"Jelasin ke kita, Fania!" desak Puput.
"Iya cepet jelasin!" seru Elis.
"Put, Lis, apaan sih lo berdua? Please, nggak usah nanya yang nggak-nggak. Lo berdua itu cuma salah denger." Fania merasa seperti seorang terdakwa yang harus menjelaskan kronologi kejadian TKP.
"Salah denger apaan? Jelas-jelas kita bertiga denger dengan jelas percakapan lo sama Farel tadi di kelas."
Fania menggeleng frustasi. Bingung ingin menjelaskannya seperti apa ke kedua sahabatnya yang sedang terserang kepo akut. "Lo berdua kalau mau minta penjelasan ke Farel aja dah sana. Jangan ke gue," ucap Fania menyerah. Lagian kan ini semua salah Farel, gara-gara laki-laki itu Fania harus ikut menanggungnya. Lagi pula, kenapa Farel harus menjawab pertanyaan Puput, Elis, dan Aldi dengan jawaban 'Ya'?.
"Ya tapi Farelnya udah pergi, Fania. Ayolah cerita, lo gitu banget sih sama kita." Ujar Puput dengan semakin gemas karena Fania tak kunjung menjawab pertanyaan mereka dan maksud dari jawaban Farel tadi.
"Tapi sumpah ya, kalau sampai ini bocor ke anak-anak yang lain, lo berdua adalah orang pertama yang akan gue kejar. Sumpah, gue nggak mau sampai jadi bahan omongan orang-orang kalau akhirnya semua orang pada tahu kalau gue ternyata dijodohin sama Farel."
"Jadi beneran?!" Puput seakan kembali ditampar dengan kejujuran Fania.
"Oh my God! Fania...."
"Kok bisa sih? Gimana ceritanya?" tanya Puput lagi.
Fania mendesah panjang. "Gue juga nggak tahu kalau ternyata anaknya temen nyokap gue itu Farel. Beneran, gue juga kaget dan nggak nyangka."
Elis berdecak kagum. "Gila, gila, gila. 2 orang yang udah kaya tom and jerry ternyata bakalan nikah. Bakalan heboh seisi dunia ini."
"Lis, apaan deh lo. Gue nggak bakalan nikah sama Farel. Dan dunia ini nggak akan selebay itu."
"Jangan-jangan kalian diem-diem udah jadian ya?" desak Elis dengan mata memicing.
"Nggak, Lis. Ya Allah.. Jadian? Pikiran lo kejauhan banget. Nggak mungkin, dan jangan pernah berpikiran gue dan Farel akan melakukan hal itu."
Berbeda dengan Fania yang terus berusaha menyelesaikan praduga kedua sahabatnya dengan frustasi, Farel justru tampak santai menyikapi semua pertanyaan Aldi padanya.
"Jadi beneran emang lo di jodohin sama Fania, Rel?"
"Iya," jawab Farel singkat sambil membaca artikel berita di ponselnya.
Aldi melongo, "Sejujur itu lo jawabnya?" tanyanya.
Farel hanya mengendikkan bahunya santai. "Toh, lo juga udah denger celetukan Fania tadi."
"Lo tahu nggak sih betapa kagetnya kita tadi pas denger ucapan Fania?"
"Emang dasar mulut mercon," cibir Farel dengan suara yang pelan tanpa bisa Aldi dengar.
"Eh Rel, lo belum jawab pertanyaan gue."
"Bukan kalian doang yang kaget, gue juga. Dia yang meringatin gue buat nggak bilang ke siapa-siapa, tapi malah dia sendiri yang kasih tahu ke orang lain karena suaranya yang berisik itu."
"Waw!!"
Farel sontak menoleh dengan kening mengkerut tipis. "Apa yang waw?"
"Ngomongin Fania, bikin lo ngomong banyak ya?" tanya Aldi dengan tanpa sengaja malah tertawa. "Lebih dari 20 suku kata."
Tanpa membuka suara, Farel melayangkan ponselnya itu ke punggung Aldi hingga membuat Aldi meringis sakit.
Aldi tertawa lebar. Ia suka jika membuat Farel kesal sampai kehilangan kata-kata. "Tapi gue penasaran deh, lo ada rasa gitu nggak sih ke Fania?"
"Gue nggak punya waktu untuk jatuh cinta."
Aldi tertawa lagi. "Eh Rel, jatuh cinta itu hal yang wajar untuk manusia. Itu rahmat dari Tuhan. Berlebihan deh lo kalau sampai bilang lo nggak ada waktu jatuh cinta."
"Gue serius," ucap Farel dengan mimik wajah yang memang serius di mata Aldi. "Apalagi sama Fania. Lo tahu lah, gue nggak suka orang berisik kaya Fania."
Aldi terbahak sekali lagi. Farel memang begitu kaku dengan perasaannya sendiri. "Bukannya dia itu lucu, ya?" tanya Aldi dengan alis bergerak naik turun.
Farel memutar bola matanya karena Aldi yang mengatakan bahwa Fania itu lucu. "Apanya yang lucu? Dia nyebelin, berisik, dan bawel."
"Itu emang karakter Fania, Rel."
Farel menggeleng. "Apapun itu, gue nggak suka."
"Jadi kemungkinan besar lo akan jadi suaminya Fania?"
Farel langsung melayangkan tatapan tajamnya pada Aldi. "Jangan ngaco," semprotnya dingin untuk praduga Aldi yang membuatnya bergidik ngeri.
Waktu terasa berlangsung begitu cepat. Rasanya baru kemarin pergantian semester, kini Fania dan semua teman-temannya sudah harus melangsungkan ujian semester 3 minggu ke depan.
"Itu mereka berdua bakalan diem-dieman kaya gitu terus?" bisik Elis pelan dengan memajukan wajahnya, tapi pandangannya fokus ke samping. Puput dan Aldi yang ada di hadapannya pun ikut menoleh dan sontak terkekeh pelan tak tertahankan.
"Lagian, bisa jodoh banget sih pake satu kelompok gitu?" tanya Puput masih dengan menahan tawanya agar tak kelepasan.
"Mungkin ini yang dinamakan jodoh nggak akan ke mana." Celetuk Aldi.
Kini, Aldi, Puput, dan Elis tengah duduk di satu meja yang sama. Mereka berada di dalam perpustakaan untuk mengerjakan tugas dari Bu Tika. Sedangkan di ujung meja sana, ada Fania dan juga Farel.
Entah bagaimana bisa mereka satu kelompok. Yang jelas, Bu Tika, dosen mereka, sudah mengirimkan pertanyaan yang harus didiskusikan oleh masing-masing kelompok dari kelompok yang sudah ia tentukan sendiri, melalui email.
Sehingga saat ini, mau tidak mau, Fania dan Farel harus duduk berhadapan untuk mendiskusikan jawaban dari pertanyaan Bu Tika. Pertanyaan yang diberikan sih tak banyak, hanya ada 3. Tapi 3 pertanyaan itu, jelas saja akan menghasilkan jawaban dari 5 lembar kertas berukuran A4.
"Emm..." Antara Farel dan Fania langsung saling tatap karena mengeluarkan gumaman yang sama saat hendak meluncurkan sebuah kalimat.
Keduanya langsung kembali sibuk dengan aktivitasnya semula. Farel memainkan ponselnya, sedangkan Fania sibuk menatap 3 buku yang masih tertumpuk di hadapannya.
Fania meringis kuat dalam hati. Apaan sih ini, canggung banget! batin Fania. Fania paling tak suka dalam kondisi seperti ini.
Beberapa menit keduanya saling diam, Farel mulai membuka buku pertama. Ia juga membuka buku keduanya, dan diarahkan pada Fania agar gadis itu bisa mulai membaca juga. "Baca," perintahnya.
"Ko..kok, gue?" Fania ingin pulang. Bukankah barusan ia bicara dengan terbata? Apakah Fania gugup? Tidak mungkin!
Farel langsung mengangkat pandangannya dan menatap lurus Fania yang juga ternyata sedang menatapnya. Buru-buru Fania menurunkan pandangannya.
"Lo... Gugup?"
Sontak dua bola mata Fania membulat. "Ya nggak lah! Ya kali! Aneh banget sih pertanyaan lo!"
Semua pasang mata yang ada di perpustakaan langsung mengintimidasi Fania yang baru saja berteriak dengan tak sadar. Puput, Elis, dan Aldi yang ikut mendengar teriakan Fania malah tertawa pelan. Mereka lucu melihat interaksi antara Fania dan juga Farel.
"Nggak pake teriak, bisa?" tanya Farel dingin. Kerutan tipis juga terlihat di kening Farel. Gadis di hadapannya itu benar-benar paling tidak bisa yang namanya mengontrol suara.
"Lagian sih lo, ngomong tuh yang bener kenapa sih."
"Muka lo merah," ucap Farel pelan dan santai. Ekspresi wajahnya sudah kembali datar saat kini ia menatap Fania.
"Farel!!" pekik Fania yang langsung membuat Farel memejamkan kedua matanya karena kaget.
Kedua alis Fania sudah hampir menyatu. Gadis itu segera menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya.
"Farel, Fania. Jangan berisik di dalam perpustakaan." Tegur Bu Indu dengan memperhatikan Farel dari posisinya.
"Maaf Bu," ucap Farel dengan ekspresi datarnya. Seperti tak ada rasa menyesal dalam dirinya. Ya iyalah, kan yang salah Fania karena sudah berteriak di perpustakaan, jadi bukan salahnya.
"Lo nangis?" tanya Farel pada Fania yang masih menundukkan kepalanya.
Fania tak menjawabnya, atau pun mengangkat kepalanya.
"Eh, baca ini buku." Perintah Farel yang sama sekali tak mengerti bahwa saat ini Fania sedang mati-matian menahan malu.
"Lo nyebelin," ucap Fania dengan suara yang pelan.
"Apa?" tanya Farel yang hanya mendengar samar suara Fania.
Akhirnya dengan perlahan, Fania mengangkat kepalanya. Seketika itu juga, Farel malah terkekeh. "Muka lo masih merah."
Niat ingin marah, Fania malah salah fokus menatap Farel yang sedang tertawa dengan suara pelan. Entah apa yang membuat wajah merah saja menjadi lucu hingga mampu membuat seorang Farel membuka ekspresinya dengan lebar. Tawanya sederhana, tapi mampu memperlihatkan aura bahagia dari seorang Farel. Seluruh sudut bibir yang terbuka lebar itu dan mata yang seketika menyipit karenanya.
Untuk seketika, Fania menikmati pemandangan langka di hadapannya.
"Ekhm!!" dehaman keras dari Farel itu langsung membuat Fania mengerjapkan matanya dengan cepat. Fania mengerutkan matanya, lantas bertanya di dalam hati, 'apakah ia baru saja memperhatikan Farel?'
Ternyata Farel sudah selesai dengan kekehannya. Kini laki-laki itu kembali menatap lurus wajah Fania. Ekspresinya pun sudah kembali seperti semula. "Kok, muka lo makin merah?"
Fania mengerutkan keningnya dalam. Kedua alisnya hampir menyatu karena sibuk berpikir keras. Sepertinya mulai ada yang tak beres dengan isi kepalanya.
"Fan?"
Fania masih tak menjawab. Ekspresinya masih sama, dengan wajah lurus ke arah Farel, namun tatapan matanya kosong karena isi pikirannya sedang sibuk dengan hal lain.
"Fania Aurellia!"
Mendengar Farel yang memanggil lengkap namanya, semakin membuat Fania yakin. Bahwa ada yang sedang tidak beres dengan hatinya saat ini. Dan apa pun itu, Fania harus menutupinya rapat dari siapapun.
"Fan, Lo nggak lagi—" Fania menjeda kalimatnya beberapa detik.
"... Jatuh cinta, kan?" tanya Fania pada cermin di hadapannya. Kini, gadis itu sedang berada di toilet seorang diri. Puput dan Elis sudah pulang, dan Fania juga merasa ada yang aneh dengan kedua sahabatnya itu. Karena setelah dari perpustakaan, Puput dan Elis tak hentinya tersenyum dengan tatapan menggelikan pada Fania.
Fania terus menatap pantulan wajahnya yang ada di dalam cermin. Beberapa menit Fania memikirkan hal itu, Fania mulai menemukan kembali kesadarannya.
"Fania!" pekiknya pada sosok yang ada di dalam cermin yang tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri. Ia mulai bisa mendapatkan jawaban atas sesuatu yang akhir-akhir ini mengganggu kepalanya.
"Ya Allah.. Aku nggak..." Fania mendadak sulit melanjutkan. "Nggak...nggak...nggak mungkin!" Fania mendadak histeris sendiri. Ia menutupi wajah dengan telapak tangannya lalu meringis sendiri.
Sepertinya Fania memang telah m******t ludahnya sendiri. Mengatakan tidak, pada kenyataan iya. Nyatanya Fania mulai merasa ada yang mengganggu hatinya.
"Mamah!" seru Fania dengan membuka wajahnya lagi. "Mamah... Mamah harus tanggung jawab." Ujarnya tegas. Tanpa berniat memikirkan sesuatu yang membuatnya geli dan merinding lebih jauh lagi, Fania langsung memutuskan untuk keluar dari toilet.
Fania melangkah menuju parkiran motor. Nada dering dari ponselnya yang berada di dalam tas, membuat Fania harus menunduk sambil merogoh isi tasnya. Ia mendesah pelan karena menaruh ponselnya di bagian paling bawah, dan itu malah menyulitkan dirinya.
Mamah's calling.
Tepat. Fania sedang membutuhkan mamahnya saat ini untuk ia mintai pertanggungjawaban.
Fania melirik ke jalan di depannya sedetik, lalu kembali menunduk untuk membenarkan zipper tasnya. Ia sudah menggenggam ponselnya dan berniat untuk mengangkat panggilan mamahnya setelah ia berhasil berbelok melewati ujung koridor beberapa langkah lagi.
Bertepatan saat kaki Fania berhasil berbelok melewati koridor dan ibu jari yang sudah siap mengangkat panggilan telepon dari kakaknya, tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang.
Hape gue!
Fania panik. Ia baru sadar kalau ponselnya sudah tak lagi ada di genggamannya. Dan saat mata Fania menemukan benda yang ia maksud mulutnya langsung menganga. Ponselnya sudah terkapar di lantai dekat tong sampah dengan posisi layar yang ada di bawah.
Fania langsung berlari dan mengambil ponselnya dengan tergesa.
Retak! bahu Fania langsung merosot lemas. Layar ponselnya sendiri hanya bisa memperlihatkan warna hitam gelap. Mati total! batin Fania semakin sedih.
Fania langsung memutar tubuhnya. Napasnya jadi tak beraturan karena kesal orang yang menabraknya malah main pergi begitu saja tanpa bertanggung jawab.
"Eh, lo!!!" panggil Fania dengan berteriak kencang. "Gara-gara lo handphone gue rusak!" teriak Fania dengan kembali menunduk memandangi ponselnya yang rusak. Fania sendiri tak tahu, apakah ponselnya itu masih bisa diperbaiki atau tidak. Kalau rusak pun, Fania tak akan mungkin bisa merengek minta ponsel baru pada papahnya. Hal itu pasti tidak akan pernah terkabul.
"Apa lo bilang?" tanya seorang laki-laki dengan menghampiri Fania.
Fania mendongak dan sontak terkejut melihat Farel yang ada tepat di hadapannya. "Lo ......" Dari semua manusia yang ada di kampusnya, kenapa harus Farel? Dari sekian banyak manusia, kenapa harus Farel yang kembali bertemu dengan Fania? Dan kenapa seolah Tuhan selalu mempertemukannya dengan Farel?
Farel tak mengacuhkan ekspresi wajah Fania yang tampak begitu terkejut saat melihat wajahnya. Farel melirik ke arah tangan Fania yang menggenggam ponsel dan seperti yang Fania teriakkan tadi bahwa ponsel gadis itu rusak.
"Jatoh ya?" tanya Farel dengan ekspresi wajah datarnya.
Fania membuka mulutnya hingga menganga lebar, begitu dengan singkatnya Farel kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya meninggalkan Fania. Apa-apaan ini?!
"Farel! Tanggung jawab!" seru Fania dengan berani.
Farel kembali menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya dan melihat Fania yang berjalan cepat menghampirinya.
"Enak banget lo main asal pergi. Tanggung jawab!"
"Sebenernya itu salah lo."
Kerutan berhasil menghiasi kening Fania. "Apa?" tanyanya mencoba memastikan apa yang baru saja Farel katakan padanya.
"Yang jalan nunduk lo. Jadi harusnya lo marahin diri lo sendiri." Ujar Farel yang terkesan menceramahi dengan ekspresi datarnya itu.
Fania tersenyum miring. Ia menggaruk alisnya yang awalnya tak gatal menjadi gatal karena kalimat dari Farel. Salah besar, jika sejak tadi ia malah kepikiran laki-laki di hadapannya ini. Karena nyatanya, Farel tetaplah Farel. Laki-laki muka papan triplek yang sangat menyebalkan.
"Lo tuh ya kal—" Belum sempat Fania melanjutkan kalimatnya, Farel sudah lebih dulu memotong ucapannya.
"Nih, buat biaya tanggung jawab." Farel malas jika harus kembali berdebat dengan Fania. Ia sedang terburu-buru menuju toilet untuk menyelesaikan urusannya.
Fania langsung dibuat melongo oleh Farel. "Bukan uang maksud gue. Maksud gue tuh —"
"Fine!" seru Farel tak sabar. Ia menarik ponsel milik Fania dan memberikan ponsel miliknya ke tangan Fania. "Sandinya 1122. Gue bawa hp lo, lo pake hp gue."
"Eh?"
"Kenapa lagi?"
"Nanti kalau ada yang hubungin nomor lo gimana?"
"Nggak usah diangkat," jawab Farel singkat dan langsung berlalu pergi tanpa lagi menoleh.
Fania yang masih berdiri di posisinya hanya bisa mematung karena sikap Farel. Ia menatap ponsel tipis berwarna hitam milik Farel yang kini ada di genggamannya.
Clek!
Fania membuka lock screen ponsel Farel. Dan saat kuncinya berhasil terbuka, yang pertama kali lihat Fania lihat adalah foto Farel yang sedang tersenyum tipis dengan merangkul sang bunda.
Senyum tipis mulai mencuri kesempatan dalam wajah Fania saat ini. Dan lucunya, Fania tak menyadari apa yang sudah terjadi pada dirinya saat ini.
Langit malam ini tampak mendung. Fania berdiri di balkon kamarnya dengan mata memandang ke arah langit. Angin dingin berembus, menerpa kulit wajah Fania yang tak tertutup. Ia memakai piyama tidurnya yang berwarna biru dengan bergo berwarna hitam.
Getaran yang berasal dari benda di tangannya itu membuat lamunan Fania sedikit tersentak. Fania tengah menggenggam ponsel milik Farel.
Alya's calling
"Siapa Alya?" gumam Fania pelan dengan mata menatap fokus layar ponsel Farel.
"Ooooohhhhhhh...." Fania ber-oh ria dengan panjang. "Pacarnya toh," ucapnya setengah tak percaya. Fania berdecak kagum begitu ia mulai yakin kalau seseorang yang menelepon nomor Farel itu adalah pacarnya. Karena Fania sendiri, belum mengenal siapa itu 'Alya'.
Tiba-tiba Fania mendengus sebal. "Muka doang pendiem gitu kaya papan triplek. Nggak tahunya punya pacar." Ujar Fania yang terdengar sedikit kesal, tapi ia sendiri tak menyadari itu.
Fania membiarkan panggilan itu terus berbunyi hingga bunyinya berhenti dengan sendirinya. Selesai dering ponsel Farel berhenti, layar terang masih terpampang. Kedua ibu jari Fania mendadak gatal.
"Liat isi hapenya dikit, nggak papa kan?" tanya Fania dengan berdiri menyandarkan punggungnya di batas balkon. Ia menatap layar ponsel terang milik Farel. Beberapa menu aplikasi terlihat di benda pipih persegi panjang tersebut.
"Pesennya dia itu.... Kalau ada yang nelepon, jangan di angkat. Udah, itu doang. Dan gue udah patuh dengan nggak angkat telepon dari pacarnya, tuh."
Fania kembali berdecak kagum dengan menatap wallpaper ponsel Farel. "Pacar? Yang bener aja!"
Jemari Fania mulai bergeser lincah di atas layar ponsel Farel. Ia memilih satu aplikasi, yaitu galeri.
"Eh, boleh nggak sih?!" tanya Fania dengan histeris sendiri. Ia langsung menutupi layar ponsel Farel dengan telapak tangannya. "Nanti kalau ada gambar yang aneh-aneh gimana?"
Fania menggeleng kepalanya, "Berdoa aja nggak ada," ucapnya meyakini. Jemari Fania mulai menggerakkan layar ponsel Farel ke bawah dengan perlahan. Tak ada foto Farel sama sekali. Dan hampir semua tema hasil jepretan kamera ponsel Farel berwarna hitam putih.
"Bosen banget sih isinya hape cowok." Fania terus menjelajah semakin ke bawah. Padahal barusan ia mencibir isi ponsel Farel membosankan, tapi nyatanya ia tetap melihatnya. Ia mendadak penasaran dengan isi ponsel Farel.
"Ganteng," gumam Fania tanpa sadar dengan suara yang juga pelan.
Foto candid Farel yang sedang memakai kaos berkerah, topi, serta earphone, berhasil diabadikan oleh seseorang. Tampilannya simpel, tapi sudah sangat cukup untuk membuat orang yang melihat Farel mengatakan bahwa —Farel memang tampan—.
Masih dengan tema yang sama. Warna gelap kembali menjadi pilihan Farel. Kaos turtle neck berwarna hitam, topi berwarna senada, earphone, serta jam tangan silver, mampu membuat foto candid Farel itu tampak seperti model profesional. Tubuh tinggi tegap, kulit putih, dan wajahnya yang tampan dan tegas itu seakan membuat semuanya lebih sempurna.
"Manis bang—" Fania segera menghentikan ucapannya. Ia menutup mulutnya rapat dengan tangan kanan saat menyadari apa yang baru saja mau ia katakan.
Fania jingkrak-jingkrak sendiri tak jelas. "Gila gila, gue udah gila. Fania, lo harus sadar! Lo nggak boleh jatuh cinta sama Farel! Lo nggak boleh jilat ludah lo sendiri!"
"Dari sekian banyak cowok, kenapa harus Farel? Kenapa harus di muka papan triplek Faniaaaa???" tanya Fania dengan gemas sendiri pada dirinya.