03

1687 Words
Kilas Balik — 03 # Penggemar Norita Shabi __________________________ OLIMPIADE SMA tahun ini sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Namun belum ada pengumuman secara resmi dari panitia tentang siapakah pemenangnya tahun ini. Yang jelas, beberapa orang sudah menempatkan nama Samudra sebagai pemenang dalam Olimpiade Matematika, lagi. Tetapi tentu saja semua itu hanyalah perkiraan. Mereka pun tidak salah menerka demikian karena kenyataannya, seorang Samudra adalah juaranya sejak beberapa tahun yang lalu. Orang yang tidak mudah digeser atau disaingi. Orang-orang yang berada dalam satu ruangan dengan Samudra ketika perlombaan pun hanya merasa bahwa usaha mereka sangat sia-sia. Maksudnya, mereka membuang waktu mereka untuk melawan seseorang yang sudah jelas-jelas akan memenangkan lomba. Bahkan sebelum lomba ini diadakan. Samudra memang terlahir sebagai pemenang. Dia tenang dan tidak ambisius sama sekali. Karena itulah, dia pantas memenangkan lomba karena ketenangannya itu. Namun, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam—Samudra tidak butuh dengan gelar juara bertahan seperti itu. Dia selalu berpikir bahwa, ada saatnya dia akan jatuh. Entah karena instingnya yang melemah atau karena ada orang-orang yang lebih hebat darinya. Semua usaha selalu akan membuahkan hasil. Entah hasilnya sebuah kertas, sebuah penghargaan, sebuah pujian, atau ... pengalaman yang berharga. Karena pengalaman, tidak semua orang mendapatkan. Tentu saja, itu juga bagian penting yang terkadang dilupakan atau dianggap tidak terlalu penting bagi orang-orang ambisius di luaran sana. Samudra tidak suka menjadi orang yang didewakan. Terlalu disanjung karena dirinya berkerja sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sesuai dengan apa yang mereka ekspektasikan. Mungkin, jika dia tidak melakukan hal yang mereka ekspektasikan, sanjungan, pujian, kebanggaan, tidak akan sampai merusak telinganya. Dia bukan salah satu manusia ambisius yang sangat gila dengan pengakuan. Dia tidak perlu menjadi orang lain untuk dicintai banyak orang. Tetapi dia cukup menjadi seorang Samudra yang akan mencintai keluarganya sampai mati. Kembali pada sosok Samudra yang dingin dan pendiam, kadang-kadang. Laki-laki itu baru saja keluar dari sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel itu. Semua tim Olimpiade dari SMA Lencana Puri mengadakan acara makan malam dilanjutkan malam keakraban sebelum mereka semua kembali ke sekolah besok pagi. Ya, SMA mereka memberikan fasilitas yang sangat nyaman untuk anak didiknya. Mem-booking sebuah hotel bintang lima untuk siswa-siswa mereka ditambah beberapa guru pembimbingnya. Samudra memilih untuk memisahkan diri dari teman-temannya yang akan berpindah ke aula hotel. Semuanya akan berkumpul untuk acara yang sangat mereka tunggu-tunggu; malam keakraban. Mereka akan melakukan banyak kegiatan bersama untuk membangun keakraban sebelum benar-benar pulang. Melepaskan penat karena beberapa hari harus belajar dan berjuang di ruangan Olimpiade selama beberapa jam. Akan ada acara bebas di sana, seperti main gitar dan menyanyi bersama atau berjoget-joget tidak jelas seperti tahun kemarin dan itu membuat Samudra malas mengikutinya tahun ini. Dengan langkah pelan, Samudra berjalan ke belakang hotel di mana sebuah pemandangan yang indah, bisa dia dapatkan. Pantai berpasir putih dengan udara dingin khasnya yang membuat Samudra merasa kedinginan, namun menikmatinya dengan sungguh-sungguh. Karena pemandangan dan suasana seperti ini, tidak akan pernah dia dapatkan ketika kembali pulang. Pemilik sekolah tidak salah memilih tempat untuk penginapan. Ternyata ada surga dunia yang benar adanya. Setidaknya ada satu tempat yang benar-benar jauh dari hingar-bingar suara-suara orang-orang berbicara. Karena rasanya melelahkan jika harus berinteraksi dengan orang lain setiap saat. Padahal Samudra ingin sekali menikmati waktu sendiri. Mungkin duduk sambil bermain game tanpa mendengar suara pintu diketuk dari luar. Samudra berjalan menuju bibir pantai setelah melepaskan sandalnya. Walaupun dingin, namun dia sangat menikmati suasana ini. Sudah lama tidak melihat pantai dan sangat sepi seperti malam ini. Ah, mungkin itu efek waktu. Tidak ada yang datang ke pantai semalam ini, kecuali dirinya. Mungkin! Dia berjalan menjauh dari bibir pantai setelah puas dan mendekat ke arah sebuah gazebo kecil yang berada cukup jauh dari pantai. Sejenak, Samudra merasa dirinya bebas dari semua tekanan yang ada di dalam dirinya. Ah, rasanya tidak pantas mengatakan semua ini sebagai sebuah tekanan. Semuanya akan perlahan-lahan membaik, bukan? Sebuah buku karya Norita Shabi menjadi bacaannya malam ini. Akhirnya ada tempat baca yang sangat strategis dengan latar tempat yang ada di novel ini. ... gadis berambut ungu itu berjalan pelan ke arah bibir pantai. Duduk di sana sambil menikmati dinginnya air dan udara pantai malam itu ... "Kenapa Norita selalu membuat tokoh ceritanya begitu nyentrik dan sedikit terkesan norak?" Samudra mengabaikan suara itu, menganggap bahwa tidak ada orang di sini. Dia tetap fokus membaca novel yang ada di tangannya. "Walaupun tokohnya nyentrik dan norak. Tapi anehnya, Norita selalu membuat cerita yang bisa dinikmati dengan banyak persepsi. Norita membuat pembacanya menentukan ending dari semua ceritanya. Kita seperti diminta membuat sebuah penyelesaian dari cerita orang lain. Karena itu, banyak sekali pendapat dan versi selesai dari setiap cerita untuk masing-masing individu. Ah ... dia yang menulis cerita, kenapa jadi kita yang repot menyelesaikan endingnya. Aneh!" "Lo penggemarnya?" Tanya Samudra yang menutup bukunya, mengalihkan pandangannya ke arah seorang perempuan cantik yang saat ini berdiri disampingnya. Perempuan itu tersenyum senang karena mendapatkan perhatian dari Samudra. Ternyata sangat sulit untuk berkomunikasi dengan laki-laki yang seluruh tubuhnya tersusun penuh dengan otak. Setidaknya itu yang didengarnya dari banyak orang. Samudra dingin, tetapi dia sangat rasional dan menyukai orang yang pemikir juga. Untunglah dia juga sering membaca buku karya Norita, buku yang sama yang dibaca Samudra saat ini. "Ya ... bisa dibilang begitu. Gue membaca semua karyanya. Bisa dibilang, gue penggemarnya, kan?" Jawab perempuan itu dengan sangat percaya diri. Samudra tersenyum tipis, "berarti Lo pernah membaca karyanya yang berjudul Burung Patah Kaki?" "Oh ... iya. Gue punya semua karyanya." Jawab Perempuan itu dengan sangat antusias. "Bagus, 'kan?" Tanya Samudra yang mendapatkan anggukan cepat dari perempuan itu. "Ada satu kutipan yang sangat gue suka dari buku itu." Sambung Samudra sambil menatap langit yang bertabur bintang. "Apa?" Samudra menoleh ke arah perempuan itu, "... terkadang, kita akan dianggap buruk karena sebuah penampilan dan persepsi seseorang terhadap kita." "Oh itu, gue juga suka bagian itu." Jawab perempuan itu dengan tersenyum. Samudra tampak sangat antusias, "wah~ jarang sekali perempuan suka membawa novel yang non-romance seperti ini." "Ya ... gue suka semua novel." "Sayangnya, Lo pintar banget mengarang cerita. Sebaiknya Lo mulai menulis naskah cerita. Siapa tahu ada yang mau menerbitkan karangan Lo itu." Tandas Samudra yang merubah ekspresi wajahnya menjadi dingin. Tidak sehangat tadi. "Maksudnya?" Samudra tersenyum sinis, "kutipan yang gue sebutkan tadi ada di buku Norita yang judulnya Psikopat Zombie, halaman dua ratus satu." Perempuan itu melongo, seperti tertangkap basah walaupun hanya karena membaca buku atau tidak. Samudra menggelengkan kepalanya pelan dan hendak pergi dari sana. "Tunggu!" Hadang perempuan itu di depan Samudra. "Lagipula gue udah lupa sama jalan ceritanya. Gue juga enggak tahu kalau Norita punya buku yang judulnya Psikopat Zombie." Sambungnya dengan wajah kesal sambil merentangkan kedua tangannya. Samudra melipat tangannya di d**a dengan senyuman menyebalkan yang menghiasi wajahnya, "itu buku yang paling enggak laku dari semua buku yang ditulis Norita. Tapi penggemar Norita yang benar-benar paham akan maknanya, akan menganggap bahwa buku itu adalah buku yang paling bagus dibaca karena maknanya paling dalam." "Mana gue tahu," ketus perempuan dengan wajah kesal. Samudra menghela napas panjang dan kembali melanjutkan jalannya. Namun kembali dihadang. "Apa lagi?" Tanya Samudra yang menatap jam tangannya, hampir tengah malam. Perempuan itu menatap tajam ke arah Samudra, "kenapa? Lo Cinderella yang harus pulang sebelum jam dua belas malam?" "Mungkin," jawab Samudra seadanya. Perempuan itu tidak puas dengan jawaban Samudra, "kenapa Lo dingin banget sih?" "Karena gue enggak pakai jaket." Skatmat. Perempuan itu dibuat bungkam dengan ucapan Samudra yang sebenarnya tidak salah juga. Samudra berjalan melewatinya dan perempuan itu tetap mengikuti Samudra, membuntutinya dan membuat beberapa orang yang berada di dalam hotel itu merasa heran. Bahkan sepanjang jalan, Samudra tidak menjawab apapun yang dikatakan perempuan itu padanya. Sampai akhirnya Samudra sampai di depan kamarnya, perempuan itu tidak pergi sama sekali. "Lo mau ikut masuk?" Tanya Samudra dengan santainya. "Ah ... enggak lah! Gila Lo," teriak perempuan itu sambil merapatkan jaketnya. "Me-sum banget sih..." Sambungnya dengan kesal. Samudra tertawa kecil, "sekarang siapa yang me-sum? Gue atau Elo yang mengikuti gue sampai di depan kamar? Bukankah itu artinya Lo yang bermasalah." Perempuan itu menatap pintu di depannya, "ge-er banget sih! Gue enggak ngikutin kok, cuma searah aja. Tuh, yang kamar nomor empat ratus tiga, kamar gue." Lalu tidak lama kemudian, seseorang keluar dari dalam kamar itu. Salah satu teman Samudra dari tim Olimpiade. "Sam," sapa temannya itu sebelum berlalu. "Yok," jawabnya dengan sedikit tertawa sambil menatap perempuan di depannya yang wajahnya sudah memerah karena malu. Samudra menghela napas panjang untuk meredakan tawanya yang tidak sengaja pecah, "Lo satu kamar dengan laki-laki?" "Enggak!" Bentak perempuan itu dengan cepat. "Gue mau pergi kalau gitu. Bye!" Sambungnya sambil menyembunyikan wajahnya. Samudra tersenyum, "hei..." Perempuan itu menoleh ke arah Samudra yang eskpresi wajahnya sudah kembali dingin. "Lo bukan penggemar Norita Shabi! Jadi, jangan pernah bilang kalau Lo penggemarnya sama orang lain kalau enggak siap menanggung malu." Ucap Samudra sebelum menutup pintu kamarnya. "HEH..." Teriak perempuan itu kembali, menggedor pintu kamar Samudra kuat-kuat. "Apa maksudnya, hah? Karena gue enggak punya buku Norita yang zombie-zombie itu? Lah itu wajar kalau belum punya satu buku doang. Gue bakalan beli, kalau perlu seratus." Sambung perempuan itu dengan lebih kencang. Perempuan itu benar-benar kesal sekarang. Tangannya bahkan sampai sakit karena menggedor pintu kemar Samudra, namun tidak dibukakan sama sekali. Bahkan karenanya, mengundang banyak perhatian dari teman-teman Samudra yang baru saja keluar dari lift untuk masuk ke kamar mereka. Ah, perempuan itu baru tahu, lantai ini memang berisi anak-anak SMA Lencana Puri. Kenapa dia bisa lupa? Lalu tiba-tiba, Samudra membuka pintunya dan membuang sebuah kertas di hadapan perempuan itu. "Baca," ucapnya dan langsung masuk ke dalam kamar kembali. "SAMUDRA!" Teriaknya dengan sebal. "Sialan," sambungnya setengah berbisik. Perempuan itu memungut kertas yang dibuang di depannya itu. Norita pernah menulis dalam salah satu bukunya yang isinya; "walaupun jalan cerita kita terkadang sama dengan orang lain. Tetapi kita punya jalan masing-masing untuk dapat menyelesaikan masalah di dalam hidup kita. Sehingga kita tahu bahwa ending setiap usaha itu berbeda." Kalau Lo memang benar-benar penggemarnya, Lo harusnya tahu di mana kutipan itu berada. Dasar perempuan gila! Perempuan itu meremas kertas yang digenggamnya, "Samudra sialan! Menyebalkan! Lihat saja, gue akan membuat Lo menyesali kata-kata Lo itu." •••••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD