Bab Two

1645 Words
Erlay melangkah tegas memasuki kantornya. Aura yang keluar dari tubuhnya membuat para pegawai menunduk saat menyapanya. Tak sedikit dari para pegawai wanita yang melirik ke arah bos besar mereka yang tampan. "Jam sepuluh ada rapat dengan Tuan Mike dari perusahaan Mikolaye tuan. Membahas tentang investigasi proyek gabungan anda." ucap sekertaris Erlay begitu Erlay mendudukkan diri di kursi ruangannya. "Suruh GM Patter yang menggantikanku." Donita mengangguk, "Baik tuan." "Susun jadwalku setelah makan siang untuk besok. Aku harus pergi setelah ini." "Baik." Erlay membuka berkas yang dia terima dari Donita beberapa saat lalu sebelum sekertarisnya itu pergi. Membaca dengan teliti, sebelum akhirnya menandatanganinya. Suara pintu terketuk dan terbuka membuat Erlay menoleh ke arah pintu, sosok John datang menghadap. Tangan kanannya itu membungkuk sekilas sebelum berbicara. "Saya sudah melaksanakan perintah anda. Nona Cassandra terbang ke London siang ini." "Bagus," Erlay tersenyum puas, "Aku tidak ingin di ganggu dia untuk beberapa waktu. Wanita itu merepotkan." "Tapi, bagaimana dengan tuan besar Alex, tuan?" tanya John. "Tak perlu khawatir, untuk pria tua itu biar aku yang mengurusnya." Erlay kembali menatap berkas-berkas di mejanya, "Pergilah, siapkan mobil pukul sebelas siang! Aku akan pergi ke suatu tempat." "Baik." John membungkuk sekilas, kemudian keluar dari ruangan Erlay. Meninggalkan bosnya yang fokus pada pekerjaannya. -000- Hari ini jadwal Areelia libur. Gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan sebelum berbelanja keperluan. Gaji yang di terimanya beberapa hari yang lalu sudah dia bagi untuk keperluan sehari-harinya dan untuk bayar sewa apartemen mungilnya. Sisanya ia tabung bila ada keperluan mendadak. Hidup sendiri menjadikan Areelia harus pintar menata uang. Kemandiriannya semenjak kecil ternyata sangat berguna. Areelia pun sudah terbiasa melakukan apapun sendiri. Bahkan ketika sakit sekalipun, ia mengurus dirinya sendiri. Sudah hampir 4 tahun dia meninggalkan panti asuhan tempatnya tinggal. Dan selama itu Areelia berjuang sendirian. Tidak, bahkan selama dia tinggal di panti asuhan Areelia sudah berjuang sendiri. Tidak ada yang memperdulikannya. Bahkan ibu asuh sendiri tak terlalu memperdulikannya. Singkatnya, Areelia sudah sendiri sejak lahir. Mengenyahkan rasa sesak yang kerap menyapa dikala ia mengingat tempat besarnya dulu, Areelia memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Angin berhembus ringan saat Areelia mendudukkan diri di bangku taman. Terlihat beberapa anak dan remaja yang bermain salju ataupun ice skating. Gelak tawa mereka mengisi keramaian taman di musim dingin. Tak jarang terlihat para sepasang kekasih yang mengumbar kemesraan mereka. Seolah dunia milik mereka sendiri. Sepuluh menit Areelia duduk diam dengan pandangan melihat orang-orang yang bergembira di taman. Akhirnya dia beranjak dari sana. Berjalan menuju kearah kedai kopi dan macaron di pinggir taman. Memesan segelas latte hangat. "Tidak bisa begitu Erlay, aku butuh kepastian tentang hubungan kita!" Terdengar bentakan penuh emosi dari arah belakang Areelia. Gadis itu menoleh sekilas, terlihat dua orang beda gander yang terlihat sedang bertengkar. Sang wanita tampak emosi dan si pria tampak datar-datar saja. Areelia kembali menoleh ke arah penjaga kedai. Menunggu pesanannya di buatkan. Untuk mengusir rasa bosan dia memainkan ponsel miliknya. Bentakan dari sepasang kekasih di belakangnya masih terdengar. Malah terlihat heboh dengan sang wanita yang memanggili nama pria itu. "Satu Latte manis." Areelia mendongak, menerima cup kopi yang dia pesan. Tersenyum manis saat menerima ucapan terima kasih ketika dia membayar pesanannya. Dan ketika dia berbalik, sesuatu menabraknya dan membuat kopi latte di tangannya menumpahi sosok itu. "Astagaa!!" Areelia memekik, ia secara spontan mengusap baju yang di pakai orang yang di tabraknya. Membersihkan kain itu dari noda coklat. Dan tindakan bodohnya itu malah membuat tangannya yang memang ikut ke tumpahan menjadi tambah perih. "Stop it!" Areelia mendongak melihat orang yang memegang tangannya. Matanya membulat kala mata tajam orang itu menghunus matanya. Tubuhnya langsung menegang. Dengan segera ia menyentak cekalan di pergelangan tangannya. Dan berbalik pergi dengan berlari. Erlay sedikit terkejut dengan tingkah dari gadis yang menumpahinya kopi. Rasa panas di sebagian dadanya yang basah ia abaikan. Beruntung cuaca sedang dingin dan ia berpakaian tebal. Sehingga cairan panas itu tak sampai banyak mengenai kulitnya. Ia menoleh saat mendengar dering ponsel dari bawah. Sebuah ponsel berwarna abu-abu tertangkap mata coklatnya. Tangannya terulur mengambil. Melihat benda itu. Terdapat satu panggilan yang baru beberapa detik lalu terhenti. Dan wajah dari sosok wanita yang menabraknya tadi terlihat di layar. Ponsel itu, milik wanita tersebut. "Erlay!" Erlay berdecak, ia lupa dengan wanita yang menyebalkan baginya. Tanpa menoleh ia melanjutkan jalan. Mengabaikan sosok itu. Yang masih berteriak mengejarnya. -000- Areelia membanting pintu apartemennya. Ia menyandarkan diri di pintu. Merosot jatuh dengan napas yang memburu. Tiga tarikan napas dalam baru membuat Areelia merasa lumayan baik. Meski gemetar masih dirasa tubuhnya. Tapi ia sudah lebih tenang. Areelia mendongak menatap langit-langit rumahnya. Matanya berkaca-kaca tanpa sebab. Selalu saja seperti ini jika dia berhadapan dengan lelaki asing. Kenapa pula tadi dia tak menyadari jika orang yang di tabrak nya adalah seorang pria. Jika dia tahu dari awal, dia pasti bisa mengantisipasi ketakutannya. Kedua mata Areelia terpejam, dan sialnya malah bayangan tatapan tajam pria itu menyapa pikirannya. Areelia berdecak, kenapa dia kembali mengalami situasi yang seperti ini. Tidak hanya sekali dua kali dia pernah mengalami kejadian seperti ini. Namun, yang terakhir ini dia merasa ketakutan yang sangat ketika mata coklat itu menghunus mata abu-abunya. Areelia berdiri, berjalan gontai ke arah meja dapur. Mengambil segelas air dan meneguknya rakus. Lalu mendudukkan diri di kursi kayu di dapur apartemennya. Menumpukan kepalanya disana. Ah, dia lupa belum berbelanja. Merasa malas untuk keluar kembali, Areelia berniat menghubungi Sonneta-sahabat Areelia, untuk di belikan beberapa kebutuhan. Ia akan mengganti uang sahabatnya itu nanti ketika barang-barang pesanannya datang. Namun saat ia merogoh sakunya, Areelia tidak menemukan ponselnya. Di saku Coat tidak ada, Areelia mulai mencari di saku baju dan celananya. Ia panik tidak mendapati apapun. Kemudian ia membongkar tasnya. Mengobrak-abrik isi dari tas sedang itu. Menumpahkan isinya ke atas meja. Tidak ada, ponsel Areelia tidak ketemu. Kepanikan semakin bertambah. Areelia gemas sendiri. Mencoba berfikir, Areelia mengingat dimana dia menaruh ponselnya. Dan matanya membulat saat ingat terkahir kali dia memakai benda itu. Dengan keras ia menampol jidat nya sendiri. 'Sial, ponselku pasti jatuh di kedai kopi tadi!' rutuknya dalam hati. -000- "Tuan besar tadi kemari Tuan. Beliau tampak marah." Erlay menghembuskan napas dalam. Ia dengan pandangan malas menyorot lurus kedepan. Tampak ogah-ogahan saat melepas Coat miliknya. "Apa dia masih disini?" Amber dengan telaten langsung membantu tuannya melepaskan Coat yang di pakai, "Sudah pergi lima belas menit yang lalu tuan." jawabnya sembari menerima tas kerja Erlay. "Oh." Erlay hanya menjawab seadanya, "Siapkan makan malam. Aku lapar!" "Baik." "Oh ya bi, tolak semua panggilan dari wanita manapun. Aku sedang malas berhadapan dengan mereka." Amber mengangguk patuh. Wanita paruh baya yang sudah menemani tuannya sedari bayi itu tersenyum tipis. Dalam hatinya ia merasa lega. Semoga saja tuannya tidak lagi berurusan dengan wanita-wanita yang merepotkan itu. Ia berdoa agar Erlay mendapat jodoh yang baik. Erlay melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Rumahnya yang sangat luas dan hanya di isi dirinya beserta belasan pelayan tampak sepi. Membuat bunyi ketukan sepatu Erlay terdengar menggema. Erlay membanting pintu pelan. Dirinya segera merebahkan diri begitu sampai ranjang besarnya. Menatap langit-langit kamar sejenak. Hingga dering ponsel lagi-lagi menyentaknya. Namun kali ini bukan dari ponselnya, melainkan dari ponsel milik gadis yang menabraknya tadi siang. Mengingat hal itu, dirinya belum mengecek dadanya yang terkena tumpahan cairan coklat tersebut. "Sebentar Ree, belum ada yang jawab." Erlay mengangkat sebelah alis, ia menatap sekilas layar ponsel tersebut. Dirinya tadi tidak melihat siapa yang menghubungi dan langsung saja mengangkat teleponnya. Nama Sonneta tersemat disana. Ia pun kembali mendekatkan ponsel itu ketelinganya. "Eh, sudah di jawab." sahut dari seberang, "Halo?" Erlay hanya berdeham sebagai sahutan. Tak berniat untuk berbicara apapun. "Maaf, saya adalah teman dari pemilik ponsel yang Anda temukan. Bisakah kami mengambil ponselnya kembali?" Erlay menghela kecil, dirinya bangun dari rebahannya dan mendudukkan diri, "Ya, kau bisa mengambilnya besok." "Apa tidak bisa hari ini?" "Aku sudah berada di rumah, dan terlalu malas untuk keluar. Jika kau mau, besok pukul 09.00 pagi datanglah ke tempat temanmu menjatuhkan ponselnya." Terdengar sedikit gerutuan di seberang, "Baik, kami akan kesana." "Hm." "Maaf dan terima kasih. Selamat malam." "Selamat malam." Sambungan itu terputus setelahnya. Erlay kembali memandang ponsel itu. Cukup lama. Dan dia tergelitik untuk membukanya. Hanya ada beberapa foto dari pemilik ponsel itu. Sisanya terlihat foto gadis asing. Yang di yakini Erlay teman pemilik ponsel yang baru saja menghubunginya. Tidak ada hal lain. Untuk itu Erlay mengakhiri sesi menjelajah nya. Erlay bangkit, meletakkan ponsel tersebut di atas nakas bersama dengan ponsel miliknya. Kemudian pria tersebut berjalan ke arah kamar mandi. Ia gerah dan ingin membersihkan diri. -000- Sonneta hanya menggeleng melihat kefrustasian teman sekolahnya itu. Berkali-kali dia menenangkan. Namun Aree tetap saja panik dan khawatir. "Ree, sudahlah. Hanya ponsel saja kan? Kalau penemu ponselmu bohong dan tidak mengembalikannya. Kita bisa pergi untuk membeli yang baru." ujar Sonneta malas. Areelia mencibir tanpa suara. Memang mudah untuk membeli ponsel. Tapi mencari uang untuk membelinya yang susah. Sonneta terkekeh sebentar. Dia yang tadi asik berkutat dengan coklat panas berjalan menuju Areelia. Mengangsurkan secangkir coklat buatannya untuk sang sahabat. "Aku bisa membelikanmu ponsel jika kau mau. Tak perlu memikirkan ponsel lama mu." ucap Neta sembari mengambil tempat di hadapan Areelia. Areelia menghembuskan napas. Bibirnya mengulas senyum tipis. Memandang lembut pada sahabatnya itu, "Tidak. Aku tidak ingin merepotkan mu lagi." "Oh ayolah. Kau tidak merepotkan ku Ree." Areelia menggeleng, "Tidak Net, aku sudah sangat merepotkanmu sejak masa sekolah." Sonneta mendengkus. Ia tak lagi menjawab ucapan sahabatnya. Dia memilih mengalah. Areelia tipe orang yang keras kepala. Dirinya tidak akan bisa melawannya jika keras kepala Areelia keluar. "Sudahlah, tidak usah di bahas lagi." Sonneta menyeruput minumannya, "Sudah malam. Sebaiknya aku pulang." "Kau tidak menginap?" Sonneta menggeleng, "Ben akan ke apartemen hari ini." ucapnya sembari tersenyum bahagia. Areelia mendengkus lirih, "Ya sudah, cepat pergi!" Sonneta terkekeh. Ia berdiri dan mengambil tasnya yang berada di atas meja. Berjalan mendekat ke arah Areelia dan memberi kecupan di pipi sahabatnya, "Jangan cemburu, kau tetap yang nomor satu." "Geli Net!" ucap Areelia risih. Ia memukul pelan lengan sahabatnya. Tawa Sonneta semakin renyah. Setelahnya dia berjalan keluar, "Aku pulang Ree." "Hemm.." 'Blam.' 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD