2. Auristel-Kopi

1008 Words
Menyingkirkan bayangan seseorang seperti menyingkirkan udara... Sia-sia belaka -Auristela-    "Jangan minum kopi!" tiba-tiba saja ia mencegah seseorang yang sudah siap menyeruput kopinya. Bi Ina terkejut seketika itu juga. Ia tak pernah mendengar larangan itu selama ini.    "Non?"    Auris memejam saat menyadari siapa yang ada di hadapannya. Ia membayangkan melarang seseorang minum kopi karena sedang minum obat. "Oh, Bi, maaf... maksudku ... jangan minum kopi sendiri. Buatkan aku juga ya, Bi. Tolong bawa ke atas."    "Oke, siap Non."    "Aku duluan ya, Bi." Auris meninggalkan Bi Ina, selama di rooftop ia duduk melamun.     Dengan hati-hati Bi Ina membawa dua gelas kopi memasuki lift menuju rooftop. "Tumben Non?"    "Eh Bibi, ngagetin." Auris menjulurkan tangan mengambil gelas miliknya. "Tengkyu Bi..."    "Bibi temenin." Duduk di samping Auris yang menghadap ke muka hingga bisa melihat pemandangan rumah-rumah penduduk.    "Boleh banget, Bi." Auris malah sampai bersandar di lengan Bi Ina yang sudah mengasuhnya sejak ia lahir. "Sekarang cuma bisa nyender." Bi Ina tertawa kecil mendengarnya.    "Bibi tau--Non tadi bayangin Damian yang minum kopi. Kalimatnya percis, waktu itu kan Bibi liat. Non kangen ya?"    "Kangen nggak kangen, bayangannya selalu ada. Saat aku menutup mata justru akan semakin melihatnya. Kenapa dia nggak kangen aku ya, Bi?"    "Belum tentu."    "Buktinya ... setahun setengah Bi, tanpa mengabariku sama sekali. Aku benci, kenapa masih berharap. Aku benci aku yang nggak bisa nyingkirin bayangannya." Dengan perasaan yang diaduk-aduk antara mengharapkan atau melupakan, Auris menyeruput kopinya yang sudah sedikit dingin.    "Jodoh nggak akan kemana, Non."    "Ya terus, kita harus ke mana selama nunggu jodoh itu?"    "Non ini, ya yang penting yakin ... kalo dia jodohnya Non."    Auris tertawa kecil. "Bibi kopinya enak."    "Non aja yang nggak pernah minta."    "Ya aku sebenarnya nggak suka ... cuma sering ikut-ikutan aja."    "Khusus untuk hari ini... karena membayangkan seseorang, kan?"    "Bibi tau aja."    "Apa yang nggak Bibi tau tentang Non. Bibi tau sejak masih di perut. Dulu... Mommy itu suka... banget makan ayam diapain aja suka. Sekarang Non hampir tiap hari menunya harus ada ayam."    Auris bersandar lagi pada lengan yang dulu sering ia sandar di sela lelah belajar.    "Bibi selalu nemenin aku dari kecil, apalagi kalo Mommy Daddy nggak ada, Bibi bakal lebih ngejagain aku."    "Iya, Bibi takut kenapa-napa, apa pun yang terjadi asal Non nggak kenapa-napa itu lebih baik, karena Non-lah titipan paling berharga." Bibi tersenyum mengingat sesuatu. " Sampai Mommy pernah bilang ke Bibi, Ina ... aku nggak akan marah kalau rumah berantakan atau kamu nggak masak yang penting Auris dijaga jangan sampai kenapa-napa."    "Mommy bilang gitu?"    "Iya."    Mereka tertawa. Ina justru merasa hari-harinya terisi saat mengurus si kecil Auris. Ia sudah terlanjur cinta pada keluarga ini hingga tak ingin meninggalkan.    "Kembali lagi soal jodoh, Bi Ina ... nggak kepingin punya rumah tangga sendiri? Aku sudah besar, Bibi nggak perlu mengurusku lagi, tapi jangan pernah melupakan aku."    "Bibi ke kota karena... orangtua Bibi sudah meninggal, sebelumnya Bibi bertahan di kampung karena jagain ibu. Saat ibu meninggal rasanya hampa. Bibi biarkan rumah di kampung ditinggali pamannya Bibi. Kemudian pergi ke Jakarta bertemu pacar Bibi yang sudah lama kerja. Bibi dan Jafra sudah janji akan menikah tahun itu. Bibi putuskan untuk ikut dengannya tinggal di Jakarta."    Auris menatap lebih lekat dan memegang tangan Bi Ina hingga ia pun menoleh pada Auris.    "Jadi Bibi punya pacar di Jakarta?"    Dia mengangguk. "Dulu."    "Sekarang?"    Dia menggeleng. "Sekarang di sini." Meletakkan satu tangan di dadanya.    "Bi...?"    Dia tidak menangis, tapi tatapannya sangat dalam. Terlihat jelas masih menyimpan seseorang di sana. Seseorang yang sangat berarti--di tempat yang sangat dalam.    "Saat di Jakarta Bibi juga mencari pekerjaan, sementara mengumpulkan biaya untuk kita menikah di kampung. Ternyata, Tuhan mengambilnya lebih dulu. Tiga minggu setelah Bibi menetap di Jakarta, Jafra kecelakaan. Satu minggu Bibi merawatnya di Rumah Sakit, dia ... meninggal."    "Bibi sangat mencintainya, aku lihat itu--" mata Auris menatap lekat.    Dia mengangguk lebih dalam. "Bibi bersyukur, Tuhan beri waktu seminggu untuk merawat dan mendengarnya yang begitu berharap kami akan menikah, dia juga selalu mengucapkan kata-kata--bahwa dia sangat cinta sama Bibi."    "Itu sebabnya Bibi ... sendiri?"    "Bukan tidak menerima kenyataan. Tapi hati ini," menekan dadanya, "selalu ada dia. Bibi hanya berharap dunia ini sementara, cinta yang sesungguhnya adalah akhirat, berharap akan bersamanya kelak di sana."    "Besar sekali dan sangat tulus harapan Bibi. Tuhan pasti mendengar harapan itu."    Hening sesaat. Mereka sama-sama menghabiskan sisa kopi yang sudah dingin.    "Ketika kita berharap, harus disertai keyakinan."    Auris mengangguk setuju. "Lalu, bagaimana Bibi bisa sampai di sini?"    "Sebelumnya, Bibi OG di kantor Bapak. Waktu itu mereka belum menikah, jadi... Mommy Non suka curhat ke Bibi kalo lagi kesal sama Bapak."    "Oh ya, misalnya?"    "Yah selain soal pekerjaan," Bibi seperti hendak berbisik, "soal kopi."    "Kopi?"    Dia mengangguk. "Tempat Ibu curhat kan dapur, kalo pas lagi buat kopi. Nah terus, hari itu Ibu lagi malas dia minta Bibi yang buat sementara Ibu istirahat duduk di dapur sambil curhat. Nah terus, Bapak marah."    "Daddy marah?"    "Iya. Ibu kembali ke dapur bawa kopi dengan muka kesal gitu. Dia bilang, heran deh kok bisa tau bukan aku yang buat kopinya! Sambil terus ngedumel Ibu bikin lagi kopi yang baru."    "Ya ampun..., Daddy sampe segitunya! Aku rasa itu karena Daddy sudah mulai ada rasa sama Mommy."    "Iya, Mommy Non juga bilang kalo dia sengaja buat repot agar bisa ketemu terus di ruangan."    Mereka tertawa bersama seperti tak ada beban.     "Lalu sampai akhirnya Bibi ada di sini?"    "Itu sejak Non hadir, Ibu hamil Non waktu itu jadi nggak boleh banyak kerja. Akhirnya Ibu minta Bibi kerja di rumah aja. Apalagi waktu Non lahir, Ibu nggak mau percaya sembarangan orang, jadi Bibi yang bantu Mommy urusin Non dari lahir."    Senyum Auris melebar. "Bibi nggak pingin punya anak sendiri?"    "Bisa urus Non seperti anak sendiri aja udah alhamdulillah banget."    "Kalo gitu jangan tinggalin aku ya, Bi." Auris memeluknya.    "Nggak akan, Bibi akan selalu di rumah ini, jagain Non dan bantuin Mommy dan Daddy yang udah mau anggap Bibi keluarga."    Auris memeluk erat seseorang yang telah memberikan cinta sepenuhnya pada keluarganya. Membiarkan cintanya dibawa pergi kekasihnya tanpa sempat mengikat dan berharap bersatu kembali di keabadian cinta yang sebenarnya, karena dunia sifatnya hanya sementara. __Bodyguard Series II__ Dian
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD