Di kamar.
“Ha.., kenapa aku harus memilih baju ini? Kan jadi sulit.” Selly tampak kesulitan untuk membuka dressnya.
“Aahh…, leherku sakit,” ucap Selly sambil memegang leher bagian belakangnya.
Frans berjalan keluar kamar mandi dengan pakaian piyama lengkap, sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil.
“Ini tidak terpikirkan olehku,” ucap Frans sambil berjalan mendekat ke arah Selly.
“Maksudmu apa?”
Frans menaruh handuknya di nakas samping ranjang.
“Aku tidak berpikir, kalau kau pasti masih tidak nyaman melakukan hal seperti ini. Aku bisa melakukannya, apa kau mau mengguntingnya? Coba sini,” ucap Frans yang hendak membantu.
“Tidak.., aku..”
“Dokter kan sudah bilang untuk tidak sering menggerakkan tanganmu.”
“Tapi..,”
“Tidak ada tapi. Lagipula kita suami istri.” Frans pun membantu melepaskan satu persatu kancing dress Selly.
“Deg.. deg..”
“Kita kan bukan suami istri biasa. Sebenarnya apa yang dia pikirkan tentangku? Apa hanya aku yang merasakan debaran ini? Curang sekali,” ucap Selly hanya bisa dia ungkapkan dalam hati.
“Haruskah kita matikan lampu?” tanya Selly.
“Apa?”
Selly pun mengaitkan kedua tangannya dileher Frans sambil tersenyum menggoda. “Karena kita suami istri, jadi tidak apa-apa kan?”
“Karena Frans tahunya, aku kehilangan semua ingatanku. Dia pasti akan menganggap ini sikap yang biasa saja dan hanya rasa manja seorang istri,” batin Selly.
“Aku bertanya karena aku tidak ingat. Aku pikir kau pasti lebih menyukai, kalau lampunya mati,” goda Selly.
“Hentikan candaanmu ini,” ucap Frans dengan wajah malu.
“Aku masih ingin mempermainkanmu sedikit lagi,” goda Selly masih dalam hatinya.
“Candaan apa? Bukankah ini memang hal yang sudah pasti dilakukan pasangan suami istri?”
Seketika Frans menjatuhkan tubuh Selly diatas ranjang.
“Deg.. deg..”
“Kalau tiba-tiba begini, aku lebih suka kalau lampu menyala.”
Seketika wajah Selly berubah malu dan memerah.
“Karena aku harus melihat wajahmu dengan jelas.”
Selly pun khawatir, “Tunggu, Frans..!! Kau tahu ini hanya bercanda kan?”
“Kau yang bercanda, bukan aku.”
Selly tampak kebingungan sendiri. “Ah.., bagaimana ini?” batinnya.
Tangan Selly tampak gemetaran menyentuh d**a bidang Frans. “K-kau tidak sungguh-sungguh kan?”
“Deg.. deg..”
Bahkan Selly tak berani menatap wajah Frans. “Ah.., aku malu sekali,” batinnya.
Seketika Frans bangun dan pergi meninggalkan Selly begitu saja. Selly melirik ke arah Frans yang pergi menjauh.
“Haahhh…” suara Selly merasa lega.
“Kalau bukan candaan, apa dia benar-benar berpikir untuk b******a denganku? Rasanya aku gemetaran seperti mau mati,” pikir Selly.
Frans masuk ke dalam kamar mandi dan lepaskan pakaian kembali. Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower.
“Dia pasti makin membenciku. Dia bahkan ketakutan. Apa dia seperti itu karena aku menakutkan?” pikir Frans.
“Sebenarnya apa yang kau pikirkan Selly? Sampai saat ini dia belum pernah bercanda sampai seperti itu. Aku yakin dia tidak kehilangan ingatannya, tetapi kenapa dia memprovokasi dan membuatku merasa seperti ini?”
“Aku yang paling mengenal istriku dengan baik? Tidak.., aku tidak mengenalnya sedikitpun.” Frans terlihat frustasi dan bingung dengan dirinya sendiri.
*
*
*
Selly tertidur lebih dulu, entah mengapa matanya terbuka dan melihat wajah Frans tengah telanjang d**a yang melihat ke arah dirinya.
“Kenapa tiba-tiba dia tidak memakai pakaian?” pikir Selly.
Frans menyentuh wajah Selly, “Karena kita suami istri jadi tidak apa-apa kan?” Kemudian Frans menyentuh bibir Selly.
“Ah.., kenapa aku tidak bisa bicara?” batin Selly.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Selly terbangun dari tidurnya, dia membuka matanya secara perlahan dan berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Tok.. tok.. tok..”
“Nyonya, sarapan sudah siap,” suara bibi pelayan dari luar kamar.
“Haa…, kenapa aku bermimpi seperti itu?”
Setelah itu Selly membersihkan diri dan bersiap menuju meja makan.
Di dapur bibi pelayan sudah selesai menyiapkan sarapan, Selly duduk di kursi meja makan. “Bi, tidak perlu membuatkan sarapan.”
“Ah.., itu tuan yang buatkan,” jawab bibi.
“Apa? Suamiku?”
“Tuan menunggu sampai saya datang. Lalu meminta saya untuk membangunkan nyonya sebelum jam 8 untuk minum obat. Walaupun tuan terlihat dingin, tetapi beliau juga bisa bersikap manis, bukan?”
“Ya, bahkan sosok Frans yang manis sampai bisa muncul di mimpiku,” batin Selly sambil menatap sarapan yang buat suaminya itu.
“Sulit untuk menilainya hanya dengan ini kan, bi?”
“Tapi entah kenapa beliau tidak bisa mengekspresikannya atau bagaimana? Tetapi beliau begitu mencintai nyonya.”
Mendengar perkataan bibi pelayan Selly hanya bisa diam sambil memikirkannya. “Dia mencintaiku, tetapi selama 2 tahun lebih ini. Aku sama sekali tidak tahu dan merasakannya. Apa itu masuk akal? Dia orang yang menyerahkan formulir perceraian.”
Selly pun memakan sarapannya. “Oh iya..!! Kata tuan hari ini, dia pergi dinas ke kota D dan mungkin akan kembali besok. Beliau meminta untuk menyiapkan makan malam untuk nyonya.”
“Apa malam ini kami juga tidak bisa makan bersama?” pikir Selly.
*
*
*
Malam harinya, Selly tengah duduk bersandar di dipan ranjang sambil membaca buku. Entah mengapa Selly menunggu Frans menghubungi dirinya.
“Harusnya dia menghubungiku, walau hanya sekali,” ucap Selly sambil menatap layar ponselnya.
“Haruskah aku yang menghubunginya lebih dulu? Tapi percuma saja menghubunginya. Hal seperti itu tidak pernah ku lakukan, dan akan terasa aneh jika melakukannya.”
Akhirnya Selly pun memilih untuk tidur daripada kepikiran terus. Jam menunjukkan pukul 12 malam, sebuah tangan berusaha membenarkan selimut yang Selly pakai.
Dengan setengah sadar Selly pun melihat sosok yang melakukan hal itu, “Siapa?!” pikirnya.
“Frans..!!”
“Kau pasti sangat sibuk.”
“Hah..!! Kenapa dia bisa sampai muncul di mimpiku?” batin Selly yang mengira itu mimpi.
Selly yang berpikir itu mimpi, dengan santainya menyentuh tubuh Frans.
“Sudah aku duga, kalau kau lebih cocok tidak pakai baju,” ucap Selly dengan santai.
Flashback on.
Frans baru saja sampai di tempat kunjungannya. “Tuan, kita sudah sampai.”
Sekretaris Gavi membuka pintu samping mobil, dan Frans keluar dari dalam mobil. Para karyawan menyambut kedatangannya.
Frans berdiri di depan gedung, tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi.
“Tring.. Tring.. tring..”
“Siapa itu? Matikan teleponnya?” ucap kepala cabang di kantor pun menegur para karyawannya.
“Cepat matikan,” ucapnya kembali.
“Maafkan kami, pak,” ucap kepala cabang membungkuk pada Frans.
Suara ponsel itu masih terus terdengar. Namun, tidak ada karyawan yang berusaha mematikan ponsel mereka.
Hingga mereka saling melirik satu sama lain. “Anu, sepertinya..”
Frans pun dengan santai mengambil ponselnya dan menjawab panggilan itu. “Yaa, ada apa?”
“Maaf, tuan. Saya mau mengabari, kalau barusan nyonya sudah selesai sarapan dan meminum obatnya.”
“Sekarang istriku sedang apa?”
Mendengar perkataan seketika orang-orang yang berada di sekitar Frans tampak terkejut karena dari tadi itu adalah suara ponsel bos mereka.
“Setelah itu nyonya masuk ke dalam kamar dan langsung beristirahat kembali.”
“Jam makan siang nanti tolong siapkan makanannya dan hubungi aku lagi.”
“Lagi, tuan?”
“Iya. tolong hubungi aku kembali.”
“Baik, tuan.”
Setelah itu panggilan pun berakhir dan Frans melanjutkan pekerjaannya, lalu berjalan masuk ke dalam kantor.
Di dalam ruangan, Frans mulai melakukan rapat. Dia mulai bertanya pada para penanggung jawab di kantor cabang.
“Jadi bagaimana semuanya?”
“Kerugian dari bahan mentah dan mesin yang rusak, kurang lebih mencapai 500 juta.”
“Baiklah, tolong lakukan perbaikannya sesegera mungkin. Kantor pusat juga tidak akan tinggal diam dan masalah untuk mengalihkan jumlah barang yang ada di pabrik bisa alihkan dulu ke tempat lain.”
“Baik, pak.”
Frans pun terus memberi arahan pada para karyawannya, hingga jam menunjukkan pukul 12 siang.
“Kita istirahat sebentar, nanti dilanjutkan lagi.”
“Baik, pak.”