Brak!
Fania menutup pintu mobil dengan kencang hingga membuat papah dan mamahnya yang masih berada di kursi terkejut karena ulahnya.
Fania langsung melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah lebar. Wajahnya memerah karena emosi. Deru napasnya terdengar kasar. Sama seperti saat Fania pernah merasakan kekesalan pada seseorang.
"Fania!" teriak Amira dengan mencoba mengejar langkah kaki Fania.
"Fania!" Fania terus mengabaikan panggilan mamahnya. Ia hanya ingin sampai di kamarnya. Fania sendiri juga nggak ngerti dengan dirinya, kenapa ia bisa begitu kesal malam ini.
Brak!
Amira memejamkan matanya rapat begitu kamar puterinya tertutup rapat di depan wajahnya dengan kencang. Kalau sampai ia telat berhenti, mungkin tubuhnya sudah terjepit pintu.
"Fania! Mamah hampir aja kejepit pintu kamu!" teriak Amira dengan gemas dari luar.
Fania tak membalas keluhan mamahnya. Tanpa melepas baju serta kerudung yang masih melekat di tubuhnya, Fania langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur dan membalut seluruh tubuhnya ke dalam selimut tebal hingga kepala.
"Aaaaaaaa!!!!!!" teriak Fania sekencang-kencangnya. Tapi karena ia yang berada di dalam gulungan selimut, makanya suaranya tak akan mungkin terdengar sampai ke luar.
"Farel nyebeliiinnn!!!!"
"Nyebelin, nyebelin, nyebelin!!!"
"Dasar muka papan triplek!!"
"Datar!! Jahat!! Galak!! Ngeselin!! Pelit!! Huaaaa!!!"
Rasanya Fania sudah gila. Ia terus berteriak memaki Farel di dalam gulungan selimutnya. Rasa kesal Fania semakin memuncak saat di restoran tadi. Mendengar satu kalimat Farel yang mengatakan pada semua orang kalau laki-laki itu tak mau menikah dengannya.
Dengan susah payah Fania bangkit duduk dengan tubuhnya yang masih berada di dalam gulungan selimut. "Waaahh!!" Fania membuka mulutnya dengan ekspresi takjub karena saking tak percayanya begitu kepalanya selalu mengingat adegan di restoran tadi.
Kerudungnya sudah tak lagi terpasang dengan benar. Poni rambutnya sudah menyebar ke seluruh dahinya. Fania langsung menarik lepas kerudungnya dan merapihkan rambutnya dengan cepat dan asal.
Fania kembali mengingat 1 kalimat pengundang amarahnya malam ini. "Aku nggak mau nikah sama Fania.." ucap Fania mengulang 1 kalimat Farel dengan gerakan bibir yang meledek.
"Emang dia pikir, karena dia ganteng terus dia bisa dengan seenaknya bertingkah kaya gitu?! Emang dia pikir, karena dia ganteng terus bebas gitu buat dia memperlakukan semua orang dengan seenaknya?!"
"Sok kegantengan banget sih tu cowok! Ngeselin dasar!"
"Dia pikir gue mau apa nikah sama dia?" Fania kembali berdecak kagum atas penolakan Farel saat di restoran tadi. Rasanya harga dirinya hancur saat Farel mengatakan 'aku nggak mau nikah sama Fania'. Padahal Fania masih memikirkan perasaan Farel dengan menahan perkataannya. Sehingga ketika Farel mengucapkan 1 kalimat itu, Fania langsung membalas ucapan Farel.
"Muka aja datar gitu, mana ada yang mau nikah sama dia? Cuma cewek hebat sedunia yang mau nikah sama seorang manusia seperti Farel Ardiansyah Pratama!"
"Ah, Ya Allah... Kesel banget hamba sama itu cowok...."
Berbeda dengan Fania yang mencak-mencak kesal karena ulahnya Farel, Farel sendiri malah melangkah santai memasuki rumahnya. Kini semuanya usai, karena ia tak perlu lagi repot-repot berurusan dengan anaknya Tante Amira. Farel sudah tahu siapa Fania. Dan Farel juga sudah tahu seperti apa karakter Fania.
Ia sudah melakukan semua yang diinginkan oleh ayah dan bundanya, maka saat ini Farel bisa kembali fokus dengan belajar dan semua impiannya. Permintaan yang menurutnya konyol dan juga calon istri yang ternyata adalah -si gadis mulut mercon- membuat Farel ingin tertawa.
Dunia ini memang sempit. Terkadang sesuatu yang tak kita pernah sangka dan duga, menjadi Allah kendalikan semuanya dalam 1 ruang. Sesuatu yang terlihat jauh, dengan mudahnya Allah dekatkan.
Fania Aurellia, siapa sangka kalau gadis itu ternyata anaknya Tante Amira. Anak dari sahabat bundanya dulu. Anak yang akan dikenalkan padanya, dan ketika sudah saling kenal maka akan dijodohkan.
Yang benar saja. Farel masih tidak percaya. Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus Fania? Kenapa harus Fania yang menjadi anak dari Tante Amira?
Kepribadian mereka sangatlah berbeda. Bahkan jauh dari kata berbeda. Jangankan menjadi sepasang suami istri, jadi teman sekelas saja mereka bisa berdebat setiap hari. Apalagi dengan semua ocehan Fania yang hampir sering membuat Farel rasanya ingin terjun bebas dari gedung ketinggian 10 lantai.
"Rel?"
Farel berhenti melangkah dan menoleh santai. Ia menatap bundanya yang menatapnya dengan tatapan takut.
"Jangan liatin aku begitu, Bun."
Kartika langsung menelan salivanya bulat-bulat. Ia mendekati anak bungsunya lalu merangkul lengannya. Kartika membawa Farel duduk di sofa, sedang Farel yang diajak hanya bisa diam tanpa penolakan.
"Kenapa?" tanya Farel to the point. Dari tatapan bundanya saja Farel tahu, ada yang ingin dibicarakan.
"Menurut Farel—?"
"Fania?" sela Farel sebelum bundanya sempat melanjutkan pertanyaannya.
Kartika nyengir, hingga dereta gigi putihnya terlihat. Wajah yang sudah semakin bertambah kerutannya itu masih tetap terlihat cantik di mata Farel. Memang, bundanya itu wanita yang paling cantik sedunia.
"Menurut Farel, Fania anaknya seperti apa?"
Farel memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan sang bunda yang sudah bisa ia tebak lebih awal. "Kaya yang Bunda lihat tadi."
"Kalau yang Bunda lihat tadi sih anaknya cantik dan manis." Farel mengerutkan keningnya tipis saat mendengar komentar pertama bundanya tentang Fania.
"Terus juga anaknya baik, dan sedikit manja kaya kakak kamu." Kerutan kini menjadi jelas tercipta di kening Farel. Alisnya pun bahkan ikut melengkapi ekspresinya kini karena komentar sang bunda.
"Bunda salah lihat orang kali." Farel memilih bangkit berdiri. Ia mulai bisa mencium ada hal yang tak beres lagi dengan bundanya saat ini.
"Dilanjut aja ya sayang?"
Farel tak jadi melangkah ke depan. Ia menoleh dan menatap manik mata bundanya lurus dan lekat. "Apanya?"
"Pernikahan kalian," ucap Kartika yang membuat Farel rasanya ingin berteriak.
"Kalau Bunda lupa dengan janji Bunda siang tadi dan jauh sebelumnya dari hari ini, aku siap ingetin Bunda. Aku rasa, kita udah sama-sama sepakat kalau aku udah kenal dan nggak suka dengan anaknya Tante Amira, maka Bunda dan Ayah juga nggak akan maksa aku lagi. Bukan begitu?"
Kartika menggaruk kepala belakangnya yang tak terasa gatal sama sekali. Farel itu kalau bicara memang kadang dirasa terlalu to the point. Saking to the point nya, Kartika kadang bingung di bagian mana Farel bercanda atau serius. Tapi yang jelas, saat ini Farel memang sedang serius.
"Tapi kalau dari interaksi yang Bunda lihat, kayaknya kamu deket sama Fania. Kelihatan dari ekspresi kamu yang terkadang suka beda kalau lagi bicara sama dia."
"Apanya yang beda?"
"Beda aja. Kamu jadi lebih mood gitu untuk ngomong. Kamu juga berani tatap matanya Fania kalau lagi ngomong."
Farel menggeleng. Menolak semua praduga bundanya yang tak berdasar. "Aku nggak deket sama Fania, dan nggak pernah ada niat untuk deket sama Fania. Anaknya teralu bawel, ngeselin, dan berisik."
Sudut bibir Kartika berkedut menahan senyum. "Tapi anaknya cantik dan manis, kan?"
Bola mata Farel bergerak ke kanan dan kiri. Ia jadi berpikir keras karena pertanyaan bundanya. Apa iya kalau Fania cantik? Apa iya kalau Fania manis?
"Sedikit," jawab Farel dengan hampir menyatukan antara ibu jari dengan telunjuknya.
Fania keluar dari kamarnya masih dengan piyama bergambar princess Belle berwarna kuning. Rambut ikalnya ia cepol tinggi ke atas. Pagi ini Fania tidak ada kuliah pagi, sehingga pantang untuknya mandi terlalu pagi. Mungkin jam 9 nanti, Fania baru akan bergegas mandi.
Fania melangkah menuju meja makan. Di sana sudah ada mamah dan papahnya. Mamahnya sedang menuang air hangat ke dalam gelas, sedangkan papahnya sedang membaca koran pagi.
"Pagi," sapa Fania dengan suara yang terdengar lesu di telinga Amira dan juga Basuki.
"Pagi sayang," sapa Amira balik dengan tersenyum cerah pada Fania.
Basuki yang melihat anak gadisnya sudah duduk di kursi pun menutup korannya. Ia menatap Fania dari balik kacamata minus. "Anak Papah ada yang lagi sedih ya?" tanya Basuki penuh selidik.
"Sedih kenapa?" tanya Fania balik dengan tak semangat. Ia mulai memasukkan potongan buah apel ke dalam mulutnya. Rasa dingin dan manis langsung meleleh, membuat Fania jadi ingin lagi.
"Nggak jadi nikah sama Farel."
Dua bola mata Fania membelalak kaget. "Apaan sih Pah?!" tanya Fania nggak selow. Ia terlalu terkejut dengan kalimat papahnya barusan.
"Jadi.. Yang semalam itu kamu marah-marah sampai banting pintu, karena Farel nggak mau nikah sama kamu, Fan?"
"Apaan sih Mah?!" waahhh, mood Fania langsung berubah buruk pagi ini. Kedua orang tuanya yang sedang menggodanya itu lantas tak membuat Fania terbawa candaan. Telinganya itu lagi sensitif banget sama yang namanya Farel. Bahkan semalam, saat Fania menonton sinetron di televisi, ia hampir saja menimpuk televisinya dengan remot di tangan saat tahu pemeran dari sinetron tersebut bernama 'Farel'.
"Jadi Fania suka sama Farel?"
"Paahhh!!" rengek Fania dengan hentakan kaki kesal. "Masih pagi, please, jangan sebut nama itu cowok."
Amira tersenyum jail dengan mata memicing menatap Fania. "Ternyata beneran anak kita udah jatuh cinta, Pah. Udah berani ternyata..."
"Mah, apaan sih. Jangan lebay gitu deh. Siapa juga yang jatuh cinta?"
"Kamu lah, masa Mamah? Mamah mah udah sama Papah kamu."
Fania tertawa miris. "Jatuh cinta? Sama Farel?" Fania memutar bola matanya karena malas memikirkan hal itu. "Kemungkinan suka aja nggak." Fania langsung bergidik ngeri.
"Ah masa sih?" Selidik Basuki kembali.
"Iya Paahh..."
"Emang Farel bukan tipe kamu?" tanya Amira, iseng.
Fania mengerutkan keningnya karena pertanyaan mamah. Alisnya menyatu, mencoba mencari jawaban. "Yaaaaaa... Look nya sih lumayan." Fania mengangguk tanpa sadar.
Fania tak menyadari jika mamah dan papahnya tengah menatap dirinya dengan bibir mesam-mesem.
"Lumayan gimana?" tanya Amira.
"Yaaaa... Farel tuh ganteng," Fania mengatakannya sambil mengambil secentong nasi ke dalam piringnya, lalu kembali melanjutkan, "tinggi, putih, pin—" Fania menghentikan kalimatnya, lalu mengangkat pandangannya.
Seketika itu, wajah Fania langsung memerah. "Mamah! Papah! Iiihh rese banget sih...." pantas saja keadaan menjadi hening, ternyata mamah dan papahnya Fania tengah menatapnya serius dengan terkekeh tanpa suara.
Amira dan Basuki akhirnya tertawa lepas. Senang melihat anak gadis mereka kesal karena berhasil dijaili.
"Ciiieee~" goda Basuki.
"Yang ganteng, tinggi, putih, ciiieee~"
Fania langsung jingkrak-jingkrak karena kesal. Kesal pada dirinya sendiri, karena dengan beraninya, mulutnya menyebutkan semua yang bagus-bagus tentang Farel. Dan kalau begini caranya, Fania pasti akan terus menjadi bahan bully mamah dan papahnya.
Lo udah ngerjain tugas paper Bu Siti, Rel?" tanya Aldi yang kini berjalan beriringan dengan Farel.
"Udah," jawab Farel singkat.
"Kok cepet banget? Kan masih dikumpul minggu depan."
"Lebih cepat lebih baik."
"Wooh!" Aldi langsung berdecak kagum dan menepuk pundak Farel beberapa kali. "Keren emang temen gue."
Farel tidaklah sebegitu pendiamnya hingga tak memiliki teman. Satu-satunya orang yang bisa Farel percaya adalah Aldi. Aldi dan Farel bertemu saat mereka dipertemukan dalam satu kelas saat mereka berada tingkat 2 SMP. Duduk semeja bersama membuat Farel saat itu mau tidak mau berkenalan dengan Aldi. Dan sejak saat itu Farel mulai mau bicara lebih, sedikit demi sedikit.
Walaupun Farel terlihat begitu cuek terhadap Aldi, ketahuilah itu semua sudah lebih dari cukup yang Farel berikan untuk Aldi. Karena jika dengan yang lainnya Farel pasti hanya bergumam, mengatakan ya atau tidak dan sebatasnya.
"Mau liat?" tanya Farel.
"Emang boleh?"
"Asal nggak copas," jawab Farel santai.
"Asek!" seru Aldi girang. Begitu memang Farel, walaupun ia pintar sekakigus memiliki sifat cuek sebenarnya Farel adalah tipe orang wellcome berbagi ilmu dengan orang lain.
"Siang makan bareng," ucap Farel mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sip, kafe depan aja ya?" tanya Aldi mencoba menawar. Farel mengangguk sekali sebagai tanda setuju.
Keduanya kembali melanjutkan langkah kaki mereka menuju kelas.
"Eh, Rel!" seru Aldi tiba-tiba.
Farel menoleh. "Hm?"
"Liat tuh di depan. Ada bebuyutan lo."
Farel mengikuti tatapan Aldi ke depan. Di depan sana ada seorang gadis yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya sambil cekikikan dengan kedua sahabatnya yang lain.
"Gile, bajunya aja samaan."
Farel mengerutkan keningnya tipis karena kalimat Aldi. Ia langsung melirik bajunya hari ini. Dan memang benar sih. Kemeja hitam dengan line vertikal berwarna putih melengkapi hari Farel dan Fania secara bersamaan. Ternyata mereka juga bisa kompak tanpa janjian.
Farel kembali menatap ke depan. Ini akan menjadi pertemuan pertama mereka lagi setelah malam pertemuan di restoran tempo hari lalu.
Farel juga mampu melihat Fania yang sedang tampak mengobrol dengan Puput dan Elis sambil tertawa bersama. Beberapa kali bahkan suara Fania terbahak hingga tawanya itu mampu terdengar lantang.
"Manis apanya?" gumam Farel pelan dengan memperhatikan Fania dari tempatnya. Farel langsung menggeleng melihat sikap Fania. Rasanya seumur ia hidup, tak pernah sekalipun ia tertawa seperti cara Fania tadi.
Bertepatan dengan saat itu, bola mata Fania tiba-tiba menghadap lurus ke depan. Membuat Farel dan Fania yang kini hanya berjarak kurang dari 2 meter langsung saling bertukar pandangan.
Saat jarak mereka sudah saling terkikis hingga membuat keduanya semakin mendekat, mereka berdua malah kompak seperti orang yang tidak saling mengenal. Keduanya sama-sama masuk ke dalam kelas yang sama setelah mereka berdua saling menatap tajam satu sama lain.
Selesai solat dan makan siang, Fania segera mencari sosok yang sejak tadi ingin sekali ia ajak mengobrol 4 mata.
Langkah kakinya yang sambil berlari terus memperhatikan sekitarnya, untuk berjaga-jaga. Tapi sepertinya yang dicarinya itu sudah ada di dalam kelas. Heran betul Fania, padahal jam kuliah selanjutnya masih jam 1.30 siang nanti. Kerajinan banget!
Fania berhasil tiba di kelasnya. Dan benar kan dugaannya? Laki-laki yang hari ini memakai kemeja yang sama dengannya itu tengah fokus membaca buku dengan tenang.
"Farel!" suara Fania langsung menggema di dalam ruangan, karena di sana hanya ada Farel seorang. Ya, memang Farel lah, orang yang sejak tadi Fania cari.
Farel mengangkat kepalanya dan melihat Fania yang sedang berjalan menghampirinya. Kerutan tipis muncul di kening Farel. Bertanya dalam hati, kenapa Fania mencarinya? Tak seperti biasanya.
"Farel," panggil Fania sekali lagi. Kini gadis itu duduk di kursi, di depan Farel.
Farel masih diam tak menjawab. Ia hanya memperhatikan Fania yang sepertinya ingin membicarakan sesuatu padanya.
"Gue perlu bicara sama lo. Empat mata," kata Fania dengan mimik wajah serius.
"Kok nggak dijawab sih, Rel?"
Farel menghela napas pelan. Ia memundurkan tubuhnya hingga menempel pada sandaran kursi. Tangannya terlipat di bawah d**a. "Apa?"
"Gue cuman mau kasih tahu ke lo, jangan pernah lo ceritain ke siapapun termasuk Aldi, tentang kita."
Farel mendengus geli. "Tentang kita?" tanyanya ulang.
"Iya tentang kita."
"Lo sama gue?" tanya Farel masih mencoba memastikan maksud Fania.
"Iya, kita. Lo sama gue."
"Emang ada apa lo sama gue?"
"Kita kan dijodohin. Dan gue nggak mau sampai orang-orang tahu kalau kita dijodohin, nanti bakalan jadi bahan gosip."
Mata Farel menyipit. Menatap Fania dengan tatapan intimidasi. "Lo ngarep nikah sama gue?"
"Apa lo bilang?!" pekik Fania dengan tanpa sadar menggebrak meja. Saking kagetnya karena suara tinggi Fania, Farel sampai harus memejamkan matanya.
"Gila kali gue suka sama lo. Ya nggak lah!"
Farel membuka matanya, lalu menatap malas Fania. "Santai, nggak usah ngegas."
Fanie mengerucutkan bibirnya kesal. "Makanya kalau ngomong itu dipikir. Lo tuh ya, jadi cowok suka kepedean banget. Nggak mungkinlah kalau gue suka sama lo."
Farel mengangkat bahunya santai. "Siapa tahu kan?"
Fania membulatkan matanya. "Nggak, Rel!"
"Santai, Fan." Ujar Farel penuh penekanan. Suaranya ikut meninggi karena sejak tadi Fania terus saja bicara dengannya dengan nada yang tidak selow.
"Pokoknya lo nggak boleh cerita sama siapapun termasuk Aldi."
"Nggak akan. Buat apa juga? Pengen nikah sama lo aja nggak."
Jleb banget! Rasanya Fania baru saja dihempaskan dari atas gedung 5 lantai.
Mata Fania terasa memanas. Laki-laki di hadapannya itu sombong banget, dan itu membuat Fania jadi semakin kesal dengan Farel.
"Perjodohan kita akan segera batal. Jadi lo dan gue juga nggak akan nikah bareng."
Farel mengangguk santai. Ia tentu akan senang kalau perjodohan akhirnya dibatalkan.
"APA??!!"
Pekikan kaget yang terdengar dari beberapa orang langsung terdengar di ruang kelas Farel dan Fania. Keduanya kompak menoleh dan membulatkan matanya saat melihat ada Puput, Elis, dan Aldi berada di ambang kelas.
"Nikah?" tanya Puput dengan mata masih melotot. Terkejut bukan main.
"Dijodohin?" tanya Elis setelah Puput. Ekspresinya sama dengan Puput.
"Kalian...berdua?" tanya Aldi yang antara percaya tak percaya, tapi itulah adanya dari yang ia dengar.
Fania sontak menoleh untuk menatap Farel kembali. Matanya yang menbulat sudah cukup mewakilkan bahwa ia bingung dan terkejut.
Farel menghela napas panjang melihat ekspresi Fania. Lantas Farel kembali menoleh dan menatap 3 orang manusia yang masih tercengo di ambang pintu. Mata melotot, mulut menganga.
"Iya," jawab Farel yang membuat ketiga manusia di pintu itu semakin melongo karena terkejut. Sedangkan Fania menampilkan ekspresi yang jauh lebih melongo.