3. Code Blue

948 Words
Ada 11 pasien yang harus Ivan temui di kamar inap mereka. Dia akan memulai dari kamar nomor 7 yang merupakan pasien dengan fraktur terbuka yang kemarin dia operasi. Dengan ramah dia menyapa pasien paruh baya itu dan menjelaskan kalau keadaannya sudah membaik walau nanti akan ada efek yang membuat pasien kesakitan karena trauma yang dialami. Dengan jelas dan rinci dia memberitahukan semuanya. Ada 45 kamar inap untuk pusat ortopedi di rumah sakit ini, dan tidak semua adalah pasien milik Ivan. Jadi dia harus berjalan cukup jauh untuk menjangkau pasiennya satu persatu. Pasien ke 3 yang harus dia temui berada di bagian ruang Dahlia nomor 16. Hal yang membuat Ivan sedikit terkejut karena dia seperti mengingat sesuatu tentang nomor ruangan ini, tapi dia lupa apa itu. ”Selamat siang.” Dengan sopan Ivan menyapa setelah memasuki kamar inap. Dia melihat beberapa orang memenuhi kamar inap ini karena memang jam besuk masih terbuka sampai jam 7.30 malam nanti. ”Selamat siang, Dokter. ” Beberapa orang membalas sapaan Ivan tadi. Ivan mendekati pasien untuk segera melihat langsung perkembangan pasiennya ini. Melihat rekam medis yang ada di tangannya dan mencocokan dengan keadaan terkini. Dengan lancar dia menjelaskan soal pasiennya ini kepada keluarga juga yang ada di sana. Beberapa kali dia mendapatkan pertanyaan dan meminta Teguh untuk giliran menjawab sebagai latihan. Lalu bila Teguh kesulitan, dia akan membantunya. ”Kalau keadaan terus membaik, pasien sudah boleh pulang dua hari lagi,” pungkas Ivan lalu tersenyum karena memberikan kabar baik. ”Wah, terima kasih, Dokter. Saya udah bosan di rumah sakit soalnya,” timpal pasien Ivan yang baru 3 hari di rumah sakit tapi sudah merasakan bosan karena aktivitasnya jelas menjadi terbatas. ”Kalau mau cepet sembuh makanya jangan ngeyel kalau mama suruh makan.” Ibu dari pasien ini segera menjewer telinga putranya yang patah tulang saat melakukan hobinya, yaitu panjat tebing. Ivan tersenyum kecil melihat interaksi itu dan belum menyadari ada seseorang yang sudah sejak tadi ingin menyapanya. ”Ivan Wrisaba?” panggil seseorang yang sangat Ivan kenali wajahnya begitu dia menolehkan kepala. ”Bang Saad?” panggil Ivan juga setelah dia sadar kalau ada seorang yang cukup berjasa dalam hidupnya. ”Apa kabar?” tanyanya kemudian. ”Baik-baik... nggak nyangka akan ketemu kamu di Bandung, Van,” ujar pria bernama Saad ini lalu menghampiri Ivan. Mereka saling berjabat tangan dan membuat yang lain akhirnya mengerti kalau dua orang ini memiliki hubungan dekat. Agar tidak mengganggu pasien, Ivan pun mengajak pria bernama Saad ini untuk berbicara di luar ruang inap. Meski sibuk, dia masih tetap ada waktu untuk setidaknya menyapa Saad yang merupakan teman sewaktu dia kuliah walau mereka beda jurusan. ”Aku kira kamu masih di Jakarta, lho. Ternyata kita malah ketemu di Bandung,” kata Saad seraya memperhatikan keadaan Ivan yang membuatnya merasa lega. Tapi melihat cincin di tangan Ivan membuatnya merasa bersalah dan juga turut sedih. ”Nyari pencerahan di Bandung, Bang. Lebih seger juga di sini, kan?” ujar Ivan menanggapi. Saad menanggukkan kepalanya setuju. ”Bener. Jadi ternyata kita sama-sama pindah ke Bandung. Nanti beneran kita dikira jodoh aja sama yang lain kalau ketemuan di reuni,” seloroh Saad yang membuat tawa Ivan berderai. ”Jangan ngaco. Tapi bener juga. Dari dulu rumor lucu soal kita kan emang suka dikira homo.” Ivan dan Saad yang sejak kuliah selalu bersama bak perangko. kerap kali menjadi sasaran kesalahpahaman kalau mereka menjalin kasih. Padahal jelas-jelas mereka tidak pernah absen punya pacar perempuan. ”Kenangan masa lalu tapi—” ”Papa!” Saad dan Ivan menoleh ke arah suara nyaring perempuan yang kemudian mendekati Saad. Perempuan itu juga Ivan kenali sebagai seorang yang membuatnya harus membeli ponsel baru kemarin. ”Papa,  aku udah selesai pipisnya dan sekarang aku harus balik lagi ke kampus. Aku ikut mobil Papa aja ya? Ya?” pinta perempuan itu sambil memegangi tangan Saad yang dia panggil ’Papa’. Sedangkan Saad sendiri diam dan membeku karena melihat reaksi Ivan yang sepertinya mulai menyadari siapa perempuan yang memanggilnya ”Papa” ini. Dokter sekaligus teman dekatnya ini terpaku di tempatnya sambil terus menatap wajah perempuan di sebelah Saad. Hal itu terus diperhatikan oleh Saad, apalagi setelah melihat wajah pias Ivan yang menunjukkan kalau pria yang lebih muda beberapa tahun darinya ini menyadari sesuatu yang telah mereka coba sepakati untuk disembunyikan. ”Van—” ”Eh, Dokter yang kemarin!” Saat Saad akan berbicara, perempuan yang memanggilnya Papa ini mendahuluinya dan tampak mengenali Ivan. Lalu kembali berbicara panjang lebar menjelaskan pada Saad kapan mereka bertemu dan kenapa dia terus meminta maaf pada Ivan. Sementara itu Ivan justru masih terdiam. Dia tidak tahu harus bagaimana selain menatap lekat pada wajah perempuan ini sambil mengusap cincin yang tersemat di jari manis tangan kanannya. ”Van, kamu pasti—” ”Dokter, ada kecelakaan kerja dan beberapa orang terluka parah. Rumah sakit ini yang jadi rujukan!” Lagi-lagi saat Saad akan berbicara, ada yang memotongnya. Kali ini Teguh, residen yang membawa kabar darurat. Lalu benar saja, sirine berbunyi di seluruh rumah sakit dan memberi kode darurat. ”Code blue. Code blue. Semua dokter harap bersiaga, kecelakaan kerja dengan beberapa korban luka parah akan menuju rumah sakit dalam 5 menit.” Melupakan semua yang tengah berkecamuk di dalam d**a Ivan, dia segera berlari menuju IGD tanpa sempat berpamitan pada Saad. Saat ini dia sudah tidak bisa lagi lama-lama menemui orang yang cukup besar perannya di hidup Saad. Dan untung saja keadaan darurat ini menyelamatkannya. Dia akan kembali fokus dan melupakan sejanak apa yang baru saja dia lihat dan sempat membuat rindunya meluap-luap hingga dadanya terasa begitu sakit menahannya. ”Seharusnya pertemuan ini tidak pernah terjadi,” gumamnya sebelum kemudian menerima pasien dengan patah tulang ekor yang membuatnya harus kembali berkosentrasi penuh.   ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD