Part 8. Ingin Kembali Bekerja

1306 Words
Di tempat berbeda, Selly tengah bersantai di taman sambil membaca buku. Bibi pelayan tengah membersihkan di sekitarnya, sambil menghubungi tuannya. “Halo, bi.” “Ya, tuan.” “Istriku sedang apa?” tanya Frans secara langsung tanpa basa basi. “Nyonya sedang membaca buku di taman. Apa tuan mau saya sambungkan?” “Tidak usah.” “Hahaha… kalau tuan seperti ini. Seharusnya tuan langsung menghubungi nyonya saja.” “Lagipula dia tidak akan senang dengan teleponku,” pikir Frans. “Baju yang banyak kancingnya tidak akan nyaman, jadi tolong bantu dia,” pinta Frans. “Saya mengerti, tidak ada yang ingin anda katakan lagi, kan?” “Sebelum pulang, tolong tanyakan padanya. Apa ada yang membuatnya tidak nyaman?” tanya Frans. “Oh.. baik, tuan.” “Kalau dia bilang ada yang sakit. Tolong langsung hubungi aku.” “Baik, tuan.” Setelah itu panggilan pun berakhir. Tak lama kemudian, sekretaris Gavi datang membawa segelas kopi. “Anda menghubungi bibi lagi? Kenapa tidak langsung menghubungi nyonya saja, tuan?” tanya Gavi. Frans enggan untuk menjawab dan lebih memilih meminum kopi yang diberikan Gavi. “Barusan saya sudah memesan hotel untuk bermalam.” “Ah.. hotel?!” “Iya, tuan.” “Oh, tidak. Panggil yang lainnya dulu. Kita selesaikan rapatnya dengan cepat.” “Baik, tuan.” Malam hari, Frans bersiap untuk kembali ke rumah. “Tuan, saya sudah memesan hotel. Apa anda tetap mau pulang?” Frans masih terus saja berjalan keluar gedung tanpa menjawab perkataan Gavi. “Besok anda harus datang ke sini lagi. Apa anda yakin akan pulang ke rumah?” “Aku tidak apa-apa berikan kunci mobilnya.” “Tuan, biar saya saja yang menyetir.” “Tidak perlu, kau pergi saja ke hotel dengan naik taksi. “Tapi ini sudah jam 12, anda pasti lelah,” ucap Gavi yang khawatir. “Tak perlu khawatir, pergi dan istirahatlah.” Mobil pun dinyalakan dan Frans melajukan kendaraannya meninggalkan kantor. “Tuan terlihat begitu peduli pada nyonya. Kenapa selama ini tak pernah terlihat sedikit pun ya?” pikir Gavi. Setelah menempuh perjalan cukup lama, akhirnya Frans sampai juga di rumahnya. Dia berjalan masuk ke dalam kamar. Dilihat Selly tengah tertidur pulas, Frans melihat cara tidur Selly yang berantakan membuatnya membantu Selly untuk membenarkan selimutnya. “Sepertinya dia memakai pakaian yang lebih nyaman karena tidak ada aku ya?” Frans melirik ke arah Selly sambil menyelimuti tubuh Selly dengan selimut. “Dia bisa kena flu.” Frans duduk di pinggir ranjang kasur sambil menatap Selly yang tengah tertidur. “Frans..!! Kau pasti sibuk,” ucap Selly yang seperti mengigau. Selly bahkan berani merabah tubuh Frans. “Sudah aku duga, kalau kau lebih cocok tidak pakai baju.” “Dia barusan bilang lebih cocok apa? Apa yang harus aku lakukan padamu?” pikir Frans dengan wajah memerah melihat tingkah tidur Selly. Setelah puas menyentuh tubuh Frans, Selly pun kembali memejamkan matanya. “Haruskah aku mengikat tanganmu? Tapi nanti tanganmu yang terluka pasti akan sakit. Kalau begitu kita harus menggunakan kamar terpisah. Tapi jika kau sakit, aku jadi tidak bisa mengetahuinya.” Frans tampak bingung dengan dirinya sendiri dan akhirnya lebih memilih keluar dari kamar, meninggalkan Selly yang tertidur lelap. Flashback off. * * * “Euummm…,” Selly yang terbangun dan berusaha merenggangkan otot-otot dalam tubuhnya. “Kenapa aku bermimpi seperti itu ya? Mimpi itu benar-benar terasa seperti nyata,” pikir Selly dengan wajah yang merona. Selly pun buru-buru mencuci muka dan keluar dari dalam kamarnya. “Ceklek..!!” “Bibi..” panggil Selly. Namun suasana rumah tampak sepi dan sepertinya bibi pelayan belum datang. “Ceklek..” suara pintu kamar tamu terbuka. Selly melihat Frans keluar dari dalam sana dengan pakaian yang sudah rapi. “Hah..!! Kenapa Frans ada disini? Apa semalam itu bukan mimpi? Tapi itu tidak mungkin, mungkin hanya perasaanku saja,” pikir Selly. “Hari ini kau bangun lebih cepat.” “Ah.. iya. Oh iya, apa kemarin kau pulang larut ?” tanya Selly. “Tolong bilang tidak, kumohon…!!!” batin Selly merasa malu. “Aku baru sampai dini hari.” “Hah..!! Dini hari?” pikir Selly. “Oh.. aku kira kau akan menginap.” “Kau bisa kena flu. Bukankah lebih baik memakai pakaian tebal untuk tidur?” “Sekarang aku akan memakainya.” “Ah.., walaupun Frans tidak ada. Aku tidak akan hanya pakai pakaian dalam lagi untuk tidur,” batin Selly. Frans melirik ke arah meja makan. “ Selagi menyiapkan sarapan untukku, aku juga menyiapkan untukmu. Makanlah dan jangan lupa minum obatmu juga,” perintah Frans. “Baik.” Frans pun berjalan meninggalkan Selly sendiri di ruang makan. Selly mendorong kursi meja makan dan hendak duduk. “Kalau begitu yang aku raba semalam, benar-benar Frans? Bagaimana dia bisa setenang itu? Apa dia mengira aku mengigau, jadi dia diam saja? Aku tahu dia dingin, tapi ..” pikir Selly yang terlihat kecewa. Tiba-tiba Frans berbalik arah kembali dan memeluk tubuh Selly dari belakang. “Deg… deg.. deg..!!” “Ini karena sepertinya kau lupa untuk mengantarku,” ucap Frans sambil memeluk erat tubuh Selly. “Semalam gerakan tanganmu yang menyentuh tubuhku akan selalu terbayang, karena kau semalam aku tidak bisa tidur dan ini adalah pembalasanku yang tidak seberapa. Semalam aku seperti mau meledak. Untunglah sekarang sudah agak tenang,” ucap Frans dalam hati. Setelah itu Frans melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkan Selly yang masih terlihat shock. Setelah Frans pergi, barulah Selly bisa bernapas dengan bebas kembali. “Haa…, apa itu tadi?” ucap Selly menatap ke arah pintu rumahnya, dimana Frans sudah pergi bekerja. “Kami kan pernah akan bercerai. Tapi kenapa dia memelukku dengan hangat seperti ini? Menyebalkan, aku begitu menyukai Frans yang seperti itu.” * * * Siang harinya, Selly datang ke kantor milik ibunya. “Kok tiba-tiba datang tanpa mengabari? Apa kau baik-baik saja?” tanya Nyonya Naira. “Lama tidak bertemu, bu. Aku sudah jauh lebih baik.” “Syukurlah, aku sangat terkejut saat mendengar kabar kalau kau mengalami kecelakaan. Bukankah sudah waktunya untuk membuka gipsmu?” “Minggu depan aku akan ke rumah sakit.” “Kalau begitu duduklah dulu. Ada apa kau datang ke kantor?” tanya Nyonya Naira. “Aku ingin kembali bekerja.” “Apa? Kau sudah ingin kembali bekerja. Bukankah ini terlalu cepat?” “Aku tidak enak hati, jika terlalu lama libur. Pasti banyak pekerjaan yang menumpuk. Aku tidak bisa hanya beristirahat saja.” “Ya, ibu percaya. Kau memang orang yang sangat bisa diandalkan. Tapi kesehatanmu jauh lebih penting sekarang. Pekerjaanmu sudah digantikan oleh Mika untuk sementara, jadi jangan khawatir.” “Haruskah aku bilang, kalau ingatanku sudah kembali. Tapi kalau begitu, pernikahanku dengan Frans pasti juga akan selesai bukan?” pikir Selly. “Tidak perlu terburu-buru kembali.” Tring.. Tring.. “Tunggu sebentar, aku terima telepon dulu.” “Halo…!!” “Benarkah? Tolong sebutkan nomornya,” jawab Nyonya Naira di balik teleponnya. “Ya, terima kasih.” Setelah itu panggilan selesai, Nyonya Naira terlihat sibuk menulis di buku catatannya. “Apa ada kabar baik?” “Ini memang kabar baik. Ini nomor ponsel Tuan Martin, dia orang yang ingin kita ajak bekerja sama.” “Martin Maxwell yang di Italia?” “Ya, sepertinya lima hari yang lalu dia kembali ke sini. Kita harus bisa membuatnya melakukan kerjasama dengan perusahaan kita terlebih dahulu.” “Bu Direktur, biar aku saja yang akan melakukannya.” “Apa kau yakin? Kau masih butuh istirahat.” “Saya yakin, jadi biar saya saja.” * * * Setelah bertemu dengan ibunya, Selly pun pulang kembali. Di dalam mobil dia mencoba mengirimkan pesan pada Tuan Martin. “Aku ingin sekali melakukan pekerjaan ini. Bukan hanya karena Martin adalah seorang seniman yang hebat. Setidaknya aku bisa belajar banyak darinya.” “Sejak kecil karena sering melakukan perjalanan dan melihat pameran. Aku secara alami jadi tertarik pada seni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD