BAB 1 – Malam Ketika Hidupku Pecah

466 Words
Aku masih mengingat malam itu dengan jelas, sejelas dinginnya lantai marmer yang menyentuh telapak kakiku. Usia lima tahun seharusnya diisi dengan boneka, lagu nina bobo, dan pelukan ibu sebelum tidur. Tapi malam itu… aku berdiri sendirian di koridor lantai dua, memeluk kelinciku yang robek di bagian telinganya, sementara seluruh rumah seperti berubah menjadi tempat asing yang menakutkan. Suara pecahan kaca dari lantai atas membuat tubuh kecilku tersentak. Aku tidak menangis. Tidak langsung. Aku hanya menunggu. Menunggu seseorang mengatakan semuanya baik-baik saja. Menunggu ibu memelukku seperti biasa. Tapi yang turun dari tangga bukan ibu. Melainkan perempuan asing. Cantik. Bergaun anggun. Wangi parfum yang menyengat hidungku. Ia menatapku seolah aku bukan bagian dari rumah ini. Dan di belakangnya, seorang anak laki-laki berdiri—lebih besar dariku, dengan tatapan serupa, tatapan yang mengatakan rumah ini bukan lagi milikmu. Aku menelan ludah. Aku tidak mengerti. Mengapa wanita itu masuk ke rumahku? Mengapa ia berdiri begitu dekat dengan ayah? Dan kemudian ibu berteriak di atas. Teriakan yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku mendongak ke arah lantai tiga. Aku melihat ayah di sana. Memeluk perempuan itu. Tangannya yang selama ini menggendongku… kini memeluk orang lain. Tangannya yang sering menuntunku belajar menulis… kini menggenggam pinggang perempuan asing itu dengan lembut. “Ibu…” bisikku dengan suara yang bahkan tak kudengar sendiri. Ibu berdiri beberapa langkah dari ayah. Tatapannya pecah, tubuhnya bergetar. Rambutnya berantakan, masih mengenakan daster yang ia pakai sejak sore. Matanya menatapku sekilas, lalu kembali pada ayah. “Apa salahku, Fadli?” suaranya pecah. “Apa dosaku pada kalian?” Ayah tidak menjawab. Ia hanya merapatkan pelukannya pada wanita itu. Membuat tubuh kecilku semakin membeku. Detik berikutnya, semuanya terjadi begitu cepat namun terasa sangat panjang. Malam itu, kembali terulang. Ibu melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga punggungnya menyentuh pembatas lantai tiga. “Ibu!” Aku ingin berteriak. Tapi suaraku tercekat. Ibu menatapku dari atas terakhir kalinya. Tatapan yang tidak akan pernah bisa kulupakan—campuran cinta, putus asa, dan permintaan maaf. Lalu ia menjatuhkan dirinya. Tubuhnya menghantam dinding sebelum jatuh keras di lantai bawah dengan suara yang membuat dunia kecilku retak untuk selamanya. Kelinciku jatuh dari pelukanku. Tapi aku tidak bergerak. Tidak menjerit. Tidak menangis. Aku hanya menatap ke atas. Di sana ayah masih berdiri. Di sana ia masih memeluk perempuan itu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku— aku tahu, ayah yang kucintai telah mati malam itu. Pagi berkabut, wajah itu begitu damai dan memejamkan matanya. Aku tak mampu mengatakan apapun selain membangunkannya. "Ibu ... bangun ibu!" Namun tubuh itu tak bergeming. Wajahnya tetap tenang walau matanya sembab. Aku menatap ayah yang hanya duduk dengan bahu berguncang. Mataku menatap wanita asing itu bersama putranya. Berdiri di sana, mereka berdua berpelukan erat. Di pemakaman semua begitu cepat, nenek datang dan membawaku serta ke desa. Aku tak tau lagi bagaimana keadaan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD