bc

Jangan Jauhi Aku!

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
student
drama
tragedy
no-couple
serious
brilliant
genius
ambitious
realistic earth
school
like
intro-logo
Blurb

Bayu adalah siswa SMP yang diklaim berpenyakit aneh. Bahkan teman-teman sekelasnya terkadang mengejeknya mirip alien sehingga tak satu pun dari mereka yang mau menjadi temannya. Bayu dikucilkan dan diperlakukan tidak adil. Karena kasihan akhirnya Bhakti, sang peringkat satu kelas, memutuskan untuk mendekati Bayu dan menawarkan diri menjadi temannya.

 

Pertemanan mereka mendapat respons negatif dari seisi kelas, terutama sang hulu balangnya, Andre dan Tika. Di bawah instruksi mereka, Bayu dan Bhakti mendapat perlakuan tak senonoh, bahkan sempat hampir memertaruhkan nyawa.

 

Mampukah Bhakti bertahan menjadi teman bagi Bayu atau malah menyerah dan berbalik mendukung Andre? Di sisi lain, bisakah Bayu bertahan melawan ganasnya penyakit aneh yang bersarang di tubuhnya itu?

chap-preview
Free preview
BAB 1 : TEMAN
Aku melihatnya dengan sejuta perasaan iba meski kelihatannya tak ada yang aneh dari segi penampilan atau postur tubuhnya. Hanya saja, ketika aku menangkap sorot matanya entah dari kejauhan atau berdekatan tersirat sebuah rasa pedih yang mungkin menyayat hatinya. Aku pikir perasaan yang tengah kualami tatkala menatap matanya pasti juga akan dirasakan oleh teman-teman satu kelasku. Tapi ternyata persepsiku itu sangat konyol dan tidak terbukti. Selama beberapa bulan satu kelas dengan mereka tak pernah satu pun anak yang kulihat mendekatinya apalagi bersedia untuk duduk satu bangku. Perlahan-lahan aku mafhum bahwa apa yang selama ini aku rasakan dari sorot matanyahanya dianggap sesuatu yang sama sekali tidak berarti di mata mereka. Dia duduk terpojok di ujung kelasku tanpa seorangpun yang mau menemaninya. Aku tahu dia juga seorang penderita rabun jauh yang relatif muda. Jika ada sebuah catatan di papan tulis tak pernah aku melihatnya mencatat. Dia selalu menundukkan kepala dalam waktu yang cukup lama dan berpura-pura menulis. Aku menduga dia hanya mencoreti bagian belakang buku tulisnya. Dan aku juga menduga tampaknya dia ingin sekali bertanya perihal apa sebenarnya yang tertulis di blackboard depan sana. Tapi dia menelan semua itu ketika memandang seisi kelas dan sadar karena tidak ada dari mereka yang bersedia untuk memberitahunya. Aku terus mengamati sekujur kelas dan berharap ada satu orang saja yang berkenan duduk bersamanya atau paling tidak menegur dan sedikit membantunya. Tampaknya harapanku itu agak riskan karena mereka kelihatan seperti mengucilkannya. Tak jarang ketika aku berpapasan dengannya di kelas matanya berkaca-kaca seakan kesedihan ini tak mampu lagi untuk dibendungnya. Dan saat itu pula aku menangkap rasa sedih yang mengharu-biru atau mungkin juga seperti hati yang terluka karena memendam sebuah penderitaan yang sama sekali tak mampu ia ledakkan menjadi serpihan-serpihan senyum. Dari segi fisik, ia tampak sangat sempurna seperti siswa-siswa SMP pada umumnya. Kendati demikian seisi kelas pun tahu kalau sebenarnya dia menderita sebuah penyakit yang membuatnya sampai sekarang ini dijauhi. Aku pernah mendengar sedikit kasak-kusuk sesama mereka di kelas. "Eh, jangan ada di antara kita yang mendekati Bayu yah, takut kalau-kalau nanti kita tertular penyakit ayan-nya itu!!" Dan hari ini untuk kesekian kalinya, penyakit ayan yang diderita Bayu itu kumat lagi. Ia menggelepar-gelepar menggeser meja-meja dan bangku-bangku kayu di hadapannya, hingga terjatuh ke lantai kelas. Tak ada satupun dari mereka yang berani mendekatinya. Bahkan aku melihatnya dengan sangat jelas, pada deretan depan tengah tertawa terpingkal-pingkal seperti menyaksikan pertunjukan topeng monyet. Namun untung saja, kambuh penyakitnya itu tidak berlangsung lama. Di tengah gelak tawa bagian depan, aku trenyuh dan rasanya baru kali ini aku mengalami rasa iba yang begitu menggiriskan. Bayu kemudian bangkit dan sedikit terselubung perasaan malu daripadanya akibat penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut dengan Epilepsi itu. Dia menyapu pandangan ke sekeliling lalu mengernyit mendapati meja-meja dan bangku-bangku tengah berantakan. Sebelum dia melangkah menuju tempat duduknya, beberapa orang siswa yang tampak cemberut menyambanginya. "Eh, anak penyakitan, kalau tidak kamu rapikan meja-meja dan bangku-bangku tempat dudukku ini, awas ya kamu!!" "Ayo cepat!!" Dengan wajahnya yang polos seperti baru saja tersadar akan sesuatu, Bayu merapikan meja-meja dan bangku-bangku itu. Tak ada satupun dari mereka yang mengerti apa yang sedang dia rasakan. Saat itupun, aku masih bersifat egois. Aku sebenarnya sangat ingin membantunya membereskan pekerjaan itu. Namun aku juga mengalami semacam ketakutan mendapat perlakuan yang sama, jika aku membantu apalagi menjadi teman baginya. "Ayo cepat b******k !!" Bentak Didi Sugiarto, salah satu siswa yang merupakan teman akrab ketua kelas yang notabene duduk tepat dihadapan Bayu. "Aku tidak akan memaafkanmu, jika semuanya belum rapi ketika guru jam pelajaran ini datang." Hatiku merasa lega karena pekerjaan itu sudah selesai sebelum guru yang di maksud datang ke kelas. Bayu kembali duduk dan bergeming karena sadar betul tak ada yang dapat dia lakukan setelah ini, bahkan entah sampai kapanpun juga. Aku tahu dia sangat tertekan mendapat perlakuan seperti ini, namun dia hanya bisa pasrah. Sementara itu, teman-temannya yang sejak tadi bersikap v****r, kini semakin membencinya dan berencana untuk pindah tempat duduk karena mungkin sudah bosan melihat Bayu kumat melulu. Dia mampu bersikap demikian jahat karena dia tidak menderita penyakit seperti itu. Dan aku sangat yakin, tidak ada satupun orang di dunia ini yang menginginkan penyakit tersebut hinggap di tubuhnya, termasuk Bayu sendiri. Jika mungkin bisa dilahirkan kembali, Bayu pasti akan meminta sehat wal afiat seperti siswa-siswa pada umumnya. **** Beberapa hari kemudian, aku benar-benar tersentak melihat tiga baris di deretan depan tempat duduk Bayu kosong melompong. Tidak mungkin mereka bolos sekolah karena aku tahu betul, meski mereka cukup arogan tapi dalam hal turun sekolah mereka dapat dikatakan sangat rajin. Aku pernah melihat buku absen kelas dan terengah ketika mendapati nama-nama mereka satupun tak terhias oleh kata "Alpa" bahkan kata "Sakit" beberapa bulan ini. Belakangan setelah mengamati sekujur kelas dengan saksama, baru aku mengetahui penyebabnya. Mereka yang berjumlah sekitar enam orang itu, ternyata sengaja pindah tempat duduk dan rela berdesak-desakan dengan yang lain asal tidak menjadi korban atau imbas dari penyakit Bayu. Bahkan, salah satu dari temanku mengatakan bahwa semua itu dilakukan atas izin wali kelas. Aku benar-benar tidak menyangka mereka akan melakukan sesuatu yang sungguh membuat Bayu semakin terkucilkan. Ketika Bayu hendak mengisi tempat-tempat kosong itu, sejumlah siswa deretan depan barisan bangkunya melarang dan menyuruhnya agar kembali saja ke bagian belakang lagi. "Kalau kamu berani mengisi tempat-tempat kosong di belakangku ini, akan aku adukan ke wali kelas !!!" begitulah cara mereka mengintimidasi Bayu. Aku semakin mendesiskan perasaan iba. Apakah benar-benar tidak ada yang ingin berteman dengannya?? Yang jelas semua ini sudah terbukti. Bahkan wali kelas kami saja mengizinkan perlakuan buruk itu. Ini sungguh tidak adil. Bagiku, setiap siswa yang ada di sekolah ini berhak mendapatkan perlakuan yang layak. Tapi kelakuan mereka yang semakin hari semakin membuncah saja itu, entah kenapa menjadi kobaran semangat untukku, menjadi dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat Bayu sedikit tersenyum. Sekonyong-konyong aku sadar bahwa sikap egoisku selama beberapa bulan ini adalah salah besar. Seharusnya aku tidak bersikap demikian jika ingin membuatnya tersenyum. Dan sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan. Bayu tidak pantas diperlakukan semenyimpang ini. Dia juga seorang manusia yang berhak berteman dan mempunyai teman kapan pun waktunya. Dan aku pun tahu dia pasti berharap demikian, berharap ada sesuatu yang merubah penderitaannya, meski hanya sedikit, meski hanya setitik saja. "Aku akan mendekatinya!!" Aku terus menggumamkan perkataan itu di dalam hati agar semangat dan kepercayaan itu lebih membara lagi dan membentuk sebuah gunung berapi yang siap meletus kapan saja. Hatiku bergemuruh karena baru pertama kali ini aku melihat seorang anak yang begitu dikucilkan padahal tidak seyogyanya. Aku merasa tidak ada lagi yang dapat mengubah kesendiriannya kecuali dengan tindakan ini, mengingat perlakuan mereka selama beberapa bulan terakhir. Untuk itu, aku tidak akan lagi menuruti ego yang mungkin selama ini telah menjadi manifestasi nafsu jahatku. Aku juga terus berusaha mengacuhkan segala hal-hal buruk yang pernah mereka katakan tentang Bayu. Aku tidak takut tertular penyakitnya karena aku menganggap semua ini adalah niat yang baik. Aku tidak akan takut dimusuhi oleh teman sekelas daripada harus setiap hari melihat temen-teman sekelasku memusuhinya. Aku akan menjadi teman baginya!! Itulah kebulatan tekad yang akan kutempuh. **** Aku sedikit gugup ketika mendekati Bayu. Belum sampai aku ke tempat duduknya, dia sudah menunjukkan sebuah sikap yang membuatku semakin trenyuh. Dia tetap menundukkan kepala. Saat aku hampir tiba dihadapannya, dia pun mendongak lalu menatapku kosong. Mungkin dia berpikir aku tidak bermaksud untuk manghampirinya karena beberapa detik kemudian ia menundukkan kepala lagi. Aku tidak ambil hati dengan sikapnya itu, sebab aku tahu persis, diperlakukan sangat buruk dan dikucilkan selama tempo beberapa bulan adalah hal yang tidak mudah, sehingga pada akhirnya timbullah suatu sikap menjengkelkan itu. Saat aku sampai dihadapannya pun, dia masih larut dalam tunduknya. Entahlah apa yang sedang ia perhatikan pada meja yang penuh coretan itu. Hingga tadi dan sampai sekarang, aku tahu banyak dari teman-temanku yang memandangku aneh. Mungkin mereka tak habis pikir mengapa aku bersedia mendekati siswa penderita penyakit ayan ini. Bahkan aku sempat melihat sebagian siswi yang memiringkan bibirnya tanda bahwa dia sedang jijik. Tapi aku tetap tak peduli pada mereka, aku tetap berpegang teguh pada pendirian awal dan terus melakoni semua ini. Tindak-tanduk Bayu ini juga menimbulkan berbagai spekulasi dibenakku. Jangan-jangan, Bayu sendiri tidak percaya ada seorang siswa yang mau mendekatinya. Bayu melirikku sejenak lalu kembali menekuri meja. Ketika aku duduk di bangkunya, dia malah merapat ke dinding. Spekulasiku tadi tampaknya cukup beralasan. Semakin lama Bayu semakin menampakkan kesan yang aneh. Ia seperti tidak ingin ada seorang pun yang mendekatinya. Apakah dia trauma?? Aku berusaha untuk menyapanya. "Engg ... Bayu, apakah aku boleh duduk di sini??" Dia mengangkat wajahnya dengan sedikit rasa tak percaya. Dia menoleh dan menatapku tajam. Kupikir dia terperanjat karena bahagia ada seseorang yang mau menjadi temannya. Tapi ternyata aku keliru. Bayu berkata, "Untuk apa kamu duduk di sini??" Sekarang akulah yang terkejut mendengar ucapan yang nadanya sedikit membentak itu. Dia tetap menatapku tajam diiringi dengan tatapan-tatapan tajam lainnya dari arah belakang, depan, samping, atau pojok. Saat Bayu menegakkan posisi duduknya, dia kembali bergumam dan lagi-lagi membuatku terkejut. "Kamu adalah siswa yang cerdas. Untuk apa kamu mendekati siswa yang bodoh dan terjangkit penyakit aneh ini, Hah...??" Aku tidak menyangka dia akan berkata seperti itu kepadaku. Semangatku yang sejak kemarin menggelinjang-gelinjang, kini seakan menjadi kuyu. Apakah Bayu tidak ingin mempunyai teman?? Aku masih tidak mengerti dengan hal ini. "Sebaiknya kamu pergi," Bayu kembali berkata. "Sebaiknya kamu kembali ke tempat dudukmu !!" Aku kembali melakukan dugaan. Mungkin juga selama beberapa bulan terakhir ini ada sebagian siswa yang mendekatinya dan bukan tidak ada yang mau. Apakah karena sikapnya yang seperti ini yang membuat mereka sangsi untuk berteman atau menegurnya?? Mungkin saja selama ini aku salah mengira-ngira. Semuanya bisa saja terjadi dan tidak ada yang mustahil. Aku curiga, ada beberapa siswa yang pernah berkenalan dan mendekatinya saat aku tidak turun sekolah karena sakit atau izin. Kemudian dengan sikapnya yang kurang bersahabat ini mereka jadi mengurungkan niat baik dan berbalik mencercanya. "Sebaiknya kamu pergi saja!!" Bayu kembali menegaskan. "Apa maksudmu??" tanyaku pelan. Bayu sekonyong-konyong menundukkan kepala lalu memiringkannya kemudian bersandar ke dinding. Dan saat itu pula aku menangkap sebuah perasaan berat karena tertekan akan suatu hal. Aku pun turut bergeming menunggu kata-kata pedas apa lagi yang akan terlontar dari bibirnya untuk menanggapi pertanyaanku barusan. Namun, bukannya berkata atau menjawabku, dia malah melepaskan sandaran kepalanya dari dinding, lalu menekuri meja seperti tadi. Aku semakin bingung. "Apa maksudmu, Yu??" Dia diam seribu bahasa, bungkam sebungkam-bungkamnya. Aku tentu saja semakin bingung dan sempat berpikir untuk kembali lagi ke tempat dudukku. Akan tetapi, aku tidak ingin menyerah semudah itu. Semangat konstruktif yang telah kubangun, harus tetap kulanjutkan. Untuk itu, aku terus menunggu jawaban dari Bayu meski jawaban itu nantinya kembali membuatku menciut. Bayu akhirnya mendongak dan menoleh kepadaku, tapi bukan untuk memberikan jawaban . "Sebaiknya kamu pergi," katanya dengan bibir bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Akhirnya aku paham bahwa memang tidak pernah ada yang berkenan berteman dengannya dari sorot matanya yang berkaca-kaca itu. Tampaknya dari lubuk hati yang paling dalam Bayu sangat menginginkan seorang teman. Hanya saja, perlakuan buruk yang selalu diterimanya di kelas membuat sikapnya seperti ini. "Aku tidak akan pergi!" kataku. "Aku akan tetap berada di sini." Bayu terperanjat dan menatapku dalam. "Untuk apa kamu tetap berada di sini??" Aku mengatupkan bibir. "Sedangkan kamu tahu bahwa aku tidak pantas untuk menjadi teman atau ditemani olehmu!" lanjut Bayu dengan mata yang semakin berkaca-kaca. "Siapa yang mengatakan tidak pantas??" sahutku. "Selama ini aku selalu dijauhi karena penyakit ayanku!!" Bayu menjawabnya dengan tegas sekali hingga tanpa terasa airmata pun mengalir ke permukaan pipinya. "Dengarkan aku, Yu..." "Aku tidak peduli dengan penyakitmu dan aku juga tidak peduli bila harus terjangkit. Aku tidak akan pergi dari sini karena aku ingin menjadi temanmu!!" **** Setelah beberapa kali aku meyakinkannya dengan sepenuh hati, akhirnya Bayu percaya dan perlahan-lahan mau menerimaku sebagai temannya. Mungkin dia sangat bingung mengapa aku begitu bersikeras melakukan semua ini, padahal jika ditilik beberapa bulan ke belakang mustahil Bayu menemukan siswa sepertiku. Aku mulai mengajaknya berbincang-bincang meskipun terkesan kaku dan menegangkan. Aku maklum karena ini baru pertama kalinya kami berkenalan. Yang jelas, aku sekarang merasa cukup senang karena puncak gunung egoku telah berhasil aku taklukkan dengan prinsip egalitarian. Aku menatap mata Bayu sejenak dan sekonyong-konyong menangkap sebuah ekspresi yang nyaris tak pernah kulihat. Airmukanya menunjukkan beberapa kesan gembira dan tampak rasa tertekan yang sejak dulu memenuhi kontur wajahnya kini telah bergradasi. Akan tetapi, dia tetap berusaha menyembunyikan semua itu, mungkin karena malu atau memang sengaja. Aku sadar, tidak mudah memang mendapat seorang teman setelah berbulan-bulan tak ada yang ingin berteman dengannya. Memerlukan adaptasi yang cukup untuk menyeimbangkan segala tingkah laku Bayu, meski tak dapat dihindari beberapa macam bentuk kegembiraan sedang berkecamuk dalam perasaannya maupun perasaanku. Aku tetap yakin bahwa suatu saat ia akan menjadi teman akrabku. Bayu tampaknya betah sekali berdiam diri meski sudah tidak menundukkan kepala lagi. Aku terus mengintrodusir diriku sendiri kepadanya dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, tempat tinggal, olahraga favorit, menu kesukaan, sampai mengekspos berapa kilo berat badanku sekarang. Dia hanya mengangguk-angguk lalu sesekali melirik-lirikku seperti menatap orang asing yang akan mengganggunya. Sedangkan aku, terus berkowek-kowek hingga rasanya gigi ini kering kerontang. Sepanjang aku duduk bersamanya hari ini, bentuk perkenalan diri yang dilakukannya hanya sebatas menyebutkan nama saja. Itupun bukan nama lengkap. Kendati demikian, seisi kelas pun tahu siapa nama lengkapnya dari buku absensi siswa atau ketika guru-guru menyebut namanya untuk mendata kelas. Jika kejadian rumit itu aku alami bersama Bayu atau katakanlah karena perilakunya, kejadian rumit lainnya juga aku alami dari tanggapan seisi kelas. Mereka di bawah pimpinan ketua kelasku, berusaha meyakinkanku agar aku tidak menemani Bayu. Mereka takut aku akan terjangkit penyakit ayan dan menyuruhku agar menjauhinya. Aku tidak terlalu mengerti mengapa ketua kelasku yang bernama Tika yang super ketus itu berkata demikian. Tapi aku yakin, esensi dari tanggapan dan perspektifnya ini merupakan representasi egonya untuk selalu mengejek. Salah satu barisan depan yang tempo hari pernah menertawakan Bayu ketika kumat adalah dia. Jadi aku maklum mengapa dia bersikap demikian s***s. Aku juga diklaim oleh beberapa teman-teman yang lain bahwa jika aku terus melanjutkan tali pertemanan dengan Bayu, rankingku akan terperosok dan prestasi yang selama ini kuraih akan mengalami dekadensi. Mereka melarangku habis-habisan. Bahkan ada yang mengintimidasiku dengan memberikan gambaran tetang penyabutan beasiswa prestasiku. Mereka seakan tidak rela melihatku mengalami penderitaan hanya karena berteman dengan Bayu sekaligus mereka tidak rela kalau Bayu akhirnya memiliki seorang teman akrab, apalagi seorang teman penyandang ranking pertama kelas sepertiku. Aku menduga, sebenarnya mereka sangat iri karena aku sama sekali tak pernah mendekati mereka seperti aku mendekati Bayu. Di sisi lain, aku tak habis pikir mengapa mereka bisa begitu terhadap Bayu, seakan eksistensinya benar-benar tidak diperlukan di kelas ini. Untuk menanggapi persepsi buruk mereka, aku hanya bergeming dan jika bosan aku akan meninggalkan mereka pergi dengan alasan ke toilet atau apapun yang dapat menjauhkanku dari kicauan tak bermutu mereka. Aku tidak pernah mendengarkan kata-kata mereka dan aku terus bertekad untuk menjadi teman bagi Bayu. Karena responku yang demikian cuek itulah, akhirnya perlahan-lahan aku dibenci dan dimusuhi oleh mereka. "Sebaiknya kamu kembali," seru Bayu yang rupanya menjaring keganjilan ini. "Sebaiknya kamu tidak usah saja berteman denganku. Aku tidak ingin kamu mengalami apa yang pernah aku alami beberapa bulan terakhir. Pergilah..." "Aku tidak akan pergi!!" tegasku. Bayu menggeleng-gelengkan kepala seraya menggumamkan sesuatu yang membuatku semakin yakin. "Sebaiknya kamu kembali. Terima kasih karena sudah bersedia mendekatiku. Aku tidak akan melupakannya, meski kita tidak dapat berteman lagi." "Aku tetap akan berteman denganmu." "Lihatlah !!" pekik Bayu sedikit dengan nada keras. "Semua teman di kelas ini nantinya akan memusuhimu karena berteman dengan seorang penderita ayan. Apa yang kamu pikirkan??" "Aku berpikir sama dengan apa yang hati nuranimu pikirkan." Bayu terdiam dan saat itu pula suasana menjadi timpang dan mulai tidak nyaman. Sepertinya Bayu sedang meresapi kata-kata terakhir yang terucap dari mulutku tadi. Akupun sengaja memberikannya waktu untuk itu agar dia dapat mengerti dengan apa yang sedang aku inginkan. "Tapi sayang..." Bayu memecahkan keheningan. "Hati nuraniku berkata kalau kamu harus pergi dan aku tidak rela jika kamu akan dimusuhi oleh teman sekelas. Pergilah...!! Kembalilah ke tempat dudukmu semula. Tinggalkan aku sendiri karena aku memang pantas sendiri." Aku kembali menegaskan. "Harus berapa kali aku katakan,Yu??" Tapi Bayu tetap berusaha untuk berkelit. "Dan berapa kali juga aku harus melarangmu, Bhak??" Di lain pihak tampak sekelilingku tengah tegang mendengar percakapan ini. Bahkan mereka ada yang berbisik-bisik mendukungku agar kembali saja dan tidak usah berteman dengan Bayu. Mereka mungkin berpikir bahwa sejatinya seorang peringkat pertama kelas sama sekali tidak cocok memiliki teman seperti Bayu, si penderita epilepsi itu. Meski mereka mendukungku sedemikian rupa, tapi aku tidak sudi mendapat support yang berbau kejahatan sepeti itu. "Sekali lagi ku tekankan padamu ya,Yu," Aku mulai sedikit marah dan gerah karena rupanya Bayu belum mengerti juga apa maksudku mendekatinya beberapa hari ini. "Aku tidak peduli jika harus terjangkit penyakitmu. Aku tidak peduli dengan mereka yang selalu mencemoohmu. Dan aku juga tidak peduli jika mereka semua harus memusuhiku. Aku hanya ingin menjadi temanmu, hanya ingin sedikit mengurangi penderitaanmu. Terserah apa kata mereka...!!" Bayu tersenyum simpul dengan pancaran mata yang berbinar. Aku sangat bahagia karena senyuman kecil ini adalah senyuman yang menandakan bahwa ia telah menerimaku sebagai temannya, sekaligus sebagai senyuman yang pertama dari wajahnya selama beberapa bulan terakhir. **** Bayu memang telah menerimaku sebagai teman. Tapi kelihatannya, tidak berlaku untuk teman-temanku yang lain. Kami berdua menjadi berita menjijikkan di telinga mereka. Teman-teman yang dulu sangat akrab denganku, kini berubah menjadi benci seakan aku pernah membunuh keluarganya. Tak ada satupun dari mereka yang berkenan menegurku apalagi menegur Bayu. Kami sekarang tak ubahnya segelintir virus penyakit atau barangkali sampah yang mesti dijauhi, kalau perlu disingkirkan saja. Buktinya, kemanapun aku berpindah tempat duduk meski tidak dengan Bayu, mereka selalu mengusirku dan mewajibkan aku agar duduk di pojok saja bersamanya. Kini aku merasakan apa yang pernah dulu Bayu rasakan. Barangkali, ini belum seberapa parah. Tak ada yang tak sedih jika diperlakukan seperti ini. Aku tak dapat berbuat apapun karena memang inilah jalan yang kutempuh, jalan yang menurut logika pikiranku adalah baik dan benar. Aku tidak akan mengeluh apalagi mundur satu langkahpun. Dan sekarang, aku tahu bahwa Bayu tidak enak hati. Mungkin dia merasa semua ini karena perbuatannya atau karena penyakit yang dideritanya. Aku bisa melihat semua itu dari sorot matanya dan entah kenapa aku memang selalu menemukan manifestasi ekspresinya dari kedua bola mata itu. Dalam keadaan krusial seperti ini,aku masih sempat memberitahukannya atau bisa juga dikatakan meyakikannya bahwa semua ini bukan bermula dari kesalahan apalagi karena penyakitnya. Segala perbuatan baik pasti berawal dari konsekuensi negatif dan terkadang menyakitkan. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia. Aku terus berusaha memberinya arahan agar tidak terombang-ambing lagi dalam energi ketidakpastian. Jika tidak, aku khawatir dia akan menjdi seperti kemarin-kemarin, menjadi seorang Bayu yang nyaris tak mampu menerimaku sebagai teman. "Biarlah mereka memusuhiku,Yu," kataku meyakinkannya lagi. "Biarlah mereka memusuhi kita. Yang paling penting adalah menjalani sebuah penderitaan harus tetap tabah. Aku yakin, kita akan mampu menyebrangi jurang penderitaan ini bersama karena kita memiliki sebuah kepercayaan dan keteguhan hati." **** Bayu mulai mengerti dengan apa yang sebenarnya kuinginkan selama ini. Dari situ aku mendapatkan banyak informasi tentang dirinya. Dia mulai berbicara banyak padaku meski masih sebatas perkenalan saja. Contohnya nengenai tempat tinggal. Aku baru tahu ternyata Bayu tinggal di sebuah daerah di Balikpapan yang bernama "Kampung Baru Ujung." Yah, tidak terlalu jauhlah dengan rumahku di "Kampung Baru Tengah" jika ditempuh dengan menggunakan angkot. "Apakah rumahmu berdekatan dengan kuburan Taman Merdeka,Yu??" Aku bertanya karena masih belum tahu pasti dimana tepatnya rumah Bayu itu berada. "Sebelumnya!!" jawab Bayu santai. Bayu kemudian melanjutkan lagi proses introdusir itu dengan menyebutkan tanggal lahir lengkap dengan tahunnya. Aku sedikit kaget karena ternyata Bayu lebih setahun dariku. Dia lahir tahun 1988. Semkin banyak Bayu bercerita, semakin banyak pula yang selama ini belum aku ketahui tentang dirinya. Ternyata Bayu termasuk anak yang mengasyikkan dan sangat jauh dari apa yang teman-temanku duga selama ini. Bayu memiliki aura tersendiri ketika melontarkan kata-kata atau mengumbar senyum. Dan aura itu sekarang terurai menjadi untaian-untaian misteri yang semakin lama membuatku semakin ingin untuk memecahkannya. Memang sangat banyak misteri dalam hidupnya yang belum kuketahui. Akan retapi, untuk sekarang aku tidak ingin terlalu banyak bertanya mengenai hal itu, karena aku merasa ini barulah tahap pertama dalam perkenalan.Untuk sementara, biarlah dulu aku hanya mengetahui nama, tanggal lahir dan tempat tinggalnya. **** Beberapa hari berkenalan membuat kami semakin akrab layaknya sepasang teman baik. Akupun sedikit banyak paham tentang dirinya. Selain itu, aku juga banyak menemukan sisi baik atau positif dari seorang penderita ayan ini. Pertama, Bayu adalah seseorang yang amat sangat teliti. Semua sudah terbukti ketika aku mendekatinya pertama kali tempo hari. Dia tidak langsung menerimaku sebagai teman, tetapi terlebih dahulu melakukan uji coba yang kesannya seperti menjatuhkan mentalku. Bayu belajar semua itu dari kelakuan teman-teman satu kelasku yang selalu mengucilkan, mencemooh dan menganggapnya rendah. Pengalaman itu rupanya banyak memberinya pelajaran tentang bersikap lebih dewasa meski umurnya masih terbilang muda. Kedua, Bayu sangat menghargai teman. Baru sekitar empat hari aku menjalin pertemanan dengannya, kurasakan ada suatu energi yang kuat menyembul karena sikapnya yang begitu ramah. Dia seperti terus berusaha untuk tidak membuatku sakit hati karena ucapan atau perbuatannya. Dia tidak ingin bercanda yang melebihi batas seperti memberi gelar-gelar yang tak senonoh atau mengejek secara terang-terangan. Dia selalu membuatku riang seakan itu adalah suatu kewajiban yang harus dilakukannya. Kemungkinan besar ini juga merupakan efek positif dari segala penderitaan yang pernah dialaminya di kelas. Melihatnya bersikap demikian kepadaku, akupun tak ingin kalah. Aku juga terus berupaya agar membuatnya bisa selalu tersenyum. Kami melakukan semua ini sebenarnya hanya untuk satu tujuan yaitu mempererat tali pertemanan. Ketiga, Bayu adalah sesosok teman yang memiliki integritas meski terkadang perspektifnya masih dapat dikatakan konservatif. Dia memang bukan siswa yang cerdas apalagi memancarkan aura inteligensia. Spekulasiku, semua itu bisa jadi dikarenakan penyakit epilepsi yang dideritanya hingga terkadang membuatnya tidak konsentrasi dalam belajar dan menyerap materi. Tak ada yang dapat kusalahkan dari dirinya karena dia tidak sepintar siswa-siswi dikelasku yang menyandang peringkat sepuluh besar. Ada beberapa hal yang menurut pengamatanku membuat dia tak mampu menyerap pelajaran dengan baik. Yang pertama tentu saja karena penyakitnya itu. Kedua, besar juga kemungkinan karena matanya yang menderita rabun jauh, sehingga tak dapat mencatat materi-materi penting pelajaran yang tertera di papan tulis. Materi-materi yang termaktub di papan tulis itu kebanyakan dimanfaatkan oleh para guru sebagai sarana belajar dalm menghadapi ulangan harian atau ulangan umum semester. Tak jarang pula digunakan untuk berlatih soal. Aku memang tak pernah melihat Bayu mengerjakan soal dengan sempurna. Meskipun sempurna, aku yakin jawaban yang ditulisnya hanya berdasar yang dia tahu saja atau dengan kata lain jawabannya itu asal-asalan. Jangan-jangan, pada saat menjawab soal-soal ulangan umum semester pun dia tetap menggunakan cara itu. Karenanya tak heran jika Bayu menyabet peringkat terakhir dikelasku. Dan yang ketiga adalah faktor teman-teman yang selalu menjauhinya. Sehingga tak ada yang mampu membantunya apalagi memberikan indoktrinasi secara intensif. Tapi kini aku siap membantunya untuk bangkit dari keterpurukan,kendati dalam masalah-masalah seperti itu dia masih bersikap layaknya seorang introver. Aku tahu dia ingin seperti aku, ingin seperti siswa-siswa lainnya yang di anggap sederajat, tanpa harus dihina-dina atau di anggap sampah. Bagiku sekarang, menolongnya dalam segala hal adalah tugas utama karena aku telah memilih jalan yang benar. **** Hari ini Bayu kembali bercerita. Cerita yang dia haturkan bukan tentang dirinya atau tentang kesan-kesannya karena sudah menjadi temanku, melainkan tentang keluarganya dirumah. "Aku memiliki dua orang adik laki-laki..." katanya. "Yang satu sudah kelas empat SD dan yang satu lagi masih berumur satu tahun setengah. Aku sangat menyayangi mereka tapi aku tak bisa mewujudkannya." Aku tersentak. "Tidak bisa!!" Bayu mengangguk pelan dan bibirnya sedikit bergetar. Aku masih bingung dengan semua ini, tapi aku tetap berusaha untuk tidak berpikir negatif. Namun ketika dia menundukkan kepala, tak bisa kupungkiri bahwa segala macam bentuk pikiran dan syak wasangka negatif berkecamuk dikepalaku. "Kenapa??" Aku penasaran. Bayu diam saja dan masih menakur seperti mengheningkan cipta. Tampaknya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku dan mungkin belum pantas jika harus diutarakan sekarang. Atau mungkin juga ini sangat rahasia karena menyangkut problema keluarga. Menanggapi pertanyaanku barusan, Bayu menjawab dengan santai saja setelah menengadah dan mendongak kearahku. "Ya...karena aku tidak bisa mewujudkannya saja!" Aku semakin yakin bahkan haqqul yakin bahwa ada sesuatu dibalik semua pernyataan ini. Aku percaya ada tedeng aling-aling dari sorot matanya. Tapi aku agak ragu untuk mengoreknya lebih dalam, takut kalau-kalau nanti malah membuatnya bertambah sedih lagi, walau sebenarnya aku ingin sekali mendengar keterangan yang eksplisit darinya. "Baiklah,Yu..." kataku. "Kalau memang ada sesuatu yang sangat rahasia atau apapun juga yang ada dibalik semua ini, kamu tidak perlu lagi melanjutkan cerita ini tapi ganti saja dengan topik yang lain." Sekarang Bayu seperti merasa bersalah kepadaku. Dia kemudian menatapku tajam seakan ingin menyampaikan sesuatu yang tak mampu ia ucapkan. Bayu mendesah. Kupikir dia akan menyampaikannya secara gamblang, tapi ternyata dia tetap membuatku penasaran. Dia bergumam. "Aku akan menceritakannya di lain waktu!!" Mau tidak mau aku harus dan hanya mengangguk. Ternyata dugaanku tadi sungguh beralasan. Tapi biarlah dulu aku menelan semua rasa penasaran ini. Mungkin memang sebaiknya butuh waktu yang tepat untuk mendemonstrasikan pernyataan tadi. Biarlah Bayu yang mengaturnya. Setelah itu Bayu malah balik bertanya-tanya tentang identitas diriku. Dia juga menanyakan apakah aku memiliki saudara atau hanya sendiri. Dia sedikit terpernjat dan tercengang ketika aku mengatakan bahwa aku adalah anak tunggal. Dia juga tak lupa menyatakan ketertarikannya untuk mengunjungi rumah kediamanku. Yang jelas aku cukup senang hari ini karena dapat berbincang banyak dengan Bayu. Itu artinya kami semakin akrab dan dia telah menganggapku sebagai temannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.7K
bc

Marriage Aggreement

read
81.1K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.2K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook