Abila Gutomo pernah hidup dalam sebuah dunia kecil yang begitu hangat. Dunia di mana ayah dan ibunya saling mencintai tanpa cela, di mana setiap pagi dimulai dengan tawa dan setiap malam ditutup dengan ciuman lembut di keningnya.
Bagi Abila kecil, Ayah adalah pahlawan.
Dan Ibu adalah rumah.
Fadlan Gutomo—pria tampan, penuh karisma, CEO dari perusahaan raksasa yang selalu dikagumi orang—tetap pulang sebagai ayah yang sama: hangat, sabar, suka menggendong putrinya tinggi-tinggi hingga Abila terbahak.
“Ayaaah!” pekik Abila kecil sambil mengepak-ngepakkan kaki ketika tubuh mungilnya melayang di udara.
Fadlan memutarnya, menaruhnya di bahu, membuat bocah itu merasa dunia selalu aman selama ia berada dalam genggaman ayahnya.
Di ruang keluarga, Amira—sang istri, perempuan lembut dengan senyum yang menenteramkan—menatap keduanya dengan mata berbinar. Hidup mereka terasa sempurna. Sebuah keluarga kecil penuh cinta.
Namun kehidupan yang terlihat sempurna biasanya menyimpan retakan kecil. Retakan yang awalnya tak terdengar… hingga akhirnya menganga.
---
Semua bermula dari kesibukan.
Fadlan menjadi semakin sibuk. Terlalu sibuk.
Meeting hingga tengah malam.
Perjalanan dinas mendadak.
Telepon yang tak pernah berhenti berdering bahkan saat makan malam.
Amira tidak pernah bertanya.
Sekalipun rasa cemburu mengetuk, ia menahannya erat-erat. Ia percaya pada suaminya. Percaya bahwa seorang CEO memiliki tanggung jawab besar yang tak bisa ditawar.
Hingga suatu sore, saat membantu menyiapkan setrika untuk merapikan kemeja Fadlan, Amira menemukan sesuatu.
Noda lipstik.
Merah menyala.
Tepat di kerah.
Tangannya gemetar.
Namun ia memaksa dirinya tersenyum.
“Mungkin… mungkin cuma tertempel dari klien perempuan,” pikirnya.
Ia memilih percaya—atau pura-pura percaya—karena itu satu-satunya cara agar hatinya tidak runtuh.
---
Malam itu hujan turun tanpa ampun.
Petir menyambar, menyalakan langit gelap seperti kilatan kamera raksasa yang mengabadikan duka.
Angin membuat jendela bergetar.
Rumah terasa lebih dingin daripada biasanya.
Amira mematikan pendingin ruangan. Ia masuk ke kamar kecil Abila yang sedang memeluk boneka kelincinya erat-erat. Anak itu menyembunyikan wajah di d**a ibunya, tubuhnya bergetar karena suara petir.
“Ibu… Ayah belum pulang?” tanya Abila dengan suara cempreng khas anak lima tahun.
Amira membelai rambut lembut putrinya.
“Kita doakan Ayah baik-baik saja, sayang,” bisiknya lembut.
Hanya itu yang bisa ia katakan, sebab ia pun mulai kehilangan pegangan.
Tak lama kemudian Abila tertidur dalam dekapan ibunya.
Amira tetap duduk di pinggir tempat tidur, menatap wajah polos itu sambil menahan air mata yang entah kenapa terus menggenang.
Entah jam berapa, Abila terbangun.
Pelukan ibunya sudah tak ada.
Ia mengucek mata, turun dari tempat tidur, dan dengan langkah kecil menyusuri koridor yang hanya diterangi lampu temaram.
Kemudian ia melihatnya.
Ibunya…
duduk di lantai ruang tengah, menangis tersedu-sedu sambil menutup wajah.
Dan ayahnya—pahlawan kecilnya—berdiri tidak jauh dari situ, memeluk seorang perempuan muda.
Perempuan asing berwajah cantik.
Dan di samping perempuan itu berdiri seorang anak laki-laki sebaya kakak kelas TK.
Abila berdiri terpaku.
Fadlan menoleh, menatap istrinya, lalu berkata dengan suara berat,
“Dia Delia. Cinta pertamaku. Aku… hanya menolongnya. Tolong mengerti.”
Kata-kata itu, diucapkan begitu datar.
Seolah bukan ucapan seorang suami yang sedang melukai istrinya.
Seolah pernikahan mereka hanyalah catatan administratif yang bisa dihapus kapan saja.
Petir kembali menggelegar.
Suara itu seperti isyarat bahwa sesuatu di dalam rumah itu retak.
Dan malam itu, Delia resmi tinggal di sana.
Bersama putranya.
Tanpa Amira sempat berkata apa-apa, selain menahan air mata yang jatuh semakin deras.
---
Sejak saat itu, kehangatan rumah itu perlahan menghilang.
Tawa tidak lagi terdengar.
Ayah jarang pulang ke kamar.
Ibu semakin sering menangis diam-diam.
Dan Abila kecil?
Ia hanya bisa berdiri di tengah pusaran perubahan itu…
bingung… takut… dan perlahan kehilangan dunia yang dulu begitu ia cintai.
-------
Pagi itu, rumah keluarga Gutomo terasa lain.
Sunyi, sepi, seperti ada sesuatu yang mengendap di udara.
Fadlan duduk di meja makan dengan wajah lelah namun tenang, seolah malam penuh petir kemarin tidak pernah terjadi. Abila yang baru bangun datang dengan langkah riang, rambut acaknya masih menempel di dahi.
“Ayah, selamat pagi!” serunya ceria.
Namun langkah kecil itu berhenti saat ia melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di pangkuan ayahnya duduk seorang anak laki-laki.
Anak asing.
Dan Fadlan menyuapinya dengan penuh kasih sayang—dengan cara yang biasanya hanya ia dapatkan.
Abila mematung.
“Ayah…” panggilnya pelan sekali. Suaranya bergetar.
Fadlan mendongak, lalu tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.
“Eh, sayang. Ayo sini duduk!” katanya sambil menggeser kursi kosong.
Abila tidak bergerak.
Dadanya terasa aneh—sakit, meski ia belum mengerti apa namanya.
Yang ia tahu hanya satu: biasanya dialah yang berada di pangkuan ayahnya.
Namun Fadlan tak menyadari itu. Ia sibuk tertawa kecil pada anak laki-laki itu, menepuk bahunya dengan penuh kebanggaan.
Abila menoleh, mencari sosok yang paling ia butuhkan pagi itu.
Tapi… ibunya tidak ada.
“Ayah… Ibu mana?” pertanyaannya memecahkan keheningan seperti kaca yang jatuh.
Delia yang berdiri di dekat meja mematung, pipinya menegang.
Fadlan terdiam, menutup semua gelisah di wajahnya dengan senyum tipis.
“Mungkin ibumu masih tidur.”
Delia mencoba mencairkan suasana.
“Ayo sini, sama Tante ya. Biar Tante suapin….”
Fadlan melirik Delia, lalu tampak baru menyadari kalau Abila belum mengerti apa pun.
Perlahan ia menurunkan anak laki-laki itu dari pangkuannya.
“Sini sayang,” katanya pada Abila dengan nada lembut.
“Biarkan Ibu istirahat dulu, ya?”
Abila akhirnya melangkah, meski hatinya tak tahu harus ke mana.
Fadlan menggendongnya ke kursi khususnya. Ia duduk patuh, tapi dunia terasa berubah.
“Biasanya Ayah pangku….” protesnya lirih.
Kalimat polos itu membuat ruangan membeku.
Fadlan tak bereaksi.
Delia cepat-cepat mengambil alih suasana.
“Ayah kamu lagi capek, ya? Pasti kamu mengerti,” katanya sambil tersenyum manis.
Fadlan tidak membantah.
Dan itu membuat d**a Abila terasa sesak tanpa ia mengerti alasannya.
Ia menatap pancake di piringnya—pancake yang bukan buatan ibunya.
Ketika Delia bertanya, “Enak?”
Abila hanya menatap gigitannya, lalu memandang ayahnya.
“Bilang terima kasih sama Tante,” suruh Fadlan pelan namun tegas.
“Terima kasih….” ucap Abila padahal rasanya hambar.
Sampai Fadlan berangkat kerja, ibunya tidak muncul sama sekali.
Delia mengantarnya pergi dengan senyum kecut yang disembunyikan rapi, sementara Abila berdiri di sisi meja, memeluk bonekanya, tidak mengerti apa pun.
---
Di luar rumah, Fadlan sempat mendongak ke jendela kamar istrinya.
Jendela yang semalam tertutup rapat.
Ia menghela napas panjang, yakin bahwa waktu akan membuat semuanya baik-baik saja.
“Ia hanya butuh mengerti,” katanya dalam hati.
---
Di balik tirai jendela itu, Amira berdiri sambil memegangi dadanya.
Matanya sembap, wajahnya pucat, tubuhnya seakan kehilangan tulang.
Ia mendengar suara mobil suaminya menjauh.
Hatinya ikut retak untuk kesekian kalinya.
“Dia memang cinta pertamaku, tapi itu masa lalu,” kata Fadlan semalam.
Amira masih merasakannya menusuk seperti duri.
“Tapi kenapa kau membawanya ke sini, Mas?” suaranya bergetar ketika itu.
Fadlan menatapnya seolah ia adalah pihak yang berlebihan.
“Aku tak tahu harus membawanya ke mana! Suaminya meninggal. Adlan sudah yatim. Aku hanya menolong—tidak lebih!”
Untuk pertama kalinya sejak menikah, Fadlan meninggikan suara.
Amira terhuyung, nyaris pingsan, kalau saja tidak ingat putrinya… Abila.
---
“Ibu!”
Suara kecil itu menghentikan semua sesak di dadanya.
Amira buru-buru menghapus air matanya, merapikan wajah yang rapuh, dan membuka pintu.
Di sana berdiri Abila kecil, dengan rambut kusut dan mata teduh yang penuh tanya.
“Hai sayang… selamat pagi.”
Amira memeluknya erat—lebih erat dari biasanya.
Seolah ia takut jika sedikit saja ia melepas, ia akan kehilangan segalanya.