2-Terasingkan

1105 Words
Suara keributan membuat gadis berusia 19 tahun itu terbangun dari tidurnya. Dengan segera beranjak dari ranjang menuju lantai bawah. Tepatnya di dapur. Dua orang dewasa sedang bertengkar saling membanting sesuatu tak peduli kaki mereka bisa terkena pecahan benda yang mereka lemparkan. Ia menutup kedua telinganya, berharap suara itu hilang. Walaupun kedua matanya tak bisa mengalihkan pandangan dari mereka. Sudah biasa ini terjadi. Walaupun tidak main fisik, akan tetapi hanya lewat bicara dan membanting benda-benda. Tetapi, tetap saja ini menyakitkan baginya. Ia harus bisa menghentikan semua ini. "MAMA, PAPA!" ujarnya dengan lantang sampai mereka menatapnya dengan wajah terkejut. "Apa kalian tidak capek terus seperti ini?" tanyanya dengan nada sedih. Hatinya hancur tiap kali melihat hal ini. Ia sempat berpikir, untuk apa menikah jika tidak ada cinta yang bersemi. Ia pikir mereka dijodohkan, nyatanya karena memang saling mencintai. Tetapi, lambat laun pernikahan mereka berjalan, justru hanya pertengkaran yang ada. Tak ada kasih sayang selayaknya pasangan yang bahagia. Papanya yang selalu sibuk bekerja, membuat mama merasa bosan di rumah terus dan sering di tinggal. Hingga, akhirnya ikut bekerja dan sama-sama menyibukkan diri. Tanpa tahu, bahwa ketiga anaknya terluka karena sikapnya. "Kalila .... " "Ngapain kamu ke sini? Belajar sana, supaya pintar!" decak papa dengan nada kesal. Kalila Azzahra, nama yang diberikan mereka dan disambut dengan kebahagiaan seluruh anggota keluarga besar. Tetapi, berjalannya waktu hanya kesedian yang didapatkan. "Papa selalu memintaku untuk belajar, belajar, dan belajar. Tetapi, apa papa memikirkan bagaimana perasaanku? Melihat papa dan mama terus bertengkar," ucap Kalila mengeluarkan keluh kesahnya. Jika Syakilla tidak berani, hanya diam saja. Maka, beda dengan Kalila yang pemberani. Papa berjalan mendekatinya. Kalila memberanikan diri menatap kedua mata sang papa. "Kamu ini gak bisa seperti Syakilla. Diam kalau dibilangin, gak kayak kamu malah bantah terus." Kalila menahan kesal. Selalu begini, dibanding-bandingkan oleh saudara kembarnya sendiri. Ia tidak suka. Syakilla ya Syakilla, Kalila ya Kalila. Tetapi, papa selalu mengatakan hal yang sama. Bahwa dirinya harus bisa seperti Syakilla yang pintar, penurut, dan tidak suka bantah. Papa hendak berbicara lagi, tetapi suara langkah kaki mendekat diringi suara pintu depan tertutup membuatnya diam. Kalila menghembuskan nafas kasar, menahan rasa kesal yang terus menggerogoti hatinya. "Ada apa ini?" Seorang lelaki muda berusia 22 tahun menatap lantai yang penuh dengan pecahan piring. Papa yang berdiri di depan Kalila juga sang mama yang berdiri di dekat pecahan piring. "Kamu baru pulang, kita makan dulu, yuk!" ujar mama sambil berjalan mendekati lelaki itu. Namun, lelaki itu memilih mundur. Menatap dan meminta penjelasan kepada orang tuanya. Kalila memandang sang mama dan papa yang saling bertatapan. Keduanya diam membisu. Ketika anak lelakinya yang berbicara selalu begitu. Ia tersenyum miris pada dirinya sendiri. Baginya, hanya kakak lelakinya dan Syakilla yang disayang. Ia bagaikan abu-abu di rumah ini. "Ardian tanya sekali lagi, Ma. Ada apa ini?" tanya Ardian dengan nada tegas. "Sayang, kamu makan dulu, yuk. Pasti capek habis pulang kerja .... " "Cukup, Ma!" Ardian menatap orang tuanya dengan tatapan tegasnya. Ia capek menghadapi semua ini. "Mama dan papa bertengkar lagi?" tanya Ardian mendesak mereka. Papa menjawab dengan deheman. Sedangkan, mama menggelengkan kepala. Ardian tersenyum tipis. Hatinya sungguh sakit, tubuhnya lelah, tetapi mereka masih bertengkar akan hal-hal yang tak penting. Andai, salah satunya tidak egois, pasti tidak akan seperti ini. "Sebulan yang lalu, Syakilla baru saja meninggal, mama dan papa masih saja bertengkar?" Kalila yang mendengar hal tersebut memilih naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Tepat di sebelah kamar Syakilla. Ia tidak mau mendengarkan semuanya lagi. ****** "Sepuluh ditambah dua puluh lima berapa?" Seorang gadis menatap anak-anak dengan senyuman lebar. Mengajar, membagi ilmu yang selama ini diperoleh kepada anak-anak di sini. Ia merasa nyaman dan bahagia menatap wajah polos mereka. "Aku gak ngerti, Kak. Susah banget." Dian, gadis kecil berusia 8 tahun itu mengeluh diajarkan matematika bab menghitung. Tak jarang memilih membolos karena sukar menerima apa yang diajarkan olehnya. Memang sulit, jika yang lain sudah paham dan hanya satu yang belum paham. Tetapi, ini tantangan baginya untuk tetap semangat mengajarkan bab ini supaya gadis itu bisa. Perlahan-lahan yang penting paham apa yang ia ajarkan. Menjadi guru les di tempat khusus les di desa ini sekaligus tinggal di tempat ini membuatnya mengenal bagaimana budaya, sikap, dan keseharian orang-orang di sini. Lebih mengajarkannya apa arti hidup, bersyukur, dan menghormati orang lain. "Gitu saja kok gak tahu, Dian," ujar Brian--teman sekelas Dian. Ia menggelengkan kepala melihat tingkah Brian yang selalu menjahili Dian. Dian yang galak, dan ceroboh dengan Brian yang pintar dan jahil. Ia jadi membayangkan jika keduanya menikah suatu saat nanti pasti harmonis dan saling melengkapi. "Sudah-sudah, sama temannya sendiri tidak boleh begitu. Kita di sini sama-sama belajar," lerainya dengan senyuman manis. "Iya, Kak. Tetapi memang dasarnya Dian, sih," cetus Brian sambil memeletkan lidah kepada Dian. Sebelum pertengkaran berlanjut, ia melerai keduanya lagi. Meminta Brian dan Dian untuk saling memaafkan. "Kita lanjut belajarnya. Gak boleh ribut lagi, ya. Kita di sini itu sama-sama belajar. Dengan belajar, yang jadinya tidak tahu jadi tahu, ya." "Kok bukan tempe, Kak?" celetuk Rian si jahil teman Brian. Ia hanya bisa terkekeh pelan. Sebanyak sepuluh anak tertawa menanggapi perkataan Rian. Mengajar sepuluh anak tidaklah mudah baginya. Terkadang saat ia menerangkan, ada anak yang asyik bermain sendiri, ada yang memilih diam saja, ada yang lari-lari, dan lain sebagainya. Apalagi tidak semua anak juga memahami dengan cepat apa yang ia sampaikan. Tetapi, tujuannya masih sama. Ia ingin mendidik anak-anak tersebut sampai bisa. Selagi, ia mengamalkan ilmu yang selama ini didapatkannya dari sekolah. Sepulang mengajar, ia memilih menyapu halaman dan belakang rumah yang ia tempati ini yang tampak kotor karena daun-daun berjatuhan. Beberapa orang yang lewat menyapanya, hanya ia sapa dengan senyuman saja. "Udah pulang, tumben cepet?" Seorang wanita paruh baya menatapnya dengan heran. Ia tersenyum, lalu mencium tangan kanan wanita paruh baya itu. "Seperti biasanya, Bu," ujarnya sambil terkekeh. Wanita yang dipanggil 'Bu' itu tertawa menanggapi putri yang baru ia temukan sebulan yang lalu. "Yang sabar saja, tetap jalani dengan baik. Ibu cuman bisa bantu do'a saja." "Tidak apa-apa, Bu. Selama ini Ibu sudah baik sama aku," ujarnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Mengingat bagaimana hidupnya selama ini. Orang lain memandangnya begitu beruntung, padahal nyatanya tidak seperti itu. Buat apa kekayaan jika tak ada kasih sayang, tidak ada kepedulian, hanya tak acuh saja yang tampak. Selama ini ia diam, tetapi bukan berarti ia membiarkan. Hatinya tentu memberontak, akan tetapi percuma saja. Ketika keegoisan tetap ada, maka akan terus begini. Ibu itu memeluknya, air mata yang ia tahan pun luruh seketika. "Nak, luaskan hatimu dengan sabar. InsyaAllah, hatimu akan tenang. Selalu ingat sama Allah, lebih rajin ibadahnya." "Iya, Bu." Ibu itu membawanya masuk ke dalam rumah. Membiarkan tanah kotor dengan dedaunan, yang terpenting hati putrinya tenang dan tidak sedih lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD