1-Prolog

511 Words
Suara tangisan memenuhi rumah bercat biru berlantai dua itu. Kabar kematian putri pertama mereka begitu mengejutkan, padahal sebelumnya putri pertama mereka baik-baik saja. Para warga berbondong-bodong takziah, mengatakan hal-hal menenangkan kepada keluarga yang ditinggalkan. Gadis ceria nan cantik itu harus berpulang di umur 19 tahun. Mbok Yah tetangga sebelah rumah biasa berbincang dengan putri pertama mereka, bahkan tak segan untuk membantunya. Ia tidak percaya, tetapi mau bagaimana lagi. Karena takdir hidupnya gadis itu hanya sampai umur segitu. Setelah jenazah putri pertama mereka di makamkan, malamnya tentu mengadakan tahlilan. Tetapi, ada satu anggota keluarga yang justru senang dan memilih diam di kamar tanpa berniat membantu keluarga lainnya bahkan tetangga yang membantu acara tahlilan itu. "Sekarang, tidak ada lagi namanya Syakilla. Yang ada hanya Kalila. Oh, saudara kembarku. Semoga kamu bahagia di sana." Gadis itu tertawa pelan bahkan melompat-lompat di kasurnya yang empuk itu. Tidak ada wajah sedih, yang ada justru hati gembira. Diraihnya sebuah foto di mana Syakilla tersenyum membawa kado ulang tahun untuknya. Tetapi, sebaliknya ia justru tersenyum sedih. "Andai mereka bisa adil padaku, pasti aku akan menangis melihatmu pergi. Tetapi, mereka tidak peduli padaku. Kamu cukup beruntung memiliki teman, tunangan yang baik. Aku? Hanya sendiri, dan sendiri. Maaf, Syakilla. Mulai detik ini, akulah yang akan menggantikanmu." ******* Gelap selalu identik dengan malam. Bulan dan bintang akan menyinarinya ditambah dengan lampu-lampu dari rumah warga. Tetapi, jika hutan tentu hanya bulan dan bintang yang menyinari. Sayangnya, rintik-rintik hujan mulai jatuh. Awalnya gelap makin gelap gulita. Suara rintihan, ketakutan tidak dapat di dengar oleh siapapun. Menahan kediaman supaya tidak diganggu oleh hewan-hewan buas di dalam hutan. Seorang gadis menyenderkan tubuhnya pada pohon yang tinggi. Menahan dingin dengan memeluk tubuhnya sendiri. Mulutnya berkomat-kamit membaca do'a. Harapan supaya bisa ke luar dari tempat yang gelap ini. Hanya bisa pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Pencipta. Acara jelajah yang ia pikir akan berakhir menyenangkan karena mendapat foto-foto yang bagus. Sayangnya, tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Justru berakhir menyedihkan. Entah bagaimana keluarganya, apakah mereka mencarinya atau tidak. Hidup dalam keluarga yang selalu diliputi pertengkaran setiap hari membuatnya tentu tertekan. Tetapi, ia menyayangi mereka dan berharap suatu saat mereka akan sadar. Entah kapan harapannya akan terwujud. Apalagi jika bukan masalah ekonomi, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Selalu saja ada masalah yang menimbulkan pertengkaran. Ingin ia berteriak mengemukakan pendapatnya supaya mereka bisa diam dan menghentikan pertengkaran itu. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya. Kabar perceraian orang tuanya terdengar di telinga keluarga besar. Bahkan, tempat kerja mereka juga. Ia takut, jika akhirnya ada orang ketiga yang memanfaatkan kesempatan itu. Sungguh, keegoisan ini akan menyakiti siapapun termasuk dirinya. "Jika aku boleh memilih, lebih baik aku amnesia supaya tidak merasakan rasa sakit hati karena kalian. Ma, Pa, tahukah kalian apa yang aku rasakan?" Ia hanya bisa menahan tangis, walaupun sedari tadi lelehan air mata masih saja turun membasahi wajahnya. Di bawah hujan yang mulai turun dengan deras. Ia menyampaikan keluh kesahnya.  Tak peduli jika mungkin hari esok ia sudah berada di alam lain. Mau berteduh kemana di saat hanya kegelapan yang ia dapatkan. "Ma, Pa," rintihnya tak henti dengan tubuh yang sudah gemetar kedinginan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD