Kilas Balik — 10
# Hanya Ingin Belajar
______________________
SEKARANG sudah lewat tengah malam. Namun tugas-tugas belum juga menemukan titik terang untuk sampai pada garis finish. Brandon sudah berulangkali menguap karena mengantuk, sedangkan Samudra masih kokoh—belum terlihat sama sekali tanda-tanda mengantuk atau kelelahan. Brandon sendiri sudah meletakkan kepalanya di atas meja sambil memutar-mutar pulpennya. Dia benar-benar mengantuk dan sama sekali tidak fokus dengan tugas terakhirnya, merangkum. Apalagi merangkum mata pelajaran sejarah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.
Samudra mendorong bahu Brandon pelan dan menyuruh temannya itu untuk segera menyelesaikan tugas sejarahnya, sebagai penutup tugas malam ini. Brandon dengan sangat ogah-ogahan pun kembali menulis pada kertas folio dan merangkum semua yang dia lihat sekilas saja. Perkara isinya penting atau tidak, Brandon bodo amat. Matanya ini sudah tidak bisa diajak kompromi. Ingin memejam saja sejak tadi.
Jika Brandon sedang menyelesaikan tugasnya, maka Samudra telah selesai dengan semua tugasnya. Bukannya istirahat atau membantu Brandon, laki-laki itu malam membuka buku kumpulan soal untuk kelas dua belas dan mulai mengerjakannya. Seperti punya banyak energi, Samudra tetap fokus walaupun matanya sangat mengantuk. Ya, sambil menemani Brandon mengerjakan tugas. Toh, merangkum bukanlah tugas yang bisa dibantu. Kadang, apa yang menurut kita penting, menurut orang lain belum tentu penting.
Samudra juga terbiasa membuat rangkuman materi tanpa diminta di buku tulisnya. Sehingga ketika mulai belajar, dia akan melihat ringkasan di bukunya dan lebih mudah untuk memahaminya. Jadi, ketimbang sibuk mencatat di kelas, Samudra memilih untuk membuatnya di rumah dan mendengarkan penjelasannya di sekolah.
Brandon yang baru saja selesai dengan tugas terakhirnya, langsung meregangkan otot tangannya yang kaku. Sudah berapa tugas yang membuat jemarinya sakit begini. Namun tatapannya jatuh kepada Samudra yang masih gigih dalam belajar. Padahal mereka baru saja belajar semua mata pelajaran. Tetapi orang ini, seperti tidak bosan melihat buku dan isinya.
"Astaga, Sam, kamu enggak ada capeknya." Keluh Brandon yang memilih untuk tiduran di sana.
"Hm ... hanya ingin belajar." Jawab Samudra tanpa melepaskan pandangan matanya dari buku soal-soalnya.
Brandon menghela napas panjang sambil menatap atap gazebo, "aku pikir, kamu pintar terus enggak pernah belajar."
"Terus ... gue pintar darimananya kalau enggak belajar? Pintar yang katanya bawaan lahir? Dari sananya udah pintar? Tetap pembohongan publik itu. Adapun, pasti berapa persen dari populasi. Dikit banget persennya." Tandas Samudra yang tetap menggerakkan pulpennya di kertas, menghitung.
Brandon bangun dari tidurannya dan menatap Samudra, "aku kira, kamu juga gitu. Enggak belajar dan bisa sepintar itu. Habisnya kamu enggak pernah kelihatan belajar di sekolah. Apalagi kalau ulangan, ujian, kuis, kamu selalu kelihatan siap. Enggak ada kendalanya gitu. Makanya aku pikir dan semua orang pikir, kamu memang terlahir sebagai orang cerdas luar biasa."
"Enggak ada kendala karena gue belajar malamnya. Gue enggak biasa belajar lima menit sebelum masuk kelas, terlalu ekstrim dan gampang lupa. Itu kalau gue, ya! Tapi ada kok yang bisa belajar kilat. Itu kalau orangnya gampang ingat. Kalau enggak sama aja bohong." Ucap Samudra sambil tertawa.
Brandon mengangguk setuju. Memang tidak ada orang yang bisa menyelesaikan sesuatu tanpa belajar sama sekali. Bahkan orang-orang cerdas di luaran sana tetap butuh belajar.
Kruk...
Samudra memegang perutnya yang berbunyi nyaring. Brandon yang mendengarnya langsung menatap si empunya perut.
"Kamu lapar?" Tanya Brandon kepada Samudra yang memegang perutnya namun masih sempat mengerjakan soal di bukunya.
"Enggak kok! Biasa lah perut suka bunyi gitu," bohong Samudra.
Padahal perutnya sudah melilit karena belum makan, sedangkan dompetnya mangap-mangap karena tidak ada isinya. Samudra harus bisa menahan rasa laparnya demi bisa pulang besok. Jika tidak, maka harus siap jalan kaki. Samudra tidak mungkin meminta uang kepada Benua lagi, 'kan? Walaupun pada kenyataannya, uangnya habis untuk membeli alat bantu dengar Benua. Tetapi Benua tahunya, uangnya masih banyak 'kan?
Lalu tidak lama terdengar suara tukang nasi goreng keliling yang membuat perut Samudra tidak bisa dikondisikan lagi. Bahkan hanya mendengar suaranya saja sudah membuatnya dapat membayangkan betapa enaknya sepiring nasi goreng yang baru matang.
"Nanti lagi belajarnya. Kita makan nasi goreng dulu," ucap Brandon yang menarik Samudra untuk segera turun dari gazebo dan menghampiri penjual nasi goreng di depan rumah Brandon.
Dengan sangat terpaksa, Samudra mengikuti langkah Brandon. Bukan karena dia tidak lapar, namun karena dia tidak punya uang. Tetapi tidak mungkin 'kan dia bilang kepada Brandon bahwasanya dia hanya punya uang dua puluh ribu saja. Sedangkan mereka sama-sama tahu berapa uang pembinaan untuk tim olimpiade.
Brandon dan Samudra akhirnya berdiri di depan gerbang sambil menunggu tukang nasi goreng yang lewat. Tidak lama kemudian, tukang nasi goreng itu datang dengan suara khasnya. Baru datang gerobaknya saja sudah membuat perut Samudra heboh tidak jelas. Cacing-cacingnya ini memang tidak tahu malu, mereka berpesta meminta makanan dengan membuatnya malu di depan Brandon dan penjual nasi gorengnya.
"Nasi goreng enggak pedas plus telur ceplok satu ya, Bang." Pesan Brandon kepada tukang nasi goreng itu.
"Siap, Mas Brandon. Kalau Mas satunya?" Tanya tukang nasi goreng itu kepada Samudra yang masih tampak bingung.
Samudra berpikir sejenak, "nasi goreng pedas banget satu, Bang."
"Enggak nambah telur lagi? Enak lho Mas," tawar tukang nasi goreng itu sambil tersenyum.
"Eng—"
"Tambahin deh, Bang." Serobot Brandon yang memotong ucapan Samudra. "Kamu 'kan belum pernah cobain nasi gorengnya Bang Diman, dijamin ketagihan. Apalagi kalau pakai telur ceplok. Duh, mantap." Sambung Brandon karena mendapat tatapan bingung dari Samudra.
Samudra akhirnya hanya pasrah dengan pesanannya. Toh, sudah dibuatkan juga. Aromanya pun jangan ditanya, mengalahkan makanan-makanan di restoran manapun. Entah karena seenak itu, atau karena dia sedang lapar. Yang jelas, cacing di perut Samudra sudah membuat konser seriosa. Mereka tampak senang karena akan makan nasi goreng malam ini. Alamat tidak makan besok pagi. Tidak apa-apa, dia bisa menahannya.
Tidak membutuhkan waktu lama, sepiring nasi goreng untuk Brandon matang. Dari aromanya saja sudah enak, apalagi rasanya. Nasi goreng pesanan Samudra baru dimasak karena request pedas banget. Dari wajah Brandon yang menikmati makanan itu saja sudah membuat Samudra ngiler sendiri. Pasti enak bisa menikmati makanan itu di malam hari ini. Setelah selesai mengerjakan tugas setumpuk pula.
Setelah nasi gorengnya matang, Samudra langsung menerima piring itu dari tukang nasi goreng dan mencicipinya. Ternyata benar apa kata Brandon, nasi goreng ini enak luar biasa apalagi memakai telur ceplok. Samudra bahkan seperti orang yang tidak makan berhari-hari karena saking laparnya. Untunglah dia makan malam ini walaupun tidak tahu nasibnya besok pagi.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk menyelesaikan makannya. Terlihat piringnya bersih tanpa sisa sama sekali dan perutnya mendadak tenang. Pasti tidurnya malam ini nyenyak karena kekenyangan.
"Berapa, Bang?" Tanya Samudra yang mengeluarkan dompetnya.
"Enggak usah, Sam. Biar aku yang bayarin aja." Ucap Brandon yang sudah mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dalam case handphone miliknya.
"Lho, enggak bisa gitu. Gue ada duit kok." Tolak Samudra menunjukkan uangnya yang kumel.
Brandon mengangguk, "iya, aku juga tahu kamu ada uang. Tapi ini 'kan di rumahku. Jadi enggak pa-pa kalau sekali-kali aku yang bayar. Enggak masalah kok, gantian. Biasanya juga kamu yang bantuin aku."
"Udah Mas, enggak pa-pa. Kalau sama teman mah enak-enak aja." Ucap tukang nasi goreng itu sambil memberikan kembalian kepada Brandon.
Samudra hanya tersenyum tipis ke arah Brandon, "makasih ya."
"Lah ... kaya sama siapa aja sih. Kita 'kan teman walaupun kamu sering diam kaya patung." Jawab Brandon yang dibalas tatapan sinis dari Samudra.
Samudra masuk ke dalam rumah bersamaan dengan Brandon. Mereka membereskan barang-barang yang masih berserakan di gazebo untuk dibawa ke kamar Brandon. Samudra sendiri sangat takjub ketika melihat penampakan kamar Brandon yang rapi, tidak jauh beda dengan ruang tamu rumahnya itu. Kamarnya pun luas dengan rak-rak berisi mainan, entah apa motivasinya. Namun mainan berbentuk robot itu banyak sekali di dalam rak.
"Kamu tidur disampingku enggak pa-pa, 'kan? Kasurku cukup kok untuk berdua," ucap Brandon yang membagi dua bantalnya.
Samudra mengangguk, "oke, enggak masalah."
Samudra dan Brandon langsung merebahkan diri di atas kasur. Lampu dimatikan dan hanya ada cahaya kecil dari lampu tidur yang berada disamping Brandon. Namun laki-laki itu sudah tertidur duluan. Mungkin karena lelah mengerjakan tugas. Sedangkan Samudra hanya diam tanpa berniat untuk tidur. Padahal sudah menjelang pagi.
Samudra menatap ke langit-langit kamar Brandon yang bersih. Tidak ada sarang laba-laba atau apapun itu di sana. Hanya ada cat berwarna putih terang tanpa noda sedikitpun. Hari ini sangat melelahkan, bukan? Tetapi mengapa dia belum kunjung memejamkan mata? Padahal badan dan pikirannya sudah sangat lelah dan meminta untuk diistirahatkan. Sayangnya, sekarang jam sudah menunjukkan waktu overthingking. Di mana banyak hal yang biasanya tidak penting, menjadi sangat penting untuk dipikirkan.
Ternyata benar, senyaman apapun rumah orang lain, tidak akan pernah bisa mengalahkan kenyamanan di rumah sendiri. Ini kali pertamanya Samudra tidur di rumah temannya. Dan dia pun baru merasakan tidak nyamannya tidur tanpa kasurnya yang keras dan juga dingin karena berada di lantai, tanpa ada ranjang. Tetapi nyatanya, semua itu lebih nyaman untuk tidur dibandingkan kasur empuk, lebar, dan nyaman seperti milik Brandon.
Tiba-tiba, dia rindu dengan rumah. Rindu tidur bersama dengan Benua ketika dirinya sedang gelisah dan tidak tahu harus bicara kepada siapa. Biasanya, Samudra akan masuk ke kamar Benua dan tidur disamping saudara kembarnya itu tanpa bicara apapun.
"Kenapa gue selalu gelisah? Kenapa gue jarang bisa tidur nyenyak? Apa yang gue pikirin? Gue enggak tahu," keluh Samudra dalam hati.
Andaikan dia tahu apa yang membuatnya selama ini gelisah. Mungkin Samudra tidak akan seperti ini. Sayangnya, sampai detik ini, dia tidak tahu alasannya mengapa masih gelisah. Terlalu banyak pikiran dan juga tekanan yang dia dapatkan sehingga membuatnya kepikiran setiap malam. Entah tentang dirinya sendiri, keluarganya, atau orang lain.
Perlahan Samudra memejamkan matanya tanpa sadar dan terlelap dalam tidurnya. Entahlah ini pukul berapa, namun Samudra sudah lelah hari ini. Sehingga tubuhnya memaksa untuk tidur. Walaupun tidurnya kali ini, tidak senyenyak biasanya.
Selamat malam, Samudra. Selamat beristirahat...
•••••••••••