BAB 9: STUDY TOUR: GRAND HOTEL JOGJA

3137 Words
Tak terasa tujuh hari sudah berlalu. Hotel demi hotel, tempat wisata demi tempat wisata, resto demi resto dan tempat pemberhentian demi tempat pemberhentian telah kami singgahi. Lelah sekali. Badanku rasanya remuk. Walau beristirahat di hotel yang nyaman dengan kasur empuk, berlama-lama duduk di dalam bus benar-benar menyiksa tulang dan organ tubuhku. Aku mau dipijat plus-plus—maksudku aku mau dipijat refleksi. Ya, itu yang benar. Divya jatuh sakit. Ia masuk angin dan terus-terusan mabuk kendaraan. Aku yang sigap menolongnya memberikannya minyak angin dan beberapa pijatan kecil, membantunya merasa enakkan. Aku juga telah menyiapkan surat wasiat, jikalau ia tidak bisa lagi bertahan. Pak Ernan sempat mau membantuku dalam mengurus Divya. Namun, aku langsung menolaknya. Bagaimana tidak, pria c***l bertopeng sok bijak itu ingin memijati tubuh Divya, yang mana aku tahu bahwa ia ingin mengambil kesempatan dari hal itu. “Saya bisa mengurus teman saya, Pak. Bapak tidak perlu khawatir,” kataku. “Baiklah kalau begitu,” kata Pak Ernan. Menepuk pundakku. Deg! Aku merasakan sensasi aneh. Sebuah kekuatan. Sangat kuat dan terasa sangat—jahat. Pak Ernan memiliki pegangan. Jin? Bukan! Kutatap punggung Pak Ernan yang ada di depan sana. Kufokuskan pandanganku. Bayangan hitam pekat samar-samar terlihat. Seperti asap hitam tipis. Bukan, itu bukan jin. Itu … iblis. Aku meneguk salivaku sulit. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang memiliki pegangan sesosok iblis. “Aku harus menjaga jarak darinya,” batinku. Tiba di Grand Hotel Jogja, kedua mataku langsung terpana melihat arsitektur hotel yang begitu megah. Seperti istana kerajaan. Benar-benar jauh berbeda dari hotel-hotel yang kami tempati sebelumnya. Menurut informasi, hotel ini berbintang lima. Wow! Hanya itu reaksi yang bisa aku berikan. “Eh, kondisimu sudah baikkan?” kata Citra pada Divya. Aku langsung menoleh ke arah Divya. Benar apa kata Citra, Divya terlihat lebih segar, ketimbang di perjalanan tadi. “Ya, aku sudah tidak mual lagi,” kata Divya. Sepertinya Divya sudah bisa kusuruh untuk mengangkut koper dan tas beratku lagi. Aku hanya bercanda. Masuk ke dalam lobi hotel, aku semakin terkagum-kagum dengan desain interiornya yang luar biasa megah dan terkesan mahal. Bangunan ini sungguh sebuah istana. Aroma kekayaan tercium dari segala arah. Aku tidak bisa menjelaskan apa itu aroma kekayaan. Yang kutahu aroma ini hanya tercium saat aku berada di tempat-tempat elite seperti ini. Berdiri di sini, rasanya seperti, aku yang sedang diundang makan malam oleh Ratu Eli Sugigi—maaf, maksudnya Ratu Elizabeth. Aku merasa menjadi orang penting. Jika dibandingkan dengan kosanku, maka kosanku tidak apa-apanya dengan tempat ini. Bahkan, jika dibandingkan dengan kamar mandi yang ada di sini, kamar mandi di sini pasti jauh lebih bagus daripada kamar kosanku. Okey, bagaimanapun aku harus tetap bersyukur, karena masih memiliki tempat untuk tinggal dan bernaung, walaupun tidak semegah, seluas dan seluar biasa tempat ini. Setelah mendapatkan kunci kamar, aku, Baskara, Yoga dan Zain pergi menuju kamar kami. Seharusnya per satu kamar hanya diperuntukkan untuk dua sampai tiga orang. Tapi, berhubung kami ke sini untuk belajar, jadi pemilik hotel—yang masih kenalan Pak Ernan—memperbolehkan satu kamar diisi oleh empat sampai lima orang. Sebelum pergi meninggalkan lobi, aku sempat melihat tiga orang pria dengan setelan jas mahal menghampiri Pak Ernan. Pak Ernan menyambut mereka dengan sangat baik, seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Mereka mengobrol akrab, tertawa. Suara tawa mereka terdengar sangat renyah, menggema. Seperti ada unsur-unsur uang, emas dan properti senilai milyaran rupiahnya. Baiklah, untuk ini aku terlalu berlebihan. Tapi, suara tawa orang-orang kaya memang serenyah itu. Iya, kan? Aneh, tiba-tiba saja aku merasakan perasaan tidak enak. Apalagi, saat salah satu dari mereka melirikku dan lalu tersenyum. Berjalan menuju kamar. Tubuhku lemas seketika, kedua mataku membelalak. Aku hanya bisa terdiam mematung saat mendapati pemandangan lorong yang tampak tidak asing bagiku. Ya, lorong yang kulihat di dalam penglihatanku. “Tidak mungkin,” batinku. “Kenapa, Brow?” Baskara menanyaiku. Yoga dan Zain ikut menghentikan langkah mereka. Menatap ke arahku. Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin kan aku mengatakan perihal penglihatanku pada mereka. “Brow?” Baskara menyenggolku. Memaksakan senyum. Aku mengatakan pada mereka kalau aku hanya mengagumi desain interior tempat ini. “Maklum, aku kan orang kampung. Ini pertama kalinya aku mendatangi tempat seperti ini,” kataku. Bohong. Mereka bertiga tertawa. Baskara merangkulku, mengajakku untuk melanjutkan perjalanan. “Kami juga kok. Walaupun besar dan tinggal di ibukota, tapi ini pertama kalinya kami datang ke tempat seperti ini. Benar begitu kan, Yoga, Zain?” Yoga dan Zain mengangguk. Mengiyakan ucapan Baskara. “Aku yakin, di kamar mandinya pasti ada kolam untuk diving,” kata Baskara. Dia mulai memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Pikiranku ke mana-mana. Tak bisa fokus. Malamnya kami diberi waktu santai oleh Pak Ernan. Kami diperbolehkan untuk pergi ke mana pun yang kami mau. Aku dan teman-teman lantas memutuskan untuk pergi ke Malioboro. Menaiki becak, kami pergi ke sana secara rombongan. Beruntung, jaraknya tidak terlalu jauh. Aku satu becak dengan Divya dan Baskara. Kasihan mas-mas becaknya. Ia tampak keberatan. Wajahnya memerah, penuh perjuangan. Seperti orang yang sedang bergulat dengan kematian. Apakah kami seberat itu? Tak tega pada mas-mas becak, aku langsung mengambil sebuah inisiatif. Aku menoleh ke belakang. Kutatap mas-masnya lekat. Dan, lalu kukatakan padanya dengan suara lembut dan penuh sopan santun. “Mas, bisa lebih cepat? Teman-teman kami sudah jauh di depan.” Mas-mas becak langsung mengayuh sekuat tenaga. Aku sempat mendengar suara aneh, disusul bau busuk yang begitu menyengat. “Mas kentut, ya?” tanya Divya. “Tidak, Mbak. Itu bau karburator,” jawab Mas-Mas Becak. Tunggu. Sejak kapan becak ada karburator? Seperti biasa, rombongan kami sangat berisik. Citra bernyanyi dan berjoget di atas becak, seperti seekor biduan premium ibukota. Baskara, Yoga dan Zain memanggil orang-orang yang mereka temui sepanjang jalan. Seorang nenek mereka panggil dengan sebutan baby. Nenek itu tampak senang. Ia merespons dengan memanggil Zain dengan sebutan hai, swami, sembari mengedipkan sebelah mata. Aku yang melihatnya merinding. Aku memutuskan untuk membicarakan perihal penglihatanku pada Divya. Baskara yang awalnya sibuk memanggil-manggil orang tidak dikenal, kini ikut nimbrung. Divya begitu terkejut dengan penuturanku, sedangkan Baskara kebingungan. Ia meminta penjelasan. “Jadi, lorong panjang yang kau lihat di dalam penglihatanmu itu adalah lorong Grand Hotel Jogja?” tanya Baskara dan aku iyakan. “Aku tidak menyangka penglihatanmu setajam itu,” kata Divya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Baskara tampak khawatir. Divya tampak berpikir. Aku memiliki sebuah ide. “Aku bisa membuat jimat pelindung. Tapi, aku tidak bisa menjamin jimat-jimat ini bisa melindungi semua orang yang aku lihat di dalam penglihatanku. Mungkin, hanya bisa menolong mereka sesaat,” ujarku. “Kalau begitu, ayo kita buat. Kita harus mencobanya,” kata Divya. “Bagaimana cara membuat jimat ini? Apa yang bisa kami bantu?” Baskara tampak siap melakukan apa pun yang aku suruh. “Bantu aku untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin,” kataku. Aku memutuskan untuk membeli gelang yang kemudian akan aku mantrai dengan mantra pelindung. Gelang-gelang ini akan aku berikan pada semua orang dari rombongan bus kami. Berharap mereka bisa terlindungi, sehingga penglihatan yang aku alami tidak terjadi. “Setibanya di Malioboro, kita bicarakan ini dengan anak-anak yang lain,” kata Divya. Aku dan Baskara mengangguk. Sekembalinya kami ke hotel, aku yang sudah membeli puluhan gelang-gelang yang dijual di sepanjang jalan di Malioboro segera mempersiapkan ritual untuk memantrai semua gelang-gelang tersebut. Teman-teman menunggu, mengitariku. Semuanya ada di sini. Tak butuh waktu lama, tak butuh cara-cara yang rumit dan tak butuh celana dalam tetangga, ritual akhirnya selesai. Gelang-gelang dibagikan ke tiap-tiap orang. Semua memakainya. Aku yang kelelahan bersandar di kasur. “Berharaplah gelang-gelang ini bisa melindungi kalian,” kataku. Divya dan Baskara meminta pada semuanya untuk berpencar, membagikan gelang-gelang tersebut pada semua orang di rombongan kami. Katakan pada mereka, bahwa gelang-gelang tersebut adalah hadiah dari kelas kami. “Berikan gelang yang kutandai pada Pak Ernan. Hanya gelang itu yang tak kumantrai,” kataku pada Baskara. “Eh, kenapa?” Ia bertanya. “Karena dia akan baik-baik saja tanpa gelang itu. Dia punya pengawal yang sangat kuat,” jawabku sembari memberikan gestur dua jari yang kugerakan naik turun. Baskara sepertinya paham. Semuanya berpencar, meninggalkanku seorang diri di dalam kamar. Jantungku berdebar kencang. Aku semakin tidak tenang. Aneh, bayang-bayang sosok berjas mahal—teman Pak Ernan—yang tersenyum ke arahku tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Kenapa? Kok bisa aku malah mengingatnya? *** Aku terbangun. Kutatap jam. Pukul 1 pagi. Kuperhatikan Baskara, Yoga dan Zain. Mereka tidur sangat nyenyak. Tidak terjadi apa-apa. Ponselku berbunyi. Divya yang sama-sama terbangun mengatakan padaku bahwa ia, Maya, Naraya dan Arsy dalam keadaan baik-baik saja. Sepertinya gelang-gelangku berhasil melindungi mereka. Tapi, tunggu … aku tidak salah lihat, kan? Yoga dan Zain tidur sembari berpelukan. Uh, so sweet sekali. Aku langsung memfoto mereka dan akan kukirim foto ini besok di grup kelas. Pasti akan membuat gempar. Kebelet pipis, aku beranjak pergi ke kamar mandi. Dengan tenang kuselesaikan panggilan alamku. Namun, penampakan sesosok jin di cermin wastafel berhasil mengagetkanku. s**t! Buru-buru kumasukkan kembali burungku. Aku tak mau makhluk itu melihatnya. Takut dia mau. Eh? “Dasar penguntit—argh!” Suara dengungan yang memekik tiba-tiba saja terdengar. Membuat kepalaku sakit. Sepertinya hanya aku yang dapat mendengarnya. Tangan jin itu keluar dari dalam cermin. Tangan yang panjang dan bercakar runcing itu langsung menarikku kasar, masuk ke dalam cermin. Tidak! Aku bukannya takut karena ditarik masuk ke dalam cermin. Tapi, karena tangan jin itu sangat kotor dan bau. Huwek! Seperti tinja! Aku diseret masuk ke Alam Gaib. Tempat ini sama persis seperti Grand Hotel Jogja. Hanya saja lebih gelap, lebih lembab, hening, sunyi dan agak mencekam. Dingin sekali. Jin yang menarikku ke sini tampak marah. Ia menyeretku, membawaku ke aula tempat jin-jin lainnya berkumpul. Sebelum sampai ke sini, aku lebih dulu melewati lorong-lorong panjang dengan banyak pintu. Di situlah aku tersadar. Lorong-lorong tersebut adalah lorong yang aku lihat di dalam pengliatanku. Ya, tempat inilah yang sempat membuatku kepikiran setengah mati. Para jin di ruangan ini tampak marah dan kesal. Mereka mengumpat dan mencaciku menggunakan bahasa mereka. Apa salahku? Ternyata, berkat gelang-gelang yang aku berikan pada orang-orang, para jin ini tidak bisa menikmati tubuhku, dan juga tubuh teman-temanku. Lebih tepatnya, mereka tidak bisa menyetubuhi kami. Rencanaku berhasil. Aku berhasil menggagalkan penglihatan burukku. Aku menyeringai, meledek. Rasanya benar-benar puas. Seperti seorang pemenang yang berhasil menaklukkan lawannya. “Kasihan sekali kalian. Tak ada yang bisa kalian gunakan untuk memuaskan nafsu birahi kalian,” kataku. Karena ucapanku, para jin satu per satu mulai maju. Mereka menyerangku. Pertarungan pun terjadi antara kami. Aku seorang diri melawan puluhan jin. Kugunakan kemampuan telekinesisku untuk melemparkan benda-benda di sekitarku, mengendalikan pikiran beberapa jin untuk saling serang, dan menghentikan pergerakan mereka dengan mantra pengunci. Awalnya aku bisa menangani semuanya dengan mudah. Tapi, lama kelamaan aku kerepotan dan akhirnya terpojok. Di saat seperti inilah, sesosok jin biru bertubuh kekar muncul. Perawakannya persis seperti dewa Krishna campuran Deddy Cahyadi—maksudku, Deddy Corbuzer. Tubuhnya tinggi sekali. Mungkin tiga meter. Jin biru itu dengan brutal menyerang para jin yang sebelumnya berusaha menyerangku. Wah, dia kuat sekali. Jin-jin penunggu hotel dibuat tidak berdaya di hadapannya. Ya, jin biru itu adalah jin peliharaan milik Bapak—ayah Divya—yang kulihat saat aku pertama kali bertemu dengan beliau. Jin yang berstatus sebagai salah satu jenderal Laut Selatan. Makhluk inilah yang bersemayam di dalam liontin giok biru milik Divya. Jin yang diperintahkan untuk melindungi Divya. Akhirnya, berkat kerja sama kami, seluruh jin di tempat ini berhasil ditaklukkan. Jin yang berstatus sebagai pimpinan dari semua jin, bahkan sampai bersujud memohon ampun di kakiku. Meminta untuk dibiarkan hidup. “Siapa yang memerintahkan kalian melakukan hal tidak beradab seperti ini?” tanyaku. “Tirta Yasha. Pemilik dari tempat ini,” jawab Jin Pemimpin. “Untuk apa dia melakukan hal ini?” tanyaku lagi. “Untuk mendapatkan kekayaan.” Jin itu menjelaskan, bahwa dengan memberikannya tumbal berupa keperawanan dan keperjakaan remaja berusia di bawah 17 tahun—laki-laki maupun perempuan, maka ia bisa memberikan kekayaan untuk 3 tahun ke depan. “Sudah berapa lama tumbal ini berlangsung?” Jin itu menjawab, “Dua belas tahun.” Gila! Itu berarti sudah ada 3 angkatan yang ditumbalkan sebelum angkatanku. Benar-benar biadab pria bernama Tirta Yasha ini. Aku yang penasaran lantas menanyai perihal ciri-ciri pria bernama Tirta Yasha ini. Dan, betapa terkejutnya aku saat ciri-ciri tersebut sama persis seperti pria—kenalan Pak Ernan—yang sore kemarin tersenyum padaku. Jadi dia dalang dari semua ini. Kesal dan marah. Perilaku ini benar-benar sudah kelewat b***t! Aku ingin menghukum jin-jin ini. Tapi, ada sosok lain yang jauh lebih pantas untuk dihukum. Yaitu, Tirta Yasha. “Kalian masih mau hidup?” tanyaku. Jin itu mengangguk. Iya. “Kalau begitu, buat Tirta Yasha menderita. Jangan bunuh dia, buat dia menderita selama sisa hidupnya. Apakah kalian sanggup?” Jin itu tampak berpikir sejenak. “Sanggup atau tidak?!” Aku membentak. Tidak mau ada penolakan. Jin itu tampak ragu. Tiba-tiba saja, jin biru kepunyaan Bapak bergerak. Ia mencekik jin yang sedang bernegosiasi denganku. Jelas, hal ini pasti membuat jin itu ketakutan. Sehingga ia langsung menerima tawaranku. “Baiklah! Akan aku buat Tirta Yasha menderita!” Cekikan dilepas. Jin itu terbatuk hebat. Sepertinya cengkeraman tangan dari jin bertubuh biru ini sangat kuat. Seketika aku merinding. “Sekarang, buat Tirta Yasha menderita!” titahku. Jin itu pergi bersama dengan seluruh bawahannya. Dengan begini, penglihatanku yang mengerikan itu tidak menjadi kenyataan. Aku berhasil mengubah masa depan. “Terima kasih karena telah membantu,” kataku pada jin bertubuh biru dan kekar. Bukannya menjawab, makhluk itu malah pergi meninggalkanku. Sok cool sekali dia. Tapi, tunggu sebentar. Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari tempat ini. Abah belum mengajariku teknik berpindah dimensi. Aku harus meminta bantuan. “Hei, Om Jin. Bisakah kau membawaku keluar dari sini?” Jin itu mengabaikanku. “Halo! Tolong bantu aku!” Aku sedikit berteriak. Jin bertubuh biru itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arahku. Apakah sekarang dia bisa mendengarku? Dalam satu kedipan mata, ia tiba-tiba saja sudah berada tepat di hadapanku. Berjarak hanya setengah meter. Kaget! Itu yang aku rasakan. Aku semakin kaget saat jin itu tiba-tiba saja menggendong tubuhku. Ia melompat tinggi. Dan, secara mengejutkan kami sudah kembali ke Alam Fana, tepatnya di kamarku. Aku terhempas keras ke atas kasur. Hentakkan tubuhku membangunkan Baskara, Yoga dan Zain. Mereka menatapku bingung. Sedangkan jin bertubuh biru itu sudah menghilang entah ke mana. “Ada apa, Ka!? Apa ada sesuatu!?” tanya Baskara. Nyawanya masih setengah terkumpul. Aku menggeleng. “Tidak ada. Aku hanya kentut,” jawabku. Baskara mengangguk dan lalu kembali tidur. Begitu pun dengan Yoga dan Zain. Selesai. Semuanya sudah aman terkendali. Aku bisa kembali tidur dengan nyenyak. Tidak akan ada korban yang jatuh, selain pria bernama Tirta Yasha. “Rasakan! Senjata makan tuan!” batinku. Menyeringai. Tapi, aku langsung teringat akan jin bertubuh biru itu. Ia sangat kuat. Dibanding denganku, gap level kami sangat jauh. Benar kata Abah, aku tidak boleh meremehkan jin tingkat tinggi. Beruntung jin ini berada di pihakku. Kalau dia berada di pihak musuh, pasti aku sudah mati. *** “Divy,” panggilku. “Ya?” Divya menoleh. Menatapku. Pagi ini kelasanku memutuskan untuk berenang di kolam renang publik yang berada di bagian tengah hotel. Bangunan ini berbentuk huruf O, dan bagian tengah yang kosong ini diisi kolam renang berbagai bentuk dan kedalaman. Kami sangat menikmati bermain di sini. “Terima kasih ya,” kataku. Divya kebingungan. “Untuk?” “Terima kasih, karena kamu benar-benar menepati janjimu untuk membantuku.” Kujelaskan padanya perihal apa yang terjadi semalam. Pun perihal jin bertubuh biru milik Bapak. Divya terkejut bukan main mengetahui hal ini. Ia tidak mengira jin pemberian Bapak akan pergi menolongku. Ternyata, jin itu bergerak bukan karena disuruh, melainkan karena kehendaknya sendiri. “Mungkin karena aku berjanji akan membantumu, makanya jin yang ada di dalam sini pergi menolongmu saat tahu kamu sedang dalam bahaya,” kata Divya sembari memegang liontin giok biru di lehernya. Ah, cukup masuk akal. Jin ini bergerak berdasarkan tekad Divya. Keren. Divya tersenyum. Ia lalu menepuk-nepuk pundakku. “Syukurlah, kamu baik-baik saja,” katanya. Aku balas tersenyum. “Dengan begini, masalah perihal penglihatan burukmu telah selesai.” Aku mengangguk. Mengiyakan. “Itu berarti, tak ada lagi yang perlu kau khawatirkan.” Lagi, aku kembali mengangguk. Mengiyakan. “Kalau begitu …” Divya menarik hidungku. Mengarahkan tubuhku ke kolam renang. Dan, dengan tenaga prianya, ia mendorongku masuk ke dalam kolam. Byur! Aku basah. Teman-teman yang lain tertawa. “Divy! Aku masih pakai piyama!” Aku protes. Memang hanya aku dan Divya yang tidak ikut berenang. Suhu udara cukup dingin. Aku tidak mau menggigil karena kedinginan. Divya di atas sana tertawa terbahak-bahak. Tapi, tawanya itu tidak berlangsung lama, karena Baskara dari belakang mendorongnya masuk ke kolam renang. Byur! Rasakan! Kini kami sama-sama berenang sembari mengenakan piyama. “Babas!” Divya protes. Tapi, protesnya langsung terhenti saat Baskara melompat ke kolam renang. “Juranimo!” Byur! Gelombang tsunami tercipta, beruntung tidak ada korban jiwa. Batal protes, Divya kini ikut bermain air. Aku yang tidak melepas piyama pun mencipratkan air sebanyak-banyak ke wajah Divya. Sial, karena aku yang terlalu bersemangat, teman-temanku yang berada di sekitar Divya ikut terkena cipratan air. Alhasil, mereka membalasku. Aku dikepung oleh cipratan air dari segala arah. Aku tidak bisa melawan. Tidak ada sekutu, tak ada yang bisa membantuku. Semesta tolong aku! Di tengah keasyikan dan keseruan kami, suara jeritan wanita tiba-tiba saja terdengar. Menggelegar bak petir di siang bolong. Khawatir terjadi apa-apa, aku dan beberapa teman bergegas menghampiri sumber suara. Asalnya dari ruang kamar VVIP. “Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita berambut cokelat. Ia terlihat sangat ketakutan. “Suamiku … suamiku … suamiku ….” Ia menunjuk ke arah kamar tidur. Dalam kondisi tubuh dan pakaian yang masih basah, Aku, Baskara, Ibra, Yoga dan Zain menghampiri kamar tersebut. Dan, betapa terkejutnya kami saat mendapati seorang pria dalam kondisi terbujur kaku dengan kedua mata yang membelalak dan mulut yang menganga lebar. Pria itu tanpa busana. Raut wajahnya sangat ketakutan. Dia masih hidup. Pria itu adalah Tirta Yasha, orang yang menjadi dalang dari tragedi yang hampir saja menimpaku dan juga teman-temanku. Aku yang awalnya panik, kini merasa biasa saja. Buat apa aku mengkhawatirkan orang jahat sepertinya? Tak sudi! “Panggil ambulance! Panggil ambulance!” pekik Baskara. Rumah sakit terdekat dihubungi. Tak lama setelahnya, ambulance pun tiba. Tubuh Tirta Yasha dibawa pergi ke rumah sakit. Si wanita berambut cokelat menangis, histeris. Ia takut suaminya meninggal dunia. Aku menertawakannya secara sembunyi-sembunyi. “Tenang saja, Bu. Si b******k itu tidak akan mati,” batinku. Toh, memang begitu kan faktanya? Dari proses penyelamatan hingga pria itu dibawa pergi, aku benar-benar merasa bahagia. Puas rasanya melihat orang jahat mendapatkan ganjaran yang setimpal. Di tengah rasa bahagia yang sedang aku rasakan, aku malah tidak sengaja bertemu tatap dengan Pak Ernan yang berada di balkon lantai dua yang berseberangan dari tempatku berada saat ini. Pria berparas tampan itu menatapku dengan segelas wine di tangannya. Ia tersenyum, mengangkat gelasnya. Sebentar, apa maksudnya? Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD