Kompak Katakan Tidak

2719 Words
Perjalanan di mobil berlangsung penuh hening. Beberapa kali Fania melirik ke arah Farel yang sibuk menyetir, tapi pandangan laki-laki itu selalu fokus ke depan. Bahkan deru napasnya Farel saja, Fania tak bisa mendengarnya. Fania menggembungkan pipinya. Ia bosan hanya duduk diam dan tak melakukan apa pun. Mulutnya gatel ingin bersuara, tapi ia juga takut akan diturunkan Farel di tengah jalan kalau berisik. "Ngapain ngeliatin?" tanya Farel yang memecahkan lamunan Fania. Padahal pandangan Farel sejak tadi lurus ke depan, tapi laki-laki itu seolah tahu kalau Fania sejak tadi menatapnya. "Laper, Rel." Keluhan Fania itu berhasil membuat Farel melirik sekilas pada Fania. Tatapan singkat Farel itu mampu terlihat menajam oleh Fania. Fania menggembungkan pipinya lagi dan akhirnya duduk bersandar dengan bibir mengerucut cemberut. "Perut gue bunyi terus nih dari tadi. Lo tega emangnya?" "Kenapa nggak?" balas Farel tanpa menoleh. "Jahat banget sih, pelit dasar." Cibir Fania dengan suara mencicit. "Apa lo bilang?" "Jahat, pelit!" seru Fania dengan lantang. "Bawel, ngeselin." Balas Farel tak mau kalah. "Iiihhhh Farellll.... Kok lo ngeselin banget sih?!Jadi cowok itu harusnya banyak ngalah." Cerocos Fania dengan duduk menghadap ke arah Farel. "Nggak berlaku." "Apanya?" tanya Fania dengan kening mengkerut. "Teori lo, buat gue." Fania mendesis panjang. Ingin rasanya Fania memukul kepala Farel dengan tongkat baseball. Siapa tahu kan, dengan begitu, kutub es Farel akan mencair dengan sempurna. Mobil kembali berjalan dalam kondisi sunyi. Baik Farel maupun Fania sama-sama bungkam mulut. Drrt! Drrt! Fania menatap layar handphone miliknya yang bergetar. Ia melirik ke arah Farel, tapi karena melihat Farel yang terus fokus mengemudi akhirnya Fania mengangkat panggilan masuk dari mamahnya. "Halo, Mah?" Farel melirik ke arah Fania sedetik, lalu kembali fokus dengan jalan di depan setelah mengambil kesimpulan Fania sedang tersambung dengan mamahnya. "................." "Apa?!" pekik Fania heboh. "Fania nggak mau ih Mahhhh!" "Mamah kok gitu sih? Fania nggak mau," seru Fania. "................." "Pokoknya Fania nggak mau. Mamah nggak bisa paksa Fania. Fania nggak mau." Selanjutnya Farel merasa ia tidak harus mendengarkan semua ini. Fania tampak sedang berdebat dengan mamahnya. Dan hampir di setiap kalimat yang Fania keluarkan, Fania selalu mengatakan 'nggak mau'. Fania mematikan sambungan teleponnya. Ia meletakkan handphone miliknya di atas tas yang berada di pahanya. Kepalanya menunduk dalam, dan selanjutnya Farel mendengar suara isak tangis dari sebelahnya. Farel melirik ke arah Fania dan Farel cukup yakin, bahwa Fania memang sedang menangis. Memang apa yang telah dibicarakan di telepon sampai membuat Fania menangis? Ngapain nangis sih ni anak? tanya Farel yang hanya berani terucap di dalam hati. Ini adalah pertama kalinya ada seorang perempuan yang menaiki mobilnya selain bunda dan kakak perempuannya. Dan juga, ini adalah pertama kalinya seorang perempuan yang menangis di dalam mobilnya. "Farel..." cicit Fania dengan suara yang pelan di sela isak tangisnya. Awalnya Farel malas menanggapi. Tapi akhirnya ia berdeham untuk menjawab panggilan Fania. "Rel..." Farel menahan napasnya karena Fania yang hanya kembali memanggil namanya. "Farel..." Farel berdecak pelan lalu menoleh 2 detik menatap Fania. "Apa?" Fania menepis air matanya. Ia mengubah duduknya menjadi menghadap ke arah Farel yang sedang fokus mengemudi. "Gue laper Rel..." Kerutan berhasil tercipta di kening Farel. Ia kembali menoleh dan mendapati Fania yang masih sibuk menangis dengan sesekali menatap wajahnya dari samping. Farel mengembuskan napas panjangnya. Pegangan tangannya di atas stir kemudi mengerat karena Fania. Mungkin harusnya ia menurunkan Fania dari mobilnya sejak awal. Mungkin harusnya Farel membiarkan dirinya digebukin orang banyak dari pada harus mendengar semua ocehan Fania yang tak ada habisnya. "Rel... Gue lagi sedih, kok lo tega gitu sih sama gue? Gue bilang gue laper..." Farel menghirup napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. "Elap tuh ingus," ucap Farel dengan memberikan tisu yang ada di dekatnya tanpa melihat ke arah Fania. Jijik rasanya karena Fania terus saja menarik ulur ingusnya. Farel sangat tidak bisa dengan sesuatu yang jorok dan jijik seperti itu. "Iih, jorok banget sih!" kesal Farel saat Fania malah mengeluarkan semua ingusnya dari dalam dua lubang hidungnya. "Kan tadi lo yang nyuruh. Gimana sih!" kesal Fania balik yang tangannya masih fokus mengeluarkan semua ingusnya. Farel menggelengkan kepalanya. Rasanya ia mau menangis dan meraung di jalanan. Ini bukanlah hidup yang ia inginkan. Untuk seorang Farel yang sangat menyukai kebersihan sangat tidak bisa mentolerir apa yang Fania lakukan. Farel hanya bisa memejamkan matanya melihat Fania yang sedang makan seperti orang yang kelaparan. Terlebih Fania memilih makan mie ayam yang ada di pinggir jalan. Sehingga saat ini, Farel memakai semua pelindung tubuhnya. Jaket, topi, serta masker wajah. Farel bahkan sampai tak percaya akan dirinya yang saat ini. Berhadapan dengan seorang gadis seperti Fania, semobil dengan Fania, berdebat dengan Fania, hingga menemani Fania yang sedang makan mie ayam karena kelaparan. "Farel, lo nggak mau makan?" tanya Fania dengan mulut penuh mie. Farel membuka matanya lalu memejamkan matanya kembali. Ia benar-benar harus mengatur pernapasan untuk bicara dengan Fania. Fania seperti manusia yang dipasang mesin dengan baterai yang tak pernah habis sehingga seperti tak ada lelahnya untuk gadis itu berbicara. Padahal Fania menangis cukup lama di dalam mobil tadi. Farel pun enggan menanyakan, karena ia bukanlah tipe yang ingin ikut campur dalam urusan orang. Jika orang itu tak mau menceritakannya, maka kenapa harus Farel kepo? Hidup Farel itu simple. Ia tak mau orang lain kepo ataupun ikut campur urusannya, maka Farel juga sudah pasti akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain. "Rel... Emang lo beneran nggak laper?" Farel malas menjawab pertanyaan Fania. Ia benar-benar tidak bisa berhadapan dengan makhluk seperti Fania. Farel bangkit berdiri, mengeluarkan selembar isi dompetnya yang berwarna biru kepada abang mie ayam. "Ya Allah, Rel? Lo traktir gue makan?!" Farel menatap tajam Fania yang kembali bicara dengan suara kencang. Pasalnya di situ cukup ramai, dan seperti yang kalian ketahui, Farel sangat tidak suka menjadi pusat perhatian. "Bawel," ucapnya dingin dan segera meninggalkan Fania menuju mobilnya. "Farel tungguin! Jangan tinggalin gue!" Dengan cepat Fania menghabiskan mie ayam yang masih tersisa sedikit di dalam mangkuknya. Selesai makan Fania langsung menghabiskan segelas air mineralnya, lalu bangkit berdiri. "Abang makasih yaa! Mie ayamnya enak, tapi lebih enak pake daging sapi Bang. Dah..." pamit Fania meninggalkan raut wajah bingung pada penjual mie ayamnya. Kalau pake daging sapi yaa bukan mie ayam namanya. Jadi mie sapi! Bunda tunggu ya sayang. Bunda janji, kalau kamu nggak suka, maka Bunda nggak akan lagi paksa kamu. Love you. Farel mendesah panjang menatap pesan masuk yang dikirimkan oleh bundanya sekitar 3 jam yang lalu dan baru sempat ia baca sekarang. Farel benar-benar tidak mengerti lagi kepada bundanya. Apa sih yang sebenarnya diinginkan oleh bundanya itu? Apa segitu besar keinginan bundanya agar ia menikah muda? Nikah muda tapi nggak juga di saat ia masih semester 2, dong? Mau dikemanakan semua impian dan cita-citanya kalau menikah? Suara pintu mobil yang dibuka membuyarkan semua lamunan Farel. Farel bahkan lupa, kalau ia sedang bersama si gadis mulut mercon. "Lo nggak niat ninggalin gue, kan?" Farel bahkan lupa kalau Fania ternyata semenyebalkan ini. Farel tak menanggapi tuduhan Fania. Tangan kanannya kembali bersiap di atas stir kemudi, dan tangan kirinya memegang rem tangan. Farel menginjak pedal gasnya dan kembali melajukan mobilnya ke tempat yang Fania inginkan. Dan Farel tak tahu di mana itu tempatnya. Farel sibuk melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa ia pergi ke tempat yang benar. Karena ragu dengan tempatnya, akhirnya Farel menepi di pinggir jalan. Ia menoleh ke arah Fania, karena Farel juga heran, kenapa sejak tadi Fania duduk diam dan tak bicara sama sekali. Farel membuka mulutnya sedikit secara refleks saat melihat Fania yang sedang tertidur. Apakah hari ini Fania sedang berperan sebagai seorang puteri, dan Farel yang berperan sebagai seorang pesuruh? Sudah numpang, berisik, nangis, minta makan, terus sekarang tidur? Tin!!! "Mamaahh!!!" Sontak Farel terkekeh karena melihat ekspresi kaget Fania. Ia memang sengaja membunyikan klakson mobilnya dengan lantang untuk membangunkan Fania yang seenaknya tertidur di mobilnya. Ia kan bukan sopir yang bertugas membawa sang puteri ke tempat tujuan. "Iiihhh Farel!" kesal Fania dengan memukul tubuh Farel dengan tasnya. "Kok lo ngeselin banget, sih." "Ih kok mukul sih?" kesal Farel tapi masih sambil terkekeh. Fania mengerucutkan bibirnya kesal. "Jangan ketawa!" bentak Fania dengan menatap tajam Farel. Baru menyadari dirinya yang tertawa lepas karena Fania, Farel segera berdeham dan mengembalikan raut wajahnya seperti semula. "Siapa yang ketawa?" tanyanya dengan nada suara yang sudah kembali seperti semula. "Lo!" jawab Fania dengan ngegas. "Mana puas banget lagi ketawanya." Semua sudut Farel kembali tertarik tersenyum geli. Tak disangka reaksi Fania benar-benar menghibur dirinya. Farel bahkan lupa, kapan terakhir kali ia bisa tertawa. Fania mendengus sebal. Ia menoleh ke jendela lalu bertanya, "Kita di mana?" "Nggak tahu," jawab Farel singkat dengan ikut menoleh ke luar jendela. Farel menepikan mobilnya di pinggir jalan yang masih cukup ramai. Di depannya ada bangunan toko roti yang cukup terkenal di kawasan Jakarta Selatan. "Bener ini Rel. Tadi Mamah gue ngasih patokannya toko roti itu." "Oh ya?" "Iya," jawab Fania dengan menolehkan kepalanya menatap Farel. "Nah itu! Plangnya tuh!" tunjuk Fania ke arah depan. Farel mengikuti arah telunjuk Fania. Ia mengangguk sekali tatkala matanya menangkap apa yang dimaksud Fania. Kakinya kembali menginjak pedal gasnya dan maju perlahan ke depan. Sebuah restoran dengan bangunan 2 lantai perpaduan 3 jenis warna cokelat yang berbeda. Di sekitar restoran dinami pohon palem. Dari luar, Farel sudah bisa menilai bahwa restoran tersebut termasuk restoran yang cukup mahal. Bisa terlihat dari dekorasi luar yang tampak eksotis, elegan, dan mahal. "Sana turun," perintah Farel dengan nada suara yang kembali dingin. Fania mendengus sebal. Kalau saja Fania tak merasa berhutang budi pada Farel, sudah pasti Fania akan membalas ucapan Farel tadi. Bunda's Calling. Farel berdecak pelan dengan memijit pelipisnya pelan. Apalagi yang mau bundanya katakan? Mengingatkan dirinya akan pertemuan sore ini dengan anaknya Tante Amira? Baru membayangkannya saja sudah membuat Farel kesal. "Assalamu'alaikum," ucap Farel. Mau bagaimanapun yang menelepon adalah sang bunda, sehingga Farel harus mengangkatnya. Kening Farel berhasil menciptakan kerutan tipis tatkala mendengar ucapan bundanya yang sangat jujur tak ingin Farel dengar. "Aku udah bales wa Bunda kan, ya? Aku bilang nggak mau. Terus kenapa Bunda malah nelepon lagi sekarang?" "Itu bukanlah alasan, Bunda. Kalau Bunda buat alasan begitu, maka aku pun bisa buat alasan lainnya." Hari ini memang berjalan panjang untuk Farel. Kalau begini caranya Farel harus check up ke rumah sakit, untuk memeriksa apakah kondisi tubuhnya masih baik-baik saja atau tidak. Selesai berdebat dengan bundanya perihal 'topik' yang masih sama dengan yang dibicarakan 2 minggu ke belakang tak kunjung usai. Ayah janji, kalau Farel memang nggak suka kita akan batalin semua perjodohannya. Pokoknya kalau Farel udah lihat dan kenal anaknya Tante Amira, Bunda juga janji nggak akan paksa untuk ke depannya. Semuanya terserah Farel. Embusan napas panjang kembali terdengar dari mulut Farel. Entah apa ayah dan bundanya itu dapat dipercaya atau tidak, setelah Farel menolak pun, nyatanya keduanya malah semakin gencar untuk. Mempertemukan dirinya dengan anaknya Tante Amira. Seperti apa anaknya Tante Amira pun Farel tak merasa penasaran sedikit pun. Tapi Farel lebih tidak mengerti lagi pada dirinya sendiri. Karena nyatanya, ia tetap tak bisa menolak banyak permintaan bundanya yang begitu putus asa agar ia bisa mengenal anaknya Tante Amira. Pokoknya setelah melihat seperti apa sosok anak Tante Amira dan mengetahui namanya, Farel pastikan ia akan langsung pulang ke rumah tanpa basa-basi lebih jauh. Ia akan benar-benar menagih janji ayah dan bundanya yang mengatakan bahwa setelah Farel mengenal anak Tante Amira, maka keputusan selanjutnya ada di tangan Farel. Dengan helaan napas panjang untuk entah yang ke berapa kalinya, Farel keluar dari mobilnya. Padahal baru sekitar beberapa menit Farel ditinggal Fania yang sedang bertemu mamahnya, kini Farel malah harus ikut masuk karena permintaan ayah dan bundanya. Farel hanya berharap, saat di dalam nanti, tempat duduknya dan Fania sangat-sangat berjauhan, sehingga Fania tidak akan tahu kalau dirinya sedang mengadakan pemaksaan-pertemuan-perjodohan. Karena bisa-bisa, mulut merconnya Fania menyebarkan kabar berita yang tidak-tidak ke semua temannya. Sangat mungkin itu terjadi jika dengan seorang Fania Aurellia. Farel keluar dari mobilnya. Ia melangkah jauh meninggalkan mobilnya dan masuk ke dalam restoran. Matanya sibuk mengedar ke sekeliling restoran untuk mencari keberadaan ayah dan bundanya yang katanya sudah sampai di restoran. Farel hanya berharap, ia mampu menghadapi semua ujian dari kedua orang tuanya ini. Karena jangankan ketemu orang asing, setiap ada acara keluarga saja, Farel hanya banyak diam di sofa dengan membaca buku. Jangankan ketemu orang asing, main dan berkumpul bersama teman saja sangat jarang Farel lakukan. Bukan karena Farel anak yang kuper, hanya saja menurut Farel kegiatan seperti itu hanya buang-buang waktu. Maklum, introvert akut. Manusia kutub. "Maaf, Mas. Sudah booking tempat sebelumnya?" Farel melirik orang di sebelahnya dengan kening mengkerut. Seorang waitress laki-laki itu ikut mengerutkan keningnya, karena Farel yang hanya diam dengan menatap lurus matanya. Waitress tersebut jadi takut sendiri dengan tatapan dari Farel. Padahal ia sudah bertanya dengan seramah mungkin untuk semua pengunjung restorannya. "Pak Rama," jawab Farel singkat. Senyum tercipta di wajah waitress tersebut saat mendengar jawaban singkat dari Farel. "Oh, dengan Pak Rama? Anda pasti Farel, anaknya ya? Beliau ada di lantai 2 Mas. Mari, silahkan ikut saya, akan saya antar." Farel mengangguk singkat dan mengikutinya. Restoran tampak ramai sore itu. Mungkin karena ini juga sudah jam pulang kerja sehingga banyak orang yang mampir untuk mengisi perut mereka. Kebanyakan pengunjungnya juga sepasang suami istri dan ada juga yang sendiri ataupun datang bersama rekan kerja mereka masing-masing. "Di sana, Mas." Farel berhenti melangkah dan menatap ke arah tangan waitress tersebut menunjuk. Kiranya ada sekitar 5 orang yang berada di meja sana. Dari jarak Farel, jelas saja ia bisa melihat ayah dan bundanya yang tampak sedang cekikikan. Di depan ayah dan bundanya, ada sekitar 3 orang yang tak bisa Farel lihat karena posisi Farel yang ada di belekang mereka. Farel menurunkan kepalanya sedikit pada sang waitress dengan tersirat ungkapan terima kasih. Dengan langkah malas, Farel segera menghampiri meja ayah dan bupndanya. Kepala Farel menunduk. Ia langsung berpikir lagi, haruskah ia pergi saja sekarang? Haruskah ia memberikan kesan menyebalkan yang maksimal agar Tante Amira sudah tidak mau lagi menjadikannya menantu. "Sayang!" panggil Kartika dengan semangat saat melihat Farel yang akhirnya benar-benar datang. Kartika dan semua yang ada di sana, termasuk gadis yang sejak tadi sibuk dengan jus jeruknya akhirnya ikut menoleh. Fania Aurellia. Seorang gadis yang ternyata adalah anaknya Tante Amira. Bola mata Fania terasa mau terjatuh dari tempatnya saat melihat sosok yang sangat-sangat ia kenali. Karena terlalu terkejut, akhirnya air jeruk yang ada di mulut Fania langsung menyembur keluar begitu lelaki yang dipanggil 'sayang' tadi lewat di hadapannya. Bagaimana tidak, ternyata seseorang yang mau dikenalkan padanya dengan niat dijodohkan ternyata adalah Farel. Seorang Farel? Akan dijodohkan menjadi suami Fania? Mau pingsan Fania rasanya. Farel berhenti, tepat saat itu juga. Ia cukup menyadari bahwa tubuh bagian kanannya basah karena terasa habis disiram. "Ya Allah.." "Astaghfirullah Farel.. Kamu nggak papa?" Tante Amira langsung berdiri setelah memukul punggung Fania dengan pelan. Farel bergerak selangkah ke samping, menolak uluran tangan Tante Amira padanya. Farel mengangkat kepalanya seraya berdecak kesal. Tangannya menyentuh kemeja bagian kanannya dan juga tangan kanannya yang basah. "Fania! Bangun dong, minta maaf.." perintah Tante Amira pada Fania yang kini menutupi wajah dengan kedua tangan. Fania menggeleng dengan raut wajah memohon ingin pulang. Dan bertepatan saat Fania ingin beranjak berdiri, Farel menyebutkan sebuah nama. "Fania?" Baik Fania maupun Farel, keduanya sama-sama terdiam. Tak ada yang berkomentar dengan suasana canggung mereka yang sudah tiada tara lagi. "Hahahahaha... " tawa anggun keluar dari mulut Tante Amira. Bermaksud menghilangkan suasana canggung, ia malah dihadiahi tatapan tajam yang kompak diberikan oleh Farel dan Fania. "Farel.. Jangan gitu dong Nak," pinta Kartika dengan berbisik pada telinga Farel. Farel menghela napas dan akhirnya menurut. Ia langsung menurunkan pandangannya. "Ternyata anak-anak kita sudah saling mengenal ya?" tanya Rama dengan terus mengabaikan tatapan tajam Farel yang kini ditujukan untuknya. Biarlah, ia senang kalau membuat Farel marah padanya. Jiwa iseng yang sudah lama terpendam kini telah bangkit kembali. "Betul Pak Rama. Kalau gini caranya kita nggak perlu lagi ngenalin mereka. Bisa dilanjut ke tahap berikutnya," timpal Om Basuki dilanjut kekehan renyahnya. "Betul banget." Kartika dan Tante Amira langsung saling menatap dan terkekeh karena menyadari mereka bicara secara bersamaan. "Nggak!" tolak Farel dan Fania secara bersamaan. "Aku nggak mau nikah sama Fania." Ujar Farel dengan menatap lurus ayah dan bundanya bergantian. "Siapa juga yang mau nikah sama lo?" hentak Fania kesal pada Farel. "Baguslah," ucap Farel ketus. "Farel... nggak boleh gitu bicaranya sama Fania." Nasihat Kartika pada anak bungsunya. "Sampai kapanpun juga gue nggak akan mau nikah sama lo," balas Fania dengan membalas tatapan Farel tak kalah tajamnya. "Bagus. Karena gue juga nggak." "Oke, fine. Nggak akan!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD