Pengacau

680 Words
Aree: Pengacau "Ini anak lo," Gue mendorong Wangga, tepat di depan Ramel. "Dia anak lo juga," dengus Ramel, balas mendorong Wangga balik ke gue. "Oh ya." Gue menyemburkan tawa. "Kita buatnya berdua ya. Mana bisa lo buat bocah sendirian? Mau dicolol di mana emang?" Plak! Sekian lama nggak pernah bertemu, tiba-tiba hilang saat dia masih jadi pacar gue, tanpa memberi kabar mau pun menelpon, tiba-tiba Ramel balik lagi dua tahun lalu. Dan bangsatnya, cewek itu datang sambil menggandeng seorang bocah laki-laki berusia empat tahun, dan mengatakan kalau bocah yang sedang dia gandeng adalah darah daging gue. Dia pikir, gue percaya gitu aja, huh? "Dari awal lo udah sembunyiin dia dari gue, kenapa sekarang bersikeras ngasih ke gue?" "Karena lo bapaknya!" Ramel akan menampar gue lagi, tapi sayang, keburu gue tahan tangannya. "Lepasin, Ar! Gue bisa tuntut lo, ini sama aja pelecehan!" Gue mendengus, setengah tertawa. "Pelecehan?" Ramel menatap gue tajam. "Ini belum cukup dibilang pelecehan sih. Lo mau tahu pelecehan yang sebenernya kayak gimana?" Tubuh Ramel menegang. Berusaha keras menarik tangannya dari cengkraman tangan gue. Cewek berambut panjang itu mendesis geram, sementara Wangga, bocah itu sedang memandangi kita berdua tanpa minat. "Lepasin, atau gue teriak sekarang juga!" ancam Ramel. "Teriak aja, silakan," Sebelah tangan gue direntangkan, menunjuk ke sekitar. "Biar sekalian gue bilang ke orang-orang kalau lo, Ibu yang nggak bertanggung jawab." "Berengsek lo, Ar!" maki Ramel. Emang! Kenapa Ramel baru sadar kalau gue berengsek? Ke mana aja dia selama ini hah? Karena dia, gue harus mengalami yang namanya patah hati. Ramel tahu, nggak, alasan gue berubah banyak karena siapa? Dia! Ramel yang bikin gue berubah jadi berengsek, main cewek di sana-sini. Setelah dia meninggalkan gue dulu, gue nggak percaya lagi sama cewek, sama janji-janjinya yang busuk! Kalian harus tahu, di dunia ini serba modern, zaman sekarang bukan cuma cowok yang suka nebar janji, cewek pun bisa. Dukkk! "ARGHHT, SIALAN!" Entah datangnya dari mana, seorang cewek berambut pendek dan bertubuh mini memukul kepala gue dengan tas ransel hitamnya—yang kerasa berat banget, sial. Isinya tasnya apaan sih? Batu? Sumpah ya, kepala gue rasanya kayak kebelah jadi dua saking sakitnya. "Woahaha!" Wangga tahu-tahu menepuk kedua tangannya seolah senang melihat gue kesakitan. "Kasar banget sih, lo, sama perempuan!" Cewek itu mencorocos, menarik paksa tangan Ramel yang gue pegang. "Sana, Mbak, buruan kabur! Emang nih orang penjahat kelamin, kok!" "HEH!" Gue menunjuk cewek itu marah. Karena dia, Ramel berhasil kabur. "Gue susah payah buat nemuin dia, ya! Kenapa lo suruh pergi?!" Sambil memegangi kepala, gue mendekati cewek itu dan berusaha menariknya. "Halah, cemen," celetuk Wangga, mengerucutkan bibirnya. Udah gue kasih tahu belum kalau bocah itu sekarang mulai sekolah dan tambah nyebelin? Selain suka menindas gue—bapaknya sendiri, Wangga paling bahagia kalau gue dianiaya sama Mama, dan, Honey! Ya! Cewek yang memukul gue memakai tasnya itu si cabe, Honey! "Lo tahu, cewek yang barusan lo suruh kabur, tuh, emaknya dia!" tunjuk gue ke Wangga. Si mini Honey melirik Wangga sekilas, berbalik ke gue lalu mendengus. "Ya sori. Mana gue tahu. Yang gue lihat, lo berniat jahat sama cewek tadi." Honey memainkan kuku jari-jarinya. Dia kayak sengaja banget bikin gue marah. Ah! Gue tahu, dia mau balas dendam karena gue udah bikin dia dikeluarin dari tempat kerja, ya? Gue menggulung lengan kemeja sampai ke siku. "Di mata lo, gue sejelek itu ya?" "Busuk, banget," sahut Honey, mengekspresikannya dengan menggebu-gebu. "Saking busuknya kelakuan lo, baunya sampai kecium dari sini." "Kenapa lo selalu ikut campur sih?" "Kapan?" Honey mendelikkan matanya. "Gue cuma berusaha nolong orang lain! Itu aja, mana gue tahu kalau bocah yang lo buang waktu itu anak lo. Mana gue tahu, kalau cewek tadi mantan istri lo." "Dia bukan istri gue!" "Eh?" Honey mengerjap-ngerjapkan matanya. "Belum nikah, tapi udah punya anak?" Beneran pengin gue raup bibir tebalnya sekarang juga! Selain suka ikut campur masalah orang lain, mulutnya pun sama julidnya kayak tetangga! "Masalah kita belum selesai," Gue menunjuk Honey dengan satu tangan. "Bye," Honey melambaikan tangannya ke gue. "Hei, anak lo jangan lupa dibawa, ya!" "Ayo pulang!" Gue menarik bagian belakang kaus Wangga, mengajak bocah itu pergi cepat-cepat dari sana.   To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD