[ 04 - Berubah ]

1721 Words
STORY 04 - Berubah *** Tahun 2040 – Pemakaman Khusus Anak-anak Tampan walau di usianya yang ke 50 tahun. Sosok Rajendra Arkha Arsenio tidak pernah berubah. Tubuh tegap menjulang, dan gaya berpakaian simple kehitaman. Ratu tidak menyangka akan bertemu bahkan ditolong oleh laki-laki itu. Sosok yang begitu Ia hindari beberapa tahun belakangan ini. Tahun-tahun lalu Ratu selalu bisa mengelak dan berhasil mendatangi makam Ravin tanpa harus bertemu dengan Arsen. Tapi sekarang, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Arsen berdiri di dekatnya, dengan wajah tanpa senyuman. Sikap tenang dan dingin, sementara Ratu. Ia berusaha tersenyum tipis, “Terimakasih sudah menolongku tadi,” ujarnya sekilas. Berusaha membenarkan barang-barang yang Ia pegang, bersikap tenang dan memberanikan diri menatap wajah tampan itu. Arsen tak menjawab ucapannya, berbalik hendak meninggalkan Ratu. Seolah tak peduli dengan gerak-gerik wanita itu. Hanya beberapa detik saja mereka berbicara, manik amber Ratu menatap tubuh tegap yang perlahan menjauh, membeli sesuatu tak jauh dari posisi mereka tadi. Ratu mendesah tipis, mengeratkan pegangan pada makanan dan buket bunga. Ia kembali fokus berjalan, antara ragu dan yakin. Apa dia harus menunda waktu melihat makam Ravin? Mengingat laki-laki itu pasti tak akan sendirian ke tempat ini. Setidaknya dua orang diantara sosok yang Ratu kenal pasti datang juga. Menggeleng cepat, dia tak bisa menunda lagi. Untuk apa Ratu menghindar selama ini? Dia datang ke sini karena ingin bertemu Ravin, bukan untuk bersembunyi dari orang-orang itu. Membulatkan keputusan, langkah kakinya kembali yakin berjalan menuju arah makam sang putra. Dengan detak jantung yang terus berdegup kencang, mengeratkan pegangan, tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Tubuh sedikit menunduk itu berusaha untuk tegap walau agak sakit. Tak perlu waktu lama baginya melihat area makam Ravin yang berada khusus dengan desain batu marmer cream dan buket bunga menghiasi di sekitarnya. Ratu juga melihat dua siluet familiar. Dua orang itu juga tidak mungkin melewatkan hari ini. Terutama pemuda yang kini nampak sibuk mengelus pahatan marmer diatas tanah, bertuliskan nama panjang Ravin. Sosok yang tumbuh dewasa di usianya yang ke 20 tahun. Tinggi, tegap, dengan rambut sedikit acak-acakan, tampan, persis seperti Arsen. Faresta Aksa Mahapranu, “Asta,” bisik Ratu tanpa sadar, menahan diri agar tetap tenang dan tidak panik. Ia terus berjalan, melihat sosok Asta didampingi seorang wanita paruh baya yang ikut mengelus punggung putranya lembut. Ratu tidak menyangka bahwa wanita paruh baya itu akan ikut menjungkir balikkan hidupnya seperti sekarang ini. Bagaimana bisa? Ketidakbecusan, keegoisan dan rasa harga dirinya yang tinggilah menjadi alasan. Kenapa dua putra kembarnya justru menganggap seorang wanita lain sebagai ibu mereka. Manik ambernya perlahan meredup, semakin berjalan mendekat, pelan dan takut. Menggenggam erat buket bunga di tangan, napas Ratu tercekat, Saat wajah wanita paruh baya di sana yang lebih dulu terangkat dan melihat sosoknya. Manik mereka bertemu tak sengaja. Ia terkejut, begitu juga wanita di sana. Tubuh Ratu menegang kaget, melihat bagaimana ekspresi wanita itu nampak teduh dan tersenyum ke arahnya. Dengan santai mengelus rambut Asta tanpa ragu, dan berbisik tipis. Perlahan bangkit dari posisi tadi, berjalan mendekati Ratu. Mereka bertemu lagi. “Selamat siang, Nyonya Ratu. Lama tidak bertemu dengan anda,” Sapaan lebih dulu Ratu dengar, sosok itu tersenyum tipis, berdiri memperlihatkan wajah seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. “Selamat siang, Rheandra.” Wanita yang dulunya bekerja sebagai pengasuh sejak kecil Asta dan Ravin saat Ia sibuk. Merawat bak menjadi ibu pengganti bagi kedua putra kembarnya. Sosok dengan status berbeda hari ini. Istri, Rajendra Arkha Arsenio sekarang. Rheandra Daffy Samantha. *** Flashback On – Tahun 2024 “Perkenalkan nama saya Rheandra Daffy Samantha, mulai hari ini saya akan bekerja sebagai pengasuh di kediaman anda, Nyonya.” Wanita berusia 27 tahun itu berdiri sembari membawa dua buah koper cukup besar, dengan gaya berpakaian simple namun terlihat modis di mata Ratu. Mereka hanya berbeda usia 2 tahun saja, Pertemuan pertama mereka, saat Ratu berusia 29 tahun. Tepat empat tahun setelah Ia menikah dengan Arsenio dan melahirkan dua putra kembar. Rambut hitam bergelombang cukup panjang, kedua manik bak kucing berwarna kecoklatan, senyuman teduh dan aura positif menguar. Sudah cukup membuat wanita itu lulus bekerja di tempatnya. Ratu sengaja mencari pengasuh tepat saat usia kedua putranya menginjak empat tahun. Dengan berbagai pertimbangan, bahkan beberapa pertengkaran dengan Arsen tentang merawat kedua putra mereka. Arsen sebenarnya sangat tidak setuju Ratu menyewa pengasuh, karena mereka berdua pun sudah cukup mampu menjaga Asta dan Ravin. Tapi siapa lagi di dunia ini yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Ratu? Tak ada. Perdebatan mereka selalu diakhiri dengan Ratu sebagai pemenangnya. Tak ada yang bisa membantah perintah dan keinginan Ratu. Fakta bahwa Ratu lebih memilih pekerjaan dan berdiam diri lebih lama di dalam ruangan kantor dibandingkan bermain dengan kedua putranya sudah cukup membuat Arsen menyerah. Bahkan setelah melahirkan dua putra kembar pun. Dalam waktu satu minggu saja, wanita itu mampu berdiri dan memilih untuk bekerja, sesekali Ratu hanya memompa air susuunya dan memberikan Ravin serta Asta botol tanpa sempat memeluk atau menghisap langsung dari buah dadaa sang ibu. Keterlaluan memang. Tapi mau bagaimana lagi?! Pekerjaan Ratu sangat banyak, bahkan menumpuk setelah dia terpaksa mengambil cuti seminggu! Ratu tidak pernah mengharapkan apapun dari Arsen, seperti yang pernah mereka janjikan. Pernikahan ini hanya sebatas janji belaka. Tak ada cinta, itu yang Ratu inginkan. “Ingat-ingatlah nama putraku,” Faresta Aksa Mahapranu, sosok kakak yang lahir beberapa menit lebih cepat dibandingkan adiknya. Ravindra Abel Alterio, adik yang lahir lebih lambat dibandingkan kakaknya. Ravin dan Asta, itu panggilan mereka. “Asta dan Ravin, mereka manis sekali,” Sebuah foto saja sudah mampu membuat senyuman tercetak di wajah Rhea. Ratu mendengus tipis, “Kau sudah mengerti tugasmu ‘kan? Jaga kedua putraku, berikan apa yang mereka inginkan, jangan biarkan siapapun mengganggu atau mengusi mereka, jika mereka menangis, beri saja susuu yang sudah kubeli di dalam rak makanan. Paham?” jelas Ratu tegas. Usia Ravin dan Asta baru beranjak 4 tahun. Kedua putranya sudah mampu berbicara dan berjalan walau masih belum pasif. Ratu sudah menjaga mereka sejak beberapa tahun lalu, itupun lebih banyak Arsen-lah yang bersama keduanya. Kali ini, karena usia Ravin dan Asta semakin dewasa, Ratu tidak ingin membuang lebih banyak waktu dan lebih memilih untuk fokus kembali bekerja. “Mereka sedang ada di ruang bermain hari ini, jika mereka ingin bermain keluar, setidaknya beritahu aku lebih dulu.” Ratu menjelaskan semuanya dengan cepat, sembari mengecek jam tangan. Tanpa melihat dua sosok mungil yang Ia bicarakan tadi ternyata berlari dari area bermain dan hendak menghampirinya. Saat menatap bagaimana sosok sang ibu nampak menggunakan pakaian asing, dan aroma parfum cukup kuat. Entah kenapa insting kedua anak kecil itu langsung keluar. Ravinlah yang berjalan lebih dulu, sedikit terhuyung mendekati Ratu, diikuti Asta yang ikut merengut menahan tangis. “Kalau begitu aku pergi dulu-” Ucapan Ratu terhenti saat sebuah tangan mungil menarik pakaiannya pelan. Maniknya teralih reflek dan sedikit membulat kaget. “Ravin?” Kedua mata yang bulat dan menggemaskan itu nampak khawatir, dengan tekukan di bagian kening dan rengutan bibir, Ravin menggeleng berulang kali. “Ngan—ja—ngann pergi, Bu!!” Suara manis itu berucap dengan lantang, menahan tangis saat melihat sosok ibunya ingin pergi menjauh. Asta ikut mendekat, kali ini menarik juga pakaian Ratu, “Main-in—sama kami, Bu!! Yuk!!” Rhea menatap gemas kedua anak kecil itu, siapa yang bisa menolak pandangan imut, dan suara super manis dari kedua bocah kembar di depannya? “Ravin, Asta, lepaskan baju Ibu sekarang. Ibu, sudah terlambat," Mungkin Ratu? Wanita itu membalas semua ucapan kedua putranya dengan nada cukup datar dan dingin, bahkan melepas jemari mungil yang masih kuat memegang bajunya. “Tidak mau!! Main yuk, Bu!! Main!” Asta kini merengek, mengeluarkan tantrum, begitu juga Ravin. “Bu, ngan--jangan pergi! Diam di sini, ya?” Suara manis dan manik bulat itu mungkin menganggap sang ibu bercanda. Mungkin- Tapi tidak hari ini. “Ravindra, Faresta, dengarkan kata Ibu! Jangan bersikap kekanakan seperti ini! Lepaskan baju Ibu sekarang,” Tegas dan begitu enteng Ratu menaikkan suaranya. Membuat dua tubuh mungil tadi terkejut, mereka reflek menahan tangis. Melepas genggaman pada baju sang ibu, dan menunduk, “Maa—af, Ibu,” Berujar kompak. Ratu mendesah cepat, menggeleng tak percaya, “Ibu, sudah terlambat sekarang. Mulai hari ini, kalian akan ditemani oleh kakak Rheandra, jadi jangan rewel lagi. Ibu, akan pulang lagi nanti,” Kembali mengecek jam, Ratu bergegas mengambil tasnya. “Ibu, pergi dulu,” Saat tubuhnya menjauh dari ruangan, Ravin dan Asta yang awalnya diam. Perlahan mengangkat wajah mereka. Tidak perlu waktu lama bagi mereka, Kompak mengeluarkan tangisan, dan berteriak memanggil sang ibu. “Ibu!! Ikut!! Huaaa, ikut!! Ikut!!” Hendak berlari mengejar Ratu lagi tapi Rheandra sudah sigap menghentikan mereka. Satu dari ribuan kesalahan yang Ratu perbuat dulu. Penyesalan pertama-nya. Flashback Off – Tahun 2024 *** Tahun 2040- 14 Februari – Pemakaman Khusus Anak Ratu tidak akan pernah lupa. Wanita itu datang ke dalam hidupnya beberapa tahun lalu. Sosok yang tidak pernah Ia sangka akan mengambil bendera kemenangan dan mendapatkan semua miliknya. “Bagaimana kondisi anda, Nyonya Ratu? Tubuh Anda terlihat kurus sekali,” tanya Rheandra dengan nada khawatir. Manik wanita itu menatap Ratu dari atas sampai bawah dengan sengaja. Apa yang dia harapkan darinya? Berani bertatap muka dengan sosok yang dulu menjadi mantan istri sang suami. Ratu tetap terlihat tenang, tidak tertekan sedikit pun. Tersenyum tipis, “Kondisiku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir.” jawabnya singkat, berniat menyudahi basa-basi mereka dan menghampiri makam Ravin. Tapi tubuh Rheandra seolah sengaja menghalanginya, berdiri tepat di depan Ratu. Wanita itu menunjukkan wajah redup, “Nyo-Nyonya, bisakah anda menunggu sebentar saja?” pinta sang Samantha sekilas namun masih bisa terdengar olehnya. Alis Ratu bertaut, “Menunggu? Untuk apa? Aku datang ke sini untuk mengunjungi makam putraku.” Tegas Ratu cepat. Rhea menggeleng kecil, “Untuk kali ini saja, saya takut perasaan Asta nanti tersinggung saat anda ke sana. Ravin pasti tidak menginginkan itu, jadi-” Ucapan Rheandra terpotong saat Ratu dengan sigap berjalan melewatinya. “E-eh, Nyonya!” Wanita itu kaget. Ratu tetap berjalan menuju makam Ravin, dengan wajah menatap lurus, tak peduli apapun ucapan Rhea. Walau wajah sosok tampan remaja lelaki di depan sana perlahan terangkat. Dengan wajah berbasuh dengan air mata menatapnya penuh amarah. Ratu tak boleh takut. Tatapan tajam, dan ekspresi yang berubah, air mata membasahi kedua pipi. Asta Mahapranu terkejut, Ia kembali dihadapkan dengan sosok yang begitu Ia benci sepanjang hidupnya. Bibir tipis itu berdecih singkat, tubuhnya berdiri tegap. “Beraninya wanita itu datang ke sini,” bisikan terdengar tipis dan jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD