"Ada sesuatu yang tersembunyi sangat dalam di dirimu. Aku bisa merasakannya. Dan entah kenapa, matamu memikat dan membuatku ingin menyentuhmu,"
Vion terus mengikuti Luciavy yang telah begitu jauh melangkah. Di belakang Luciavy, Erzraviel mengikuti namun tiba-tiba menghilang saat melihat beberapa iblis yang lewat. Hal itu Vion manfaatkan untuk mengikuti Luciavy dengan bebas.
Luciavy melangkahkan kakinya asal dan menatap dinding-dinding tembok yang terukir. Menyentuhnya pelan dan terus berjalan tanpa tahu kemana kakinya melangkah.
"Ukiran ini, kenapa aku merasa mengenalnya?"
Luciavy terhenti tepat di depan pintu besar nan tinggi. Matanya menatap pintu itu lama. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Dan Luciavy mengikuti nalurinya. Menyentuh pintu itu pelan dan merabanya. Merasakan ukiran pintu hingga sentuhan tangannya. Membuat pintu yang tertutup itu terbuka tiba-tiba.
Luciavy menatap kaku. Kakinya melangkah pelan dalam temaramnya lampu yang ada. Saat tubuhnya telah berada di dalam ruangan tersebut, pintu itu tertutup rapat dengan sangat cepat. Refleks Luciavy menoleh dan berlari, mencoba membuka pintu tersebut namun berakhir gagal. Hingga akhirnya Luciavy tak memiliki pilihan selain melangkah.
Vion yang melihat pintu itu terbuka sedikit terkejut. Terlebih saat tubuh Luciavy mengilang bersamaan pintu yang kembali tertutup rapat. Vion menghampiri pintu itu dan mencoba membukanya sekuat tenaga. Meraba ukiran pintu berkali-kali namun pintu itu tetap tertutup rapat. Hal itu membuat Vion kian curiga.
"Hell's Library," ucap Vion pelan. "Apa yang di lakukannya hingga dapat membuka ruangan ini. Tak ada yang bisa membuka ruangan ini kecuali para petinggi Iblis. Dan dia mampu membukanya dengan sangat mudah,"
Vion berjaga di dekat pintu dan terus berpikir. Sedangkan di dalam ruangan, Luciavy terus melangkah karena mendengar suara rintihan yang menyesakkan. Langkah Luciavy terlihat tak beraturan, saat tubuhnya sesekali menabrak buku yang tiba-tiba jatuh karena tersenggol tubuhnya. Luciavy terus bergerak hingga tiba-tiba tubuhnya jatuh dan terjerembab. Luciavy meringis sakit namun matanya menatap sebuah buku yang tergeletak di depan matanya.
Dalam minimnya cahaya Luciavy meraih buku itu dan membaca sampulnya pelan. "Hellcrack?"
Luciavy melihat sampul belakang buku itu yang terlihat usang dan tua. Menghapus debu tebal yang berada di atas sampul hingga terbatuk pelan. Membuka perlahan buku itu dan tercengang saat sebuah cahaya kecil ada dalam buku tersebut. Perlahan Luciavy menyentuh cahaya itu, dan mencoba menarik sesuatu yang terasa ganjil di sana.
"Sebuah puing," ucap Luciavy pelan saat telah berhasil mengambil puing tersebut.
Luciavy kembali membuka lembaran baru dan terpaku. Gambar sebuah ukiran yang menjadi lambang kerajaan Hellcrack membuatnya diam. Luciavy merabanya pelan dan terkejut saat sebuah suara layaknya bisikan itu membuat kaget. Luciavy membelalakkan matanya saat melihat bayangan seorang wanita yang terlihat transparan dengan sayap bening di punggungnya. Perlahan bayangan itu terlihat nyata meski Luciavy tak yakin untuk menyentuhnya.
"Ve-veela," ucap Luciavy tak yakin. "A-atau Dry-dryad?"
"Kau bisa melihatku? Kau benar-benar Putri itu?" tanyanya antusias.
Luciavy kian mundur. "A-aku pasti salah. Benar, ini semua pasti hanya-"
"Benar. Kau benar-benar bisa melihatku."
Luciavy diam dalam ketakutan. Sampai roh cantik itu mengelilingi tubuhnya. "Aku Veela. Aku penjaga buku kerajaan hingga sang pemiliknya datang,"
"Bohong!" bantah Luciavy sedikit berani. "Jangan membodohiku! Semua tahu tentang rumor itu. Ka-kau peri laut. Ti-tidak, mereka bilang biasanya kau tinggal di laut."
Veela tertawa kecil. "Lalu apakah Tuan Putri mau mendengar suaraku?"
Luciavy menggeleng. "Tidak!"
"Tapi dengarkan. Putri harus mendengarkan! Karena ini adalah sesuatu yang tersimpan di buku kerajaan,"
Veela bernyanyi pelan dengan sangat merdu. Anehnya itu terdengar menyakitkan untuk Luciavy. Luciavy menangis meraung dan meminta berkali-kali agar Veela berhenti. Namun semua terasa kian menyakitkan hingga Luciavy tak sanggup untuk bertahan. Luciavy pingsan dengan menggenggam puing kerajaan Hellcrack. Veela yang mengetahui itu tersenyum dan menghembus kening Luciavy.
"Bukankah sudah saatnya untuk mengingat segalanya, Yang Mulia?" bisik Veela pelan lalu mengantarkan tubuh Luciavy melalui kekuatannya ke dalam kamarnya.
Sedangkan Vion hanya menatap pintu perpustakaan itu lama. Waktu yang berlalu dan pintu yang tak pernah terbuka itu membuat Vion merutuk kesal. Hingga akhirnya ia kembali ke kamarnya dan lagi-lagi terpaku saat melihat sekelebat bayangan Erzraviel memasuki kamar Luciavy.
"Dia memasukkan pria kedalam kamarnya?" ucap Vion sambil tersenyum sinis.
Erzraviel menatap tubuh Luciavy yang terpejam. Tersenyum tipis lalu mengelus puncak kepala Luciavy. "Selamat tidur, dan terimakasih. Karena dirimu pemilik lonceng itu. Jika saja aku berada di tangan yang salah, maka aku tak akan bisa bangun dan berakhir musnah. Aku tahu, bahwa dirimu bukanlah manusia. Karena aku mengenalmu sejak kecil."
Erzraviel menghilang setelah mengucapkan kata-kata itu. Sedangkan tubuh Luciavy mulai berkeringat dingin. Tubuhnya menegang saat kilasan bayangan masa untuk pertama kalinya datang. Luciavy sama sekali tak bisa mengerakkan tubuhnya hingga ulasan bayangan itu benar-benar menyesakkan dadanya.
"Tidak," ucap Luciavy pelan dengan menggeleng. "Tidak, Ibu. Tidak,"
Perlahan air mata itu menetes dari sudut matanya yang terpejam. Luciavy meracau dengan air mata yang terus mengalir. "Ayah, aku tak ingin menjadi seperti bayi. Ayah...! Ibu...!"
Mata Luciavy terbuka lebar saat meneriakkan kata-kata tersebut. Luciavy duduk terpaku dan menangis. Membuka tangannya dan menatap puing kerajaan Hellcrack yang masih ia bawa.
"Hellcrack. Ayah dan Ibu. Semua menghilang. Tidak. Aku yakin itu hanya mimpi. Lalu kenapa mereka menyebut namaku dengan jelas?"
Luciavy termangu dan tak dapat tidur usai mimpi malam itu. Matanya terbuka lebar dan menatap puing kerajaannya yang ia letakkan di laci meja. Ia seoalah melupakan di mana mendapatkan puing itu lalu pertemuannya dengan Veela.
***
Pagi ini, Luciavy menatap bayangan tubuhnya yang telah mengenakan seragam sekolah. Ia tersenyum tipis lalu membuka pintu kamar. Tubuhnya membeku saat matanya lagi-lagi bertemu pandang dengan Vion. Luciavy melangkah hingga tatapan mata mereka terputus. Menuruni tangga dan melangkah di antara para murid iblis lainnya yang juga menuju sekolah.
Mata Luciavy terbelalak lebar saat mengetahui jembatan panjang yang menghubungkan asrama tempat tinggalnya dengan sebuah gedung tinggi yang merupakan kelas tempat di mana pelajaran di mulai. Kakinya melangkah keluar dan lagi-lagi tatapan para iblis menatapnya tajam. Tak ada yang ingin berjalan bersamanya karena melihat Vion tengah berjalan di belakangnya.
Tubuh Luciavy berjengkit kaget saat seekor Pegasus terbang melintasinya.
"Pe-pegasus," desis Luciavy tak percaya.
Vion yang melihat itu hanya menatap datar lalu berdiri di samping Luciavy yang masih terlihat terkejut. "Kau gadis luar biasa yang memasukan seorang pria ke dalam kamarmu."
"Ha?" ucap Luciavy tak mengerti kata-kata Vion.
Vion lagi-lagi menatap manik mata Luciavy. "Bagiamana kau bisa masuk ke sana? Saat seluruh iblis tak ada yang mampu membuka pintunya. Kau masuk bagaikan pemilik tempat tersebut,"
Luciavy balas menatap Vion. "Kau terlihat dingin," ucap Luciavy sangat pelan.
Vion hanya diam. Tangannya lagi-lagi terulur untuk menyentuh kening Luciavy. "Kau membuat tanganku untuk menyentuh dahimu," balas Vion tak kalah dingin namun menahan tangannya agar tak menyentuh Luciavy.
"Apa itu masalah bagimu?" tanya Luciavy lirih.
"Siapa dia? Yang masuk ke dalam kamarmu?" tanya Vion lirih dan secara refleks tubuhnya telah begitu dekat dengan tubuh Luciavy. Tangannya menarik pinggang Luciavy lembut. "Aku tak-"
"Vion Arzachel Lavey."
Vion dan Luciavy menoleh pada asal suara.
"Firlea Evoleth Carys," desis Vion kesal sambil menatap gadis yang tengah berjalan ke arahnya.
"Kau meninggalkan peliharaanmu?" tanya Firlea sambil menatap sinis Luciavy.
Luciavy yang paham akan pandangan itu langsung berjalan ke depan dan melupakan semua percakapanmya dengan Vion. Luciavy menatap keatas pada para murid iblis yang begitu mudah sampai ke kelas dengan menunggangi beberapa hewan mitologi yang Luciavy pikir hanya sebuah legenda. Luciavy masih tak percaya, bahwa dirinya mampu berada di sekolah ini dan melihat semuanya.
Vion segera mengikuti Luciavy namub terhenti saat Firlea lagi-lagi menahan langkahnya.
"Kau terlihat begitu tertarik pada gadis manusia itu."
Vion menoleh sesaat. "Dan itu bukan urusanmu!" jawab Vion kasar sambil berlalu.
Firlea tersenyum sinis. "Kini menjadi urusanku karena ia mulai mengusik perhatianmu. Cukup dengan dirimu yang selalu menunggu gadis yang dikatakan sebagai takdirmu di masa lalu. Nyatanya gadis itu musnah beserta kerajaannya. Dan kini saat kau mulai lelah untuk menantinya, manusia bodoh itu datang dan menyita semua hak yang kuperjuangkan selama ini? Tak akan kubiarkan!"
***