[ 05 - Kebencian ]

2155 Words
STORY 05 - Kebencian *** Tahun 2040 – Pemakaman Khusus Anak-anak Sosok dengan rambut pendek sedikit ikal persis seperti ayahnya. Kedua manik amber tajam, tubuh tinggi tegap bahkan hampir melebihi Ratu. Berpakaian hitam, kulit sawo matang dan nampak tegas. Dalam beberapa detik, sebelum Ratu berhasil menjangkau makam Ravin, laki-laki berumur 20 tahun itu sudah lebih dulu mendekatinya. Tanpa senyuman, dan penuh aura dingin, “Mau apa Ibu ke sini?” tanya sosok itu, tidak ada basa-basi dan langsung menanyakan alasannya ke sini. Ratu sedikit menengadah, maniknya meredup dan raut tetap tenang. “Tentu saja mengunjungi adikmu,” Kedua tangan Ratu sudah memegang erat buket dan beberapa makanan saat mata Asta melirik semua barangnya. “Apa Ibu setiap tahun membawa barang sebanyak itu ke sini?” tanya Asta lagi, kali ini dengan dengusan sinis. Ratu mengangguk tipis, “Ravin suka dengan susuu pisang, dan coklat. Jadi Ibu bawakan,” ujarnya, mengalihkan pandangan ke arah makam Ravin. Tak menyadari bagaimana Asta kini menatap tajam dan menyeringai semakin sinis, pose wajahnya terangkat, seolah enggan bersikap sopan di hadapan sang ibu sendiri. Sementara Rheandra berusaha menghampiri Asta, mendekati laki-laki itu sebelum hal buruk terjadi. “Asta, untuk hari ini saja, jangan melakukan hal aneh,” bisik Rhea, berharap Asta paham. Tapi sepertinya tidak, manik tajam Asta justru semakin kuat menatap Ratu. “Aku hanya ingin bertanya, mau apa wanita ini membawa banyak makanan dan buket bunga setiap tahunnya untuk orang yang sudah meninggal?” Manik Ratu melebar, wajahnya terangkat menatap Asta. “Untuk orang yang tidak akan pernah bangun dari tidurnya dan mencicipi semua makanan itu! Kenapa wanita ini baru melakukannya sekarang?! Sementara dulu, dia selalu mengabaikan kami?!” Asta menekan kalimatnya dan menaikkan suara. Tubuh Ratu semakin tegang, semua aktingnya hampir hancur saat Asta mengucapkan kalimat itu. Menggigit bibir bawah sekuat mungkin, “Asta, jangan mengatakan hal seperti itu. Ibumu pasti menyesal, dan-” Kalimat Rhea terpotong, “Menyesal?! Jika dia memang menyesal, seharusnya wanita ini melakukannya sejak dulu! Dia tidak perlu mengorbankan adikku juga ‘kan?!” Kemarahan Asta semakin besar. Bibir Ratu kelu, dia bahkan tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun, selain, “Ibu, minta maaf.” Kata maaf ribuan kali, dengan manik amber redup, dan ekspresi menahan tangis. Rheandra menatap Ratu sekilas, Ia menggeleng kecil. “Nyonya Ratu, akan lebih baik kita mengunjungi makam Ravin bergantian. Karena itu tunggulah sebentar saja,” ucapnya tipis. Melihat jelas bagaimana sosok Rheandra menepuk punggung Asta dengan lembut, menenangkan laki-laki itu agar tidak lepas kendali. “Asta, ayo. Jangan membuat keributan di sini, Ravin pasti tidak akan suka.” Asta yang tumbuh menjadi anak pemberontak, siapa menyangka kalau di depan Rheandra laki-laki itu mau menurut. Dibandingkan saat bersama Ratu, Kemarahan masih nampak di kedua manik putranya, namun sikap Asta sedikit tenang, “Hh, kalau bukan untuk Ravin, aku tidak akan sudi bertemu dengan wanita ini lagi,” dengus Asta kasar. Berbalik, dan kembali menuju makam Ravin, tanpa memberikan senyuman atau kalimat lembut sedikit saja pada sang ibu. Meninggalkannya bersama Rheandra, “Saya mohon untuk hari ini saja, biarkan kami mengunjungi makam Ravin dengan tenang.” Manik yang menatap Ratu tegas, “Bagaimana pun juga saya sudah merawatnya selama bertahun-tahun. Ravin sudah saya anggap sebagai putra saya sendiri, mohon mengertilah, Nyonya Ratu.” Ultimatum yang tidak bisa Ia bantah, setelah melihat sikap Asta tadi. Ratu tak bisa melakukan apapun lagi, *** Saat tubuh Rheandra berbalik hendak meninggalkannya. Ratu tetap diam memegang buket bunga dan makanan untuk Ravin. Mungkin dia memang harus menunggu sebentar lagi. Menghela napas panjang, wanita itu hendak pergi dan menunggu di dalam mobil bersama Tania. Sebelum tubuhnya kembali berhadapan dengan sosok tegap seseorang. Lelaki paruh baya yang kini membawa beberapa makanan dan bunga, serta dupa harum. “Kau mau kemana?” Suara baritone itu bertanya sekilas, dengan raut datar dan alis terangkat heran. Ratu menengadah, dan tersenyum tipis. “Aku bergantian saja. Kalian bisa lebih dulu menyapa, Ravin.” Mengalihkan perhatian, hendak pergi. “Ravin, tak akan suka jika ibu kesayangannya tidak datang lebih dulu menemuinya,” Kalimat Arsen terucap begitu polos. Rheandra yang awalnya hendak menghampiri Asta mengurungkan niat dan berjalan lagi mendekati sang suami. “Rakha,” Dengan raut khawatir seolah tak setuju, tanpa ragu menghampiri laki-laki itu dan mengambil barang-barang di tangan Arsen. “Asta, tidak suka jika Nyonya Ratu berada di dekat kita. Akan lebih baik kalau Nyonya Ratu menunggu saja,” bisiknya pelan. Ratu bisa mendengar jelas, bahkan panggilan special yang Rhea tujukan pada laki-laki itu. Tapi tak apa, dia sudah terbiasa. Mengira bahwa Arsen akan mengerti dan setuju, laki-laki paruh baya itu justru menggeleng kecil. “Bagaimana pun juga Ratu adalah ibunya. Aku tidak bisa membiarkan putraku tumbuh menjadi sosok penuh benci seperti itu, sudah saatnya dia bersikap dewasa.” Tegas Arsen lagi. Manik Ratu melebar, tidak menyangka kalau kalimat itu akan keluar dari bibir Arsen. Sosok penuh kasih sayang dan selalu mengalah padanya dulu. Lembut, teduh, namun ketegasan Arsen tak pernah hilang. Sikapnya yang adil, dan dewasa. Walau senyuman sudah tidak tercetak di wajah tampan itu. Arsen tetap menganggapnya sebagai ibu Asta dan Ravin. “Tapi Rakha, Asta bisa saja mengamuk nanti,” Rhea kembali membujuk suaminya. “Aku tidak akan membiarkannya.” Kalimat terakhir Arsen seolah menjadi penentu. Tidak bisa dibantah siapapun, Rheandra akhirnya menyerah. “Baiklah.” Tanpa menatap Ratu lagi, wanita itu berjalan tepat di samping Arsen. “Ayo, Nyonya Ratu.” Sembari memanggil namanya. Ratu hanya menghela napas panjang. Bersiap-siap, jika mungkin nanti Asta akan semakin mengamuk karena sikapnya. *** Flashback On – Tahun 2024 Pukul 21.00 pm – Ruangan Kantor Dering handphone terus terdengar sejak beberapa menit lalu. Ratu yang terpaksa harus melemburkan diri dan berkutat lebih lama dengan dokumen mendesah panjang, Berusaha mengabaikan panggilan tersebut, namun dering handphone tidak berhenti, tangan yang berniat menandatangani dokumen terdiam sesaat. Maniknya melirik ke arah layar handphone, ‘Ada apa lagi sekarang?’ batin Ratu lelah. Bukannya di rumah sudah ada Arsen dan Rheandra yang menjaga anak-anak? Tangan itu bergerak membuka layar kunci, melihat nama Arsen tercetak di sana. Kenapa laki-laki itu menghubunginya? Mendengus tipis, jemarinya langsung mengangkat panggilan sang suami. Ratu sudah menggunakan semua kekuatannya sampai malam ini, jujur saja dia lelah dan lapar. Tapi mau bagaimana lagi, semua pekerjaan ini harus selesai besok, ada rapat penting dan Davaron ikut serta bertemu para klien, jadi Ratu tidak boleh melakukan kesalahan apapun. “Ada apa kau menghubungiku?” Tanpa berbasa-basi, Ratu menanyakan maksud Arsen, belum sempat laki-laki itu menjawab. “Huaaa, Bu—ibu!! Buu, dimana!! Huee, ibu!! Asta, mau ibu!!” Suara Asta terdengar nyaring, diiringi isak tangis memanggilnya berulang kali. “Bu, Ibu!! Yah—ayah, ibu mana?! Huaaaa!” Kali ini Ravin pun ikut merengek, memanggil nama sang ayah, menanyakan keberadaannya. “Kau dengar sendiri kan, Ratu?” ujar Arsen tipis, sembari berusaha menenangkan tangis putra mereka. “Ravin dan Asta, merindukanmu. Mereka terus rewel sejak tadi, panas badan Asta naik dan Ravin ikut demam sekarang,” lanjutnya. Berharap Ratu akan mengerti maksudnya, tapi sayang. Pikiran Ratu saat ini sangat kacau, dan lelah. Ada beberapa dokumen yang harus dia tandatangani, “Lalu? Kau memintaku pulang?” tukas Ratu setengah kesal. “Iya, bisakah kau pulang lebih cepat. Kita antarkan Ravin dan Asta ke dokter bersama,” Ucapan simple Arsen sanggup menaikkan emosi Ratu seketika. Antara khawatir dan lelah, meski sedikit kesal. Menatap dokumen di depannya, wanita itu menyerah saat mendengar suara tangisan Ravin dan Asta memanggilnya berulang kali. “Bu, pulang—huaaa, ibu!!” “Iya, iya, sayang. Sebentar lagi ibu kalian pulang ya, ayo berbaring lagi,” Suara Arsen menenangkan kedua putra kembar mereka ikut terdengar. Menarik napas panjang, Ratu menyerah. Mendesah panjang, “Hh, baiklah. Aku akan pulang sebentar lagi,” desahnya tipis. “Syukurlah, kami menunggu, Ratu. Apa kau sudah makan malam? Aku membuatkanmu makan malam tadi, setidaknya jaga kondisimu, jangan sampai sakit.” Suara baritone yang teduh dan menenangkan. Sekeras apapun, sedingin dan sedatar apapun sikap Ratu pada Arsen. Laki-laki itu tidak pernah marah, bahkan sekedar menunjukkan sikap kesal, dan dingin pun tidak pernah Ratu rasakan. Setiap Ia pulang bekerja, Arsen akan selalu ada. Menunggunya pulang, dan diam di ruang tamu. Sambil menonton televisi, menyambut Ratu saat di rumah, dengan senyuman lembut dan hangat. Entah apa yang Tuhan lakukan sampai-sampai memberi hukuman Arsen, harus menikah dengan wanita sepertinya? Kadang Ratu berpikir. Kenapa Arsen mau dan menerima perjanjian kedua orangtuanya? Apa karena laki-laki itu sedang membutuhkan uang banyak? Tapi meski punya uang banyak pun, toko bunga yang dimiliki Arsen tidak pernah berubah. Walaupun tidak besar, tapi toko dengan konsep café itu tak pernah sepi pelanggan. “Ratu, kau masih di sana?” Suara Arsen kembali menyentakkan pikiran Ratu. Wanita itu mengerjap, “Ah, ya. Tidak perlu, aku sudah makan malam tadi. Kau saja yang makan, berikan anak-anak obat jika perlu,” “Begitu,” Terdengar sedikit ada kecewa, namun berhasil ditutupi laki-laki itu. “Rheandra sedang membeli sirup penurun demam sekarang,” Nama Rheandra terucap, Ratu kembali terdiam. Apa yang dia pikirkan? Menggeleng singkat. “Aku akan menghubungi dokter spesialis dan menyuruhnya ke sana,” tukasnya lagi. “Kau akan pulang sekarang ‘kan? Kedua putra kita memanggilmu sejak tadi, mereka terus menangis.” bujuk Arsen tipis. Menarik napas panjang, Ratu memijat keningnya. Dia akan melanjutkan pekerjaan ini nanti, “Ya, aku akan pulang sekarang.” “Terimakasih, Ratu. Aku mencintaimu,” Satu kalimat kecil terucap dari bibir Arsen. Berulang kali, dan tak pernah lelah laki-laki itu berikan padanya. Tertegun dan diam. Ratu mendesah panjang. Belum waktunya, dia tidak mencintai Arsen. Pernikahan mereka hanya dibatasi dengan perjanjian belaka. Tak ada kewajiban bagi Ratu untuk membalas perasaan laki-laki itu. “Ya,” Hanya satu kata terucap, sebelum panggilan terputus. Tanpa menjawab ucapan Arsen, dia sudah terbiasa. Penyesalan kedua Ratu. Dia sendiri tak tahu kalau masa depan akan menarik orang-orang itu pergi, dari sisinya bahkan di saat Ratu ingin mengucapkan kalimat itu, membalas ucapan mereka. Dia tidak bisa. *** Tepat setelah Arsen menghubunginya, Ratu berniat bangkit dari tempat duduk dan mengambil jaket bersiap-siap pulang. Nada dering kembali terdengar. Kali ini bukan sang suami melainkan dari Davaron. Kakaknya sendiri. “Ada apa, Kak?” Ratu tahu sendiri, kakak yang hanya menghubunginya jika ada hal-hal menyangkut pekerjaan datang. Sangat tak mungkin jika laki-laki itu menelpon untuk sekedar menanyakan kondisinya saja. “Apa kau sudah selesai menandatangani dokumen untuk besok? Aku tidak ingin ada yang terlewat dan membiarkan klien kita menunggu,” tegas Davaron padanya. Lelaki berusia lima tahun lebih tua darinya, namun sudah mampu menduduki posisi utama direktur di perusahaan inti Ragnala. Jika dibandingkan dia yang hanya menjabat sebagai CEO di beberapa cabang perusahaan fashion mereka. Tentu saja kedudukan Ratu berbeda jauh, “Aku akan melanjutkannya besok,” desah Ratu tipis, Siapa yang menyangka kalau laki-laki itu akan terkejut dan langsung membentaknya. “Apa kau gila?! Besok kita ada pertemuan penting, mereka bukan sembarang klien dan kau belum menyelesaikan dokumen tanda-tangan besok?!” “Bagaimana kalau nanti mereka mengundurkan diri dan tidak mau berinvestasi di perusahaan kita?! Kau mau bertanggung jawab?! Satu kesalahan kecil saja bisa membuat perusahaan Ragnala kacau, Veena!” Manik Ratu tertutup rapat, kepalanya terasa pening, “Kedua putraku sedang demam malam ini, jadi aku harus pulang, Kak. Mengertilah,” Berharap Davaron paham karena laki-laki itu pun pasti pernah mengalami hal ini sebelumnya. “Tidak! Kau bisa menyuruh Arsen menjaga mereka ‘kan?! Selesaikan tugasmu, jika terjadi kekacauan besok. Aku tidak akan segan menurunkan jabatan dan posisimu di perusahaan, paham?!” Memberi ancaman mutlak. Manik Ratu melebar shock, “Kau tidak bisa melakukan itu, Kak?! Aku akan datang pagi besok, dan menyelesaikan pekerjaan ini, jadi-” Kalimatnya terpotong cepat. “Jangan membantahku, jika kau memang ingin bersaing dengan kakakmu ini. Apa setelah menikah adikku ini berubah menjadi wanita lemah?” Satu dengusan sinis terdengar. Bibir Ratu terasa kaku, detak jantungnya berdegup kencang. Amarah itu berhasil Davaron aktifkan, “Kak,” “Jika kau ingin menyaingiku. Bersikaplah professional. Anak-anakmu tidak akan mati hanya karena menangis dan demam ‘kan?” “Kau akan terus kalah, jika semakin lemah seperti ini, Veena.” Satu kalimat terakhir Davaron berhasil membuatnya beku, amarah Ratu hampir meledak sebelum akhir panggilan itu terputus sepihak. Bagaimana bisa laki-laki sialan itu mengutuknya seperti ini. Tumbuh hanya dengan tujuan untuk mengejar sosok sang kakak. Mengalahkan laki-laki itu dan menjadi pemimpin perusahaan. Hanya itu saja hal yang Ratu pelajari sampai sekarang. Tidak berubah dan Davaron berhasil membuatnya kalah lagi. ‘Tidak, aku tidak akan kalah! Aku akan merebut perusahaan utama itu dan membuat kau jatuh, Davaron!!’ Dalam sekejap semua kekhawatiran Ratu menghilang. Digantikan rasa benci, dan amarah. Tubuh yang hendak berbalik pergi, itu perlahan kembali duduk. Dengan manik tajam, tanpa ekspresi. Malam itu, dia sama sekali tidak tahu. Bahwa Asta dan Ravin tertidur dalam tangisan mereka, memanggil nama sang ibu dan mengigau berulang kali. Tapi sayang, sampai pagi pun. Wanita itu tak kunjung pulang. Maaf, aku tidak bisa pulang malam ini. Besok aku akan melihat keadaan mereka. Satu pesan terkirim pada sang Rajendra. Membuat lelaki itu kecewa. Flashback Off – Tahun 2024
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD