Tatapan

2796 Words
"Ooeekk... ooeekkk..." Suara tangisan bayi menggema dalam kamar berukuran 5x5 meter persegi. Membuat salah satu pasang mata dari 2 orang yang ada di dalam kamar tersebut segera membuka matanya. Kamar yang sangat tak asing, karena kini Alya berada di kamar miliknya. Seperti yang sudah direncanakan, akhir pekan ini Alya, bersama dengan suami dan anaknya berkunjung ke rumah orangtuanya. Alya menutup mulutnya yang kembali menguap. Dengan segera, Alya bangkit duduk. "Iya sayang, sebentar ya...." Alya sudah berniat berdiri, tapi tangannya tiba-tiba ditahan oleh sosok lelaki yang ia cintai. Wajah suaminya yang masih terlihat tampan di bawah penerangan yang minim karena penerangan kamarnya yang hanya bergantung pada lampu tidur di atas nakas.  "Kamu di sini aja, biar Mas yang bawa Alhafiz ke sini." Alya tersenyum kecil lalu mengangguk. Althaf langsung bangkit berdiri dan mendekati ranjang puteranya. Ranjang kecil yang dibelikan oleh Rama dan Kartika untuk disimpan di kamar Alya. Sengaja, agar kalau Althaf dan Alya sedang menginap, mereka tak bingung untuk menidurkan Alhafiz. "Sayang.... Haus ya?" tanya Althaf dengan membawa Alhafiz ke dalam pelukannya, lalu dibawanya Alhafiz ke pangkuan istrinya. "Nih, kamu minum dulu." Althaf menahan tangan Alya yang sudah akan melepas beberapa kancing baju tidurnya untuk menyusui Alhafiz. Alya lagi-lagi tersenyum dengan sikap sederhana Althaf. "Makasih ya, Mas." Althaf mengangguk dan mengecup puncak kepala Alya. "Nggak perlu makasih, karena pengorbanan kamu untuk Alhafiz lebih besar dibandingkan yang Mas berikan untuk Alhafiz." "Jangan bicara begitu Mas. Pengorbanan Mas untuk Al juga besar. Kalau nggak ada Mas, nggak mungkin ada Alhafiz, kalau nggak ada aku, Alhafiz juga nggak mungkin lahir, dan kalau bukan karena Allah, kita nggak akan bisa sampai seperti sekarang." Senyum Althaf semakin merekah lebar. Apa yang istrinya katakana barusan membuatnya berdecak kagum. "Mas sayang kalian berdua," ucap Althaf dengan mencium Alya dan Alhafiz bergantian sebelum Alya kembali melanjutkan kegiatannya untuk menyusui puteranya yang kini sudah berumur 11 bulan. Beberapa menit Alya dengan sabar menunggu Al yang sedang memenuhi isi perutnya, selama itu pula Althaf setia menemani dengan merangkul bahu Alya dan sesekali menghadiahi sebuah kecupan di pipi istrinya. Setelah baby Al kenyang, Alya kembali menidurkan bayinya ke dalam ranjang bayi. Ia kembali duduk di atas kasurnya. "Mau tahajud sekarang, Mas?" tanyanya. "Kamu nggak ngantuk?" tanya Althaf dengan membelai rambut Alya. "Nggak, Mas. Aku lebih milih untuk deket sama Allah, dibandingkan harus kembali terlelap dalam buaian selimut." Althaf kembali berdecak kagum atas tutur kalimat istrinya. Althaf beranjak ke kamar mandi duluan, sedangkan Alya mempersiapkan alat solat mereka. Dibentangkannya 2 sajadah, baju muslim untuk Althaf, sarung, serta mukena berwarna putih untuknya. Althaf memimpin solat tahajud mereka dengn penuh khusyuk dan bacaan yang tartil serta lirih. Membuat Alya sebagai makmum ikut berdesir mendengar bacaan hafalan suaminya. Selesai mengerjakan beberapa rakaat solat tahajud, Althaf memutar tubuhnya menghadap Alya. Alya mencium punggung tangan suaminya lalu Althaf mencium lembut kening Alya, cukup lama. Itu pun sudah mampu membuat wajah Alya kembali bersemu merah karena malu. "Dari dulu sampai sekarang, merahnya nggak pernah hilang." Goda Althaf dengan mengusap pipi Alya. "Merahnya kan karena Mas." "Iya, nggak papa merah. Mas malah suka. Bikin kamu kelihatan makin cantik." Ujar Althaf dengan lagi, menghadiahi ciuman di seluruh wajah Alya. Mobil yang dikendarai Farel terus melaju dengan kecepatan yang perlahan tapi pasti menurun. Pandangan Farel berfokus pada jalanan di depannya dengan sesekali melirik sekilas ke luar jendela. Beberapa kendaraan di depannya perlahan berhenti karena adanya lampu merah, menunjukkan hitungan mundur dari detik 50. "Dimana, Al?" tanya Farel pada kakaknya yang sejak tadi sibuk menatap layar ponselnya. Membuat Farel sedikit kesal melihatnya. Alya segera mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Sejak tadi ia memang sedang sibuk berbalas kabar dengan sahabatnya, Raya. Sudah lama rasanya Alya tidak bertemu dengan sahabatnya itu. "Lurus aja terus. Nanti ada pertigaan kita ambil yang kanan. Plang toko rotinya ada warna hijaunya." Setelah memberikan petunjuknya pada Farel, Alya kembali fokus dengan ponselnya. Kini Alya dan Farel sedang pergi bersama menuju toko roti. Sedangkan anaknya, Alhafiz, berada di rumah bersama dengan Althaf. "Yang mana?" tanya Farel, bingung. Ia sudah melewati pertigaan dan belok ke kanan, tapi tidak ada toko roti dengan plang berwarna hijau. Alya kembali mengangkat pandangannya ke depan. "Itu. Nah itu, toko yang keempat dari sini." Farel menembuskan napas panjangnya, mencoba sabar. "Itu bukan hijau Al, tapi kuning." Alya terkekeh tak berdosa. "Maaf atuh, kan lupa. Udah lama nggak ke sini." Fare memilih diam, tak melanjutkan. Setelah ia memakirkan mobilnya, Farel ikut turun dan mengikuti langkah kakaknya yang masuk ke dalam bangunan bertingkat dua. "Kamu mau ikut, atau mau duduk aja?" tanya Alya dengan dagu mengarah ke pojok toko. Ada beberapa kursi beserta meja bundar yang disediakan oleh toko roti. "Duduk aja," jawab Farel dengan seraya menjauh dari Alya dan memilih duduk di kursi paling pojok yang ada di toko roti tersebut. Toko tersebut tampak ramai siang ini, membuat Farel yang tak suka keramaian merasa sedikit tak nyaman dan terganggu. Beberapa pelanggan tampak memilih roti, ada yang sedang mengobrol, ada juga yang sedang menikmati aneka roti dan kue yang dijual di dalam toko. 1 menit. 3 menit. 7 menit. Farel memijit pelipisnya karena tak kunjung melihat kehadiran kakaknya. Memang dasar perempuan, membeli kue dan roti saja tidak bisa cepat. Masa harus membutuhkan waktu yang lama? Rasanya Farel ingin segera pergi dari sana. Lebih baik ia membaca buku di kamar dari pada harus menghabiskan waktunya yang berharga dengan duduk diam di pojok toko roti. Farel benar-benar bosan. Matanya memperhatikan ke luar jendela, melihat parkiran toko roti yang terlihat penuh dan beberapa orang yang lalu lalang keluar masuk toko. Suara riuh tawa dan obrolan yang terdengar seru seiring dengan pintu toko yang terbuka membuat pandangan Farel menjadi teralihkan. Tiga orang gadis masuk ke dalam toko, dan hadirnya mereka membuat mata Farel sedikit menyipit tanpa sadar. "Fania ih jangan berisik. Nanti diusir lo dari toko." Tukas Elis saat melihat Fania yang masih belum selesai tertawa. Fania menutup mulutnya dengan masih cekikikan yang suaranya sudah sedikit samar karena ia yang menutup rapat mulutnya. "Lo juga sih, Lis. Makanya jangan kasih bahan joke ke Fania yang kaya gitu. Bisa seharian dia nggak berhenti ketawa." Ujar Puput dengan kembali ikut terkekeh geli karena Fania. Fania menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Puput. Fania mengatur pernapasannya sambil memijit kedua pipinya dengan jemari. Ia harus segera berhenti tertawa. Tatapan Farel terus berfokus pada Fania. Fania menggunakan kaos lengan panjang berwarna hitam bergambar bebek berwarna kuning, celana jeans, pashmina berwarna hitam, sling bag berawarna putih, serta sepatu kets berwarna putih. Farel mengembuskan napasnya perlahan. Entah kenapa, tatapannya pada Fania tak bisa beralih, walau sedetik. Fania terkikik geli lagi karena bahan candaan yang diberikan oleh Elis. Mungkin karena ekspresi Elis dalam menceritakan sesuatu itu adalah yang paling the best, sehingga sering kali ketika Elis baru memulai prolognya sudah membuat Fania tertawa. Fania menoleh ke sekitarnya, dan tak sengaja menangkap kehadiran sosok yang belakangan ini sering kali memenuhi isi kepalanya. Fania melihat Farel yang menggunakan kaos dengan jaket berwarna cokelat itu sedang duduk sendirian di kursi paling pojok, dengan pandangan penuh pada ponselnya. "Fan?" Fania segera menoleh dengan pada Puput yang memanggilnya. "Ngeliatin apa?" tanya Puput dengan ikut menolehkan kepalanya ke arah Fania menatap tadi. Seketika senyum jail Puput muncul. Ia menyikut lengan Elis dan mengarahkan dagunya ke arah pojok toko. Senyum jail ikut terpampang di wajah Elis. "Ciiieeee~" goda Elis dan Puput bersamaan. "Apaan sih lo berdua, cie-cie? Gue nggak ada apa-apa sama Farel." Puput mengangkat bahunya tak peduli. "Ngapain Farel ke sini? Sendirian lagi," ucap Puput yang membuat kepala Fania lagi-lagi menoleh dengan suka rela. "Janjian kali sama si Aldi." Jawab Elis dengan tebakan asalnya. "Mungkin," ucap Fania santai. Ia mencoba bersikap tak acuh kembali dengan kehadiran Farel di dekatnya, karena selanjutnya Fania kembali memakan cake strawberry di hadapannya. Tapi sedetik kemudian, gebrakan pelan di mejanya karena ulah Puput membuat Fania mengangkat kepalanya. "Liat tuh si Farel. Ternyata janjiannya sama cewe, cuy. Mana cantik lagi." Fania menolehkan kepalanya. Dan benar, Farel memang sedang bersama dengan seorang perempuan seperti yang Puput ucapkan. "Iiiihh, mana yang cewenya cakep gitu lagi. Wah, Fan... Lo bisa kalah kalau gini caranya." Fania langsung menatap tajam ke arah Elis yang menyindirnya. "Terserah lo aja deh," ucap Fania dengan kembali memakan cake strawberry miliknya dengan perasaan yang sedikit, jengkel. "Makasih," ucap Farel singkat pada wanita paruh baya pemilik warung di salah satu kantin yang ada jurusannya. Wanita itu menurunkan beberapa makan dan minuman yang sudah dipesan oleh Farel dan temannya yang lain. Mungkin karena paksaan Aldi juga, hingga akhirnya Farel mau diajak makan bersama di kantin. Karena hampir tidak pernah, Farel mau yang namanya makan di kantin kecuali hanya untuk membeli air mineral saja. "Bu, tambah es tehnya dong 1. Banyakin es batunya ya, Bu." Ujar Aldi yang baru sadar kalau ia belum memesan minuman. "Kalau gitu nggak usah dikasih air Bu. Kasih es batu aja 1 gelas," celetuk Rion dilanjut kekehan gelinya. "Berarti namanya bukan es teh lagi. Tapi es batu," kata Lian yang membuat semua laki-laki yang berkumpul 1 meja itu lantas kompak menertawakan Aldi, kecuali Farel. Farel hanya tersenyum tipis menatap candaan teman-temannya. Maklum, ia terlalu kaku untuk bisa bercanda apalagi tertawa dengan orang-orang yang tak begitu akrab dengannya. Sambil menunggu pesanan es teh Aldi datang, Farel dan semua temannya mulai menyantap makanannya dengan perlahan. Farel sendiri memilih tempat yang terlihat paling bersih dapurnya, dan akhirnya Farel memutuskan untuk makan gado-gado dengan air mineral hangat. Sebenarnya Farel bukannya anti makan di kantin, hanya saja karena karakternya yang sangat-amat-menyukai kebersihan, sehingga Farel jadi tidak pernah yang namanya makan sembarangan. Angin yang berembus pelan siang itu, sedikit membuat rambut bagian depan Farel hampir menutupi wajahnya. Tangan kirinya langsung terangkat untuk menyingkirkan rambutnya dari wajahnya. Kepalanya sedikit miring saat ia melakukan aktivitasnya itu. Dan Farel malah memperhatikan sekitarnya. Keadaan di kantin ramai, sehingga hampir semua tempat duduk sudah penuh. Farel juga baru tahu kalau ternyata hampir semua menu utama ada di kantin. Dari mulai lauk ayam, ikan, daging, soto, sop, bakso, mie ayam, gado-gado, ketoprak, nasi goreng, hingga berbagai lauk yang ada di warteg pun juga ada. Mata Farel tertuju pada seorang gadis yang juga sedang duduk bersantai sambil menikmati makan siang dengan sahabatnya. Gadis itu memakai atasan berwarna navy, celana jeans, serta kerudung berwarna abu. Farel sering sekali melihat gadis itu memakai celana jeans yang membalut kakinya. Padahal kalau di rumahnya, ada perempuan yang memakai celana jeans seperti itu, maka sudah pasti tidak akan diperbolehkan oleh ayahnya. Termasuk kakaknya, Alya, yang tidak pernah lagi memakai celana jeans atau bahkan celana jenis apa pun jika keluar dari rumah. Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu menoleh. Matanya bertatapan dengan mata Farel. Namun, tak lama, karena gadis itu dengan cepat memutus pandangan matanya dengan Farel. Farel menaikkan bahunya tak acuh dan kembali melanjutkan makannya. "Eh, hape lo udah balik?" tanya Lian. Farel menggeser matanya dari piring ke arah Lian yang duduk di samping Aldi. "Udah," jawabnya singkat. Lian tahu kalau ponsel milik Farel berada di tangan Fania karena bocornya mulut Aldi. Sebenarnya Aldi tahu kalau ponsel Farel ada di tangan Fania dengan tak sengaja. Aldi tahu saat Farel terlibat percekcokan kecil dan mereka mengungkit masalah ponsel keduanya. "Lo ceritanya lagi pedekate sama Fania ya, Rel?" tanya Rion sambil mengaduk minumannya dengan sedotan yang isinya tinggal sedikit. Kepala Rion juga sempat menoleh dan menatap ke arah kumpulan gadis yang kini sedang tampak bersenda gurau. Kumpulan yang tadi juga tak sengaja Farel perhatikan. "Yaelah Yon, lo nggak tahu kal-" Mulut Aldi langsung terbungkam rapat ketika mendapat tatapan tajam dari kedua mata Farel. Farel tahu apa yang mau dikatakan oleh Aldi, sedangkan Aldi tak sengaja membeberkan semuanya pada Rion. "Kalau Farel sama Fania itu nggak bisa bersatu. Mereka mah kalo nyatu berantem mulu yang ada." Lanjut Aldi dengan hati-hati. Rion hanya menganggukkan kepalanya. Langsung percaya dengan apa yang baru saja Aldi katakan. "Gitu-gitu dia banyak dikenal sama kakak kelas, loh. Apalagi sama yang namanya Azka, katanya mantanan." "Mantan? Si Azka yang kapten basket fakultas kita itu?" tanya Lian mulai tertarik dengan pembicaraan mereka. "Bukan basket fakultas lagi cuy. Udah yang kapten basket kampus, dia mah. Katanya sih jago banget gitu, makanya tingginya udah kaya gala bambu." "Farel juga tinggi, kok. Ya nggak, Rel?" Farel langsung menatap jengah pertanyaan Aldi. Lama-lama ternyata Aldi jadi menyebalkan. "Tapi yang gue denger sih, dua-duanya masih saling suka gitu. Cuma si Fania nggak direstuin sama keluarganya kalau sama Azka." "Ya ampun Yon, gila lo. Sampe segitu taunya gosip? Kaya cewek aja, lo." Ujar Lian dengan menggelengkan kepalanya. "Ya elah, cuma mantan aja dipusingin. Mantan itu cuma masa lalu, bukan untuk masa depan. Ya nggak Rel?" goda Aldi dengan alis naik turun menatap Farel. "Apa sih," gumam Farel dengan alis menukik tajam ke atas. Aldi terbahak, sedangkan Lian dan Rion yang tak mengerti apa-apa hanya bisa ikut tertawa karena Aldi yang terbahak dengan begitu puasnya. Farel kembali hanya mengaduk es jeruknya dengan sedotan tanpa berniat menimbrung dengan bahan obrolan dan juga candaan teman-temannya. Tak lama, perhatian Farel kembali tertuju pada 1 orang gadis yang duduk di meja kantin sana. Gadis yang sejak tadi sudah ia perhatikan dan juga yang menjadi topik pembicaraan teman-teman Farel. Fania, gadis itu tampak sedang tertawa lepas dengan kedua sahabatnya. Dari posisinya, Farel bahkan bisa melihat lesung pipi gadis itu yang tertancap ke dalam. "Rel?" Panggilan Aldi langsung membuat kepala Farel menoleh dengan cepat. "Apa?" tanya Farel. Aldi mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya hampir tertaut. Sudut bibir Aldi langsung tertarik begitu ia ikut memandang ke arah Farel memandang tadi. "Lo ngeliatin siapa?" Mata Farel kembali melirik ke kiri. Melihat Fania masih dengan kegiatan yang sama, yaitu bercanda dengan kedua sahabatnya. Farel kembali meminum es jeruknya lalu menjawab. "Bukan siapa-siapa." Farel keluar dari perpustakaan setelah mengembalikan buku yang pernah ia pinjam. Ia menggantungkan satu tali tasnya di bahu sebelah kanan. Farel segera berbelok di ujung koridor. Farel masih memiliki waktu kosong 20 menit sebelum jam kuliahnya dimulai. Ia harus mengambil netbook nya yang ketinggalan di dalam mobil. Drrt drrt! Farel merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Farel membalaskan singkat pesan yang dikirimkan oleh Aldi, temannya. Farel memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, lalu kembali menghadap ke depan. Dan saat itulah ia melihat suatu pemandangan yang baru. Seorang gadis tampak sedang berbincang santai di bawah pohon dengan seorang laki-laki. Senyum merekah di keduanya. Tampak akrab dan berbincang dengan begitu hangat. "Namanya Azka. Katanya mantan pacarnya Fania." "Udah nggak level basket fakultas. Azka mah basket kampus." "Katanya sih ambil jurusan ekonomi." Entah kenapa, Farel malah mengingat semua perkataan teman-temannya tempo hari lalu mengenai Fania dengan seorang laki-laki yang 'katanya' bernama Azka. Jika dilihat dari posisinya Farel saat ini, laki-laki yang dibicarakan oleh teman-temannya itu cukup persis. Yang katanya ganteng, lalu tinggi, dan memiliki kulit yang cerah. Ditambah keakraban Fania dan laki-laki di dekatnya itu membuat Farel semakin yakin kalau laki-laki itu memanglah Azka. "Rasanya lama banget nggak ketemu kamu. Jadi kangen," ucap Farel memutar bola matanya begitu mendengar suara laki-laki itu kepada Fania. Ia terus melanjutkan langkahnya tanpa berniat ingin melihat kedekatan dan keakaraban Fania dengan laki-laki itu. Lagi pula, Fania dan ia sudah tak memiliki urusan apa pun lagi. Ia sudah mendapatkan ponselnya kembali, dan masalah perjodohan masih tetap stagnan tanpa ada kelanjutan, dan itu membuat Farel cukup bersyukur. Bertepatan saat Farel tinggal berjarak sekitar 5 lngkah dengan Fania, Fania dan laki-laki itu memutar tubuhnya dengan kompak hingga berhadapan dengan Farel. Farel berhenti, namun Fania dan laki-laki yang ada di sisi Fania juga ikut berhenti karena Fania. Antara mata Farel dan mata Fania sempat bertemu pandang untuk sesaat. Fania tampak begitu terkejut karena melihat Farel ada di hadapannya. Fania juga menangkap arah mata Farel yang menatap sekilas laki-laki di sampingnya. Kaki Fania maju selangkah tanpa disuruh. Mendekat ke arah Farel. "Eeee.. Rel, gue-" kalimat Fania langsung terpotong begitu saja ketika Farel langsung pergi melewati sisi tubuhnya begitu saja. Hanya tas yang disampirkan di pundak Farel yang bisa Fania rasakan karena telah menyentuh bagian lengannya. Meninggalkan sedikit aroma mint samar karena Farel yang terus maju ke depan tanpa berhenti. Wajah Fania langsung merungut. Dengan cepat ia ikut memutar tubuhnya karena ingin meneriaki Farel, tapi suara yang muncul di sampingnya langsung membuat Fania mengurungkan niatnya. "Siapa?" Fania menoleh dan menemukan wajah Azka tepat di samping wajahnya. Azka? Benar kan tebakan Farel? Laki-laki yang sejak tadi Farel perhatikan sedang asyik bicara dengan Fania memanglah Azka. Fania bergeser selangkah ke kanan. Sedikit menjauh dari tubuh Azka yang begitu dekat dengannya saat ini. "Bukan siapa-siapa." Kata Fania dengan kembali menatap ke arah perginya Farel. Fania memang belum mengenal Farel dengan begitu baik, tapi Fania tahu apa arti tatapan mata Farel tadi. Mata Farel memancarkan aura ketidakpedulian. Dan Fania cukup kecewa mengetahuinya. Tadinya ia sedikit berharap, bahwa Farel akan sedikit cemburu. Tapi nyatanya.....? Ah, Fania jadi ingat kejadian tempo hari lalu di toko roti. Ia melihat Farel yang sedang bersama dengan seorang perempuan. Perempuan yang bahkan dengan berani merangkul lengan Farel. Tak ada yang bisa Fania harapkan dari seorang Farel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD