12

1656 Words
Kilas Balik — 12 # Sorry! _______________________ SEBELUMNYA, Laut tidak tertarik sama sekali dengan nama Samudra. Baginya, semua orang yang sering dikatakan sebagai berandal sekolah oleh Kakeknya—Kepala sekolah—itu hanyalah orang-orang yang lemah dan mudah dia kalahkan dengan memberikan uang dan koneksi saja. Akhirnya, orang-orang yang biasanya disebut berandalan sekolah akan tunduk seperti pengecut karena membutuhkan bantuan keuangan darinya. Mereka akan menjunjung tinggi namanya dengan sebutan 'Bos' dan memujinya tiada henti setiap hari. Menjilat di depannya dan saling mengadu domba rekan lainnya. Bagi Laut dunia bisnis dengan sekolah sama saja. Mereka sama-sama harus punya koneksi untuk bisa mendapat apa yang mereka inginkan. Bukankah Kakeknya menggunakan jabatannya untuk berbisnis. Membuat sekolah ini sebagai ladang uang tanpa dicurigai dan sesekali bermain cantik dengan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya. Laut adalah orang yang mempunyai kehidupan bak Pangeran jahat yang selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan. Termasuk keinginan yang tidak mungkin sekalipun. Laut selalu bersikap sebagai orang yang menyuruh tanpa mau disuruh. Keinginannya adalah menjadikan semua orang sebagai b***k di bawah kakinya. Mereka yang memintanya untuk menginjak sebagai keset atau bantalan jalan, adalah orang-orang yang dia suka. Karena keluarganya mengajarkan hal demikian, maka Laut terbentuk sebagai manusia jahat sejak dia dilahirkan. Bahkan sebelum dia lahir pun, orang tuanya sudah membentuknya menjadi orang jahat yang tidak berperasaan. Maka dari itu, keinginannya adalah menaklukkan sekolah ini. Semua orang di dalamnya harus tunduk kepada perintahnya. Harus takut setiap kali mendengar namanya, merinding ketika mendengar langkah kakinya, dia ingin seperti mafia yang dipenuhi kekejaman namun dia bocah SMA yang hanya tahu tentang bagaimana mengendalikan semua orang dengan uang, kedudukan, kekuasan, dan populeritas. Keluarganya meminta untuk kembali ke negara ini, bersekolah di sekolah yang Kakeknya pegang, dan memulai untuk belajar bisnis di perusahaan cabang yang dibuka oleh keluarganya. Sayangnya, selama seminggu di sini, semua orang sudah mengenalnya dan tanpa ditakut-takuti pun sudah takut. Semuanya tampak tidak membuat dirinya senang. Bahkan ada dua kacung yang siap menjadi teman di belakangnya. Minta disuruh-suruh olehnya agar mendapatkan hadiah yang pantas. Kerjasama perusahaan orang tua mereka, mungkin. "Lo ... Samudra," ucap Laut dengan menunjuk name tag di d**a Samudra. Samudra menghela napas panjang, "hm..." "Yang sopan, Lo!" Tandas salah satu laki-laki di belakang Laut, Raka. "Kenapa? Dia lebih tua dari gue?" Tanya Samudra sambil menunjuk ke arah Laut. "Berapa umur Lo?" Sambung Samudra kemudian. Laut memegang telunjuk Samudra dan menghempasnya, "gue heran, kenapa orang bentuknya kaya gini dibilang berandal sekolah!" Kemudian Laut tertawa karena ucapannya. Bukankah Laut selalu meremehkan orang lain? Bahkan sebelum dia tahu kekuatan orang yang sedang dihadapinya. Kadang, kesombongan dan percaya diri yang tinggi akan menghancurkan orang itu dengan perlahan-lahan. "Berandal sekolah? Kakek Lo yang bilang begitu?" Tanya Samudra dengan santai. Sebelumnya, mereka belum pernah saling berinteraksi secara langsung karena Laut merasa bahwa Samudra bukan levelnya. Apalagi setelah dia mendengar bahwa Samudra hanya siswa dengan beasiswa. Menurut Laut, Samudra hanyalah kutu buku yang gemar belajar. Namun karena dirinya mendengar tentang betapa hebatnya seorang Samudra ketika berkelahi—bahkan dinilai sangat merepotkan untuk Kakeknya atasi—maka Laut harus membereskan orang-orang seperti itu, bukan? Setidaknya agar mereka tahu batasan dan mempunyai rasa hormat. "Jadi ... si cacat itu saudara Lo? Lebih tepatnya lagi saudara kembar Lo, ya?" Tanya Laut dengan menunjukkan raut wajah mengejeknya. Samudra menghela napas panjang. Sebenarnya dia marah, sangat marah. Namun ketika melihat wajah Benua yang berulangkali memintanya untuk bersabar dan tidak asal pukul orang, membuat Samudra hanya bisa diam. Walaupun sebenarnya, hatinya sangat panas dan ingin sekali menghajar orang di depannya ini. Padahal mereka baru berbicara, tepatnya baru bertemu juga secara langsung. "Apa yang Lo mau?" Tanya Samudra tanpa mau berbasa-basi lagi. Dia pun tidak menjawab pertanyaan Laut tentang Benua. Laut mendekat ke arah Samudra dengan tersenyum sinis, "Lo tadi lihat 'kan kalau saudara Lo yang cacat itu hampir aja ketabrak mobil gue? Jadi, apa yang seharusnya Lo lakuin, ha? Lo diajarin sopan santun 'kan sama orang tua Lo?" "Hm..." Jawab Samudra seadanya. "Minta maaf enggak?" Tandas Laut sambil menunjuk wajah Samudra. Samudra melipat tangannya di d**a dan tersenyum tipis. Dia menatap ke arah kedua laki-laki yang berada di belakang Laut. Mereka berdua juga pernah mempunyai masalah dengan dirinya, pernah mendapat pukulan dari tangan Samudra secara langsung karena mulut mereka yang tidak punya tata krama. Tetapi mereka tampak angkuh sekarang, hanya karena mereka berada di pihak Laut yang mereka kira akan ditakuti oleh Samudra. Sayangnya, Samudra tidak gentar sama sekali. Samudra tetap menakutkan! "Lo menghadang jalan gue hanya untuk mendapatkan kata 'maaf'? Wah~ cukup menggelikan sekali." Tandas Samudra dengan menatap wajah Laut yang terlihat mulai marah dan terusik. Laut hendak melayangkan kepalan tangannya ke arah Samudra, namun Samudra berhasil memegangnya. Samudra tersenyum tipis saat terdengar suara bel masuk mulai berkumandang. "Oke ... game over! Udah masuk nih, kita bisa lanjut kapan-kapan." Ucap Samudra seraya menghempaskan tangan Laut. "Oh iya, Lo mau gue minta maaf 'kan? Sorry ... udah!" Sambung Samudra yang berjalan meninggalkan Laut begitu saja. Laut mengepalkan tangannya dengan kuat. Begitu banyak umpatan dan cercaan tentang perlakuan Samudra kepadanya. Laut terlalu meremehkan seorang Samudra. Hanya karena dia pikir, orang berbeda kasta seperti Samudra, mudah ditaklukkan dengan uang. Sayangnya, Samudra tidak pernah melihatnya sebagai orang yang perlu ditakuti. Tatapan yang belum pernah Laut lihat dari siapapun sebelumnya. Tatapan tanpa rasa takut yang begitu menusuk. "Sialan!" Umpat Laut dengan wajah marah. "Lihat aja, gue bakalan bikin perhitungan sama Lo." Sambungnya dan meninggalkan area depan sekolah untuk menuju kelasnya. Sedangkan Samudra yang hendak bergegas ke kelasnya, bertemu dengan Benua yang berdiri sendirian sambil melamun. Samudra mendekat ke arah Benua, menepuk bahunya dua kali. Membuat Benua kaget setengah mati. "Ya ampun, aku kaget." Seru Benua sambil mengelus dadanya dengan pelan. "Kamu ngapain ngagetin gitu sih." Sambung Benua protes. Samudra menggeleng pelan, "gue cuma nepuk pundak Lo doang, Ben. Gimana bisa kaget sampai segitunya? Atau jangan-jangan, ada yang Lo sembunyikan dari gue? Makanya Lo kaget begitu?" "ENGGAK!" Teriak Benua dengan cepat. Samudra menaikkan sebelah alisnya penasaran, "terus? Ngapain Lo di sini? Sendirian pula! Lo enggak dengar bel masuk?" "Eh ... dengar! Aku cuma jalan-jalan aja." Jawab Benua dengan gugup dan takut. "Oh iya, aku baru ingat. Kamu enggak diapa-apain sama Laut 'kan?" Tanya Benua khawatir. "Lo pernah berurusan sama dia?" Tanya Samudra balik. Benua menggelengkan kepalanya dengan cepat, "sama sekali enggak! Enggak pernah berurusan sama dia kok. Dia enggak ganggu aku." "Selama seminggu dia di sini dan selama seminggu gue pergi, dia sama sekali enggak gangguin Lo?" Tanya Samudra kembali. "Enggak! Udah yuk, masuk." Tarik Benua yang mengajak Samudra untuk masuk ke kelas mereka. Samudra hanya menurut saja. Dia tidak banyak bicara atau bertanya. Jika Benua kesulitan, pasti dia akan bicara kepada Samudra, bukan? Dan adapun masalah, mungkin bisa Benua atasi sendiri. Walaupun sebenarnya, Samudra sudah tidak suka cara bicara Laut yang keterlaluan. Namun, Benua selalu memintanya untuk tidak terus terprovokasi apabila ada orang yang memancing emosi Samudra dengan memanggil Benua dengan sebutan tidak baik. Benua selalu meminta kepada Samudra untuk tidak terlalu memikirkannya. Karena Samudra juga harus fokus kepada dirinya sendiri. Setidaknya Samudra tidak akan dikeluarkan. Samudra dan Benua masuk ke dalam kelasnya. Brandon pun buru-buru mendekat ke arah Samudra dan Benua yang langsung duduk di bangku mereka. "Kamu enggak pa-pa, Sam?" Tanya Brandon khawatir. Samudra menggeleng, "enggak pa-pa. Hari pertama sekolah tidak harus diisi dengan keributan, 'kan?" "Terus, gimana kamu bisa hadapi Laut?" Tanya Brandon yang mendapat senggolan dari Benua. Samudra tersenyum sinis, "dengan pikiran! Dia hanya tahu tentang cara memerintah orang, memukul orang, tetapi tidak tahu cara berpikir. Laut hanya menggunakan kekuasaan dan juga uang untuk menakut-nakuti orang lain. Dasar b******k!" "Hush~" bentak Benua karena mendengar umpatan Samudra kepada Laut. Samudra meletakkan tasnya di atas meja dan mengeluarkan semua buku tugasnya, "mendingan kita ke ruang guru sekarang, Brandon. Gue muak lihat tumpukan buku-buku tugas gue yang banyak." "Setuju!" Jawab Brandon yang bergegas mengambil bukunya untuk dibawa ke ruang guru. "Gue tinggal sebentar," pamit Samudra yang mendapat anggukan dari Benua dengan cepat. Samudra dan Brandon berjalan beriringan. Tidak ada yang bicara, hanya sesekali Brandon bertanya dan Samudra menjawab seadanya. Saat mereka sampai di depan ruang guru, ternyata guru-guru masih rapat. Jadi, mereka memutuskan untuk menunggu di depan ruang guru. "Brandon," panggil Samudra setelah meletakkan buku-bukunya di kursi sampingnya. Brandon menoleh ke arah Samudra, "iya?" "Hm ... Benua cerita sesuatu sama Lo tadi?" Tanya Samudra yang membuat Brandon hanya bisa terdiam tanpa menjawab. Brandon ingat tentang kata rahasia yang Benua katakan tadi. Rasanya Brandon takut untuk membahasnya, karena itu bukan haknya. Namun tatapan Samudra seperti meminta dirinya untuk jujur sekarang juga. "Cerita enggak?" Ulang Samudra dengan menatap wajah Brandon. Brandon menggeleng pelan, "sama sekali enggak cerita apapun kok. Kita cuma debat masalah kamu di mana dan apa yang harus kita lakuin tadi." "Lo ... lagi enggak bohongin gue, 'kan?" Tanya Samudra kembali. "Enggak lah," jawab Brandon dengan cepat. Samudra hanya menganggukkan kepalanya. Tidak mau membahas hal yang tidak penting atau hal yang mungkin ... disembunyikan. Samudra tidak tahu ada yang disembunyikan darinya. Namun dia bisa merasakan hal itu. Terdengar langkah kaki yang mendekat ke arah mereka berdua. Seorang perempuan berdiri di depan Samudra dan Brandon sambil membawa tumpukan buku-bukunya. "Lo..." Ucap Samudra sambil menatap perempuan ber-name tag Lavina. Perempuan yang pernah ditemui Samudra ketika Olimpiade, teman satu timnya. Lavina tersenyum tipis ke arah Samudra, "kamu ngumpulin tugas juga?" "Iya! Gurunya baru pada rapat. Tunggu aja dulu," ucap Samudra sambil menggeser duduknya, untuk memberikan tempat duduk kepada perempuan itu. Mereka bertiga duduk bersama, namun tidak ada pembicaraan yang menyenangkan. Setidaknya saling bicara akan membuat mereka bisa merasa akrab, namun tidak juga dilakukan. Samudra memilih untuk membuka-buka buku tugasnya, Brandon yang melamun karena memikirkan tentang pertanyaan Samudra padanya, dan Lavina yang memilih menatap ubin putih yang membuatnya dapat melihat pantulan dirinya. Lalu, tidak lama kemudian ruangan guru dibuka. Rapat telah selesai dan mereka pun masuk ke dalam untuk mengumpulkan tugas mereka yang banyak sekali. Setelah itu, mereka berpisah untuk menuju ke kelas masing-masing. Lavina sempat memperhatikan Samudra dari belakang dan tersenyum tipis ke arahnya. ••••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD