4. Ospek

1837 Words
Ivan menatap pada sebuah pigura besar di depannya. Pigura itu membingkai sebuah foto pernikahannya dengan sang istri yang saat ini masih terasa kebahagiannya, apalagi ketika melihat senyuman di wajah istrinya. Mereka baru saja menikah sekitar 4 tahun yang lalu dimana bahagia jelas masih melingkupi apalagi karena mereka baru saja punya anak. Namun kebahagiaan itu terenggut begitu saja ketika sebuah kecelakaan beruntun di jalan provinsi yang disiarkan di sebuah stasiun TV ada nama sang istri di daftar korban meninggalnya. Dunia Ivan tentu saja runtuh seketika saat itu. Dia bahkan tidak sanggup menangis karena perasaannya yang sangat kalut, dia tidak bisa menerima kematian sang istri begitu saja. Di kala itu dia seperti orang gila yang tidak segan membuat onar di rumah sakit, meminta dokter yang ada di sana untuk menyelamatkan istrinya. Menghubungi rekan sejawatnya yang dia kenal untuk datang dan membangunkan lagi sang istri. Tapi tentu saja tidak bisa, keluarga dan teman-temannya hanya bisa turut berduka cita melihat hancurnya Ivan saat itu. “Aku lihat matamu, Sayang ... aku lihat matamu,” gumam Ivan dengan suara yang lirih. Diusap wajahnya dengan kasar karena dia hendak menangis, emosinya kembali kalut usai siang tadi melihat hal yang seharusnya tidak terjadi. Kini dia tidak tahu harus bagaimana karena rasa rindu akan sang istri kembali menyeruak sampai dadanya rasanya sakit. “Sayang ... aku harus bagaimana?” Ivan bersimpuh di lantai kamarnya yang dingin dan selalu terlihat kelam sejak tidak ada lagi sentuhan sang istri di sana. Tempat paling aman untuk Ivan menangisi kepergian istrinya yang menurut orang lain sudah seharusnya bagi dia untuk merelakannya. Tapi tidak ... bagi Ivan, sampai kapan pun merelakan kepergian Aluna, istrinya. Waktu tidak akan pernah menyembuhkan apapun, karena Ivan akan selalu bisa kembali mengingat kesedihan saat menyentuh dingin kulit Aluna. Rela itu tidak semudah kata itu sendiri. *** Ada hal gila yang sedang Ivan lakukan. Baru kemarin dia mengatakan kalau tidak seharusnya dia bertemu dengan mata istrinya lagi, namun kini dia justru mencari tahu. Bahkan mencari tahu lewat pasien sendiri sampai tidak memperkirakan kalau bisa saja mereka akan curiga nantinya pada Ivan karen terlalu banyak bertanya. “Kamu kenal Pak Saad?” tanya Ivan pada pasiennya yang tengah sibuk bermain game di ponselnya. Dia bertanya setelah baru saja menyelesaikan jadwal konsultasi pasien di sore hari. Ivan dengan kegilaannya bahkan hendak mengorek informasi dari pasiennya bernama Wira yang kini sedang ditinggal ibunya untuk ke kantin dan menitipkannya pada Ivan. “Pakde?” timpal Wira. Mata Ivan terbuka mendengarnya. “Pakde? Dia pakdemu?” tanya Ivan memastikan sekali lagi yang dia dengar. Wira memberi anggukan mantap. “Dokter juga kenal Pakde?” “Ya. Kami berteman.” Bibir Ivan sudah akan kembali berkata, tapi dia terus menahannya karena kembali mempertimbangkan apakah dia harus melakukannya atau tidak. Karena dia sendiri yang membuat janji itu dengan Saad 2 tahun yang lalu tapi kini malah dia yang mencoba mencari tahu. Dan jelas jika dia lanjut bertanya pada Wira yang ternyata keponakan Saad, setelah itu mungkin Ivan tidak akan bisa mundur. “Pakdemu sudah punya anak?” tanya Ivan setelah berulang kali mempertimbangkannya. “Iya, satu. Namanya Teh Nirmala,” jawab Wira tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Tampak santai tanpa menyadari kalau dia tengah diintrogasi oleh dokternya. Berbeda dengan Ivan yang saat ini sudah berkeringat dingin karena dia hampir menuju pada info yang dia ingin ketahui. “Oh ya? Umur berapa? Kayaknya udah kuliah, ya?” tanya Ivan yang tanpa sadar bertanya banyak sekaligus. “Hm ... teh Nirmala udah Kuliah,” jawab Wira yang lagi-lagi dengan santainya. Jadi benar perkiraan Ivan, kalau anak Saad sudah kuliah. Karena dua tahun yang lalu Ivan tidak mengetahui info apapun sebab masih sangat berduka setelah kehilangan Aluna. Kini dia ingin tahu, karena Ivan ingin kembali melihat istrinya meski bukan seluruh tubuh istrinya lagi. Rindunya sudah tak bisa ditahan lagi. Ivan jelas akan segera melanggar janjinya sendiri. “Kuliah di mana?” Dan Ivan memejamkan mata usai melontarkan pertanyaan ini. Pertanyaan yang menjadi tujuan utamanya dia mendekati Wira, mengorek informasi dari bocah yang mungkin masih duduk di bangku SMA ini. Dengan hati berdebar Ivan berusaha menjaga sikapnya yang sudah tidak sabar lagi mendengar jawaban dari Wira, apalagi ketika bocah ini malah menatapnya penuh perhitungan. Ivan merasa seperti tertangkap basah. “Ke-kenapa ngeliat saya begitu?” tanya Ivan karena Wira masih mentapnya penuh selidik. Wira menghela napas lalu berkata. “Dokter ajak aku ngobrol jadi kalah kan maen gamenya!” keluhnya. Seketika Ivan merasa lega karena berpikir bisa saja Wira menyadari kalau sedang dia interogasi, namun rupanya cuma masalah game. Dia pun tersenyum dan segera kembali bertanya pada Wira pertanyaan pentingnya tadi. “Jadi anaknya Bang Saad kuliah di mana? Kayaknya nggak ambil jurusan psikologi kaya papanya, ya?” tanya Ivan. Pertanyaannya kali ini lebih luwes, menambahkan kalimat lain supaya terkesan dia cuma ingin tahu keadaan anak dari sahabatnya. Seperti suatu pertanyaan wajar, normal dan terkesan akrab. Keadaan ini jika dipikir-pikir cukup konyol juga karena pada dasarnya dia dan Saad memang akrab sampai peristiwa 2 tahun lalu itu terjadi. “Teh Nirmala ada di Kampus Institut Bandung jurusan DKV, Dok. Karena pinter banget gambar dia,” jawab Wira yang bahkan menambahkan informasi lebih dari cukup untuk diketahui oleh Ivan. Tapi karena itu dia kini sudah tahu kenama dia bisa mengobati rasa rindu dan kesedihan yang setiap hari dia rasakan. Namun dengan seiring berjalannya waktu, topeng yang dia gunakan makin tebal sehingga tidak banyak orang menyadari bahwa dirinya masih sama hancurnya seperti 2 tahun yang lalu. Semua masih sama, bahkan cintanya untuk Aluna tidak pernah luntur sedikit pun. *** “Pinjem kuas lo bentaran, ngab!” “Anjir lah, lo udah ambil satu kuas gue tadi!” Nirmala merebut kembali kuas kecil yang hampir diambil oleh teman sekelasnya saat mereka sedang ditugaskan untuk membuat lukisan dari sesuatu yang ada di dalam ruang kelas mereka sendiri. Tugasnya harus diselesaikan hari ini juga dan Nirmala adalah mahasiswa paling siap jika udah tugas begini. Tas punggunya seperti kantung doraemon karena berisi hampir semua peralatan menggambar dan melukis. “Pelittttt!” “BODOOO!” Karena Nirmala akan memakai kuas itu, maka dia tidak bisa membiarkan temannya memakai. Salah sendiri tidak membawa peralatannya, maka dia akan bodo amat meski dikatai pelit oleh teman-temannya. Urusan tugas dari dosen killernya ini adalah masing-masing, tidak ada yang namanya saling membantu. Yah, tapi dengan kebaikan hatinya, Nirmala tetap meminjamkannya tapi setelah dia selesai dengan tugasnya sendiri. “Oy!” Nirmala hendak keluar kelas tapi tiba-tiba seorang dari belakang mengangkat tas punggungnya lalu merebutnya dan dipakai oleh orang itu sendiri. “Gue bisa bawa sendiri, Rafiii!!” protes Nirmala. Tapi orang yang merebut tas Nirmala ini tidak mengembalikannya dan malah menyerahkan totebag yang dia bawa. “Bawain aja tas gue,” kata Rafi yang membuat Nirmala pasrah saja. Mereka berjalan menyusuri koridor jurusan DKV tempat mereka menimba ilmu. Mereka beberapa kali menyapa mahasiswa lain yang berpapasan dengan mereka. Apalagi untuk Rafi yang cukup terkenal karena dia adalah drumer sebuah band yang cukup terkenal di Bandung. Followers i********: dan tiktoknya bahkan lebih dari 100 ribu. Jelasnya Rafi itu punya visual yang tampan, tubunya tinggi dan bahkan senyum yang manis. Hampir semua mahasiswa di sini kenal pada cowok ini. Keadaan tersebut yang membuat Nirmala menjaga jarak dari Rafi dengan mundur satu langkah ketika mereka berjalan bersama di area kampus. “Gue jadi bahan gosip kalau gini terus,” gumam Nirmala dengan bibirnya yang maju. Dia berjalan dengan ritme lebih pelan supaya tidak sejajar dengan posisi Rafi saat ini. Sedangkan Rafi tetap melenggang santai dengan sneyuman di wajahnya seperti biasa. Tapi lama kelamaan Rafi mennyadari kalau Nirmala ada di belakangnya sebab tidak menyahut ketika dia ajak bicara. “Lo jalan kek siput, ya?” kata Rafi yang kemudian menarik tangan Nirmala supaya mengikutinya. Meski enggan, Nirmala berakhir berjalan tepat di samping Rafi yang kembali mengomentari kenapa tas Nirmala selalu berat. Tapi meski begitu tetap saja kerap membawakan tas milik Nirmala itu. “Lo naruh kursi kampus di dalem tas, ya? Gila makin berat aja tas lo!” kata Rafi yang kembali menyamankan tali ransel Nirmala di pundaknya. Nirmala melirik sinis pada Rafi dan cowok itu akan langsung nyengir karena suka sekali membuat cewek ini kesal. “Kalau berat ya nggak usah lo bawa,” ujar Nirmala lalu segera ingin merebut tas miliknya tapi Rafi segera menghindarinya dan berlari menuju parkiran kampus lebih dulu. “RAFIII!” jerit Nirmala tanpa sadar karena kesal. Tapi dia tidak melihat bahwa di sekelilingnya ada banyak mahasiswa yang tengah memperhatikannya. Entah benar atau tidak, Nirmala selalu merasa bahwa dia sedang dihakimi oleh tatapan orang lain tiap dia dekat dengan Rafi. Cowok yang tidak sengaja dia kenal sewaktu ospek karena membawa barang bawaan yang sangat banyak waktu itu. Rupanya itu terjadi karena Rafi sedang melakukan tur keliling Indonesia menjelang masuk kuliah, alhasil ketika diundang diskusi untuk berbagi ide soal teka-teki ospek, dia tidak bisa hadir. “Jadi ... ini salah semua?” tanya Rafi yang saat itu baru saja menjatuhkan tas ranselnya yang sangat berat karena berisi banyak barang untuk ospek. “Nggak semua sih ...” Nirmala menggaruk pelipisnya yang tampak lapang karena rambutnya harus diikat satu sebagai ketentuan ospek. Poninya juga dijepit hingga jidatnya terlihat jelas. “Lo kok bawa sedikit banget,” kata Rafi dengan polos ketika melihat tas Nirmala bahkan tidak menggembung sama sekali. Tidak seperti miliknya. Nirmala menatap Rafi dengan tatapan prihatin, dia menyadari kalau Rafi pasti tidak ikut dalam proses diskusi makanya tidak tahu apa yang harus dibawanya. 1 laptop berarti 1 buah apel, namun laptop merek apelnya dibawa. Buah pisang 1 sisir harusnya bermakna 1 pisang dan 1 sisir, tapi Rafi membawa buah ini dengan makna yang sesungguhnya. Air lumpur berarti membawa s**u cokelat, tapi membawa air yang dikemas dengan botol dan mungkin betulan isinya lumpur. Dan yang paling parah itu tentang 1 buah pocong yang artinya 1 lontong, tapi malah membawa kain kafan. Pada akhirnya demi membantu Rafi supaya tidak kena hukuman, Nirmala membantu cowok ini dengan membagikan miliknya juga. Apel, s**u cokelat dan lontong tadinya akan menjadi bekal makan siangnya, tapi ingat kalau lebih baik kelaparan dibanding dijemur satu angkatan, makanya Nirmala melakukan ini. Dan rupanya, Rafi ingat itu sampai mereka akhirnya tahu kalau ada di satu kelas yang sama. Tindakan Rafi yang kerap merebut tas Nirmala itu katanya sebagai balas budi karena saat ospek pernah membantunya. Sampai lulus nanti Rafi akan melakukan itu pada Nirmala karena cewek ini tidak mau menerima imbalan apapun. Sampai di parkiran, Nirmala sudah melihat kalau Rafi duduk di jok motor miliknya sembari bermain ponsel. Nirmala mendekati cowok itu dan segera melayangkan tabokan di lengan cowok ini cukup keras. “Aw! Sakit, Nirma!” rintih Rafi yang segera menjauh lagi dari Nirmala. “Rasain! Rese banget sih jadi orang!” Interaksi keduanya ini tidak hanya diperhatikan oleh mahasiswa, tapi juga seorang yang akhirnya tahu dimana dia harus mengatasi rindunya. Ya, dia Ivan. Secara sengaja dia datang ke kampus yang diberitahukan oleh Wira kalau di sinilah Nirmala berkuliah. Kampus yang letaknya dekat dengan rumah sakit tempat dia bekerja sehingga tidak sulit bagi Ivan untuk mencarinya dan datang kemari. “Aku melihatmu lagi, Aluna ...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD