Wajah Fania mendadak kusam. Ia begitu frustasi saat menyadari bahwa ia telah terjebak perasaan dengan si manusia muka papan triplek. Kini Fania tahu, bahwa semua kalimat suka yang ia tolak mentah-mentah untuk Farel malah menjadi kebalikannya. Siapa yang menyangka, bahwa Fania akan jatuh pada pesona Farel yang bahkan menurut Fania sangat menyebalkan itu.
Fania keluar dari kamarnya dengan pakaian santai. Rambut ikalnya ia cepol tinggi ke atas. Malam ini Fania sudah memutuskan dengan bulat ingin bergadang semalaman menghabiskan tontonan drama koreanya yang masih tersisa 15 episode lagi. Sehingga Fania akan menyerahkan seluruh dirinya pada drama kesayangannya. Terutama pada aktor Lee Sung Gi yang menjadi kecintaan Fania sejak ia masih SMP.
Fania sudah bertekad, bahwa ia akan menghilangkan semua perasannya pada Farel tanpa sisa. Ini bahkan sudah malam kedua ia menyimpan ponsel Farel di tangannya, karena sampai hari ini, Fania belum juga mendapat kabar dari laki-laki itu.
Fania melangkah menuju dapur. Ia mulai mencari serbuk kopi milik papahnya. Kebetulan besok hari libur, sehingga Fania akan menghabiskan waktunya untuk drama korea. Diajak jalan sama Puput dan Elis pun Fania menolak, dengan alasan nggak mood. Apalagi kalau bukan tekadnya yang ingin melupakan Farel dengan menonton aktor kecintaannya yaitu Lee Sung Gi.
"Hai!"
Fania menoleh, dan langsung memekik girang saat itu juga. "Mas Novan!!" Fania langsung berhambur ke pelukan Noval dan memeluk kakaknya dengan erat. "Iiiihhh kangen banget sama Mas.... Mas kapan balik ke sini, kok nggak kasih tahu aku, sih?" tanya Fania dengan melepas pelukannya pada sang kakak.
Novan Alfandi Pradana, lelaki berumur 25 tahun itu tersenyum lebar menatap Fania. Lesung pipi kanannya semakin menancap ke dalam begitu senyumnya semakin lebar. Novan adalah kakak laki-laki pertama yang Fania miliki. Novan itu baru saja menikah tahun lalu dengan seorang perempuan bernama Afsana Putri yang ia nikahi dari proses taaruf.
"Tadi sampe habis isya, terus mampir ke kamar Mamah dulu." Ujarnya dengan mengacak rambut Fania.
Fania mendengus sebal, "Curang. Ke kamar Mamah tapi nggak ke kamar Fania," ucapnya dengan bibir mengerucut.
"Tadi Mas udah mau ke kamar Dedek, eh malah udah ketemu di sini." Fania memang biasa dipanggil 'Dedek' oleh masnya itu. Katanya panggilan kesayangan, dan karena Fania adalah anak bungsu.
"Mba Ana nggak Mas ajak ke sini?"
"Nggak, Ana lagi kurang enak badan, jadi dia minta diantar ke rumah orang tuanya."
Fania ber-oh ria dengan kepala mengangguk, dan kembali memeluk kakak kesayangannya. Mencium aroma kakaknya yang lembut namun tetep maskulin. Bahkan Fania sampai lupa, kapan terakhir kali ia ketemu dengan kakaknya itu. Pasalnya Novan sangat sibuk dengan usaha mandirinya yang ada di Yogya, sehingga untuk pulang pun hanya beberapa bulan sekali.
"Ekhm!"
Dehaman keras itu langsung membuat pelukan Fania dengan Novan mengendur. Keduanya sama-sama menoleh ke kanan.
"Mas Novan doang yang dipeluk? Mas, nggak?"
Mata Fania memicing ke depan. Menatap lelaki yang memiliki lesung pipi di sebelah kiri itu sedang tersenyum jahil menatapnya. Kedua alisnya bergerak naik turun, membuat Fania yang menatapnya mendengus geli.
Lelaki yang ada di hadapannya adalah Noval. Noval Alfandi Pratama, kembaran dari Novan Alfandi Pratama. Nama mereka berdua hanya beda dari huruf terakhir suku kata pertama, yaitu L dan N. Novan lahir 5 menit lebih dulu, kemudian baru disusul oleh Noval. Wajah keduanya hampir bisa dikatakan kembar identik. Bentuk alis, hidung, bibir, rahang, rambut, hingga warna kulit mereka sama, kecuali jika mereka berdua tersenyum maka akan tampak 1 perbedaan yang cukup membuat orang-orang bisa membedakan. Jika Novan memiliki lesung pipi di sebelah kanan, maka Noval memiliki lesung pipi di sebelah kiri. Sedangkan Fania, ia mendapatkan jackpot, karena berhasil mendapatkan dua lesung di semua pipinya.
"Nggak," jawab Fania dengan lidah yang menjulur maju.
"Jahat. Sayangnya sama Mas Novan doang. Sama Mas nggak." Novan yang memakai sweater berwarna army itu langsung berbalik.
"Iiih, kok ngambek? Orang cuma bercanda juga."
Noval akhirnya berbalik dan menatap adik kecilnya. Ia terkekeh dan merentangkan tangannya lebar menunggu Fania berhambur ke dalam pelukannya. Tapi yang ada justru Fania malah memeluk kembali tubuh Novan.
"Ckckck.. Parah, Mas akan laporin kecurangan ini sama Mamah."
Walaupun Novan dan Noval adalah saudara kembar, sifat keduanya cukup jauh berbeda. Sebagai kakak, Novan mampu berperan sebagai lelaki yang lebih dewasa, lebih menjaga, juga lebih perhatian. Sikapnya juga lembut dan ramah, namun sedikit pendiam. Sedangkan Noval, sebagai adik kembarnya Novan memiliki karakter yang berbanding terbalik dengan Novan. Ia masih sedikit kekanakkan, dan sangat suka menjaili Fania. Suka membuat Fania kesal, menangis, dan suka kalau ia bisa berdebat dengan Fania. Menurutnya, Fania adalah mainan yang paling menggemaskan, yang bisa ia jaili kapanpun ia mau.
Karena sifatnya yang terlalu santai, akhirnya membuat Noval juga masih enggan untuk memilih pasangan hidup. Ia masih suka hidup sendiri, main bersama teman-temannya dan fokus dengan pekerjaannya bersama dengan Novan. Noval juga tak terpengaruh sama sekali melihat Novan yang telah menikah dengan Afsana. Toh, Novan juga bukanlah lelaki romantis yang bisa memanjakan istrinya di depan orang-orang. Sehingga Noval pun bisa tetap santai dengan hidupnya saat ini. Satu lagi, Noval memiliki seorang sahabat perempuan yang dekat dengannya, tapi hingga detik ini Noval seakan masih terlalu nyaman dengan kesendiriannya.
"Hahahaha..." Fania tertawa puas. Senang rasanya bisa kembali berkumpul dengan kedua kakak kembarnya. Akhirnya, ia tak lagi kesepian di rumah. Akan ada 2 orang itu yang nantinya akan selalu membuat Fania merasa terhibur.
Ketiganya langsung berkumpul di sofa. Fania bahkan sudah melupakan kopi dan juga drama koreanya. Kedua kakaknya itu lebih penting dan berharga.
"Eh, gimana Dek?" tanya Noval tiba-tiba dengan kedua alis naik turun.
"Apanya yang gimana?"
"Rencana pernikahan," ucap Novan yang membuat mata Fania membulat.
Fania menghela napas panjang. Baru ingin dilupakan, sekarang malah diungkit kembali. "Mamah udah cerita apa aja sama Mas berdua?"
"Banyak. Namanya Farel, ya?" tanya Novan.
"Katanya sih ganteng, tinggi, put-"
"Mas!" sela Fania sebelum Noval berhasil menyelesaikan satu kalimatnya. Fania bahkan membekap kencang mulut Noval.
Noval sontak terbahak setelah menyingkirkan tangan Fania dari mulutnya. "Kata Papah, Fania udah dibuat patah hati sama calon suaminya." Ujar Noval dengan tertawa lebih puas.
"Mas Noval!! Iihhh apaan sih!! Jangan ikutan rese deh!" jengkel Fania.
"Mas nggak nyangka, adik Mas ini ternyata udah punya gebetan." Ujar Novan dengan bibir berkedut menahan napas.
"Iih nggak! Fania nggak suka sama Farel."
Terus saja berdalih. Fania memang berharap banyak agar rasanya dengan Farel itu segeralah musnah.
Tengsin cuy! Apalagi kalau sampai Farel tahu jika Fania menyukainya, bisa-bisa Fania habis dipermalukan oleh si muka papan triplek itu.
"Nyusahin," ucap Farel dengan melempar ponsel Fania ke atas tempat tidurnya. Sudah sejak kemarin, Farel mencoba menyalakan ponsel Fania, tapi selalu nihil dan gagal. Layar ponsel Fania tetap tidak mau menyala, dan hanya menampilkan layar gelap tanpa kehidupan.
Farel beralih ke lemari pakaiannya. Ia mengambil sweater abunya, dan juga topinya yang berwarna hitam. Setelah memakainya, Farel langsung melangkah keluar dari kamarnya dengan membawa kunci mobilnya dan juga ponsel milik Fania.
Ini adalah kedua kalinya Farel mencoba lagi membawa ponsel Fania ke konter terdekat. Kemarin pagi, Farel sudah mencoba ke konter handphone yang ada di dekat rumahnya, tapi konter tersebut tak menyanggupi jika harus menyesuaikan permintaan Farel yang mau selesai dalam jangka waktu 1 hari.
"Mau kemana sayang?"
Farel menoleh dan melihat bundanya yang ternyata masih duduk di sofa menyaksikan tayangan televisi yang sedang tersaji. Dengan sopan, Farel mendekati bundanya dan ikut duduk di ujung sofa. "Keluar sebentar."
"Bawa mobil?" tanya Kartika dengan melirik kunci mobil yang ada di tangan Farel. "Jauh emangnya?" tanyanya lagi.
"Nggak tahu."
"Kok bisa nggak tahu? Mau Bunda temani?" tawar Kartika.
"Nggak usah. Farel bisa sendiri."
"Ya udah kamu hati-hati. Oh iya, karena besok malam kakak kamu mau pada ke sini, besok pagi kamu temenin Bunda ke supermarket ya?"
"Ngapain mereka ke sini?" tanya Farel dengan kening mengkerut tipis.
"Kok nanyanya ngapain sih? Kamu ini loh, Bunda kan juga kangen sama cucu Bunda. Emang kamu nggak kangen juga sama Alhafiz dan kakak kamu?"
Farel menggeleng sekali. "Alya berisik, baby Al juga."
"Eeehh manggilnya pake 'Mbak' dong, Rel. Kamu nggak boleh begitu atuh. Nanti kan kamu juga akan jadi seorang ayah, masa anak bayi dibilang berisik. Wajar, kamu kecilnya kan juga berisik."
Farel menghela napas panjang. Ujung-ujungnya ia malah mendapatkan ceramah dari sang bunda. "Panjang ceritanya," gumam Farel dengan pelan. Sekitar 5 menit Farel mendapatkan nasihat dari Kartika hingga akhirnya ia berhasil mendapat izin dari bundanya untuk pergi. Farel juga tak cerita kalau ia mau pergi ke konter handphone, karena kalau bilang, pasti bundanya malah akan banyak bertanya. Apalagi kalau sampai Farel menceritakan pada bundanya ia mau membenarkan ponsel milik Fania.
Farel masuk ke dalam mobilnya. Ia meletakkan ponsel milik Fania ke atas dashboard. Ia langsung menekan pedal gasnya untuk meninggalkan pekarangan rumahnya.
Kepala Farel bergerak ke kanan dan ke kiri, tapi tetap berusaha fokus menghadap ke depan. Matanya mencoba menjelajah letak konter handphone yang ada di sepanjang jalan Ir. H. Juanda tersebut.
Di ujung jalan sana, di sebelah kanan, ada sebuah gedung yang dipasang banyak banner merek handphone. Sudah pasti jika itu adalah yang sedang Farel cari, yaitu konter handphone. Farel memakirkan mobilnya tepat di depan konter tersebut. Beruntung sedang tak terlalu ramai, sehingga Farel tak akan terlalu dibuat tak nyaman.
Farel turun dari mobilnya. Ia mendapati beberapa pegawai yang ada di konter tersebut kompak berdiri.
"Ada yang bisa dibantu Mas?" tanya seorang pegawai. Semua pegawai tersebut sepertinya memang orang China. Matanya sipit dan juga kulit mereka yang putih bersih.
"Ini," Farel menyodorkan ponsel milik Fania yang ada di dalam saku sweaternya.
Pegawai tersebut tersenyum, dengan mata menatap mata Farel. Farel yang merasa risih dan aneh ditatap seperti itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jalan.
"Saya butuh cepat," ucap Farel dengan menatap sekilas pegawai tersebut lalu memilih menunduk menatap berbagai model handphone yang terpajang di dalam etalase kaca.
"Dicek dulu ya Mas."
Farel tak menjawab. Ia hanya diam saja, selanjutnya Farel menjauh dan memilih berdiri di samping mobilnya. Ia melirik jam tangan hitamnya, yang sebentar lagi akan menunjukkan pukul 7.35 malam.
Farel mendesah panjang menyadari apa yang ia lakukan saat ini. Ini adalah pertama kalinya. Dan semua ini karena Fania. Sudah pasti, Farel akan membuang banyak waktunya untuk menunggu di konter handphone tersebut saat ini.
"Kenapa harus Fania sih yang disuruh? Kenapa nggak Mas Noval aja?"
Mata Farel menyipit menatap seorang gadis yang sedang berjalan di pinggir jalan dengan bibir sibuk menggerutu dan mata yang menunduk ke bawah. Satu sudut bibir Farel terangkat. Ia bahkan tersenyum tak percaya. Ada apa dengan dunia ini? Kenapa harus Fania lagi? Farel sungguh tak mengerti dengan cara kerja semesta.
Semesta seolah masih menunjukkan kuasa-Nya. Kini langkah kaki Fania berbelok ke arahnya, lebih tepatnya ke arah konter yang sama dengan konter yang sedang Farel kunjungi.
Bertepatan saat Fania ingin mengangkat kepalanya, Fania malah ikut menggeser matanya ke samping. Matanya membulat berserta langkah kakinya yang tiba-tiba berhenti melangkah.
Apa sih yang dimau semesta? Haruskah ia terus-terusan bertemu dengan Farel? Ini kan bukan sinetron, jadi kenapa rasanya hidupnya ini sudah seperti kisah sinetron yang selalu saja berujung kebetulan. "Farel? Kok lo di sini?!"
Haruskah Farel menjawabnya? Memikirkannya saja Farel malas.
Farel mengangkat pandangannya dan menatap Fania. Gadis itu menggunakan kaos berwarna hitam dan juga celana training. "Ngapain lo ke sini?" tanya Farel dengan ekspresi datarnya.
"Isi pulsa," jawab Fania jujur.
Kening Farel mengkerut tipis. Memang rumahnya Fania itu di mana sampai harus nyasar beli pulsa ke sini? Dan juga Fania pergi dengan bejalan kaki, tidak memakai motor maticnya.
"Mas!"
Farel dan Fania kompak menoleh ke sumber suara. Farel melangkah maju, sedangkan Fania yang masih bingung hanya bisa mengekori Farel.
"Handphone gue!" pekik Fani dengan suara yang tiba-tiba sedikit meninggi.
"Berisik." Omel Farel dengan melirik tajam ke arah Fania, membuat Fania hanya bisa mendengus sebal.
"Ini bisa dibenerin Mas, tapi nggak bisa jadi hari ini. Maksimal lusa baru bisa jadi."
"Yah, kok lama sih Mbak? Nanti saya pake apa dong?" tanya Fania dengan lesu.
"Iya Mbak, mohon maaf. Karena untuk barangnya sendiri baru ada besok pagi."
Farel melirik beberapa detik pada Fania, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Nggak papa. Lusa saya ambil. Harus udah jadi dan selesai dengan rapih."
Fania dibuat melongo karena Farel.
Farel merogoh dompetnya lalu mengeluarkan 2 lembar uang merah muda. "Ini DPnya. Kalau kurang akan saya lunasi besok." Tanpa mengucap sepatah kata apa pun lagi, Farel langsung memutar tubuhnya dan masuk ke dalam mobilnya. Pegawai yang menangani handphone Fania pun sampai terbengong karena sikap dan ucapan Farel yang begitu dingin.
"Farel ih! Kok lo main pergi aja sih! Tungguin gue!" Fania langsung berlari dan dengan cepat masuk ke kursi penumpang di samping Farel.
Farel menahan napasnya dalam-dalam. Fania memang selalu memiliki segudang cara untuk menyulut emosinya.
"Mau lo apa, sih?" tanya Farel yang hanya berani terucap di dalam hati. "Keluar," perintah Farel masih dengan nada yang ia usahakan biasa sebisa mungkin.
"Udah malem Rel. Anterin gue beli pulsa dulu, terus anterin pulang karena nanti gue pasti dicariin sama Mamah."
"Gue lagi nggak pengen berdebat, Fania."
"Gue juga nggak pengen kok. Tapi kan sebagai temen, lo harus nolongin temen lo yang lagi butuh bantuan."
Karena ngeyelnya Fania kalau diberitahu, akhirnya Farel memutar kepalanya hingga matanya bisa menatap lurus mata Fania. Alis tebalnya menukik ke atas, yang menandakan bahwa ia sedang serius dengan ucapannya.
Fania yang sadar tatapan Farel begitu lurus menatap matanya langsung berkata. "Jangan begitu ngeliatinnya." Sudah dibilang, kalau Fania memang sudah gila. Padahal dulu kalau Farel menatapnya tajam, maka Fania akan membalasnya. Tapi ini, Fania malah tak berdaya dengan tatapan mata Farel.
Jika Fania seperti ini karena jatuh cinta, maka Fania ingin menghilang saja dari muka bumi ini.
"Turun," perintah Farel dengan intonasi suara yang masih biasa.
Tak ada sahutan, Farel segera menoleh ke samping. Gadis yang duduk di sampingnya itu tak menanggapi ucapannya.
Ya Allah, Ya Rabb.... Farel menahan geram di dalam hati. Fania memang benar-benar menyebalkan. Ini adalah kedua kalinya gadis itu berani tidur di dalam mobilnya.
Tiinn!!!
Farel menekan klakson mobilnya dengan kencang, hingga membuat Fania kelabakan detik itu juga. "Farel ih, jahat banget sih! Gue kaget tau. Nggak boleh bangunin orang kaya begitu." Semprot Fania karena kesal pada Farel.
Farel berdecak kagum menatap Fania. "Masih untung nggak gue turunin di jalan."
Wajah Fania cemberut. "Jahat dasar," cibirnya pelan.
"Turun," perintah Farel sekali lagi. "
Fania memutar kepalanya menghadap Farel. "Turun ke mana sih Rel? Ya ampun... " Fania mulai bicara dengan teramat lebay. "Ini udah malem Rel, masa nyuruh gue turun di jalan begini? Gue kan cewek, masa tega sih?"
Farel memejamkan matanya. Berusaha membuka dengan lapang tingkat kesabarannya untuk Fania. "Lo mau isi pulsa kan?"
Fania mengangguk dengan patuh.
"Liat tuh di samping."
Fania langsung memutar kepalanya dengan patuh. Malu sudah rasanya si drama queen. "Harusnya bilang kalau nuruninnya di depan konter." Ujar Fania dengan suara yang semakin memelan karena malu. "Ya udah kalau lo mau pulang, pulang aja. Nanti gue bisa pulang sendiri. Palingan cuma sejam dari sini. Gue nggak papa kok jalan kaki." Ujar Fania dengan tatapan masih mengarah ke luar sehingga ia tak bisa melihat ekspresi wajah Farel.
"Makasih udah dianter ke sini," ucapnya. Karena tak mendengar Farel mengucapkan sepatah kata apa pun, akhirnya Fania membuka seatbelt nya.
"Gue tungguin," kata Farel cepat yang membuat senyum Fania mengembang detik itu juga. Tapi secepatnya Fania berusaha menyembunyikan ekspresi senangnya. Padahal Fania tahu kalau dari jalan ini mungkin hanya perlu waktu 5 menit untuk sampai di rumahnya. Tapi karena mau jailin Farel, makanya ia bicara dengan mendramatisir keadaan. Ia hanya mencoba peruntungannya, dan ternyata benar, Farel mempercayainya.
"Gue sih nggak maksa. Tapi kalau mau nungguin, gue nggak akan nolak." Ujar Fania dengan memberikan cengirannya pada Farel. Ia langsung bergegas turun dari mobil meninggalkan Farel yang tampak geram menahan emosi.
Farel memilih bersandar penuh pada kursinya. Matanya terpejam. Di jam 8 kurang ini Farel sudah merasa ngantuk dan ingin segera tertidur di atas kasurnya yang empuk dan bersih.
Tok Tok!
Bola mata Farel langsung terbuka begitu mendengar suara ketukan di jendelanya. Tak lama kemudian teriakan panggilan dari luar juga ikut mengganggu kedua telinganya. "Rel! Fareelll!!"
"Sesungguhnya orang yang sabar itu disayang Allah, Rel." Ujar Farel dengan pelan. Tak lama kemudian ia memutar kepalanya dan melihat Fania yang berdiri di samping mobilnya dengan terus mengetuk kaca jendelanya.
"Farel!" Fania terus memanggil nama Farel dengan gerakan tangan yang meminta Farel untuk menyusulnya keluar.
Dengen helaan napas panjang tiada henti, Farel keluar dari mobilnya. "Apa sih?!" tanya Farel dengan kelewat kesal. Fania itu memang makhluk Tuhan yang paling menyebalkan dan berisik. Bahkan jauh lebih berisik dan bawel dari kakaknya, Alya.
"Ada Abang cilok."
"Abang cilok?" ulang Farel. Ia tak mengerti maksud Fania.
Fania mengangguk semangat. "Itu, ada abang cilok."
Farel mengikuti arah telunjuk Fania yang menunjuk ke arah kanan. Tepatnya di pinggi jalan, depan konter pulsa, ada sebuah sepeda yang di belakangnya terdapat sebuah panci, serta satu orang pria dewasa yang di lehernya terdapat sebuah handuk tampak lusuh.
Setelah memperhatikan yang ditunjuk Fania beberapa detik, Farel kembali menatap Fania.
"Pengen cilok," kata Fania.
"Terus?" tanya Farel heran. Fania hanya tinggal mengeluarkan uang jika memang ingin cilok, lalu kenapa harus bilang pada Farel?
"Uang gue nggak cukup. Gue mau pinjem duit lo," ucap Fania yang membuat Farel ingin mencekik gadis di hadapannya itu.
"Pinjem?" tanya Farel setengah tak percaya. Padahal tadi Fania lihat sendiri, Farel sudah mengeluarkan 2 lembar uang merah muda untuk ponsel Fania yang rusak.
Fania mengangguk lagi. "Uangnya udah gue pake buat beli pulsa semua, jadinya habis."
"Ya udah."
"Ya udah apa?"
"Nggak usah beli lah. Nggak punya duit aja pake mau beli." Semprot Farel tak tanggung-tanggung.
"Farel, sini!" Farel menghela napas panjang lagi saat Fania memanggil namanya. Farel kesal, tapi entah kenapa kakinya tetap mendekati Fania. Padahal kalau memang ia masih dengan mode on jahatnya, Farel bisa saja meninggalkan Fania seorang diri seperti itu. Tadi, Farel memberikan Fania uang sepuluh ribu agar gadis itu bisa membeli cilok sesuai yang ia inginkan. Karena kalau tak diberi, pasti Fania akan jauh lebih bawel dan berisik.
"Cilok?"
Farel menatap tajam pada Fania, membuat Fania mendengus sebal. Farel ikut duduk di pinggir bangku panjang yang diduduki oleh Fania. Harusnya kan selesai isi pulsa, Farel bisa segera mengantar Fania ke rumahnya dan ia bisa pulang untuk beristirahat. Tapi ini, gara-gara abang cilok, dengan tak sadar dirinya, Fania malah duduk dan terlihat begitu menikmati ciloknya.
"Ya udah kalau nggak mau." Fania menarik uluran ciloknya lalu kembali melahap cilok itu dengan semangat dan perasaan bahagia.
Sebenarnya Farel memang tak menyukai cilok. Ralat, Farel bahkan tak pernah mencoba yang namanya cilok. Karena sejak kecil, Farel tidak pernah yang namanya jajan sembarangan. Ia hanya makan sesuatu yang sehat untuk tubuhnya.
"Permisi Kak," dua orang pengamen tiba-tiba muncul di hadapan Farel dan Fania. "Maaf ganggu waktu pacarannya ya, kita mau numpang ngamen."
"Siapa yang pacaran? Kita nggak pacaran!" Wajah Fania malah memerah seketika.
Farel mengangkat bahunya tak acuh. Membiarkan Fania yang menjelaskan sesukanya, tanpa harus ia repot untuk menjelaskan. Farel mah santai, karena ia merasa tak menyukai Fania sehingga biasa saja untuknya mendengar ucapan Fania. Berbeda dengan jantung Fania yang saat ini ingin melompat pergi dari tempatnya.
"Wah pas banget. Untuk kakak yang lagi pedekate, kita mau bawain lagu dari salah satu penyanyi terkenal yang judulnya 'Benci jadi Cinta'.
Ah, jangan! Please jangan lagu itu!
Itu lagu sih sindiran keras banget untuk Fania. Awalnya benci dan teramat kesal dengan Farel, eh sekarang, malah jatuh dengan perasaan untuk Farel.
Setelah pengamen tersebut menyanyikan lagunya, Fania memberikan uang kecil untuk mereka hingga akhirnya pamit dari hadapan Fania dan Farel. Keadaan mendadak hening. Sepanjang pengamen tadi bernyanyi pun mereka hanya saling diam.
"Mau nggak?"
Dengan gerakan cepat, kepala Fania menoleh. Ia melihat Farel yang sedang menatap matanya. "Ma.. Mau apa?" Fania kembali merasa bodoh. Ia kembali bicara dengan terbata-bata. Tapi kondisi jantung Fania saat ini pun memang sedang dalam kondisi tak baik. Jantungnya itu seperti ingin melompat dari tempatnya. Fania merasabsedang berada dalam lapangan pacuan seribu kuda.
"Air putih."
".............."