bc

Passionate Touch | Bahasa Indonesia |

book_age0+
783
FOLLOW
6.2K
READ
arrogant
powerful
CEO
maid
drama
tragedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

Areelia Caramody hanya seorang pekerja keras pemburu uang. Hidupnya sebatang kara. Bukan karena orang tuanya yang meninggal, namun karena 'mereka' membuangnya. Membuangnya karena Areelia di anggap adalah 'buah' kesalahan dari keluarga besarnya.

Hidup di panti asuhan semenjak bayi membuat Areelia mengerti tentang kerasnya kehidupan. Pembullyan yang di terimanya sedari kecil dari orang-orang di panti membuatnya pergi dari rumah yang di sebutnya 'neraka' itu sejak umurnya yang ke 19th.

Masa kelam yang di terimanya di panti membuat Areelia mengalami trauma. Trauma yang disembunyikan dari semua orang, bahkan sahabatnya sendiri. Dan trauma itu yang membuat dirinya sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang-orang tertentu. Hingga menumbuhkan dinding dan batasan tak kasat mata antara dirinya dengan orang lain.

Hingga pada suatu hari, Kehidupannya yang monoton dan serba mencari uang, menjadi terusik karena kehadiran seseorang. Seseorang yang tanpa sengaja ia tabrak dan menumpahinya dengan segelas kopi saat dirinya pulang bekerja. Membuatnya berurusan dengan seseorang yang tak pernah terpikirkan di otak cerdasnya.

Mr. Erlay Barbara Denado, pemilik Denado Company.

chap-preview
Free preview
Bab One
Areelia Caramody tersenyum, tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. Wajah ayunya yang terlihat lelah berpendar bahagia. Saat amplop coklat bertuliskan namanya itu ia terima dari sang atasan. "Terima kasih nyonya." Katanya pada sang atasan tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir. Sonia Dorca tertawa lembut. Ia menepuk bahu karyawan paling bersemangatnya pelan, "Sama-sama. Pulanglah, jam mu sudah habis sekarang. Beristirahatlah Aree." Areelia mengangguk senang, kemudian ia berdiri dan sedikit membungkuk pada Dorca. Setelahnya keluar ruangan dari pemilik restoran tempatnya bekerja itu. Restoran tempat Areelia bekerja itu bukanlah sebuah restoran yang berlabel bintang, entah itu bintang satu, dua, atau lima sekalipun. Namun restoran bernama Dorca Cooking Food itu selalu ramai pengunjung. Tak heran, semua makanan yang tersaji di sana tak kalah enaknya dengan restoran termahal sekalipun. Areelia masuk ke dapur, ia melepas apron yang menempel di perutnya. Kemudian melepas pula topi pegawai yang tersemat di kepalanya. Ia melipat dua benda itu lalu di taruhnya di loker pekerja miliknya. "Mau pulang Ree?" Areelia yang tengah memakai coat coklatnya menoleh kesumber suara. Ia mengulas senyum tipis saat menatap rekan kerjanya. "Yap." Jawab Areelia semangat, "Aku sudah merindukan kasur mungilku." Bonnes tertawa merdu, pria yang menjabat sebagai koki yang handal di restoran Mrs. Dorca itu menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah sang rekan kerja yang begitu semangat, "Tak heran sih, udara di luar mencapai -15° celcius. Udara cukup dingin, dan paling nyaman jika bergelung di bawah selimut." Areelia ikut tertawa, "Kau benar, aku sudah sangat tidak sabar berada di bawah selimut seraya bermimpi indah." Ia memakai syal putih tebalnya dan juga topi rajut berwarna hitam yang menutupi rambut panjang coklatnya yang di gelung, "Aku pergi dulu Bone, tetap semangat bekerja meski badai salju akan turun sebentar lagi. Bye." Imbuhnya sebelum berlalu pergi. Tak lupa pula ia melambaikan tangannya. Bonnes ikut melambaikan tangannya dan menatap Areelia yang sudah hilang di balik pintu dapur. Pria itu menggelengkan kepalanya pelan, kemudian kembali berkutat pada bermacam adonan dan masakan bersama rekan koki lainnya. Angin kencang berhembus menerpa Areelia saat wanita itu membuka pintu utama restoran. Dengan segera ia merapatkan coatnya. Hawa dingin mulai menusuk wajahnya yang tidak terlindung dari hangatnya kain yang tengah ia kenakan. Dengan segera, ia sedikit menaikkan syal yang membungkus lehernya lebih tinggi hingga menutupi mulut dan hidung wanita itu. Areelia menghembuskan nafasnya pelan sebelum melangkah pergi. Langit sudah beranjak gelap. Lampu-lampu jalan pun mulai menyala. Keadaan jalanan cukup ramai meski awan mendung sudah meliputi. Dan rintik salju pun mulai turun membasahi bumi. Areelia mempercepat langkahnya guna mencapai halte bus. Ia segera mendudukkan diri disana setelah sampai. Menunggu bus yang melewati halte di dekat apartemen mungilnya. Setelah menunggu beberapa waktu, bus yang di tunggu Areelia datang. Ia dengan segera langsung naik dan mendudukkan diri di dekat pintu. Keadaan bus kali ini lebih senggang, tidak seperti pagi hari yang selalu penuh dan membuat Areelia terkadang harus berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk dan selalu membuatnya was-was. Areelia menolehkan kepalanya melihat keluar jendela. Salju masih turun meski samar-samar. Tatapannya menerawang melihat bangunan-bangunan yang indah di kota padat tempatnya tinggal itu. New York dan segala keindahannya, sungguh sangat menyenangkan. Apabila Areelia termasuk jajaran penikmat uang dan kekuasaan. Areelia tersenyum remeh, penikmat uang dan kekuasaan, huh? Bisa makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Gumamnya dalam hati. Bus yang di tumpangi Areelia berhenti. Dan Areelia pun lantas segera turun. Kaki mungil berbalutkan sepatu bott berwarna hijau tua itu langsung melangkah menuju apartemen kumuh tempatnya tinggal. Ketika sampai, wanita berusia 22 tahun itu pun segera masuk kedalam rumahnya setelah membuka kunci pintu. *** Ruangan itu terlihat panas. Panas akan kegiatan dua insan yang tengah bergumul di ranjang besar tengah ruangan. Desahan yang di akhiri teriakan dari sang wanita yang berada di bawah seorang pria memenuhi ruangan yang tampak mewah itu. Setelahnya, keadaan bising tersebut berganti sunyi ketika kedua orang itu sama-sama telah mencapai kepuasan. "Tidak ingin tinggal lebih lama lagi?" Tanya sang wanita setelah beberapa saat terdiam karena pelepasannya. Ia kini menatap sang patner yang sibuk memakai kembali pakaiannya. "Tidak." "Kenapa?" "Aku banyak pekerjaan Amora." Wanita bernama Amora itu mendengkus samar, "Apa sepenting itu hingga kau melupakan waktu istirahatmu?" "Aku memanggilmu kemari bukan untuk mendengar ocehanmu." Pria itu beranjak setelah selesai memakai sepatu pantopel mahalnya, "Tinggallah beberapa saat di kamar ini, aku sudah memesannya sehari." Ujarnya sembari berlalu seraya menjinjing jas mahalnya. "Erlay." Amora mendengkus kembali, bahkan pria itu mengabaikan panggilannya. Tanpa banyak kata lagi, wanita cantik itu langsung merebahkan diri kembali dan menekan kejengkelannya. Erlay Barbara Denado melangkah keluar dari hotel tempatnya melakukan hubungan badan dengan salah satu model terkenal beberapa saat yang lalu. Dengan langkah tegas ia menghampiri mobil keluaran terbaru miliknya yang sudah terpakir sempurna di depan gedung hotel. "Ke mansion Denado sekarang, John." Ucapnya pada sang supir pribadi. "Baik, sir." Erlay mengambil nafas dalam sebelum menyandarkan tubuhnya dengan nyaman. Ia menatap keluar jendela, mengamati jalanan yang cukup ramai di akhir pekan. Hingga tatapannya terpaku dengan seseorang yang memakai coat berwarna coklat bertopi rajut hitam. Orang itu tengah berlari kelimpungan. Terlebih ada dua orang yang telihat mengejarnya. Mobil yang sempat berhenti kembali berjalan, dan Erlay pun memutuskan pandangannya. "Apa tuan Aldrov datang mencariku?" Tanya Erlay tiba-tiba. "Tidak tuan, namun nona Casandra yang mencari anda." Sebelah alis Erlay terangkat, "Untuk apa dia kesana, bukankah sudah kubilang untuk tidak membukakan pintu pada siapapun kecuali aku yang memerintahkan?" "Maaf tuan, tapi nona Casandra tadi mengancam penjaga dengan mengadukan perihal itu pada tuan besar Alexandro. Hal itu membuat para penjaga terpaksa membukakan gerbang." "Cih pria tua itu." Umpat Erlay pelan, "Jika bukan karena kakek, aku pasti sudah akan mendepaknya." "Lain kali jangan membuka gerbang lagi tanpa ijin dariku pada siapapun John. Kali ini kau ku maafkan, tapi tidak dengan lain kali." Tegas Erlay dingin nan tajam. Membuat John meneguk saliva nya kasar. "Yes, sir." *** Areelia terengah dengan wajah pucat dan penuh peluh. Tubuhnya terasa gemetar. Gadis itu terlihat ketakutan. Uap mengepul dari bibirnya yang terus menghembuskan napas kasar, mencoba mengatur pernapasannya. Ia menyandarkan diri di tembok gang sempit tempatnya bersembunyi. Memejamkan mata dan berdoa jika orang-orang yang mengejarnya tidak menemukan dia. Degub jantungnya menggila. Hingga dirinya takut jika orang-orang yang mengejarnya bisa mendengar. Krusak-krusuk suara dari para pengejarnya saling tumpang tindih. Membuat tubuh Areelia semakin menegang. Ia menelan ludah susah payah. Mencoba mengintip keluar. Dan menghela napas lega begitu orang-orang yang mengejarnya menjauh. Tubuh Areelia merosot kebawah. Ia terduduk di tanah dengan kedua tangannya yang menyangga kepala. Di usapnya wajahnya kasar. Gemetar masih terlihat di kedua tangannya. Matanya pun terpejam menahan perasaan yang tak menentu. Cukup lama dia disana. Hingga akhirnya memutuskan berdiri dan keluar. Areelia kembali menghembuskan napas dalam. Sebelum akhirnya ia berjalan sedikit tenang dengan langkah cepat. Menjauhi tempatnya bersembunyi dan berbaur dengan orang-orang yang berlalu lalang. Salju mulai turun kembali. Areelia mempercepat langkahnya. Hari sudah semakin larut. Dan dia sepertinya sudah ketinggalan bus yang menuju ke arah apartemennya. Sepertinya dia harus naik taksi. Ini semua karena dua orang sialan yang selalu mengganggunya bila bertemu. Areelia berharap orang-orang itu pergi jauh tak mengusiknya. Areelia menyetop taksi yang lewat di depannya. Dengan segera ia mengatakan alamatnya pada sang supir taksi begitu menutup pintu mobil. Kendaraan itupun melaju dengan kecepatan sedang. Areelia menyandarkan diri, dengan pandangan keluar jendela. Mata Areelia terpejam. Sedikit kerutan di keningnya. Wajahnya yang sedari tadi terlihat pucat kini berangsur membaik. Kedua bahunya yang tegang pun melemas. "Nona baik-baik saja?" tanya sang supir ketika menyadari penumpangnya terlihat gelisah. "Ya, aku baik-baik saja." Areelia tersenyum ramah. Ia menoleh sekilas pada supir taksi sebelum kembali memandang keluar jendela. Mencoba merilekskan diri dengan menikmati pemandangan malam kita New York. *** Erlay menutup pintu kamarnya dengan keras. Menimbulkan debuman yang cukup memekakkan telinga. Para maid yang tengah bertugas di sekitar lorong kamarnya sampai berjengit kaget. Mereka saling pandang dengan tatapan takut dan penasaran. Ia berjalan menuju jendela kaca kamar megahnya. Berdiri tegap dengan pandangan yang mengarah keluar. Menatap langit malam dan taman Mansionnya yang di sinari lampu warna-warni. Rahang Erlay mengeras, mengingat kembali percakapannya dengan sang kakek. Erlay menghembuskan napas dalam. Memejamkan mata dengan perlahan. Mencoba menetralisir emosinya. Setelah dirasa cukup, Erlay kembali membuka mata. Napasnya yang sempat memberat kini lebih ringan. Ia berbalik, melangkah menuju kamar mandi. Berniat membersihkan diri. Lima belas menit Erlay mandi, pria itu keluar dengan menggunakan bathrobe berwarna hitam. Sebelah tangannya menggosok rambutnya menggunakan handuk kecil berwarna merah. Ia mendudukkan diri di ranjang, bersamaan dengan dentingan ponsel terdengar dari ponselnya. 'Aku kemari tadi, macaron disini sangat enak. Besok kita kemari ya sayang.' Sebuah pesan Wechat yang di sertai potret seorang wanita cantik yang sedang duduk dengan menikmati macaron di kedai pinggir jalan di terimanya. Erlay hanya memandang gambar itu datar. Hingga tanpa sengaja dia melihat gambar yang berada di belakang wanita cantik itu. Sosok itu tengah mendongak memandang langit dengan senyum lebar. Kedua tangannya menangkup salju yang turun. Ia mengeryit, merasa pernah melihat sosok bercoat hijau dan bertopi rajut hitam. Menggeleng pelan, Erlay hanya membalas singkat pesan itu. Kemudian menaruh ponselnya kembali. Ia pun berdiri dan melangkah menuju walk in closet miliknya untuk mengambil boxernya. Bersiap untuk tidur di jam yang hampir pagi. *** "Pesanan selesai!!" Aree segera menyaut nampan yang keluar dari lubang penghubung dapur dan tempat para pelayan resto. Gadis itu menghela napas lelah sebelum keluar menuju meja para pelanggan. Berjalan santai dengan senyum tipis yang mengembang. "Silahkan." ucapnya setelah menaruh pesanan di meja yang di tujunya. Pembeli yang menerima mengangguk dan membalas senyum Aree. Aree pun pamit, berjalan kembali ke tempat pelayan. Mengambil pesanan yang sudah selesai. Kembali keluar dan mengantarkan pesanan itu ke meja pelanggan. Hari yang sibuk, Areelia dengan telaten melayani para pelanggan yang berdatangan. Sesekali ia mengelap dahinya yang berkeringat meski di luar sana nyatanya suhu mampu membekukan tubuh. "Hari yang lelah Ree." ucap Zety rekan Aree yang bertugas sama dengannya. Gadis berkulit gelap itu menumpukan kepalanya di meja. Berkali-kali terdengar suara helaan napas. Areelia terkekeh, mengangguk pada Zety yang tampak kelelahan, "Ya, hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Padahal bukan weekend." "Kurang 2 jam lagi kita disini. Kenapa waktu bergerak sangat lambat.." keluh Zety. Areelia tersenyum masam, "Hanya 2 jam. Jangan di nanti, kalau di nanti akan terasa sangat berat." Zety hanya membalas dengan gumaman. Gadis berambut ikal itu kembali menghembuskan napas panjang. Terlihat kelelahan. Areelia berjalan menuju kamar mandi. Mencuci tangan dan wajah. Ia memandang wajahnya melalui cermin. Kantung matanya sedikit terlihat. Ia beberapa waktu terakhir kembali tidak bisa tidur dengan tenang. Apalagi dengan kejadian kemarin. Ketakutan dalam dirinya kembali menghampiri. Areelia mendesah lelah, ia pun keluar dari kamar mandi. Dan terkejut dengan Bones yang mengagetinya. "Bone!" Bones terkekeh, geli dengan pelototan Aree untuknya, "Kau kemana kemarin? Aku berniat mengantarmu tapi kau sudah menghilang." Aree memutar kedua matanya sebelum menjawab, "Aku naik taksi." ujarnya berbohong. Ia tersenyum tak enak, merasa bersalah pada Bones. Dia pembohong yang buruk. Bones mengangguk saja, "Aku khawatir saja. Kemarin jam kita pulang sangat larut. Tapi kau menghilang begitu aku kembali dari mengambil ponselku yang tertinggal." Aree tertawa hambar, tak mungkin mengatakan jika dia berlarian menghindar dari dua orang sinting yang selalu mengganggu hidupnya, "Maaf karena tidak pamit padamu." Bones tertawa, "Tidak apa." ia menghela napas pelan, "Nanti malam ada acara?" Areelia tampak berpikir, "Sepertinya tidak." "Mau bergabung dengan anak-anak? Mereka mengajak karaokean." "Hem.." Areelia menimang, "Aku akan memberitahu nanti saat pulang kerja." "Oke." Bones mengangguk. "Kalau begitu aku kembali dulu." pamit Areelia. "Tunggu." Bones memegang tangan Areelia, dan ia terpengkur sejenak saat Areelia menyentak tangannya kasar. "Ah, m-maaf Bone." Areelia memegang lengannya yang di pegang Bones, ia menatap mata temannya itu sebelum menunduk, "A-ku terkejut." Bones tersenyum ramah, "Tak apa." ada beberapa pertanyaan yang kembali hinggap di kepalanya ketika melihat reaksi Areelia yang selalu seperti itu ketika dia menyentuh atau memegang gadis itu, "Aku juga akan kembali." Areelia mengangguk, "Aku duluan." ia segera pergi begitu selesai berucap. Membiarkan Bones yang menatap punggungnya tak mengerti. Begitu sampai di tempat pelayan resto. Areelia berkali-kali menarik napas dan menghembuskannya pelan. Wajahnya menjadi sedikit pucat. Tangannya pun gemetar. Ia merenung, memandang kedua tangannya bergantian. "Aree, ada apa?" Areelia tersentak mendengar panggilan Zety, ia mendongak menatap gadis itu, "Tidak." "Benarkah?" tanya Zety tak percaya. "Ya." jawab Aree singkat, "Ada pesanan, aku antar dulu." beruntung dentingan peringat pesanan jadi terdengar. Dengan segera Aree melenggang mengantarkan makanan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.9K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.1K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Akara's Love Story

read
259.0K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.6K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook