Pulang Bareng

2967 Words
What if we rewrite the stars? Say you were made to be mine Nothing could keep us apart You'd be the one I was meant to find It's up to you, and it's up to me No one can say what we get to be So why don't we rewrite the stars? Maybe the world could be ours Tonight.... Sudah 1 bagian dari lagu yang terpasang sebagai nada alarm di handphone berbunyi, tapi sang pemilik handphone tampak masih terlelap di dalam balutan selimut. Nada alarm yang telah ia atur di jam 8 pagi, tampak tak berpengaruh pada tidurnya kali ini. Suara musiknya padahal sudah ia atur dengan suara tertinggi, tapi tetap, itu tak mengganggu tidurnya sama sekali. "Fania!!" teriak seorang wanita dari luar kamar yang tak lain adalah mama Fania. Ia mengetuk pintu anaknya, lebih tepatnya menggedornya, karena Fania yang tak kunjung bangun walaupun ia telah memanggil nama Fania selama 1 menit ke belakang. "Fania, Ya Allah... Kamu ini yang bener aja dong! Fania, kamu harus kuliah!!" sang mama masih belum menyerah membangunkan anak gadisnya. Fania yang terus diteriaki oleh mamanya dari luar pun akhirnya membuka kedua kelopak matanya. Dengan malas ia bangkit duduk. "Iya Ma!! Fania udah bangun!" balas Fania dengan ikut berteriak. Untungnya papa Fania sudah berangkat kerja, karena jika tidak, pasti antara Fania ataupun mamanya akan kena tegur papanya karena teriak-teriak di dalam rumah. Dengan malas Fania bangkit duduk. Rambut ikal panjangnya itu tampak acak-acakkan seperti rambut singa yang menutupi hampir seluruh wajahnya. "Arrggghh!!" Fania menggeram untuk membangkitkan semangatnya. Caranya memang sangat aneh. Ia punya cara sendiri untuk menyemangati dan membangkitkan mood dirinya. Karena kalau saja hari ini tak ada jadwal kuliah, mana mau Fania bangun jam 8? Terlebih ini masih hari spesialnya karena jadwal dapet bulanan, sehingga Fania lanjut bablas untuk tidur hingga jam 8. Fania menggelengkan kepalanya. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya agar kedua matanya semakin terbuka lebar. Fania mengambil handphonenya, dan seketika melonjak kaget karena baru sadar ia ada jam kuliah jam 8.30, sedangkan Fania baru bangun jam 8 lewat 10 pagi. "Faniaaa!!!!" Fania segera menyibak selimutnya, dan saking kuatnya selimut itu sampai terbang jauh hingga ke pintu. Dengan tergopoh-gopoh, Fania mengambil handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tak lebih dari 5 menit Fania keluar dari kamar mandi dengan handuk meliliti tubuhnya. Celana jeans yang melekat di kakinya, atasan dengan motif floral, serta kerudung segi empat berwarna mocca, menjadi outfit pilihannya hari ini. Dengan gerakan cepat, Fania mengikat rambut ikalnya. Ia bahkan tak menyisirnya dan hanya mengikat rambutnya asal. Bodo amat, karena Fania pun memakai hijab. Fania juga memakai bedak tipis dan lipstick berwarna nude untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat kurang fresh. Fania memungut dan kembali melempar asal selimutnya ke arah yang tak ia lihat. Masa depannya dengan dosen killer lebih berharga saat ini dibandingkan dengan omelan yang harus ia terima ketika sang mama tahu kamarnya berantakan seperti kapal pecah. Fania langsung membawa tas, handphone, serta sepatunya ke luar ruangan. Pagi ini Fania seperti orang yang kesetanan. Gerakannya terburu-buru, beberapa kali ia hampir tersandung karena langkah kakinya sendiri. Ia segera keluar rumah setelah pamit dengan mamanya, lalu pergi ke kampus dengan menaiki motor matic yang berwarna pink. Fania mengendarai motornya dengan kecepatan lebih cepat dari biasanya. Ia masih terus merutuki dirinya sendiri yang kembali bangun kesiangan. Masalahnya, pagi ini Fania punya jadwal kuliah dosen killer sekampus. Kabarnya, mahasiswa yang telat walau semenit, akan diusir dari kelas dengan alasan apa pun. 15 menit kemudian. Fania berhasil sampai di parkiran. Beri penghargaan untuk Fania yang berhasil memangkas waktu perjalanannya selama 10 menit. Setelah memakirkan motornya dengan indah di bawah pohon rindang, Fania langsung berlari menuju kelasnya. "Jangan telat, Ya Allah... Jangan telat....." ringis Fania sepanjang perjalanan. Ia berbalik di samping perpustakaan untuk beralih ke koridor tempat kelasnya siang ini. Langkah kakinya yang berlari, serta tatapan matanya yang terlalu berfokus pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya hingga membuat dirinya tak fokus menghadap ke depan. Kaki Fania sontak berhenti begitu sadar ia telah sampai di depan kelasnya yang sudah tertutup dengan sempurna. Fania menelan susah payah salivanya. Kakinya berjinjit untuk mengintip keadaan di dalam kelas. Dan ternyata Pak Eko sedang fokus menjelaskan materi di papan. Fania menganggukkan kepalanya mantap. Ia berdiri tepat di depan pintu, lalu membuka pintunya sepelan mungkin yang ia bisa. Tubuh atasnya sudah siap menunduk. Tapi sepertinya hari ini bukanlah hari Fania. Sepasang sepatu Vans berwarna hitam milik seseorang menyambut kedatangannya begitu ia telah membuka pintu kelasnya. Fania mengangkat kepalanya perlahan. Berharap bukan Pak Eko yang ada di hadapannya. Sepatu vans berwarna hitam, celana hitam, serta kemeja berwarna mocca yang berpadu dengan warna cokelat tua itu terpasang sempurna di tubuh yang tegap dan tinggi itu. Lehernya putih bersih. Kancing kemeja yang atasnya terbuka itu mampu memperlihatkan dengan jelas tulang selangka yang terpampang di depan mata Fania. Tapi saat pandangan Fania perlahan semakin ke atas, ingin rasanya Fania berteriak. Farel Ardiansyah Pratama. Laki-laki itu berdiri tepat di hadapannya dengan menatap dirinya tanpa ekspresi. "Pak," mata Fania membulat begitu satu panggilan yang ditujukan untuk dosen yang sedang fokus menulis di papan itu dipanggil oleh Farel. "Lo mau ngapain?" bisik Fania dengan penuh penekanan. Wajah Fania sudah penuh dengan raut khawatir. Ia mulai bisa mencium ada hal tak baik saat ini. Tubuh Fania belumlah terlihat, karena ia masih berada di luar pintu. Sehingga bisa dipastikan, Pak Eko tak melihat kehadirannya. "Ya?" siapa sangka, Pak Eko ternyata mendengar panggilan Farel yang tak terlalu kencang itu. Ia menoleh dan menatap Farel yang masih berdiri di ambang pintu. Padahal tadi anak itu sudah izin padanya mau ke toilet. "Farel!" bisik Fania dengan geram. "Ada yang datang telat," ucap Farel dengan meninggalkan senyum miring di wajahnya untuk Fania. Bola mata Fania fix mau keluar. Farel benar-benar menyebalkan. Mulai hari ini bisa Fania pastikan, si muka papan triplek akan mendapatkan balasannya. "Waahhh! Udah gila kali ya, tuh cowok." Fania mengibaskan kedua tangannya di depan wajah. Menciptakan terpaan angin pelan untuk wajahnya yang memerah. Bukan karena nge-blush habis ditembak cowok, tapi karena Fania yang sedang menahan emosi. "Emang gimana sih Fan tadi ceritanya?" tanya Puput dengan mendesak. "Iya nih. Gue jadi ikutan kepo banget kan." Timpal Elis ikut memanas-manasi suasana. Fania berdecak kesal. Dari tadi ia mencak-mencak di bangku kantin karena ingat apa yang Farel lakukan padanya. Terlebih kedua sahabatnya itu kompak membolos di mata kuliah Pak Eko, sehingga Puput dan Elis tak tahu apa yang terjadi tadi padanya. Elis dan Puput adalah kedua sahabat Fania. Keduanya sudah bersahabat baik semenjak SMA, dan beruntungnya lagi mereka sama-sama diterima di kampus yang sama saat ini. Fania dan kedua sahabatnya itu, jelas memiliki kepribadian yang berbeda. Jika Fania sangat suka bicara dan bisa dibilang bawel, Puput dan Elis sedikit lebih kalem dibandingkan Fania. Tapi sebenarnya sama saja, karena kalau ketiganya sudah berkumpul, suara mereka pasti akan menjadi yang paling juara. "Tuh anak nggak tahu apa, kalau perjuangan gue ke sini itu kaya apa?" Puput dan Elis kompak menaikkan bahu mereka sata mata Fania menatapnya bergantian. Fania menggeram pelan lalu melanjutkan. "Bayangin aja, dari gue mandi sampai akhirnya nyampe di kelas, CUMA 25 menit doang! Bayangin Put, Lis! Hebat kan, gue?" tanya Fania dengan bangga. Agak lebay sih memang, d**a Fania terasa begitu menggebu saat membicarakan soal kekesalannya pada Farel. Kedua matanya melotot, dan kedua tangannya sibuk bergerak ke sana ke mari, mendukung kekesalannya. "Iya, terus kenapa elah?! Cepetan kek ceritanya." Desak Puput yang sudah kepo setengah mati. "Gue diusir matkul Pak Eko gara-gara Farel." Adu Fania dengan bibir melengkung ke bawah. "What?" kaget Elis, tapi detik berikutnya ia malah tertawa kencang. Fania menatap sinis Elis, membuat Elis dengan cepat menghentikan tawanya. "Kok bisa sih? Lo telat ya jangan-jangan?" tebak Puput. Fania cemberut mendengar tebakan Puput yang memang 100% benar. "Iya sih, gue telat. Tapi gue itu hampir berhasil masuk kelasnya Pak Eko, kalau aja si muka papan triplek itu nggak lagi ada di pintu masuk. Dan yang lebih gilanya adalah dia manggil Pak Eko yang saat itu lagi fokus nulis di papan!" Ekspresi Fania semakin memperlihatkan bahwa ia sangat gemas dan kesal setengah mati dengan kelakuan Farel tadi. "Dia ngaduin gue kalau gue telat. Gila kan tuh anak? Ya Allah.... Kesel banget hamba sama dia..." "Itu Farel kayaknya balas dendam sama lo deh, Fan. Mungkin karena waktu itu lo udah bikin dia malu di depan anak satu kelas soal makalah Pak Dony." Tutur Elis semakin memanas-manasi Fania. "Iya Fan. Mungkin habis ini hidup lo nggak akan tenang," timpal Puput yang membuat Fania melotot tajam padanya. "Tapi itu bahkan udah 3 hari yang lalu. Masa dia masih dendam sih? Lagian kan, gue juga udah minta maaf sama dia." Kesal Fania semakin menjadi. Membayangkan wajah Farel yang tak pernah mengeluarkan ekspresi membuat Fania gondok. "Lagian kenapa sih lo selalu berurusan sama Farel? Dari zaman SMA loh, Fan." Elis juga pastinya heran, karena sejak SMA, Farel dan Fania sering terlibat perdebatan. Padahal keduanya tidak pernah dekat, tapi seperti ada sesuatu yang selalu membuat keduanya saling berurusan. "Gue takut, kalau nanti lo malah jatuh cinta sama si Farel." Ujar Puput yang hampir membuat kedua bola mata Fania ke luar dari tempatnya. "Idih amit-amit. Gak akan!" tolak Fania refleks. "Gila aja kalau gue sampai suka sama si muka papan triplek itu." Sejak dulu, Fania selalu menyebut Farel dengan sebutan 'Muka Papan Triplek'. Rasanya panggilan itu sangat cocok untuk manusia kutus seperti Farel karena wajahnya yang selalu nyaris pelit ekspresi. Elis dan Puput tertawa puas. "Bae-bae lo, Fan. Jangan remehkan kalimat 'benci jadi cinta'. Bisa jadi nanti lo beneran jatuh cinta sama si no face itu." Ujar Puput dilanjut tawa renyah. Fania langsung membekap mulutnya yang terasa mual karena ucapan Puput. Membayangkan apa yang diucapkan kedua sahabatnya itu sampai membuat Fania mau muntah. Ganteng sih iya, pinter iya, tinggi iya, tapi kalau muka datar tanpa ekspresi kaya papan triplek gitu juga siapa yang mau? Tapi yang membuat Fania aneh adalah, sejak SMA, ada banyak sekali kaum hawa yang menyukai Farel. Tapi Farel malah bertidak seolah pangeran kutub yang tak menolehkan kepalanya sedikitpun kepada para gadis yang mengejarnya. Dan Fania yang mengetahui itu jadi semakin sebal dengan Farel. Sok kegantengan!!! Farel melangkah keluar dari perpustakaan dengan membawa 2 buku di tangannya. Setelah jam kuliah hari ini selesai, Farel sengaja menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan hingga sore hari. Saat ini sudah pukul 4 sore, dan Farel harus pergi pulang ke rumahnya sekarang. 2 buku yang ada di tangannya adalah bahan untuk Farel mengerjakan deadline lomba artikel yang Farel ikuti. Lomba yang Farel ikuti adalah lomba yang diadakan oleh Kemendikbud. Farel berbelok dari koridor terakhir. Kini kakinya sudah hampir berada di parkiran. "Iih, nyebelin banget sih..." Farel tetap berjalan lurus dengan pandangan menghadap ke depan. "Kenapa bannya pake bocor segala, sih?" Karena terus mendengar suara-suara yang mengganggu telinganya, akhirnya ekor mata Farel bergeser ke kanan. Dari jarak pandangnya yang sempit, Farel bisa tahu kalau sosok yang sejak tadi berisik dan mengeluh adalah Fania. Si gadis mulut mercon. Farel terus berjalan maju tanpa berniat memutar kepalanya untuk melihat Fania. Farel terus berjalan tanpa berniat bertanya pada gadis itu, apakah ia membutuhkan bantuan atau tidak. "Farel!" Tapi sepertinya memang apa yang Farel harapkan tak melulu tercapai. Nyatanya, walau sudah diabaikan, Fania malah memanggil namanya dengan lantang. "Farel Ardiansyah Pratama!" Fania yang melihat Farel terus mengacuhkannya, langsung berdiri dari jongkoknya dan berlari mendekati Farel. "Farel ih, gue manggil lo!" "Muka papan triplek!!!" teriak Fania dengan lantang. Dan berhasil, Farel menghentikan langkah kakinya. Alis tebalnya terangkat sebelah mendengar panggilan untuk dirinya, dari Fania barusan. Ia memutar kepalanya dan menatap lurus mata Fania. "Ngomong apa lo barusan?" Sontak Fania ikut berhenti. Ia berdiam diri di posisinya yang kini tersisa 5 langkah sebagai jarak aman dari Farel. "Muka papan triplek," ulang Fania dengan polosnya. "Sekali lagi." Kerutan berhasil tercipta di kening Fania. "Maksudnya? Sekali lagi apaan?" "Manggil." "Muka papan triplek maksud lo?" ulang Fania dengan wajah yang benar-benar polos. Tapi detik berikutnya tawa Fania berhambur dengan puas. "Gue nggak nyangka lo bakalan suka panggilan itu." "Apa lo bilang?" Buku yang Farel pegang itu adalah buku yang tebal. Sepertinya cukup untuk memukul kepala Fania agar gadis itu bisa berpikir jernih, siapa juga yang mau dipanggil -muka papan triplek-? Fania langsung menutup rapat bibirnya dan membasahi bibir bawahnya. Ia baru sadar kalau ternyata Farel sedang marah padanya. "Sorry," ucap Fania dengan menampilkan cengiran tak berdosanya. "Nggak penting dasar," ketus Farel dan meninggalkan Fania dengan melangkah maju mendekati mobilnya. Fania langsung mengejar langkah kaki Farel dan menarik bagian lengan kemeja Farel hingga laki-laki itu menghentikan langkahnya. "Eeh, mau ke mana?" Farel memutar kepalanya dan menatap mata Fania serta tangan Fania yang memegang sebagian dari kemejanya bergantian. "Tolongin gue," ucap Fania dengan berusaha keras mengabaikan tatapan Farel yang seakan ingin membelah matanya jadi 2. Farel menarik lengannya cepat dan membuat tangan Fania secara tidak langsung ikut terlepas dari kemejanya. "Bukan urusan gue." "Please!" seru Fania dengan kedua tangan menangkup di depan wajahnya. Fania juga tak mengerti apa yang dilakukan oleh tangannya itu, karena dengan berani-beraninya memohon pada muka papan triplek di hadapannya. "Motor gue bannya bocor. Tolongin gue buat bawa motornya ke bengkel." Farel mengabaikan permohonan Fania. Ia memilih untuk terus berjalan dan tak menghiraukan Fania. Tapi, bukan Fania, jika menyerah dengan cepat. Gadis itu berlari dan berhenti tepat di hadapan Farel, hingga mau tidak mau Farel ikut menghentikan langkah kakinya. Kedua tangan Fania terbuka lebar ke samping. Melindungi Farel agar tidak meninggalkannya begitu saja. "Pagi ini lo udah jahat sama gue, sampe gue diusir dari matkul Pak Eko. Jadi sekarang jangan jahat lagi dan lebih baik bantu gue yang lagi butuh pertolongan ini." Sudut bibir kanan Farel tertarik. Membentuk sebuah senyum miring. Ia menyentuh ujung hidungnya yang tak gatal, lalu kembali menatap Fania. "DL," ucap Farel dengan tak acuh meninggalkan Fania. Farel membuka kunci alarm mobilnya. Ia menarus tas dan juga kedua bukunya di kursi belakang bagian kanan. Bertepatan saat Farel ingin duduk di kursi pengemudi, sesuatu yang menyebalkan, malah membuat Farel ingin marah. Dengan gerakan cepat, Fania masuk ke dalam kursi penumpang yang berada di belakang. Ia mendekap ranselnya erat, dan memakai sabuk pengamannya. Berjaga-jaga jika nantinya Farel akan menarik tubuhnya ke luar dari mobil "Karena lo nggak mau bantuin bawa motor gue ke bengkel, jadinya lo harus anterin gue sampe rumah." "Keluar," perintah Farel dengan nada yang masih santai. "Nggak mau! Lo harus anterin gue sampe rumah. Salah lo, nggak mau bantuin bawa motor gue ke bengkel." "Keluar," ucap Farel sekali lagi, tapi dengan intonasi suara yang jauh lebih tegas dan dingin. "Ya ampun Rel. Jangan pelit gitu kenapa sih? Gue ini kan temen lo," kata Fania dengan suara yang lebih rendah dan bibir melengkung ke bawah cemberut. Dan itu membuat Farel jijik melihatnya. Farel tahu, Fania hanyalah berpura-pura. "Kata siapa?" "Kata gue barusan." Ujar Fania dengen pede. "Kita kan udah kenal dan satu kelas dari SMA, ya jadi secara otomatis lo jadi temen gue." "Nggak ada," ketus Farel. "Sekarang keluar." "Nggak mau Rel......" Farel memejamkan matanya mencoba sabar. Menghadapi Fania memang memakan banyak energi dan membutuhkan kelapangan d**a yang amat besar. Karena Fania yang masih bersikekeh duduk di belakang, akhirnya Farel memutari mobilnya mendekati Fania yang duduk di bagian sisi kiri. Farel berhasil membuka mobilnya. "Keluar," perintahnya dengan ekspresi wajah yang berkali-kali lipat lebih serius. Fania jamin, kalau mata Farel menatap buah apel dengan tatapannya sekarang, apel itu pasti akan terbelah menjadi 8 potong. Ngeri! "Aaaaa!!! Mamaaaa!!! Tolongg!!!" Mata Farel sontak membulat karena mendengar teriakan Fania yang begitu lantang. "Wah, diapain tuh?" "Gila, k*******n ya?" "Laporin rektor cuy!" "Nggak nyangka gue. Ni kampus..." Farel langsung memutar kepalanya dan mendapati orang-orang yang ada di sekitarnya tengah menatapnya intens. Tanpa sadar, Farel mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya ke kanan ke kiri. "Bu.. Bukan gue." Jujur, Farel panik. Ia tidak bisa menyamarkan ekspresi bingung dan kagetnya di depan semua orang. Lumayan, ini adalah wajah baru yang bisa Farel perlihatkan kepada semua orang, selain wajah datar dan dinginnya itu. "Sebelum lo digebukin massa, lebih baik ayo kita pergi dari sini." Mendengar 1 kalimat yang terlontar dari mulut Fania membuat Farel ingin tertawa. Ia tidak percaya gadis itu akan seberani ini padanya. "Rel, ayooo..." Farel masih menghadap ke depan, sehingga tubuhnya membelakangi Fania. Kepalanya menunduk, dan semua sudut bibirnya tertarik. Ia tersenyum, tapi lebih kepada tersenyum miris atas dirinya yang dengan mudah jatuh ke dalam perangkap si gadis bermulut mercon. Farel kembali menyesuaikan ekspresi wajahnya. Ia memutar tubuhnya lagi dan kepalanya sedikit menunduk untuk bisa melihat Fania yang masih duduk manis di dalam mobilnya. "Keluar." "Ya Allah, Rel!" pekik Fania. Memang dasar drama queen. "Lo masih belum nyerah? Lo mau gue teriak lagi? Apa lo emang mau digebukin sama semua orang di sini? Iya?" tanya Fania dengan mata melotot menatap Farel. Farel mengembuskan napas panjangnya. Jika saja Fania ini bukan perempuan, sudah pasti tinju Farel akan melayang ke wajahnya. "Pindah ke depan." "Pindah ke depan?!!" pekik Fania lagi yang membuat Farel memejamkan matanya karena terkejut. Kenapa Fania senang sekali berteriak dan heboh sendiri? "Ya Allah, gue terharu banget, sumpah! Gue kira lo itu diciptakan untuk jadi orang jahat aja, ternyata bisa baik juga." Kedua mata Fania berbinar menatap Farel. Lebay! Farel memutar bola matanya. Malas sekaligus jengah dengan semua celotehan si gadis bermulut mercon ini. "Cepet, atau lo—" "Gue pindah!" Dengan cepat Fania langsung bergerak ke luar mobil. Tapi gerakannya yang mendadak itu membuat kaki kirinya tersandung kaki kanannya. Beruntungnya Farel dengan sigap menahan lengan Fania, sehingga Fania tak jadi terjungkal ke depan. "Hati-hati bisa nggak?!" bentak Farel dengan tangan menahan lengan Fania dengan erat.  Fania mengerjap. Tubuhnya dan tubuh Farel kini berdekatan. Ia bahkan bisa dengan jelasnya menatap urat di leher Farel yang tampak menegang karena emosi. Maklum, Fania kan pendek. Fania melepaskan lengannya yang dipegang oleh Farel. "Nggak pake teriak, bisa nggak sih?" cicit Fania pelan dengan kepala menunduk. Fania menggeser tubuh Farel ke samping dan membuka pintu penumpang depan. Ia langsung duduk dan menutup pintunya kembali dengan rapat. Meninggalkan Farel dengan ekspresi sejuta takjubnya pada seorang Fania. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD