02

1575 Words
Kilas Balik — 02 # Tentang Benua! ___________________ KISAH ini tidak hanya berbicara tentang kesempurnaan seorang Samudra. Namun kisah ini juga akan membicarakan tentang seseorang yang pernah tinggal dalam satu rahim dengan Samudra. Namanya Benua, biasa dipanggil Ben. Jika Samudra memiliki segala hal yang katakanlah mendekati sempurna, maka Benua adalah orang yang kebalikan dari Samudra. Banyak hal yang tidak sempurna dari seorang Benua. Ketidaksempurnaan itu ada pada fisiknya, tidak bisa mendengar tanpa alat bantu. Sejak kecil, Benua sudah mempunyai masalah pendengaran. Mungkin itu yang membuat kedua orang tua mereka keukeuh untuk menyekolahkan Benua di SLB saja ketimbang harus mengorbankan mental Benua untuk sekolah di sekolah formal. Di mana anak-anak sempurna menimba ilmu. Sedikit cerita tentang bagaimana seorang Benua bisa masuk menjadi siswa di sekolah favorit ini. Tentang perjuangan dan air mata yang tidak pernah surut. Jatuh-bangun yang terkadang berujung pada rasa lelah, frustasi, putus asa, dan tidak ingin berjuang lagi. Benua pernah melalui masa-masa buruk selama hidupnya. Namun, Benua mempunyai hati yang seluas samudra. "Minggir! Nutupin jalan Lo!" Tandas seorang laki-laki dengan rambut berantakan yang menabrak bahu kanannya dengan kasar. Benua menyingkir dari jalan dan tersenyum tipis, "maaf! Lain kali aku akan jalan dipinggir." "Dasar cacat," cerca laki-laki itu berlalu dari hadapan Benua dengan sedikit umpatan dari mulutnya. Aldi mengelus pundak Benua pelan dan menatapnya, memastikan jika Benua tidak apa-apa. Benua yang ditatap dengan tatapan khawatir hanya tersenyum dan mengangguk. Benua tidak mau membuat masalah yang rumit. "Jangan bilang Sam," ucap Benua memperingatkan Aldi. "Nanti dia dapat masalah lagi. Kemarin baru dipanggil Pak Kepala Sekolah 'kan. Lagian, aku enggak pa-pa." Lanjut Benua dengan menatap koridor di depannya. Aldi hanya mengangguk sekilas, menuruti kemauan temannya itu. Benua dan Aldi hanya sekelompok orang-orang cupu yang disingkirkan dari pertemanan di dalam kelasnya. Ditambah lagi dengan Brandon yang sedang mengikuti olimpiade bersama dengan Samudra. Brandon pun sama, sekelompok dengan mereka—Benua dan Aldi. Menurut Benua, apa yang seringkali dikatakan orang-orang terhadapnya memang fakta. Teman-temannya di sekolah mengatakan tentang dirinya yang cacat, Benua tidak pernah marah karena itu kenyataannya. Namun, Samudra tidak pernah menganggap itu hal yang lumrah, sehingga cowok itu selalu membuat perhitungan dengan mereka-mereka yang berani mengatai Benua. "Kamu mau duduk di mana, Ben? Tempatnya penuh gini," ucap Aldi sambil menyenggol lengan Benua ketika mereka sampai di depan kantin. Benua menggeleng pelan, "gimana kalau beli aja terus dibawa ke kelas. Lagipula enggak ada tempat yang kosong." "Oke kalau gitu," jawab Aldi dan berjalan beriringan dengan Benua untuk mengantri di depan warung ibu kantin di mana mereka biasanya membeli roti. Laki-laki yang sempat menabrak Benua tadi berdiri di dekatnya, menatap dengan sinis sambil merampas roti yang dibawa Benua. "Makasih, cacat!" Ucapnya dengan intonasi penuh penekanan. "Bayarin roti gue, ya!" Tambahnya. Benua hanya diam saja, "oke, nanti aku bayarin." Benua mengambil beberapa lembar uang dari dalam saku seragamnya dan memberikannya kepada ibu kantin untuk membayar rotinya dan juga roti yang sudah dirampas oleh laki-laki kurang ajar itu. Benua selalu bersyukur karena Samudra tidak berada di sini. Jika Samudra berada di sini, pasti akan ada adu jotos karena membelanya. Aldi menatap Benua kasihan, dia sebenarnya ingin membantu Benua. Namun, dia tidak punya keberanian untuk melawan orang yang paling ditakuti satu sekolah. Laki-laki itu namanya Laut. Cucu kepala sekolah dan merupakan pewaris tunggal dari perusahaan orang tuanya. Siapa yang berani kepada laki-laki itu? Jika sampai berurusan dengan Laut pun, pasti mereka lah yang bersalah. "Ayo balik ke kelas, Ben." Ajak Aldi kepada Benua. Benua mengangguk, namun jalan mereka dihadang oleh Laut. Laki-laki itu tersenyum mengejek sambil melipat tangannya di d**a. Ada empat orang di belakang Laut, itu teman dari Laut. Lebih tepatnya sih pesuruh. Mereka mau-maunya disuruh-suruh oleh Laut. Hanya karena ingin ditakuti di sekolah mereka. "Bagi duit lagi dong, Ben." Ucap Laut sambil memegang kedua bahu Benua dengan erat. "Lo pasti punya banyak duit, 'kan? Lagian orang cacat enggak pantas bawa duit banyak-banyak atau jajan terus. Enggak pantas!" Sambung Laut dengan wajah mengejek. "Aku enggak ada uang, Laut. Sudah untuk bayar buku kemarin," jawab Benua jujur. Laut menarik kerah seragam Benua dengan kesal, "Lo itu memang enggak bisa dikasih hati ya! Gue bilang bagi duit Lo. Mana?" "Enggak ada, sudah habis." Jawab Benua dengan wajah takut. Laut ingin melayangkan tinjunya ke arah Benua, namun Aldi buru-buru menangkap tangan Laut. Laki-laki itu mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang di kantin. Mereka sangat menyayangkan tentang sikap Aldi yang berlaga sok pahlawan. Intinya, Aldi dalam masalah besar sekarang. Apalagi tatapan Laut sudah berubah ke arahnya. "Lo mau main-main sama gue, ha? Jangan mentang-mentang Samudra selalu bantuin Lo, sekarang Lo jadi ngelunjak sama gue!" Ketus Laut dengan wajah marah. Laki-laki itu mendekat ke arah Aldi, menarik seragamnya dengan kasar lalu meninjunya dengan sangat keras. Benua menatap Aldi yang terkapar di ubin dengan darah yang keluar dari hidungnya. Namun Aldi langsung berdiri dengan cepat dan memasang kuda-kuda. Belum juga Aldi siap, keempat teman Laut sudah berjalan lebih dulu, menghajar Aldi habis-habisan. Laut menatap sekelilingnya, "enggak ada yang mau bantuin? Enggak ada yang mau bersikap jadi jagoan, ha? Kenapa enggak ada yang maju?" Mereka semua diam, seperti tidak melihat. Padahal mereka tahu jika apa yang dialami Aldi dan Benua juga pernah mereka alami. Sayangnya, mereka tidak ada yang berani untuk melawan. Takut terkena pengaruh keluarga Laut yang begitu terkenal, terpandang, kaya raya, dan siap kapan saja menghancurkan keluarga mereka jika sampai berurusan dengan laki-laki itu. "Jangan!" Ucap Benua yang terus berusaha untuk melerai keempat teman Laut yang sedang memukuli Aldi. Salah satu tempat Laut pun turun tangan, menarik Benua dengan kasar dan menghempaskannya ke arah lain. Membuat alat pendengaran yang berada di telinga Benua terlepas begitu saja. Baru saja Benua hendak memasang alat itu, Laut sudah menginjaknya dan menghancurkannya sampai tidak berbentuk lagi. Benua hanya diam saat telinganya mulai berdengung. Hal yang sangat Benua takutkan ketika tidak memakai alat itu. Ngingggg... Benua tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Laut. Laki-laki itu bahkan sempat tertawa, namun Benua tidak bisa mendengar apapun. Benua hanya mendengar dengungan saja. Tidak ada yang bisa dia tangkap dari gerakan bibir orang-orang. "Mampus!" Ucap Laut dengan sangat jelas, namun tidak bisa Benua dengar sama sekali. "Cabut! Gue udah enggak mau main-main lagi sama mereka. Sesama orang cacat yang berusaha untuk melawan orang sempurna kaya gue, menyedihkan!" Tandas Laut yang berjalan pergi dari kantin bersamaan dengan keempat temannya. Semua orang tidak ada yang peduli kepada keduanya. Aldi yang tampak babak belur dan Benua yang sejak tadi termenung karena telinganya terus berdengung. Teman-teman mereka malah membubarkan diri, memilih untuk melanjutkan aktivitas masing-masing. Semua itu terjadi bukan karena mereka tidak punya rasa empati atau kasihan sama sekali. Namun mereka tidak berani untuk mengambil langkah lebih untuk melawan penguasa sekolah. Sudah banyak siswa yang dibuat keluar dari sekolah karena tindakan sok pahlawan dengan melawan Laut. Banyak anak-anak tidak bersalah pun rela-rela saja menjadi b***k atau mainan Laut karena tidak mau di depak dari sekolah. Terlalu banyak manipulasi dalam sekolah dan juga laporan palsu yang membuat Laut bisa hidup dengan tenang sekolah di sana. Walaupun dia sudah berbuat kesalahan yang fatal selama ini. "Ben," panggil Antoni, seorang guru Bahasa Inggris yang merangkap menjadi wali kelas XI IPA-1 itu kepada Benua yang masih terduduk di lantai. Benua menatap Antoni dengan mata yang memerah, "saya enggak dengar apa-apa, Pak." Antoni menatap sekeliling Benua, menemukan alat pendengaran yang sudah hancur berkeping-keping. "Siapa yang melakukan ini?" Tanya Antoni dengan wajah marah. Namun tidak ada yang menyahut sama sekali. Mereka bungkam seribu bahasa. "Pak Antoni, sepertinya kita harus membawa Aldi ke rumah sakit." Ucap Lila, seorang guru BK kepada Antoni setelah melihat kondisi Aldi yang memprihatinkan. "Anak-anak, ayo bantu Bapak membawa Aldi ke mobil." Ucap Antoni meminta beberapa anak yang berada di sana untuk mengangkat Aldi. "Bu Lila, bisa tolong jaga Benua untuk sementara." Sambungnya yang mendapatkan anggukan dari Lila. "Tunggu!" Bentak Brata, kepala sekolah di SMA Lencana Puri. "Biar dia dibawa ke UKS saja. Lukanya tidak terlalu parah!" Sambung Brata sambil menatap Aldi. Antoni beranjak, "Pak Brata, Aldi sepertinya membutuhkan beberapa perawatan yang intensif. Saya juga akan bertanya kepada beberapa anak tentang siapa yang sudah melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini. Kebetulan saya dan Bu Lila datang, kalau tidak bagaimana? Saya ak—" "Sudahlah, Pak. Ini urusan saya sebagai kepala sekolah. Anda juga baru beberapa hari di sekolah ini, mana paham tentang seluk-beluk sekolah." Ketus Brata dengan kesal. "Pak Ridho, bawa mereka ke UKS." Perintah Brata kepada seorang guru yang datang dengannya tadi. Brata berjalan meninggalkan kantin dengan wajah malas. Sedangkan Antoni langsung menarik Benua agar tidak ikut dengan Ridho. "Kamu ikut Bapak ke ruangan, ya?" Pinta Antoni yang mendapatkan sebuah kernyitan dahi dari kening Benua. Antoni tersenyum, "Bu Lila, saya bawa Benua dulu ya." Benua hanya ikut saja dengan Antoni karena tidak bisa mendengar apa yang gurunya katakan itu. Walaupun begitu, Benua tahu jika kedua guru baru di sekolahnya itu adalah guru yang baik. Mereka seringkali membantu beberapa anak yang terkena bully oleh Laut dan teman-temannya. Antoni mengajak Benua untuk duduk di koperasi sekolah, memberikan sebuah botol minuman kepadanya. Benua tidak lupa mengucapkan terima kasih. Siapa yang melakukannya? Itu tulisan Antoni yang disodorkan kepada Benua. Cowok itu hanya menatap Antoni dan menggeleng pelan. Dia tidak tahu harus bicara apa kepada Antoni, dia takut salah ucap yang akan semakin memperkeruh keadaan. "Saya tidak berani bilang, Pak." Jawab Benua sambil menunduk. "Saya tidak mau Aldi sampai kenapa-kenapa." Lanjutnya. Laut? Benua menatap Antoni, "Bapak janji akan merahasiakan semua ini dari Sam, 'kan? Saya tidak mau Samudra tahu." Antoni mengangguk. "Laut yang melakukannya, Pak." ••••••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD