah menangis. Air mata darahnya turun, membasahi pakaian putihnya yang kotor. “Kau begitu jahat kepadaku. Padahal, aku sangat menyayangimu.” Aku memutuskan untuk menonaktifkan lingkaran penangkal. Tak ada lagi dinding pembatas antara Mas Joko dan Hantu Sasa. Mas Joko yang masih bersujud dihampiri oleh Hantu Sasa. Walau menangis, cakar-cakar runcingnya masih keluar. Ia masih dalam mode menyerang. Baik aku, Mas Dodo, Teh Wiwi dan kedua orang tuanya, tak berniat untuk melindungi Mas Joko. Biarkan takdir yang berbicara. “Maafkan aku,” ucap Mas Joko. Masih bersujud. Hantu Sasa mengangkat tangan kanannya ke udara, siap menyerang Mas Joko. Cakarnya memanjang, sangat runcing. Aku membuang pandangan ke arah lain. Aku tak sanggup melihat. “Aku takkan pernah memaafkanmu. Selamanya, aku akan membencimu,” ucap Hantu Sasa. Tak bisa! Aku kembali mengalihkan pandanganku, menatap ke arah Hantu Sasa. Mengejutkan. Bukannya menyerang, Hantu Sasa malah menurunkan tangannya, memasukkan cakarnya. Wujudnya yang mengerikan, perlahan berubah menjadi sosok gadis yang cantik jelita. Wajahnya polos, sorot matanya begitu teduh. Ia menatap Mas Joko dengan tatapan benci dan sedih yang begitu kentara. “Aku akan terus membencimu, bahkan sampai kita bertemu lagi di neraka.” Kemudian, Hantu Sasa menatapku, sebelum akhirnya beralih menatap Mas Dodo. “Tolong hukum dia untukku,” kata Hantu Sasa pada Mas Dodo. “Tolong tegakkan keadilan untukku.” “Buat aku tenang,” pintanya. Mas Dodo mengangguk. Mengiyakan. “Akan kulaporkan si berengsek ini ke pihak yang berwajib. Akan kupastikan, dia dan orang-orang yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Aku janji,” kata Mas Dodo. Hantu Sasa tersenyum. Amarah dan dendam di dalam dirinya perlahan menghilang. Dia bukan lagi arwah pendendam, kini dia hanya arwah biasa yang telah mendapatkan keadilan. Ia telah menyerahkan semua urusannya pada Mas Dodo. “Terima kasih,” kata Hantu Sasa. Kemudian, ia memberitahukan lokasi tempat jasadnya dikubur pada kami. Ia ingin agar Mas Joko dihukum sesuai hukum yang berlaku. Sanksi sosial. Ia ingin itu. Biar dunia yang menghukumnya. Semuanya telah usai. Kini, Hantu Sasa bisa beristirahat dengan tenang. Urusannya sudah selesai. Perlahan, eksistensi Hantu Sasa mulai menghilang. Sebelum benar-benar lenyap meninggalkan Alam Fana, hantu Sasa menatap ke arah Teh Wiwi lekat-lekat. Cukup lama sembari tersenyum. Bukan senyum mengancam atau sebagainya, tetapi sebuah senyuman tulus. Sepertinya ia meminta maaf pada Teh Wiwi, karena telah mengganggunya. Teh Wiwi pun merespons dengan sebuah anggukan. Tampaknya ia paham dengan apa yang dirasakan oleh Sasa. Ia turut menyesal dan berduka. Hantu Sasa telah pergi. Arwah gentayangan itu sudah tenang. Mas Joko menangis sesenggukan sembari masih bersujud. Teh Wiwi dan keluarganya memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, ia tak lagi menjadi kekasih Mas Joko. Hubungan keduanya telah berakhir. Sedangkan Mas Dodo, dia akan melaksanakan janjinya pada Sasa, memenjarakan adiknya dan juga teman-temannya. Keadilan akan ditegakkan. “Ayo.” Mas Dodo mengajakku pergi. Aku mengiyakan. Kami meninggalkan Mas Joko yang masih menangis sesenggukan di sana. Jujur, aku benci dia. Pekerjaan pertamaku sebagai dukun cilik ibukota berjalan dengan lancar. Mas Dodo memberikanku bayaran dengan nominal yang sangat fantasis. Jauh di atas harga yang dijanjikan di awal. “Ini benar untukku semuanya, Mas?” tanyaku memastikan. “Ya,” jawab Mas Dodo. “Karenamu, masalah yang menimpa keluargaku terselesaikan. Aku juga jadi tahu sosok adikku yang sebenarnya. Terima kasih,” katanya. Aku pun mengucapkan terima kasih padanya dan lalu menyemangatinya. Aku yakin, dia pasti merasa sangat kecewa pada Mas Joko. “Bagaimana dengan jasad Sasa?” tanyaku. “Biar aku yang urus. Kamu tidak perlu membantu,” katanya. Aku mengerti. Aku pulang setelahnya. Pukul sepuluh malam aku baru sampai di kosan. Lelah sekali. Tapi, rasa lelah ini terbayarkan dengan jumlah uang di rekeningku yang meningkat secara drastis. Aku sungguh tidak menyangka menjadi dukun ternyata bisa begitu menjanjikan. Sepertinya, aku harus mencari orang-orang yang membutuhkan jasaku lagi. *** Dua hari kemudian. Aku mendapatkan job untuk menangani orang yang kesurupan. Yes, baby! Dukun Cilik Ibukota kembali beraksi! Di rumah yang kudatangi kali ini terdapat seorang mahasiswa abadi berambut mie yang sedang berteriak keras menggunakan bahasa sunda. Ia sesekali melompat ke sana kemari, kejang-kejang, lari-larian tak tentu arah, kayang, sikap lilin, lompat harimau, sampai dance Blackpink: Let’s Kill This Love—tubuhnya benar-benar lentur seperti pensil inul. Dan, sama seperti Mas Dodo sebelumnya, kedua orang tua beserta keluarga si mahasiswa—akan kupanggil si Rambut Mie—tidak percaya dengan integritasku sebagai Dukun Cilik Ibukota. Ya, aku tahu, wajah setampanku seharusnya debut menjadi anggota boyband Korea. Seketika aku langsung membayangkan Citra yang memanggilku dengan sebutan oppa. Kya! Jijik sekali! “Mas, benar orang pintar?” tanya paman dari si Rambut Mie. “Bukan, Pak. Saya penjual cilok.” Kami terdiam dan saling tatap. Cukup lama. Keadaan hening. Orang-orang ikut mematung, menatap kami. Jangkrik mulai mengambil alih. Ia mulai bernyanyi. Suaranya memenuhi ruangan. Sampai akhirnya, aku memecah keheningan. “Ya, jelas saya orang pintar lah, Pak! Mana mungkin saya jauh-jauh datang ke sini untuk jualan cilok?! Kan tidak masuk akal!” kataku. Meledak-ledak. “Ampun, Mas. Ampun.” Si Paman bersujud. Ia tampak takut dan menyesal. “Tolong berpikir rasional sedikit! Bapak sudah tua! Sebentar lagi kembali ke tanah!” kataku lagi. Si Paman lalu menciumi kakiku. Terus meminta ampun. Rasakan kemarahanku! Bercanda, semua hal tadi hanya ada di dalam kepalaku. Yang terjadi sebenarnya hanya percakapan normal biasa. Kini, aku berusaha fokus untuk menangani si Rambut Mie. “Aing maung!” “Aing maung!” “Aing maung!” “Rawr!” Si Rambut Mie terus mengatakan kata-kata yang sama berulang kali. Minim sekali kosakatanya. Jika benar dia kesurupan, bisa jadi jin yang merasukinya adalah jin sunda imigran dari Bekasi. Wajah si Rambut Mie sampai memerah karena terus berteriak dan ngeden. Apa dia tidak takut poop di kasur, ya? Urat lehernya sampai kelihatan. Aku takut dia kena hernia. Orang tua si Rambut Mie menangis histeris. “Oh, anak kami yang malang,” kata si Ibu. “Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa kamu jadi begini? Kamu sudah jelek, dekil, upil saja lebih menarik daripada kamu. Eh, sekarang kamu malah kesurupan. Kan jadi tambah tidak good looking,” kata si Bapak. Si Ibu berhenti menangis sesaat. Menatap tajam si Bapak. “Eh, iya maaf, Bu. Bapak salah ngomong.” Keduanya kemudian lanjut menangis lagi. Meraung-raung. “Sadar, Nak. Sadar! Bapak dan Ibu di sini.” Air mata si Ibu sungguh tak terbendung. “Iya, Nak. Sadar! Kalau kamu sadar, bapak akan nikah lagi sama Mbak Riri. Bapak janji!” kata si Bapak. Si ibu lagi-lagi berhenti menangis. Menatap tajam si Bapak untuk kedua kalinya. “Berani kau ya menikah sama janda itu?” Kedua mata si Ibu melotot. Salah sedikit saja, biji matanya pasti akan keluar. “Ampun, Bu. Bapak kan hanya bercanda. Kali saja dengan kata-kata Bapak tadi, anak kita bisa sadar.” Si Bapak melakukan pembelaan. “Tak ada! Lebih baik anak kita terus kesurupan daripada Bapak nikah lagi sama janda itu!” Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Keluarga macam ini? Seaneh-anehnya Ibunda Ratu, beliau hanya akan menyuruhku menyiram tanaman cabai di halaman belakang rumah di saat cuaca sedang turun hujan. Kuhampiri Si Rambut Mie. Kutatap kedua matanya, kuterawang ke dalam batinnya, kuperiksa tekanan darah dan auranya. Lalu, aku pun mengambil kesimpulan. Dia hanya berpura-pura. Kujambak kasar rambut mienya kuat-kuat. Si Rambut Mie berteriak kesakitan. “Anak Bapak dan Ibu cuma pura-pura kesurupan. Dia sadar seratus persen! SERATUS PER—SEN!” jelasku. Kedua orang tua si Rambut Mie tidak percaya. Mereka mengira aku salah diagnosis. Si Paman bahkan menghinaku, dengan mengatakan kalau aku adalah dukun gadungan. “Aing maung!” “Aing ma—“ “Cicing!” Belum selesai si Rambut Mie mengucapkan kata-katanya, aku langsung memotong “Mau berhenti, atau aku smack down!?” Aku mengambil ancang-ancang. Siap menjungkir balikkannya. Si Rambut Mie yang ketakutan akhirnya menyerah dan kemudian mengaku kalau ia hanya berpura-pura kesurupan. “Lagian, Bapak tidak mau membelikanku Ipong!” katanya. Jadi, semua ini hanya karena sebuah ponsel dengan logo buah digigit? Benar-benar menyebalkan. Si Rambut Mie ini sudah menyita waktu dan tenagaku. Mana perjalanan dari rumahku ke sini sangat macet. Harus melewati jembatan dengan sungai deras di bawahnya pula. Aku sungguh tak bisa menahan rasa kesalku. Aku mulai prengat-prengut. Si Bapak dan si Ibu yang marah lantas menghukum si Rambut Mie. Mereka pergi ke kamar, meninggalkanku dan si Paman. Si Paman yang sempat mengataiku dengan sebutan dukun gadungan, kini meminta maaf. Aku tidak mempermasalahkannya. Sebagai rasa terima kasih, ia membayarku lebih. Seketika wajah prengat-prengutku hilang, berubah jadi wajah cerah ceria. “Nah, begini baru saya senang,” kataku. Mencium amplop berisi uang yang sangat harum. Aroma khas minyak angin cap kapak. Serasa mencium bau orang tua. Hari-hari berlalu dan pekerjaan sampingan ini terus kujalani. Tak kusangka, hasilnya bisa menyejahterakan hidupku. Tapi ya, cukup menguras tenagaku juga. Apalagi jika aku harus menangani kasus gaib yang sangat sulit. Energiku bisa benar-benar terkuras habis dan hal ini bisa mengganggu proses belajarku di sekolah. Sepertinya aku harus mulai membatasi pekerjaan ini. Bagaimanapun juga aku harus mengutamakan sekolah. Tujuan utamaku merantau kan untuk itu. Sebulan lebih seminggu berlalu. Di sekolah, aku menemui Sulastri dan bercerita tentang pekerjaan sampinganku. Seperti biasa, ia mendengarkan ceritaku dengan seksama. Aku terus bercerita, hingga tiba-tiba saja tubuh Sulastri mengalami glitch. Wujudnya sempat menghilang sepersekian detik selama beberapa kali. Sebelum akhirnya kembali normal seperti sedia kala. “Kenapa? Apa yang terjadi?” tanyaku. Agak panik. Dengan raut wajah yang terlihat bingung, Sulastri menjawab, “Aku … ingat sesuatu.” Kaget, itu reaksiku. Sepertinya puzzle ingatan Sulastri semasa hidupnya kembali muncul. Sebuah momen penting! “Sebelum gantung diri … seseorang sempat … menyiksaku,” katanya. “Apa lagi yang kau ingat?” Aku berusaha mengorek informasi. Mungkin saja ada puzzle ingatan lain yang muncul. “Rasanya … sakit sekali.” Lagi, tubuh Sulastri mengalami glitch. Sulastri tampak berusaha mengingat-ingat, namun glitch yang terjadi pada tubuhnya malah semakin parah. Ia tampak seperti layar televisi yang mengalami eror. Jiwa arwah gentayangan itu mulai menipis dan hampir menghilang. Melihat itu aku langsung menghentikannya. “Stop! Jangan dipaksakan! Aku yakin, ingatanmu pasti akan kembali pulih suatu hari nanti!” Sulastri mengangguk, mengiyakan. Hantu wanita itu tak lagi berusaha mengingat-ingat. Fyuh! Hampir saja. Karena kejadian ini aku langsung penasaran akan kisah Sulastri semasa hidupnya. Menurutku, banyak hal yang terbilang janggal dan harus diselidiki. “Sepertinya aku harus mulai mencari dan mengumpulkan informasi tentang Sulastri,” batinku. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD