BAB 7: PENSI

3006 Words
Okay, tiba-tiba saja aku, Divya, Baskara, Citra dan Ibra diangkat menjadi anggota OSIS. Setelah seminggu lebih ditatar, digembleng dan dilantik, akhirnya kami resmi menjadi anggota OSIS yang mewakili kelas 10. Wow, keren sekali. Kami akan semakin terkenal dan capek. Kata Yoga dan Zain, “Selamat, sekarang kalian adalah b***k sekolah.” Dan, tidak butuh waktu lama setelah keduanya mengatakan hal itu, kami harus mengurusi kegiatan Pensi—Pentas Seni—yang diharuskan berjalan semewah mungkin. Hem, hari-hari p********n kami akan dimulai dari sekarang. Hari-hari yang berat untuk mencari sponsor. Walau sudah terkumpul cukup banyak uang dari donatur alias orang tua murid—menurutku jumlahnya banyak, toh yang bersekolah di sini kebanyakan anak-anak orang kaya—tapi, pihak sekolah merasa masih kurang. “Kita harus buat acara Pensi tahun ini jauh lebih megah dan jauh lebih paripurna daripada tahun lalu,” kata Pak Ahmad, wakil kepala sekolah. Bu Haryati bangkit. Ia menyarankan sesuatu. “Kita harus mengundang Raja Dangdut Rhoma Malkist Abon. Pasti akan meriah,” katanya dengan semangat 45. “Maaf, Bu Har, tapi yang benar Rhoma Sari Gandum,” sergah Mba Ann, staf tata usaha. Aku tepok jidat. “Ibu-ibu, bapak-bapak, dua-duanya salah.” Citra maju. Syukurlah dia mau mengoreksi. “Yang benar itu Rhoma Sandwich.” Seketika aku ingin me-smack down Citra. Sedangkan Divya sudah siap dengan cangkul saktinya. Tak ada satu pun dari mereka yang benar. Baskara maju, sepertinya ia juga berniat untuk mengoreksi. Tapi, karena takut salah lagi, maka akulah yang mengajukan diri untuk maju. Aku akan menjadi pahlawan. “Maaf semuanya, tapi yang benar itu Rhoma Irama.” “Ohhhhhhhhhh,” kata semua orang. Kompak. Satu nada. Menggema di satu ruangan. Kemudian tepuk tangan meriah terdengar. Bersahut-sahutan. Mereka semua mengapresiasiku. Aku terharu. Apakah sekarang aku akan diangkat sebagai menteri pendidikan karena kecerdasanku? Sepertinya tidak. “Pokoknya Pensi tahun ini harus amazing! Titik!” kata Pak Ahmad kembali menekankan. Ai yo yo. Ribet sekali. Karena itulah seminggu terakhir ini aku dan anggota OSIS lainnya sibuk mencari sponsor di tengah-tengah kegiatan belajar kami yang padat. Lelah, benar-benar lelah. Kulitku pun agak menghitam karena terus terpapar sinar matahari. Beruntung wajahku masih terlihat tampan. Malahan kata orang-orang aku terlihat lebih seksi dengan kulit tan-ku ini. Jadi, tak masalah. Berbeda dengan Baskara yang malah terlihat seperti kuli setelah kulitnya menghitam. Ia jadi lebih garang. Setelah 3 bulan perjuangan, akhirnya belasan sponsor mau mendanai acara Pensi kami. Dana yang terkumpul sangat banyak, sehingga kami bisa mengundang bintang tamu-bintang tamu terkenal, salah duanya adalah Tulus dan Raisa. Oh, aku sangat ngefans dengan Bang Tulus. Ingin rasanya aku berduet dengannya. Menyanyikan lagu-lagunya. Pasti akan sangat seru dan berkesan. Lega, senang dan bahagia, lelah kami terbayar setelah Pak Ahmad bilang, cukup. Kini, kami tinggal fokus di jalannya acara. Aku dan Baskara ditunjuk sebagai MC alias Master of Cuap-cuap. Bukan ya, tapi Master of Ceremony. Kami tidak keberatan, malah senang. Toh, kami memang pandai dalam hal tersebut. Divya, Citra dan salah satu anak perhotelan bernama Kayla ditempatkan di seksi dokumentasi. Ibra dan dua anak perhotelan, yaitu Nina dan Imam ditempatkan di seksi konsumsi. Masih banyak lagi seksi-seksi yang bertanggung jawab meng-handle jalannya acara. Sedangkan ketua yang memegang penuh tanggung jawab seluruh acara Pensi ini adalah senior kelas 11 yang bernama Asyraf. Senior kelas 12—angkatan Kak Ina dan Kak Ara—hanya membantu sedikit. Mereka sudah disibukkan dengan ujian-ujian kelulusan yang memusingkan. Acara Pensi sendiri akan dilaksanakan di ruang aula serba guna yang berukuran sangat luas selama dua hari. Kira-kira bisa menampung sampai ratusan orang. Tiket masuk untuk orang-orang dari luar sekolah seharga 30 ribu rupiah, belum termasuk uang parkir motor dan mobil. Para murid dan penghuni sekolah gratis. Alumni-alumni yang datang digratiskan, karena mereka masih masuk hitungan sebagai warga sekolah. Hari H pun tiba. Waktunya Jakarta Wisata ArtFest mengguncang Jakarta dan sekitarnya. Ramai. Banyak orang yang datang. Para alumni dari berbagai angkatan, anak-anak Global Indonesia, warga sekitar sini, remaja-remaja dari sekolah lain, bahkan mahasiswa/mahasiswi dari universitas-universitas ternama semuanya berkumpul di sini. Ternyata, Pensi sekolahku memang sudah terkenal di kalangan orang-orang. Wajar kalau Pak Ahmad menginginkan agar acaranya tampak sangat wow dan luar biasa. Ia tak ingin reputasi sekolah kami turun. “Siapa namamu?” tanya gadis cantik bertubuh aduhai. Rambutnya hitam panjang lurus. Gaya pakaiannya begitu fashionable. Wangi parfumnya begitu semerbak. Tubuhnya tinggi. Namanya Lyodra, alumni sini, dua tingkat di atas angkatan Kak Ina dan Kak Ara. Ia menatapku dengan penuh minat. “Arka,” kataku. “Kelas berapa?” tanyanya lagi. “Kelas 10, Kak,” jawabku. Ia mengeluarkan ponselnya, meminta kontakku. Namun, Kak Ina dan Kak Ara tiba-tiba saja datang dan langsung menarik Kak Lyodra pergi. “Eh, eh? Ada apa ini?” Kak Lyodra tampak bingung. “Ayo, Kak. Kita beli pentol,” kata Kak Ina. “Pentolnya enak. Ada taburan emas hasil korupsi di atasnya,” timpal Kak Ara. “Tidak mau! Aku ada urusan!” ucap Kak Lyodra. “Lepaskan aku!” Tapi, Kak Ina dan Kak Ara tidak menggubris. Keduanya terus menyeret Kak Lyodra hingga mereka benar-benar menghilang dari pandangan. Fyuh, aku selamat. Jujur, aku takut dengan wanita seperti Kak Lyodra. Wanita bernafsu tinggi. Eits, tapi hal ini tidak berlangsung lama. Karena, sesaat kemudian alumni-alumni lain datang menghampiriku. Berkenalan dan lalu meminta kontak dan nama akun sosmed-ku. Aku hanya memberikan nama akun sosmed, untuk kontak, tidak. Aku tak mau memberikan kontakku pada sembarang orang. Setiap orang punya privasi, bukan? Aku, Divya, Baskara dan Citra menyapa Akka, Bahrudin, Berto dan Avi yang ternyata juga datang ke sini. Sudah lama kami tidak bertemu dengan mereka. Avi terlihat semakin cantik. Tunggu, kenapa hari ini dia terlihat sedikit feminim? Maksudku, gaya berpakaiannya. Dulu dia berpakaian layaknya laki-laki, dan cenderung cuek. Tapi, hari ini dia seperti memperhatikan penampilannya. “Avi rela berpakaian seperti itu agar terlihat cantik di hadapanmu,” kata Bahrudin padakku. Aku kaget. Avi juga. “Udin!” Avi langsung meninju pundak Bahrudin. Suaranya terdengar keras. Bahrudin mengaduh, tapi sembari cengengesan. Sedangkan Avi, wajahnya berubah merah. Ia sepertinya malu. “Tapi, kamu memang sudah cantik kok, Vi,” kataku. Wajah Avi semakin memerah. Ada apa ini? “Hai.” Naraya datang menyapa. Ia tak sendiri. Maya bersamanya. Seperti biasa, mereka berdua terlihat sangat cantik. Akka dan Bahrudin mematung. Aku tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Pasti mereka sangat terpesona pada kecantikan tak tertandingi milik Naraya dan Maya. Ya, sama. Aku dan Baskara juga. Kami sama-sama terpesona. Naraya menghampiriku dan lalu membetulkan kerah bajuku. Katanya, kerah bajuku terlipat. Agak gugup, tapi aku tetap mengucapkan terima kasih. Semenjak hari itu—hari kami touring keliling kota Jakarta, entah kenapa aku merasa kalau Naraya semakin perhatian padaku. Hal-hal sepele seperti kerah baju, atau tutup bolpoin yang hilang sangat ia perhatikan. Untungnya aku sudah move on. Jadi, aku tidak terbawa perasaan saat ia melakukan semua itu. Tunggu, apa ini? Aku merasakan sesuatu. Rasanya tidak nyaman. Kutatap Avi yang kini memasang wajah sinis. Ada apa dengannya? “Jalan-jalan ke Buperta.” “Cakep!” “Singgah sebentar melihat menara.” “Artinya apa, Bang Arka?” “Pagi ini saatnya kita berpesta.” “Siapkan suara untuk sorak gembira!” Aku membuka acara Jakarta Wisata ArtFest hari pertama dengan pantun dan disambut meriah oleh para penonton. “Hai, ganteng! Bisa kali nomor teleponnya! Pekik seseorang dari arah tribun. Dia meneriakiku. Senang? Tentu tidak. Karena yang berteriak tadi ada laki-laki dengan bedak menor di wajahnya. Jika kukumpulkan bedaknya, mungkin aku bisa membuat adonan cakwe. Seperti acara-acara besar pada umumnya, acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari orang-orang penting—kepala sekolah, ketua OSIS dan lain sebagainya. Aku cukup terkejut saat Pak Ahmad mengenakan baju berwarna kuning ngejreng dan celana berwarna senada. Sangat menyilaukan mata. Dia terlihat paling nyentrik, bahkan mengalahkan bintang tamu. Jujur, di mataku, beliau terlihat seperti lemon berjalan. Acara dilanjutkan. Kini penampilan-penampilan eksklusif dari siswa siswi SMK Jakarta Wisata yang mengikuti ekskul modern dance, tari tradisional dan musik. Wow, tak kusangka sambutan dari penonton sangat baik. Begitu heboh dan meriah. Apalagi saat band sekolah kami yang bernama Yang Penting Band tampil. Para gadis menjerit keras. Sebelum penampilan bintang tamu utama, bintang tamu-bintang tamu lainnya akan lebih dulu mengisi acara. Band-band dan penyanyi-penyanyi pendatang baru—dari tidak terlalu terkenal sampai yang lumayan terkenal menampilkan penampilan terbaik mereka. Salah satunya berhasil memecah acara dengan sukses. RoketRokers! Itu nama bandnya. Sebuah band baru beranggotakan 5 mahasiswa. Lagu-lagunya bagus, penampilan yang disuguhkan unik dan energik, dan yang terpenting personelnya yang tampan-tampan itu sangat berbakat. Aku dan yang lain tak henti-hentinya mengangguk-anggukan kepala saat mereka tampil. Baskara dan Citra bahkan sampai naik ke atas toren, joget-joget liar untuk menarik perhatian. Beruntung, Divya dan cangkul saktinya berhasil menyadarkan mereka dari kesesatan iblis yang menjerumuskan. Tenang, kejadian tadi adalah palsu. Ingat, aku suka mengarang. “Iya, itu dia perform dari band Sayap Kiri. Beri tepuk tangan,” kata Baskara. “Sebelum lanjut ke penampilan berikutnya, buat kalian-kalian nih jangan lupa mampir dan jajan di booth-booth yang ada. Tenang, harganya murah-murah, ramah di kantong pula. Soal rasa udah pasti enak. Dijamin puas!” ucapku. Mempromosikan booth-booth makanan dan minuman yang ada. Bagaimanapun juga mereka sudah mengeluarkan uang untuk menyewa tempat di sini. Minimal, mereka harus pulang dengan membawa untung, walaupun sedikit. “Betul nih. Yuk, jajan, yuk,” timpal Baskara. Penampilan dari para bintang tamu kembali berlanjut. Hingga tibalah malam. Kini, giliran bintang tamu-bintang tamu ternama yang ujung gigi. Bukan, mereka bukan vampir. Suasana semakin seru dan meriah. Semuanya memuncak saat giliran Raisa yang tampil. Penyanyi lagu Terjebak Nostalgia itu tampak cantik. Ia menyapa para penonton dengan ramah. Semua orang histeris. “Itu Raisa! Raisa! Aaaaa!” Begitulah kata orang-orang. For your information, di belakang panggung, aku dan Raisa mengobrol cukup lama. Tak hanya dengan Raisa, tapi juga dengan bintang tamu-bintang tamu lainnya. Bahkan, kami saling balik mengikuti di akun sosial media. Kini, salah satu pengikutku adalah Raisa. Uhuy! Relasiku semakin luas. Tak hanya itu, pengikut instagramku hari ini meningkat, membludak drastis. Para alumni dan orang-orang yang tidak kukenal mengikutiku. Beberapa meminta mengikuti balik, tapi hanya yang kukenal saja yang aku ikuti balik. Seperti alumni, misalnya. Atau tukang risol ayam yang warungnya ada di seberang sekolah. Saat Raisa tampil, suasana berubah sendu. Mode galau kini telah diaktifkan. Semua orang ikut bernyanyi, menggalau bersama Neng Yaya. Naraya tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahku. Si Ratu Galau—julukanku untuk Naraya—mulai bernyanyi, mengikuti alunan musik dan suara Raisa. Aku hanya bisa tersenyum. Urusan galau-menggalau memang Naraya juaranya. Pensi hari kedua dimulai. Aneh. Ini firasatku saja atau Divya dan Ibra terlihat so sweet? Mereka terlihat sangat dekat seperti dua sejoli yang sedang memadu kasih. Dari hari pertama hingga hari ini—tidak, tidak, bahkan dari awal kita mencari sponsor. Mereka jadi lengket. Seperti ada lem yang merekatkan mereka. Lebih aneh lagi Baskara. Tiba-tiba saja wajahnya cemberut. Suasana hatinya sepertinya sedang buruk. Ada apa dengannya? Sama seperti hari pertama, semua berjalan sangat lancar. Dari pembukaan hingga penampilan para bintang tamu. Sampai malam tiba, kini giliran idolaku tampil. Siapa lagi kalau bukan Bang Tulus! Yeah! Dia akan menyanyikan beberapa lagunya yang sedang hits, salah satunya adalah Sepatu. Pada hari Minggu kuturut Ayah ke kota. Naik delman istimewa kududuk di muka. Kududuk samping Pak Kusir yang sedang berdoa. Mengendarai kuda supaya ngepot jalannya. Hey! Tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk. Tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, suara sepatu kuda. Kira-kira bukan begitu lirik lagunya. Alumni angkatan 15 tahun lalu datang. Mereka mengajak serta pasangan dan anak-anak mereka yang lucu-lucu. Tiga di antaranya bernama Mamad, Radit dan Gini. Namun, ada sesuatu yang aneh yang kuperhatikan dari mereka. Ketiganya sering sekali menatap ke arah ruang perpustakaan. “Kenapa, Kak? Nostalgia, ya?” tanyaku. Membuka percakapan. Walaupun mereka sudah cukup tua, tapi aku tetap memanggil mereka dengan sebutan kakak. Itu karena mereka masih terhitung sebagai seniorku. “Iya nih,” jawab Kak Mamad. “Kami benar-benar rindu tempat ini,” timpal Kak Gini. “Kata ibuku, masa-masa SMA adalah masa yang paling indah dan berkesan. Bahkan, beliau sendiri tak bisa melupakan cinta pertamanya di SMA,” kataku. Pembicaraan kami mulai mengalir. Cair. “Benar.” Kak Radit menimpali. “Dulu, kami berempat terkenal sebagai murid yang bandel di sini. Suka bolos dan tidak mengerjakan tugas. Guru-guru bahkan sampai bosan menghukum kami,” tambahnya. “Walau begitu, kami berempat termasuk murid yang cerdas. Tanpa belajar, kami bisa membawa pulang mendali olimpiade dengan mudah,” timpal Kak Mamad. “Duh, jadi kangen momen-momen itu.” Kedua mata Kak Gini berkaca-kaca. Wow, keren sekali. Tapi, tunggu. Berempat? Ke mana satu orang lagi? “Sepertinya salah satu dari kalian tidak bisa hadir ya,” kataku. Mereka yang tadinya terlihat bahagia bercampur haru, tiba-tiba saja berubah menjadi sedih. Duka terlihat jelas di wajah mereka. “Ya, benar. Salah satu dari kami tidak bisa hadir,” kata Kak Gini. “Dan selamanya dia takkan bisa hadir,” sambung Kak Radit. “Maksudnya?” tanyaku. “Sahabat kami yang bernama Layla, dia sudah wafat,” jawab Kak Radit. Aku turut berduka cita. Wajar kalau mereka terlihat sesedih ini. “Pasti kalian amat sangat kehilangan ya. Tiga tahun bersama, lalu dipisahkan oleh takdir.” Aku menatap satu per satu dari mereka. Tampak Kak Gini yang terlihat paling sedih. Ia menangis. Kuberikan sapu tanganku padanya. “Terima kasih.” Kak Gini menyeka air matanya yang terjun bebas. Kak Mamad menggeleng. Bukan tiga tahun, tapi hanya dua tahun. Teman mereka yang bernama Layla meninggal saat mereka masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Waktu itu menjelang ujian kenaikan kelas. Selepas PKL—Praktik Kerja Lapangan. Ketiganya mulai membahas perihal momen-momen bahagia mereka sebelum Layla meninggal. Begitu pula momen-momen pahit saat Layla meninggal. Ketiganya begitu terguncang. Si Nakal Berprestasi kehilangan jati diri. Mereka masih menjadi murid-murid yang cerdas, menang lomba di sana sini, tapi mereka tak lagi senakal dan se-bersemangat dulu. Kehilangan Layla benar-benar sebuah pukulan keras bagi mereka. “Jika waktu itu kami lebih peka dan menanyainya, mungkin sekarang Layla masih ada di sini. Bersama kami,” kata Kak Mamad. Ia ikut meneteskan air mata. Sedih sekali. Aku jadi ingin ikut menangis. Baskara yang berdiri di sebelahku sudah beberapa kali mengusap kedua matanya. Ia sudah lebih dulu menangis. “Kalau boleh tahu, mendiang Kak Layla meninggal karena apa ya, Kak?” tanyaku. Sebenarnya agak tidak etis bertanya hal ini di kondisi yang seperti ini. Tapi, benakku memaksaku untuk bertanya. Ketiganya terdiam sebentar. Mereka saling tatap. Sebelum akhirnya, Kak Mamad bersuara. “Berjanjilah padaku, kalian takkan memberitahu orang lain.” Gantian, kini aku dan Baskara yang saling tatap. “Ya, kami berjanji,” kataku. Palingan kami hanya akan memberi tahu Divya dan Citra. Toh, kami kan bestie kental selamanya. Kak Mamad menarik napas dalam-dalam dan lalu menjawab pertanyaanku sebelumnya. “Layla meninggal karena bunuh diri. Dia gantung diri di ruang perpustakaan, tepat seminggu sebelum ujian kenaikan kelas.” Deg! Aku tertegun. Diam mematung. Meninggal gantung diri? Di ruang perpustakaan? Di sekolahku ternyata ada tragedi semengerikan ini. Bagaimana bisa aku—bahkan yang lainnya tidak tahu? Tapi, tunggu. Kenapa rasanya aku tidak asing ya? Meninggal gantung diri di ruang perpustakaan? “Kasus meninggalnya Layla ditutup rapat-rapat oleh pihak sekolah. Tak ada satu pun dari kami yang boleh membocorkannya ke dunia luar. Itu semua demi menjaga nama baik dan reputasi sekolah,” jelas Kak Radit. “Apakah kalian punya foto mendiang Kak Layla?” Tiba-tiba saja mulutku berkata seperti itu. Ketiganya mengangguk. Kak Gini mengeluarkan dompetnya, mengambil selembar foto kusam dan agak lecek di sana. Itu adalah foto mereka berempat saat masih kelas 10, tepatnya usai melaksanakan kegiatan MOS. Kedua mataku melebar. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Tepat di sebelah Kak Gini dan Kak Radit berdiri satu sosok yang tidak asing bagiku. Sosok berambut ikal agak kribo berwajah cantik. Itu Sulastri! Bulu kudukku berdiri. Sekujur tubuhku merinding. Jadi, Sulastri adalah Layla, dan mereka bertiga ini adalah sahabatnya. “Kenapa, Brow?” tanya Baskara. Sepertinya dia sadar dengan reaksiku yang aneh. “Tak ada, Brow.” Kemudian aku mengembalikan foto tersebut pada Kak Gini. Di sini, aku kembali mengucapkan turut berduka cita. Usai acara Pensi hari kedua—acara ini selesai dengan sangat sukses, aku, Divya, Baskara dan Citra berkumpul di tempat parkir. Tidak, kami tidak ingin mencuri motor. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan mereka. Kami sengaja mencari tempat yang agak sepi dan gelap, agar tak ada satu pun yang dapat menguping pembicaraan kami. “Aku sudah tahu siapa Sulastri sebenarnya. Nama aslinya adalah Layla. Dia alumni sekolah ini. Angkatan 8,” kataku. Kedua mata Baskara membelalak. Sekarang dia tahu alasan di balik ekspresi anehku tadi. Kemudian aku menjelaskan perihal tragedi yang menimpa Sulastri, beserta potongan puzzle ingatan Sulastri yang baru muncul beberapa. “Aku merasa ada yang janggal dengan kematiannya,” kataku yang langsung disetujui oleh Divya, Baskara dan Citra. “Meninggal bunuh diri dengan cara menggantung diri. Tapi, kondisi tubuhnya sudah dalam keadaan babak belur. Lalu, pihak sekolah yang mencoba menutup-nutupi kasus bunuh diri ini dengan alasan takut membuat nama baik dan reputasi sekolah jadi buruk. Hem, amat sangat mencurigakan,” ujar Divya. “Bagaimana kalau kita selidiki kasus ini? Mungkin dengan kita mengusut tuntas kasus ini, Sulastri bisa beristirahat dengan tenang. Dia takkan bergentayangan lagi,” ujar Citra. “Ya, aku setuju denganmu, Cit. Kita harus menyelidiki kasus kematian Sulastri.” Benar apa yang dikatakan mereka. Roh gentayangan bisa beristirahat dengan tenang jika segala urusan dunianya telah selesai. Tapi sayangnya, kami tidak bisa menyelidiki masa lalu Sulastri lebih dalam, karena setelah ini, kami akan disibukkan dengan kegiatan Java Overland Tour. Mau tidak mau, kami harus menunda rencana penyelidikan kami sampai kami selesai tur. “Seusai Java Overland, kita bicarakan lagi perihal rencana ini. Jaga rahasia. Jangan sampai ada yang tahu,” kataku. “Bagaimana dengan Sulastri?” tanya Divya. “Dia juga tidak boleh tahu.” Divya, Baskara dan Citra mengerti. Pertemuan kami sudahi. Kami kembali ke tempat di mana seluruh anggota OSIS berkumpul. Maaf, Sulastri, kamu harus menunggu lebih lama. Tapi, aku berjanji, aku akan menguak seluruh masa lalumu. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan membuatmu tenang. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD