2. Cincin Di Jarinya

1420 Words
Hari berikutnya Ivan keluar dari pintu utama rumahnya dengan setelah rapihnya berupa kemeja panjang warna cokelat muda dan celana kain hitam. Tas kerjanya yang berwarna hitam dia tenteng di tangan kiri karena tangan kanannya tengah sibuk melambaikan tangan pada seseorang yang berdiri memberinya lambaian tangan dengan heboh. ”Berangkat dulu ya, Sayang!” ucap Ivan dengan suara sedikit berteriak karena dia telah berasa di dalam mobil. Setelah menekan klakson sekali untuk memberi tanda kalau dia akan pergi, Ivan kemudian menginjak pelan-pelan pedal gas. Pintu gerbang rumahnya telah dibuka oleh satpam yang bekerja di rumahnya ini. ”Terima kasih, Pak,” ucap Ivan selalu saat dia berpapasan dengan satpamnya. ”Hati-hati di jalan, Pak Ivan!” balas satpam tadi lalu menutup gerbang begitu Ivan sudah menjauh dari lokasi rumahnya berada. Kali ini dia tidak akan ke rumah sakit, ada seminar yang harus dia hadiri sebelum akan berangkat bekerja. Seminar kali ini memabahas soal Fraktur Kraniofasial. Fraktur kraniofasial itu kasus yang dapat terjadi akibat trauma kepala yang parah. Tergantung pada tingkat patah tulang dan cedera lain yang diperoleh dalam peristiwa traumatis, jadi mungkin memerlukan perawatan dari banyak spesialis yang berbeda. Berbagai dokter dengan spesialis ortopedi dari rumah sakit di sekitar Bandung dan Jakarta berkumpul di sini. Seminar ini sudah mirip seperti acara reuni walaupun secara tidak langsung. Tapi memang bisa bertemu lagi dengan teman semasa kuliah atau saat menjadi residen di rumah sakit yang sama. ”Woey... dokter Ivan makin hot aja!” seru seorang laki-laki menyapa Ivan yang baru saja muncul di pintu gedung pertemuan yang berada di sebuah hotel di pusat kota Bandung. ”Berisik, Bay!” timpal Ivan yang menolak dirangkul oleh teman dekatnya waktu kuliah ini mengambil spesialis Ortopedi. ”Kamu juga makin nggak jelas tampangnya,” balas Ivan karena Bayu tidak menyerah untuk merangkul pundaknya. Pria bernama Bayu yang juga merupakan dokter ini langsung menabok bahu Ivan karena kesal. ”Baru ketemu aja udah ngeselin, ya?” tudingnya. Tapi dia lanjut bicara lagi, ”ya gimana nggak karuan... Istri aku lahirin anak kembar. Anak pertama aku masih 2 tahun. Bah mantap repotnya... tapi bahagianya juga nggak kira-kira si,” ujarnya yang tadi kelihatan lelah langsung menjadi segar ketika membahas anak-anaknya. ”Selamat, ya. Sorry juga karena aku masih belum bisa jenguk ke rumah,” kata Ivan belum bisa menyambangi kediaman temannya ini usai memiliki anak lagi. ”Santai lah, gue juga tahu lo lagi sibuk,” kata Bayu memahami. Keduanya kemudian memasuki ruangan pertemuan begitu mendengar instruksi kalau acara akan dimulai. Mereka duduk di kursi yang berbeda karena semua sudah ditentukan oleh panitia. Ivan mendengarkan dengan serius penjelasan materi dari professor dan dokter senior mengenai topik seminar kali ini. Seperti biasa, acara seperti ini akan menjadi ajang untuk diskusi bersama mengenai hal yang harus diketahui dokter dan menambah wawasannya. Ivan juga aktif menanyakan bertanya dan membahas sesuatu dengan rekan grupnya yang merupakan dokter dari rumah sakit lain. Hingga kemudian seminar selesai di jam makan siang. Dia yang sudah ada janji untuk menemui pasien 1 jam lagi pun harus segera pergi dari tempat ini. Mobilnya kini dia kendarai menuju rumah sakit tempat dia bekerja selama 2 tahun lebih.   ///   Begitu sampai, dia sudah melihat deretan pasien yang harus dia temui. Kebanyakan adalah mereka yang melakukan check up setelah menjalani perawatan yang dia lakukan sebelumnya. Satu-satu pasien masuk dan dia sambut dengan senyum di wajahnya. Wajah yang kerap kali membuat hati pasien berjenis kelamin perempuan berdebar dan berharap bisa mendekati dokter ini, tapi begitu melihat tangan kanan Ivan sudah tersemat sebuah cincin, mereka pun harus mundur. ”Selamat siang. Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya Ivan pada seorang siswa SMA yang baru saja mengalami patah tulang di tangan kanan setelah kecelakaan motor. ”Siang, Dok. Sekarang udah terbiasa si pakai gips. Walau masih suka gatel,” jawab pasien Ivan. ”Wajar itu. Tapi syukur akhirnya udah bisa dilepas penyangganya. Jadi bisa gerak lebih bebas,” ujar Ivan seraya memperhatikan hasil rontgen milik pasiennya ini. ”Kabar baik lainnya, pemulihan kamu termasuk cepat. Tulangnya mulai menyatu,” lanjutnya. ”Makasi, Dok. Aku pasti bakal ikutin semua apa yang dokter bilang biar cepet sembuh,” kata pasien Ivan dengan tersenyum lebar. Ivan terkekeh geli tapi merasa bersyukur juga kalau pasiennya mengalami pemulihan yang cepat. ”Kalau saya bilang jangan ikut balapan liar lagi, bakal kamu turuti?” tanya Ivan iseng. Karena memang pasiennya ini kecelakaan setelah ikut balapan liar. ”Tanpa dokter minta juga aku udah berhenti, Dok. Nggak akan lagi ikut, kapok!” Mendengar penyesalan pasiennya membuat Ivan tertawa. Pasalnnya ketika pertama kali bertemu pasiennya ini, Ivan melihat kalau orang tuanya sangat sedih karena ternyata anaknya ikut balapan liar. Tapi ternyata karena kecelakaan ini menyadarkan pasiennya untuk tidak melanjutkan hal yang tidak baik itu. Setelah menghabiskan semua antrian pasien yang harus dia temui di sesi praktik, Ivan beristirahat di kantin untuk makan siang yang terlambat. Beberapa dokter lain juga sama sepertinya, baru sempat menikmati makanan begitu jam menunjukkan waktu hampir pukul 4 sore. 15 menit cukup bagi Ivan untuk menikmati makan siangnya dan juga membeli kopi americano untuk mengusir kantuknya. Dari kantung snelli yang Ivan kenakan, dia mengambil ponselnnya yang sudah diganti dengan yang baru. Dia langsung bernapas lega begitu mendengar semua data yang ada di dalam ponselnya bisa dipindahkan dan tidak ada masalah sama sekali kecuali kerusakan layar ponselnya yang mengharuskan dia membeli yang baru. Tidak masalah baginya, karena apa yang ada di dalam ponsel lebih penting. Namun masalah lainnya, dia yang sangat gagap teknologi ini cukup kesusahan beradaptasi dengan ponsel barunya. Karena jarang memakai ponsel, dia tidak pernah update sama sekali cara memanfaatkan ponsel pintar tipe baru dari sebuah merk terkenal di dunia ini. Alhasil dia cuma bisa menggunakan w******p, telepon, SMS dan browser. Selain itu dia masih tidak tahu bagaimana cara menggunakannya ponsel ini. ”Halo? Sudah makan siang, Sayang?” tanya Ivan begitu dia berhasil menghubungi seseorang yang pagi tadi mengantarkannya sampai pintu rumah seperti biasanya. ”Sudah dong. Sudah makan siang tapi harus ketemu pasien lagi. Jadi nggak bisa banyak bicara sama kamu,” kata Ivan menjawab pertanyaan dari seberang sana. Dia masuk ke ruang kerjanya dan beberapa saat kemudian pintu ruang kerjanya itu diketuk. Seorang perawat masuk dan memberikan kode kalau saatnya untuk visit pasien dilakukan oleh Ivan. Segera saja Ivan berpamitan pada seorang yang sedang mengobrol dengannya lewat sambungan telepon. Ivan keluar dari ruang kerjanya dengan membawa rekam medis pasiennya ikut serta. Perawat yang tadi membawakannya sudah kembali ke posisi di ruang jaga. Kini yang muncul adalah Teguh, residen yang lebih sering dia temui ketimbang keluarganya sendiri. Di perjalanan menuju ruang inap, Ivan beberapa kali menanyakan hal untuk mengetes pengetahuan Teguh akan pasien yang mereka tangani. Hal yang selalu membuat residen di bawah asuhan Ivan merasa ketar-ketir karena kebiasaan Ivan yang selalu tiba-tiba menanyakan hal seperti ini. Bahkan ketika mereka berada di lift yang sama. Tapi selain kebiasaan itu, Ivan adalah dokter yang ramah dan sangat mudah ditemui jika mereka membutuhkan bantuan terkait tugas kuliah. Jadi meski tidak suka kalau ada tanya-jawab dadakan, mereka harus bersabar demi bisa memiliki pembimbing yang sangat membantu kelancaran mereka melakukan residen di rumah sakit ini. ”Halo, dokter Ivan,” sapa seorang wanita yang sama-sama menggunakan snelli seperti Ivan yang membalut dress selutut berwarna putih bermotif daun dan bunga warna kuning. ”Halo juga, Dok.” Ivan tersenyum dan balas menyapa Dokter bernama Kanti. ”Kenapa ada di ortopedi?” tanya Ivan karena dokter wanita ini adalah seorang dokter kandungan. ”Abis cek pasien Dokter Salma yang patah tulang tapi dalam keadaan hamil. Jadi dia Pasien aku juga sekarang,” jelas Kanti dengan matanya yang tidak bisa lepas oleh pesona wajah Ivan. Hal yang membuat semua petugas medis di rumah sakit ini tahu akan perasaan dokter perempuan ini. Teguh yang tadi berada di dekat Ivan pun akhirnya mundur dua langkah untuk memberikan kesempatan pada Kanti berbicara pada pembimbingnya ini. ”Ah ternyata begitu, tapi nggak ada masalah sama kandungannya, kan?” tanya Ivan menanggapi. Kanti menganggukkan kepalanya. ”Untungnya engga, pasien jatuh dengan tangannya nyoba nyangga tubuhnya supaya perutnya nggak sampai membentur ke lantai. Jadi nggak ada masalah lain setelah di USG tadi,” jelasnya kemudian. ”Syukurlah,” ucap Ivan singkat. Dia kini memberi kode menunjukkan rekam medis di tangannya pada Kanti. ”Kalau gitu saya pamit dulu karena harus visit,” ucapnya. Kanti yang mengerti kalau Ivan tidak mau diajak bicara lagi pun berhenti. Dia menganggukkan kepalanya dan melambaikan tangan pada pria berusia 34 tahun itu. ”Hah... susah banget mau ajak ngobrol doang,” gumamnya lalu berbalik pergi meninggalkan area pusat Ortopedi.   ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD