MBHMsB - Part 2

3007 Words
Mata Skyla terbelalak lebar ketika mendengar suara bunyi alarm yang entah sudah berdering berapa kali sejak beberapa menit yang lalu. Namun, deringan yang memekakkan telinga gadis itu masih nggak mampu membuat Skyla berpisah dengan ranjangnya yang empuk. Dengan gerakan kasar dan dengusan sebal, Skyla pun akhirnya mematikan alarm yang terletak di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Setelahnya, gadis itu menukar posisi tubuhnya menjadi berbaring terlentang, sementara kepalanya menghadap ke langit-langit kamar. Semenit kemudian, makian bervolume kecil tiba-tiba terlontar dari mulut Skyla. Gadis itu hampir melupakan kenyataan bahwa dirinya sudah nggak lagi berkuliah di Princeton University. Bisa-bisany aku lupa kalau udah nggak kuliah lagi, batin Skyla bermonolog pada dirinya sendiri di dalam hati. Padahal sebulan yang lalu, aku baru saja wisuda, lanjut gadis itu mendengus. Setelah membatin, Skyla sudah hendak kembali memejamkan matanya dan masuk ke alam mimpi. Namun, baru sedetik gadis itu memejamkan matanya, suara ketukan yang berasal dari pintu kamarnya membuat kedua indera penglihatannya kembali terbuka. Siapa, sih, itu? Ya, Tuhan, biarkanlah aku tidur lebih lama sejenak, batin Skyla di dalam hati setelah mendengar suara yang menginterupsi aktivitasnya tadi. "Nona Skyla, apakah Anda sudah bangun?" tanya suara dari luar sana sebelum dilanjuti dengan ketukan untuk kedua kalinya. Skyla baru saja hendak membuka mulut untuk membalas pertanyaan tadi, tetapi pintu kamarnya sudah lebih dulu terbuka. Meskipun dengan gerakan perlahan, tetapi pintu kamarnya itu tetap menghasilkan suara deritan yang sukses membuat Skyla mengganti posisinya yang awalnya berbaring, kini menjadi duduk di atas tempat tidur dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang. Sosok seorang wanita berkacamata menyembulkan kepalanya dari arah luar dengan tatapan yang langsung mengarah pada tempat tidur di mana Skyla sedang berada. Wanita paruh baya yang mengenakan kacamata itu adalah Mrs. Anderson, sang kepala pelayan di mansion keluarga Ramirez. "Nona Skyla ... udah waktunya beranjak dari tempat tidur. Mr. Ramirez sudah menunggumu di meja makan, Nona," gumam Mrs. Anderson pelan karena mendapati Skyla yang masih memejamkan matanya, meskipun gadis itu sudah nggak lagi berbaring di atas tempat tidurnya. "Sebentar lagi, Mrs. Anderson. Anda boleh keluar sekarang dan tolong bilang pada Dad untuk memulai sarapannya lebih dulu. Aku akan turun dalam beberapa menit lagi," pesan Skyla yang kini sudah membuka matanya. Mrs. Anderson nggak lagi membalas ucapan anak dari majikannya itu, melainkan hanya menganggukkan kepalanya sebelum menutup pintu kamar Skyla dan melaksanakan apa yang baru saja dipesankan oleh gadis itu padanya. Beberapa menit setelah kepergian Mrs. Anderson, Skyla pun akhirnya bangkit dari posisi duduknya di atas tempat tidur dan langsung mengenakan sandal berbulunya yang berada tepat di sisi tempat tidur. Skyla berjalan menuju sebuah pintu berwarna putih dan meletakkan jari telunjuknya pada scanner yang tertempel di sana. Ketika sidik jarinya berhasil terdeteksi oleh benda tersebut, pintu berwarna putih itu lantas terbuka dan mengeluarkan suara ‘bip’ satu kali. Begitu Skyla masuk ke dalam ruangan yang merupakan walk in closet-nya itu, pintu berwarna putih tadi lantas kembali tertutup dengan sendirinya. Ya, memang hampir seluruh bagian mansion keluarga Ramirez ini didominasi oleh barang-barang canggih dan berteknologi tinggi. Bahkan sang pemilik mansion itu, Johanson Ramirez, nggak akan segan-segan mengimpor barang-barang tersebut dari luar negeri, meski harus merogoh kocek yang nggak sedikit. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah besar karena keluarga Ramirez adalah salah satu keluarga termakmur di seluruh daratan Amerika Serikat. Walk in closet milik Skyla sudah dirancang sedemikian rupa. Desain dan interior-nya apik dan tepat guna, sementara kecanggihan di dalamnya didukung oleh barang-barang berteknologi tinggi yang dipasangkan oleh sang ayah. Skyla hanya menurut saja karena yang terpenting baginya adalah rupa dari walk in closet impiannya itu harus sesuai dengan yang dia mau. Gadis itu nggak peduli berapa harga dan sehebat apa teknologi yang ada di dalamnya. Baru satu langkah Skyla berjalan, lampu di dalam walk in closet yang awalnya padam, kini langsung menyala secara otomatis. Tangan gadis itu kemudian meraih sebuah remote kecil dan menekan sebuah tombol yang ada di sudut kanan atas sehingga terdengar sebuah suara. “Sara, play acoustic relaxing music.” “Okay.” Setelah mendapatkan balasan seperti itu dari virtual assistant-nya, musik yang diminta oleh Skyla pun langsung terdengar di seluruh ruangan walk in closet. Skyla nggak tahu di mana ayahnya bisa mendapatkan barang yang ukurannya hanya seperti sebuah loudspeaker, tetapi mempunyai kegunaan yang sangat banyak. Namun, seingatnya, benda bernama Sara itu adalah salah satu inovasi dari sebuah perusahaan hi-tech yang merupakan rekan atau teman ayahnya. Maka dari itu, Skyla bisa memiliki benda bernama Sara itu bahkan sebelum dirilis dan dipasarkan untuk umum. Skyla melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menyisakan bra dan panty-nya sebelum melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu bersenandung kecil, mengikuti irama dan lirik lagu dari musik yang sedang diputarkan oleh Sara, sementara tangannya mengambil sebuah bola bath bomb berwarna merah muda dan beraroma mawar dari dalam laci di bawah wastafelnya. Meskipun Sara berada di luar kamar mandi, tetapi untungnya suara yang dihasilkan oleh benda mungil itu bisa menembus pintu kamar mandi dan tertangkap oleh indera pendengaran Skyla. Bath bomb yang berada di dalam genggaman Skyla segera dilemparkannya ke dalam bathtube setelah wadah besar berwarna putih itu terisi oleh air hangat. Mulut mungil Skyla mengeluarkan erangan kecil ketika dirinya masuk ke dalam bathtube dan merasakan sensasi hangat dan menyegarkan yang langsung menyerbu sekujur tubuhnya. “Kapan terakhir kalinya aku merasakan berendam seperti ini, ya ...,” gumam Skyla pada dirinya sendiri. Pasalnya, gadis itu sangat sibuk menyusun tugas akhirnya beberapa bulan terakhir. Terlebih lagi, Skyla mengambil jurusan Arsitektur. Hal itulah yang membuatnya nggak memiliki banyak waktu untuk memanjakan dirinya sendiri, demi untuk mendapatkan gelar Bachelor of Architecture. “Ah, sepertinya aku butuh waktu yang lama untuk memanjakan diri sendiri, apalagi setelah berkecimpung di dunia arsitektur selama beberapa tahun terakhir,” lanjut Skyla bergumam, lagi-lagi pada dirinya sendiri. Setelah merasa cukup dengan waktu berendamnya, Skyla pun akhirnya masuk ke dalam bilik shower untuk membilas tubuh sekaligus mencuci rambutnya karena pagi ini bertepatan dengan jadwal cuci rambutnya. * "Good morning, Daddy. Dad udah sarapan, 'kan?" tanya Skyla pada sang ayah. Begitu dirinya keluar dari lift yang membawanya turun ke lantai dua mansion keluarganya, kaki jenjang Skyla langsung melangkah menghampiri Johanson yang sudah duduk di ujung meja makan sejak beberapa menit yang lalu. Sebuah kecupan singkat diberikan oleh Skyla pada pipi ayahnya begitu dia berdiri di sisi meja makan. Setelahnya, gadis itu lantas duduk di sebuah kursi kosong yang terletak tepat di sudut meja dan paling dekat dengan kursi yang Johanson duduki saat ini. "Belum, Sweety. Dad menunggumu. Ayo, kita sarapan bersama," ajak Johanson sambil melipat koran yang sedang dibacanya kemudian meletakkan benda berbahan kertas tersebut ke salah sudut meja yang kosong agar nggak mengganggu aktivitas sarapannya bersama Skyla. “Outfit-mu rapi sekali pagi ini, Sky. Mau ke mana?” tanya Johanson setelah menyeruput kopi hitam yang ada di sisinya. “Mau ke—” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, seorang pelayan datang dengan nampan yang berisi sarapan untukku. Johanson hanya butuh kopi hitam dan selembar roti dengan selai kacang untuk sarapannya, sedangkan Skyla lebih memilih american breakfast dan segelas s**u rendah lemak. Mood gadis itu langsung meningkat pesat ketika pelayan itu meletakkan piring dan gelas yang berisi dua combo sarapan favoritnya. “Terima kasih,” gumam Skyla sebelum pelayan yang menghidangkan sarapannya itu benar-benar berlalu dari hadapannya. Skyla nggak langsung menyantap menu american breakfast yang ada di hadapannya, melainkan menunduk sejenak untuk meneliti penampilannya pagi ini. Gadis itu ingin memastikan apakah benar yang dikatakan oleh sang ayah beberapa menit yang lalu. Rapi. Sepertinya pakaianku biasa aja. Nggak rapi sepertinya yang dikatakan oleh Dad, batin Skyla di dalam hati sebelum kembali menegakkan kepalanya. Pasalnya, gadis itu hanya mengenakan kaos putih dari brand Zara, jeans dari Gucci, Varina Flats dari Salvatore Ferragamo, dan tas Louis Vuitton Dauphine Monogram Canvas. “Memangnya pagi ini aku tampak lebih cantik daripada biasanya, ya, Dad?” tanya Skyla dengan nada humor yang kentara pada kalimatnya. “Sepertinya pakaian yang aku pakai ini sama aja dengan pakaian ke kampus yang aku kenakan biasanya,” lanjut gadis itu menambahkan. Johanson terkekeh mendengar pertanyaan sang putri. “Putrinya memang selalu cantik, persis seperti ibunya,” kata Johanson dengan tatapan yang menerawang. Namun, pria paruh baya itu lantas menggeleng kecil beberapa detik kemudian. Dia nggak ingin lagi larut dalam kesedihan atas perginya sang belahan jiwa, ibu dari anaknya. "Jadi, katakan pada Dad. Apa kegiatanmu hari ini, Sayang?" tanya Johanson mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, pasti bukan hanya dirinya saja yang merasa kehilangan atas kepergian istrinya, tetapi Skyla juga pasti merasakan kesedihan atas kepergian sang ibu. Maka dari itu, Johanson memilih untuk mengganti topik pembicaraan mereka pagi ini karena nggak mau mengganggu suasana sarapan pagi ini dengan bahasan yang berat. "Hmn ... masih aku pikirkan, Dad,” balas Skyla dengan mulut yang masih terisi oleh pancakes-nya. “Telan dulu makananmu, Sky,” titah Johanson ketika mendapati pipi Skyla yang menggembung seperti Ikan Buntal karena makanan yang masih berada di dalam mulutnya. Skyla memamerkan cengiran lebarnya setelah pancake yang tadi berada di dalam mulutnya sudah tertelan dengan sempurna. “Sepertinya hari ini aku akan pergi memburu beberapa tas limited edition di Louis Vuitton atau Gucci. Semalam aku baru saja mengecek website mereka dan ternyata hari ini mereka launching produk baru, Dad," ujar Skyla menjelaskan. Johanson yang mendengar penjelasan dari Skyla pun menghela napas. Meskipun bukan helaan yang kasar, tetapi gadis itu tetap saja menyadarinya. "Skyla, kamu nggak ingin bekerja, Sayang? Lalu apa gunanya gelar cumlaude dari Princeton University-mu itu?" tanya Johanson yang sudah lebih dulu menandaskan selembar roti tawar berselai kacangnya. "Nanti, Dad. Aku pasti bekerja. Berikan aku waktu bersantai sebentar. Dunia arsitektur benar-benar membuat kepalaku rasanya hampir berasap kemudian terbakar sampai hangus,” gerutu Skyla melebih-lebihkan. “Dad nggak perlu khawatir, ya," lanjut Skyla sebelum menyuapkan sepotong daging bacon ke dalam mulutnya. "Baik. Dad akan memberikanmu waktu istirahat sebagai hadiah dari gelar cumlaude yang kamu dapatkan,” putus Johanson pada akhirny. “But, wait ... bukannya kamu baru memborong banyak barang Givenchy beberapa hari yang lalu, Sky?” lanjut pria paruh baya itu sembari mengingat-ingat. Skyal memberikan sebuah anggukan singkat pada sang ayah, membenarkan ucapan yang baru saja dilontarkan dari mulut pria paruh baya itu beberapa detik yang lalu. “Kamu sudah terlalu banyak berbelanja gila-gilaan beberapa tahun terakhir, Skyla. Mom pasti nggak suka melihatmu begini. Lagi pula, barang branded yang kamu beli juga nggak selalu kamu pakai semuanya, 'kan?” tanya Johanson. Pria itu kelepasan menyebut sosok sang istri yang sudah tenang di atas sana dalam kalimatnya tadi. Namun, Johanson memilih untuk mengabaikan hal tersebut dan berpura-pura nggak menyebutkannya. Pria itu memilih untuk melanjutkan ucapannya saja. “Sampai-sampai lemari tambahan yang ada di ruang tamu bahkan nggak cukup untuk menampung tas-tas milikmu, Skyla," lanjut Johanson mengingatkan. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah Skyla, Johanson pun turut andil dalam gaya hidup putrinya yang hedonis ini. Skyla yang sudah menandaskan makanan di atas piringnya pun kini menatap ayahnya dengan bibir yang mencebik. Gadis itu merasa sedang diomeli layaknya seorang anak kecil yang baru saja melakukan kenakalan. “Dad tau kamu sangat suka belanja, tapi setidaknya beli barang-barang yang memang kamu butuhkan aja. Lama-lama rumah ini akan dipenuhi semua barang-barang yang kamu beli setiap season,” tegur Johanson tanpa meninggikan nada suaranya. Pada akhirnya,Skyla hanya bisa menganggukkan kepalanya. Meskipun gadis itu nggak membantah teguran ayahnya tadi dan malah menganggukkan kepala sebagai tanda patuh dan setuju, tetapi gadis itu pastinya nggak akan sepenuhnya menuruti ucapan Johanson. Skyla mengiyakan ketika ditegur oleh Johanson dan mengurangi intensitas belanjanya, tetapi beberapa hari setelahnya, gadis itu akan kembali pada tabiatnya yang asli. Siklus itu sudah terjadi berulang kali. Skyla yang awalnya hanya mencari pelampiasan untuk mengusir kesedihannya karena ditinggal oleh sang ibu pun perlahan menyukai kegiatan belanjanya. Semua kesedihan dan keluh kesahnya disalurkan pada kegiatan hedonisme itu. Ibu Skyla, Claudia Ramirez, menderita kanker serviks stadium terakhir sepuluh tahun yang lalu. Itulah alasan utama mengapa Skyla nggak memiliki adik alias anak tunggal. Johanson mencari berbagai cara, berharap kesembuhan dapat datang menghampiri sang istri. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan pengangkatan rahim dan leher rahim Claudia. Namun, sayangnya tindakan itu nggak kunjung membuat Claudia membaik. Keadaan wanita itu malah semakin parah karena kankernya yang sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain. University of Texas MD Anderson Cancer Center, pusat pengobatan kanker terbaik di Amerika Serikat pun nggak menyembuhkan kanker yang diderita oleh Claudia. Dokter terbaik di sana mengatakan bahwa wanita itu hanya dapat bertahan paling lama tiga tahun. Namun, dengan kuasa tangan dan mukjizat Tuhan, Claudia dapat bertahan sampai tahun kelima dan menyaksikan kelulusan putrinya di sekolah menengah. Selama lima tahun itu, banyak yang sudah dilalui oleh Johanson bersama sang istri. Pria itu selalu menemani Claudia dalam menjalani pengobatannya, mulai dari histerektomi sampai kemoterapi berulang kali. Dokter di luar Amerika juga sudah pasangan itu datangi, tetapi lagi-lagi keduanya mendapatkan jawaban yang sama dengan dokter-dokter yang mereka datangi sebelumnya—tidak bisa disembuhkan dan hanya bisa bertahan paling lama 3 tahun. Skyla melihat sendiri cinta yang begitu besar dai Johanson pada Claudia. Pria itu selalu menyemangati istrinya tanpa lelah, menemani ke mana pun Claudia pergi, bahkan sampai rela mengabaikan pekerjaannya demi untuk mencari pengobatan terbaik yang diharapkan dapat menyembuhkan belahan jiwanya itu. Dari cinta kedua insan itulah Skyla hadir di dunia ini. Cinta yang berakhir karena maut memisahkan, bukan karena hal-hal duniawi yang saling menyakiti perasaan satu sama lain, bahkan sampai perasaan seluruh anggota keluarganya seperti drama-drama di televisi. Mulai dari sanalah, Skyla bertekad untuk mencari pasangan yang akan mencintai dan memujanya layaknya Johanson memuja Claudia sampai maut memisahkan keduanya. Itulah alasan utama mengapa Skyla selalu menjaga jarak dengan lawan jenisnya dan belum pernah memiliki pacar sampai usianya yang kini sudah menginjak 21 tahun. * Ini sudah dua hari sejak hari di mana Norah kalah dalam taruhan yang dibuatnya sendiri. Selama dua hari ini, Skyla masih menjadi Skyla si Shopaholic yang gila menghabiskan uang. Terbukti kalau gadis itu nggak melaksanakan teguran sang ayah yang memintanya untuk mengurangi intensitas belanjanya. Kesenangan Skyla terusik ketika matanya menangkan beberapa paparazzi yang sibuk mengambil fotonya dari berbagai sudut. Gadis itu sebenarnya masih ingin melanjutkan kegiatan berbelanjannya dan memburu barang-barang lucu yang memanjakan mata di setiap toko branded langganannya, tetapi paparazzi-paparazzi itu membuat suasana hatinya terjun payung dan berakhir dengan rencananya yang batal. Meskipun Skyla bukan seorang artis atau orang yang berkecimpung di dunia entertainment, para paparazzi itu selalu haus akan berita yang berhubungan dengannya. Untungnya, nama Skyla Ramirez baru menjadi santapan para paparazzi setelah dirinya menamatkan sekolah menengah atasnya. Skyla nggak bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang harus dilewatinya selama bersekolah jika dirinya kerap menjadi santapa blitz para paparazzi itu. Membayangkannya saja sudah membuat Skyla bergidik ngeri. Namun, gadis itu mampu menyesuaikan diri selama empat tahun ini dan merasa cuek saja pada pemberitaan para paparazzi itu asalkan artikel yang mereka tulis nggak mengandung hal-hal negatif tentang dirinya. Inilah dampak bagi Skyla karena memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai artis dan content creator terkenal. Ditambah lagi dengan nama keluarga Ramirez yang selalu dielu-elukan oleh para kalangan elit sosialita sebagai salah satu keluarga terpandang di negeri ini semakin membuat ruang privasi gadis itu menjadi terbatas. Sebuah notifikasi pesan dari Norah muncul di layar ponsel Skyla. Gadis yang sedang duduk di kursi penumpang itu lantas mengerutkan keningnya sebelum membuka tautan yang dikirimkan oleh sahabatnya. Skyla Ramirez, si Shopaholic dari keluarga konglomerat Ramirez sedang berkencan dengan Ashton Hawks, salah satu dari pria terpanas Amerika dekade ini di sebuah restoran. Keduanya tampak mesra layaknya pasangan yang sedang memadu kasih. Skyla membelalakkannya kedua bola matanya setelah membaca kalimat yang menjadi judul artikel yang baru saja dikirimkan oleh Norah. Siapa yang tampak mesra?! batin Skyla merutuk di dalam hati. Dan me­—memadu kasih? Dari bagian mananya kami tampak saling mengasihi? lanjut gadis itu menggerutu sembari menatap sebal pada fotonya dan Ashton yang terpampang di bawah judul artikel tadi. Penasaran dengan alasan mengapa Ashton Hawks dicap sebagai salah satu pria terpanas dekade ini, Skyla pun lantas mengetikkan nama pria itu di kolom pencarian internet. Nggak sampai satu menit kemudian, berbagai berita terbaru menurut hasil pencarian Skyla itu pun muncul di layar ponsel gadis itu. Setelah membaca biodata dan artikel yang berkaitan dengan Ashton, Skyla dapat menyimpulkan bahwa ternyata pria itu adalah seorang pengusaha yang memimpin sebuah perusahaan dalam bidang teknologi, Alpha Hawks Analytica atau yang disingkat dengan AHA. Bukan hanya sekadar sebagai pemimpin perusahannya saja, tetapi inovasinya dalam dunia high tech-lah yang membawa nama Ashton Hawks sampai bisa bertengger di salah satu daftar Forbes 30 under 30. Skyla mengangguk kecil ketika membaca sebuah artikel tentang Ashton dan seorang model bernama Anna-Maria. Ternyata artikel itu sudah cukup lama, yaitu tiga tahun yang lalu. Mengabaikan fakta tersebut, Skyla pun tetap menggulir layar ponsel dengan jari jempolnya. Sebuah foto yang menampilkan wajah Ashton dan Anna-Maria terpampang di layar ponsel Skyla. Pasangan itu tampak sedang menghadiri acara bergengsi yang diadakan oleh agensi Anna-Maria. Skyla mencibir di dalam hati ketika menemukan tangan Anna-Maria yang melingkar di lengan Ashton, sementara pria itu memeluk pinggang pasangannya dengan posesif. Dasar, pasangan penganut Public Display Affection. Menggelikan! batin Skyla mendengus di dalam hati sebelum mematikan layar ponselnya. Entah kenapa gadis itu tiba-tiba nggak memiliki gairah untuk lanjut membaca artikel tentang pria bernama Ashton Hawks itu. Getaran ponsel di tangan Skyla membuat gadis itu mengangkat benda pipih tersebut untuk melihat siapa yang sedang meneleponnya saat ini. Norah is calling... Nggak perlu waktu yang lama bagi Skyla untuk segera menerima panggilan dari sahabatnya itu. Begitu panggilan tersambung, Norah lantas menyerocos tanpa mau repot-repot menyapa Skyla lebih dulu. "Astaga, Skyla! Aku berani bertaruh, para paparazzi sebentar lagi akan mengerumuni gerbang rumahmu seperti semut yang sedang berkoloni untuk mengangkut makanan mereka,” ujar Norah dengan cepat. “Lalu?” balas Skyla singkat. “Dan sayangnya, makanan mereka adalah kamu. Iya, kamu adalah makanan lezat para paparazzi itu. Bersiaplah, Honey. Nama Skyla Ramirez akan semakin tersebar di seluruh dataran Amerika Serikat sebagai pacar Ashton Hawks!" “Hei ....” Kalimat Skyla tertahan di ujung lidah ketika Norah sudah lebih dulu memutuskan panggilannya secara sepihak. Gadis itu hanya bisa menghela napas dan berdoa di dalam hati agar apa yang dikatakan oleh Norah tadi nggak benar-benar terjadi. Poor you, Skyla! ringis gadis itu pada dirinya sendiri sebelum mendengus kecil.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD