Hati-hati

3073 Words
Jam 05.15. Setelah pulang solat subuh berjamaah di masjid bersama dengan ayahnya tadi, Farel langsung mengganti pakaiannya. Ia membuka lemari pakaiannya yang terbagi menjadi 3 pintu. Isi lemari Farel berjejer dengan rapih. Dari mulai komposisi warna serta jenis pakaiannya seperti celana, jaket, kaos, kemeja, dan yang lainnya berada dalam 1 tumpuk sesuai dengan jenisnya. Hampir ada 2 kotak masker hijau di lemarinya, serta 1 lusin lebih masker kain yang sering Farel pakai bergantian. Farel juga suka item seperti jaket dan topi, sehingga tak heran jika di lemarinya juga banyak jenis serta warna dari jaket dan juga topinya. Farel mengambil celana training berwarna putih dan kaos lengan panjang yang juga berwarna putih menjadi pilihan Farel. Setelah mengganti pakaiannya, Farel mengambil topinya yang berwarna hitam. Jika biasanya Farel selalu memakai masker saat keluar rumah, kali ini tidak. Farel memang memiliki alergi udara yang cukup parah serta penyakit asma yang sudah dideritanya sejak kecil. Sehingga untuk waktu pagi adalah waktu yang memiliki udara paling bersih. Saat pagi, Farel bebas menghirup udara bebas sebanyak yang is mau. Topi hitam sudah terpasang di kepalanya. Ia juga memakai headset putih miliknya untuk yang masih ia sampirkan di leher. Tak lupa mp3 kecil yang masuk ke dalam saku celananya. Farel menatap tubuhnya di dalam cermin. Ia perhatikan tubuhnya dari ujung rambut hingga kaki. Setelah merasa cukup puas dengan penampilannya, Farel langsung keluar dari kamarnya. Oh memang, Farel adalah laki-laki yang sangat mementingkan penampilannya. Terlebih kepribadiannya yang melankolis semakin membuat Farel mendekati kata perfect. Rapih, bersih, displin, tersusun, dan semua teman-temannya. Seperti yang sudah pernah dibilang sebelumnya, bahwa Farel tak suka sesuatu yang kotor, jorok, dan semua temannya. Sehingga jika ada bajunya yang lecak ataupun sesuatu yang kotor meski sedikit, maka Farel tak akan pernah mau memakainya. Farel keluar dari kamarnya dengan menenteng sebuah snikers berwarna putih. Ia menuruni anak tangga dengan santai. Gerakannya tak pernah tergesa-gesa, karena Farel sudah menentukan semua waktunya selama seharian penuh. "Pagi sayang," sapa Kartika saat melihat anaknya yang melangkah menghampirinya. Farel menatap bundanya dengan jarak beberapa langkah sebelum ia sampai di meja makan. "Kamu kok ngeliatin Bundanya begitu sih," ucap Kartika tak nyaman saat Farel sudah tiba dan duduk di salah satu kursi yang mengitari meja makan. Farel diam tak menjawab. Ia menuang air mineral dari dalam teko ke dalam gelasnya. "Kamu masih marah ya sama Bunda? Karena yang minggu lalu itu?" tebak Kartika. Kartika mematikan kompornya dan menggenggam tangan kiri Farel yang sejak tadi menganggur di atas meja. "Itu Bunda tahu," kata Farel singkat tanpa menatap bundanya. "Ya Allah Rel, kok masih marah sih? Bunda sama Ayah kan nggak paksa kamu." "Nggak maksa, tapi mendorong." "Ih Rel... Jangan marah dong!" pinta Kartika dengan lebih mengeratkan genggamannya pada Farel. "Aku masih kecewa sama Bunda," kata Farel mencoba jujur. Kali ini ia menoleh dan menatap bundanya. "Aku sayang sama Bunda, tapi bukan berarti aku sanggup melakukan hal yang Bunda mau dan aku sendiri nggak bisa." Kartika menghela napas panjang. Tak kuat lama menatap mata Farel akhirnya ia menunduk. "Farel kok gitu sih ngomongnya? Bunda kan cuma mau kamu kenalan dengan anaknya Tante Amira aja. Nggak langsung nikah, Rel." "Kalau aku udah kenal anaknya Tante Amira, pasti..." Farel menjeda kalimatnya beberapa detik kemudian melanjutkan, "selanjutnya Bunda akan minta lebih dari kenalan." Kartika mendengus pelan. Farel memang tahu yang ia pikirkan. "Emang Farel nggak mau nikah muda?" tanya Kartika penasaran. "Nggak.... Sama sekali." Kartika lesu mendengar jawaban Farel yang tampak tidak ragu. "Bunda jangan jadiin aku korban karena Mbak Alya nikah muda. Mbak Alya jauh lebih siap Bun, terlebih dapet suaminya kaya Mas Althaf yang baik, soleh dan sukses. Kalau aku nikah muda, mau aku kasih apa istriku nanti?" Farel langsung bergidik dalam hati saat menyebut kata 'istriku'. "Bunda sama Tante Amira udah sepakat, kalau kita tetap akan bantu finansial rumah tangga kalian sampai akhirnya kalian bisa mandiri." Farel menggelengkan kepalanya. Solusi yang diusulkan benar-benar membuat Farel semakin bulat untuk tidak mau menikah muda. Lagipula, mana ada orang menikah masih dibantu finansial sama orang tuanya? Kalau begitu bukankah namanya suami yang tak bertanggung jawab? Maksudnya adalah, seharusnya ketika kita memutuskan menikah muda, maka sebagai seorang lelaki harusnya bisa mempertimbangkan hal finansial seperti itu. Sehingga ketika sudah menikah nanti jangan sampai malah merepotkan orangtua.  "Udahlah Bun, kalau kaya gini ujung pembicaraan kita, pasti cuma berhenti seperti yang minggu lalu. Bunda masih belum ngertiin aku," ucap Farel to the point. Farel berdiri dan mencium pipi kanan bundanya singkat. "Aku pergi, assalamu'alaikum." Farel memang masih marah dan kecewa, tapi Farel juga paham bahwa hati wanita itu mudah rapuh. Dan Farel juga paham bahwa pasti bundanya kecewa karena penolakannya. Ia dan bunda sama-sama kecewa, karena itulah ia harap dengan memberikan ciuman di pipi bundanya itu mampu membuat hati bundanya lebih ikhlas. Dan Farel juga berharap bundanya tak lagi mengatakan hal apa pun tentang pernikahan sebelum waktu yang ia harapkan tiba. "Wa'alaikumsalam," jawab Kartika tanpa bisa mencegah kepergian Farel. Farel jadi menantu Tante ya? Nikah sama anak Tante. DEG!! Farel mendesah panjang saat kembali mengingat kejadian yang selalu membuatnya resah dan tak tenang. Saat di mana, Farel diminta menikah dengan anak dari teman bundanya. Yang bener saja. Kalau mau tahu, Farel benar-benar marah pada ayah dan bundanya saat itu. Ia merasa dibohongi karena bundanya itu tak pernah mengatakan apa pun padanya. Perjodohan? Adakah hal lain yang lebih masuk akal dibandingkan dengan perjodohan? Farel benar-benar tidak mengerti kenapa ayah dan bundanya menjodohkan dirinya. Walau ayah dan bundanya berdalih hanya ingin ia dan anak dari teman bundanya itu saling mengenal, tapi tetap saja. Ujungnya pasti perjodohan. Lalu menikah muda? Farel merinding membayangkannya. Memiliki seseorang yang akan mengintilinya seumur hidup membuat Farel merinding. Farel menggeleng sekali lagi. Ia mempercepat mandinya. Sekitar 20 menit berada di kamar mandi, Farel keluar dengan menggunakan handuk yang melilit tubuhnya. Kaki Farel menuju lemari pakaian untuk mengambil satu stel baju yang ingin ia kenakan hari ini. Celana jeans berwarna hitam serta kemeja dengan garis vertikal menjadi pilihan Farel. Gerakan Farel begitu detail, santai, namun tersusun sempurna. Ia memakai celananya, lalu kemejanya. Mengancinginya satu persatu, dari bawah ke atas, dan membiarkan kancing kemeja paling atasnya tetap terbuka. Setelah siap dengan pakaian, Farel beralih untuk merapihkan tatanan rambutnya. Diambilnya sedikit gel rambut ke telapak tangannya, lalu ia ratakan ke semua rambutnya dengan perlahan. Ekspresi wajahnya di dalam cermin, kosong. Alis tebal serta sorot matanya yang tajam sudah cukup untuk menggambarkan bahwa Farel sedang dalam situasi serius, hanya untuk menata rambutnya. Farel turun ke bawah dengan tas hitam yang ia sampirkan di sebelah bahunya. Ia menghampiri bundanya yang berada di dalam kamar untuk pamit berangkat kuliah. Mobil sedan berwarna putih hadiah dari ayahnya saat ia masih kelas 3 SMA, masih terparkir cantik di garasi rumahnya. Farel masuk ke dalam kursi pengemudi dan segera meninggalkan rumahnya dengan asap tipis di belakangnya. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang untuknya. Fania Aurellia, gadis cantik kelahiran Jakarta itu melangkah dengan pasti menyusuri koridor untuk menuju ke kelasnya siang ini. Langkahnya yang terkesan setengah berlari itu membuat ujung kerudungnya berkibar karena angin yang menerpa. Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya seperti biasa. Wajahnya memerah menahan emosi, deru napasnya pun terdengar kasar. Teman-teman yang melihatnya pun tahu, kalau wajah Fania sudah seperti itu, tandanya Fania sedang dalam warning zone, artinya jangan pernah ada yang mencoba menyapanya. Langkah kaki Fania berhenti begitu ia telah memasuki ruang kelasnya siang ini. Ekor matanya tak henti mencari sosok yang menjadi dalang emosinya siang ini. Salah satu teman kelasnya yang sadar kehadiran Fania di samping mejanya, langsung menyenggol lengan laki-laki yang ada di sampingnya. "Rel," panggil Aldi yang berdiri di samping laki-laki yang sejak tadi ditatap tajam oleh Fania. Yang dipanggil menoleh santai pada Aldi. Ia menaikkan alisnya sebagai gantinya pertanyaan 'apa?'. Melihat Aldi yang memberikan kode melalui gerakan matanya, laki-laki itu memutar lagi kepalanya. Wajah datar dan sorot matanya yang tajam menatap lurus mata Fania. Ia juga melirik tangan gadis itu yang memegang beberapa lembar kertas yang sudah tampak lecak dan kusut. "Maksud lo apa, hah?" tanya Fania sedikit yang lebih terdengar seperti orang yang sedang berteriak. Kerutan berhasil tercipta di kening Farel. Wajahnya yang datar itu tetap bisa mewakilkan kebingungannya dari ekspresi tipis yang dilihatkannya. "Ini," Fania mengangkat kertas yang ia remas di dalam kepalan tangannya, "Apa maksudnya semua ini? Gila lo ya!" kesal Fania dengan melempar semua kertas yang hampir jadi gulungan itu tepat ke depan wajah Farel. Farel Ardiansyah Pratama, laki-laki yang kini berhadapan dengan gadis mulut mercon, Fania. Gadis yang suaranya bisa mengalahkan suara toa masjid. Gadis yang kebisingan suaranya bisa mengalahkan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Bola mata Farel bergerak menunduk menatap semua ceceran kertas-kertas yang Fania lemparkan padanya. Berikutnya Farel kembali menatap Fania dengan ekspresi bingung seperti yang di awah. Ia masih bersikap tenang dan mencoba sabar. Walaupun gadis di hadapannya itu benar-benar sudah keterlaluan. Gila? Ini adalah pertama kalinya ada seseorang yang berani mengatainya seperti itu. Ini juga pertama kalinya ada seseorang yang berani menghempaskan kertas di wajahnya langsung. Meneriakkan apa yang tak ia ketahui di depan orang banyak. Benar-benar memalukan dan menyebalkan. "Kenapa lo diem, hah? Masih pura-pura nggak tahu?!" Fania berkacak pinggang di depan Farel. Ia mengabaikan tatapan Farel padanya yang berubah semakin tajam. Seolah tatapan Farel itu mampu membuat bola matanya terbelah jadi dua. "Lo benci sama gue? Lo nggak suka sama gue? Bilang! Jangan diem aja. Gue nggak ngerti isi kepala lo, kalau lo terus diem bersembunyi di balik wajah lo yang no face itu!" Farel melirik ke sekelilingnya melalui pergeseran ekor mata yang santai. Semua teman-temannya yang sedang berada di kelas, kompak menatap ke arah mereka berdua. Gadis di depannya ini benar-benar memiliki mulut seperti mercon. Mungkin kebanyakan makan cabe, makanya suaranya bisa tinggi seperti itu. Farel bahkan takut jika suara gadis itu akan habis jika terus-terusan berteriak padanya. "Kalau sampai gue ngulang matkul Pak Dony gara-gara lo, awas lo ya!" jerit Fania yang berhasil membuat alis Farel terangkat sebelah. Sungguh, jika ada kayu di tangannya mungkin Fania akan memukul kepala Farel di kepalanya. "Kenapa lo diem aja sih? Jawab gue. Gue ngomong sama lo, bukan sama tembok." Kesal Fania semakin menjadi. "Berisik." Mulut Fania menganga lebar karena satu kata yang keluar dari mulut Farel. Padahal ia sudah mengutarakan semua kekesalannya. Ia bahkan sampai teriak-teriak hingga rasanya pita suaranya akan sobek sebentar lagi, tapi laki-laki di hadapannya itu hanya mengeluarkan satu kata? Yang benar saja. Fania menutup mulutnya lalu menarik napas panjang sebanyak-banyaknya. Mencoba sabar menghadapi laki-laki berwajah datar tapi ganteng di hadapannya itu. "Gue berisik itu juga karena lo. Lo mau buat gue ngulang matkul Pak Dony? Gitu? Makanya kan, lo ngumpulin tugas makalah Pak Dony tanpa cantumin nama gue?!" jerit Fania masih tak terima dengan yang Farel lakukan. Farel mengerutkan keningnya tipis. Laki-laki itu berjalan perlahan mendekati Fania. Kini ia baru tahu maksud semua ocehan Fania padanya sejak tadi. "Jadi lo nuduh gue?" tanya Farel dingin. Fania berkacak pinggang sambil mengangkat dagunya angkuh. Urat lehernya menegang dibalik kerudung pashmina berwarna hitam yang ia kenakan. "Bukan nuduh, tapi emang lo! Emang kenyataannya lo kan, yang ngumpulin makalah ini tanpa nulis nama gue?!" Sudut bibir Farel tertarik membentuk sebuah senyum miring. Ekspresi yang Farel keluarkan itu sampai membuat takjub beberapa temannya. Pasalnya Farel adalah orang yang miskin ekspresi dan pelit untuk tersenyum. Sehingga jika saat ini Farel mengeluarkan senyum miringnya, itu merupakan momen ekspresi langka yang dikeluarkan oleh seorang Farel. "Ngomong itu dipikir." Ujar Farel dengan nada dingin sekali lagi. "Farel," panggil seorang laki-laki yang lainnya dari arah pintu masuk kelas. Farel dan Fania kompak menoleh bersamaan ke arah pintu. Lian masuk dan mendekat ke arah Farel dan Fania. Di tangannya ada kertas seperti apa yang tadi Fania lakukan. "Gue lupa lampirin halaman judul ke artikel yang tadi gue kumpulin ke Pak Doni. Jadi mungkin Pak Doni bakalan bingung, karena yang gue kumpulin nggak ada nama kelompok kita." Lian menjelaskannya dengan wajah tanpa ekspresi. Benar-benar datar dan polos. Lian juga tak tahu bahwa saat ini Farel dan Fania sedang terlibat adu mulut karena ulahnya sendiri. "Eh?" gumam Fania yang tiba-tiba bingung. Selesai Lian menjelaskan, Farel kembali menoleh dan menatap lebih tajam ke Fania. Seolah berkata pada Fania melalui tatapan matanya, 'See, siapa yang bodoh sebenarnya?' Malu, adalah hal pertama yang Fania rasakan begitu semua amukan dan tuduhannya pada Farel ternyata salah. "Fania!!" kini ada 2 orang perempuan lainnya yang ikut memanggil Fania dengan berteriak. Fania menoleh dan menatap kedua temannya yang berlari menghampiri Fania. "Bukan Farel yang lakuin ini, Fan." Bisik Puput yang membuat kedua bola Fania melotot. "Sumpah bukan Farel, Fan! Kan gue udah bilang, walaupun mukanya Farel datar kaya papan triplek, tetep aja dia nggak akan sejahat itu." Timpal Elis dengan ikut berbisik di telinga Fania. Fania menelan salivanya yang seketika besarnya menjadi sebesar telur puyuh. Fania memutar kepalanya perlahan. Ternyata sejak tadi mata Farel tak lepas menatapnya dengan tajam. "Malu-maluin," ucap Farel dengan menatap lurus mata Fania. Melihat Fania yang hanya mematung di tempatnya, membuat Farel memutar tubuhnya membelakangi Fania. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku lalu pergi meninggalkan kelasnya. Tak peduli sama sekali dengan semua tatapan bingung teman sekelasnya. Fania benar-benar sudah membuatnya malu. Gadis itu bahkan menuduhnya yang tidak-tidak. Kejadian siang ini, semakin membuatnya yakin dengan nama panggilan yang secara diam-diam ia sematkan untuk Fania-Gadis Bermulut Mercon. Siapa yang tidak kenal Fania? Fania Aurellia, gadis manis yang memilih jurusan kuliah yang sama dengan Farel. Jika banyak yang senang berteman dengan Fania karena cerianya gadis itu, maka tidak untuk Farel. Fania adalah salah satu dari sekian banyak orang yang masuk dalam black listnya. Bagi Farel, Fania terlalu berisik, mengganggu konsentrasi, mengganggu ketenangan dan mengganggu kenyamanan hidup Farel. Jika ada Fania, telinga Farel rasanya selalu ingin meledak. "Farel, tunggu!!" teriak Fania sambil berlari mengejar langkah kaki Farel. Setelah jam kuliah tadi, Fania habis kena omel sahabatnya karena sudah membuat Farel marah padanya, dan yang paling parah adalah membuat Farel malu di depan semua orang. Fania sudah mendapat penjelasan lengkap dari Lian. Oleh karena itu Fania juga melampiaskan semua rasa malu dan kesalnya pada Lian. Ia bahkan memukul kepala Lian dengan pensil yang ada di tangannya. Beruntung Lian tak marah dan tak membalasnya, karena Lian merasa pukulan Fania sangatlah tidak ada apa-apanya. "Rel... Sorry!" Fania terus mengintili Farel dan terus mengucapkan maaf. Tapi bukan Farel namanya jika ia akan menggubris ucapan orang yang di sekitarnya. Seperti biasa, Farel akan menganggap ia ada sendiri di dunia ini, sehingga ia tidak akan merasa terganggu dengan adanya Fania saat ini. Farel masuk ke dalam perpus, dan menuju salah satu komputer yang sedang tidak dipakai oleh mahasiswa lainnya. Tangannya sibuk mengetik halaman kosong yang ada di Ms. Word. "Rel...!" Kini Fania berhasil duduk di samping Farel. Ia menatap wajah Farel yang tampak serius menatap layar komputer. "Maafin gue, gue nggak tahu." Farel masih diam dan tak mempedulikan kehadiran Fania di sampingnya. Ia selesai menuliskan apa yang mau diketiknya. Selesai mengetik, Farel langsung memindahkannya ke flashdisk. "Rel! Jangan marah, gue beneran nggak tahu. Sumpah deh!" seru Fania mencoba meyakinkan. "Gue cuma takut aja kalau sampai ngulang matkul Pak Dony. Lagian lo tahu sendiri kan kalau gue payah banget sama itung-itungan. Dan lagi, gue sekelompok sama lo dan Lian, di mana kalian itu terkenal pinter sekaligus s***s dan jahat." Oke, kali ini Farel langsung menolehkan dan menatap lurus mata Fania. Fania mengerjapkan matanya yang malah tampak sedang memperlihatkan puppy eyes miliknya pada Farel. Fania menelan salivanya susah payah saat mendapati tatapan tajam Farel yang seakan bisa merobek kornea matanya. "Jangan liatin gue kaya gitu!" pekik Fania dengan mengalihkan wajahnya ke samping. Untung saja perpustakaan sore ini sudah tampak sepi pengunjung, sehingga ketika sejak tadi Fania kedapatan beberapa kali teriak, tidak ada yang menegurnya. Farel sedikit memiringkan kepalanya untuk menatap Fania yang sedang menundukkan kepalanya. "Berisik," ucap Farel singkat. Fania langsung mengangkat kepalanya kembali dan mengerucutkan bibirnya mendengar komentar Farel. "Iih! kalau lo nggak cuekin, juga gue nggak bakal berisik dari tadi." Farel memejamkan matanya menahan emosi, mencoba sabar. "Masukin nama gue lagi plis! Lo jangan jahat dan tega gitu dong sama gue. Kita kan satu almamater di SMA." Memang benar. Farel dan Fania memang satu alamamater saat SMA. Bahkan mereka juga berada dalam kelas yang sama selama 3 tahun. "It's not my business." Farel beranjak berdiri. Ia mengabaikan wajah memerah Fania yang menahan kesal padanya. What? Ngeselin banget ucapan dan ekspresi datar Farel itu. Pengen Fania cakar rasanya. Fania ikut berdiri. Ia berlari kecil untuk menyejajarkan langkah kaki Farel yang lebar. "Exactly, it's your business. Gue sekelompok sama lo, jadi lo harus masukin nama gue di makalah itu. Gue kan juga bantu ngerjain..." Fania menjeda kalimatnya. Ia mengerjap lalu melanjutkan, "Yaa walaupun bantu dikit, sih. Ya tapi tetep aja, gue punya kontribusi atas tugas itu." Farel merogoh earphone yang ada di saku celananya. Ia segera memasang earphone tersebut untuk menyumpal telinganya. Lebih baik ia mendengarkan musik dari pada harus mendengarkan suara Fania yang hampir memecahkan gendang telinganya. Mungkin saat mamanya Fania hamil, mamanya itu ngidam karaokean, sehingga suara Fania hampir sejajar dengan suara microphone atau toa masjid. Belum sempat Farel menyetel musiknya, Fania sudah menarik sebelah earphone miliknya. "Jangan pake earphone! Gue tuh masih ngomong sama lo!" Farel berdecak pelan dan menghentikan langkahnya. Alisnya yang tebal semakin menukik tajam seiring tatapannya yang semakin tajam menatap Fania. Kini Farel menghadapkan tubuhnya ke arah Fania. Ditatapnya gadis yang tingginya hanya 160 cm yang bahkan tidak dapat melebihi tinggi bahunya. "Bawel." Fania ingin meraung sekarang juga. "Bisa nggak sih, nggak cuma ngomong 1 kata doang? Kasih gue kata yang lain. Gue gemes jadinya sama lo. Pengen gue cakar tuh pipi lo, tahu nggak!" "Nih," dengan entengnya Farel menurunkan wajahnya lalu menyodorkan pipinya tepat ke depan wajah Fania. Fania menatap wajah di depannya, lebih tepatnya pipi Farel. Bagaimana bisa Farel punya kulit yang putih bersih seperti itu? Fania jamin, lalat pun akan kepeleset kalau nyebrang di atas pipi Farel. Rasanya beda banget dengan pipi Fania yang suka muncul jerawat, apalagi kalau masanya sedang datang bulan. Rasanya seperti Fania sedang berjualan kacang di atas wajahnya. Refleks Fania mendorong tubuh Farel agar menjauh darinya. "Nggak usah sodorin muka lo yang jelek itu!" Farel berdiri tegap. Ia menatap lurus mata Fania, membuat Fania yang ditatap seperti itu kesulitan menelan salivanya. "Hati-hati," ucap Farel dengan suara santai. "Hati-hati apaan?!" tanya Fania nggak selow. "Suka sama gue," kata Farel datar dan langsung berbalik untuk melanjutkan langkahnya. Uhuk!! Fania langsung terbatuk-batuk. Ia memukul pelan dadanya untuk menghilangkan batuk karena keterkejutannya. Fania menatap kepergian Farel yang semakin menjauhinya. "Gila apa tuh cowok?" Fania mendesis, "Pedenya kebangetan," cibirnya sambil mengibaskan tangannya ke arah wajahnya. Mencoba memberikan terpaan angin tipis di wajahnya yang seketika memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD