[ 03 - Hello ]

1804 Words
STORY 03 - Hello *** TAHUN 2040 - Perumahan Elite Angkasa – Pukul 10.00 am Tanggal 14 Februari Tidak ada cerita bahagia di sini, awalan hari dimana pemeran utama wanita tertawa atau sekedar bercanda dengan teman-temannya. Tak ada teriak atau senyuman tipis. Wajah yang masih nampak cantik walau dibalut dalam kerutan tipis dan ekspresi yang dingin nan suram itu nampak kosong. Memandang sarapan paginya hari ini. Satu porsi salad dan satu gelas susuu hangat yang disediakan salah satu pelayan. Meja makan terasa besar dan hanya diisi oleh dua buah kursi dan beberapa cemilan, itupun jarang Ia ambil. Semua sekedar menjadi pajangan saja. Ruangan yang sepi dan hening bernuansa abu, dilengkapi dengan peralatan mahal. Televisi nampak menyala, menyiarkan berita pagi ini. Tentang perkembangan perusahaan yang meroket beberapa tahun belakangan. Sudah hampir berpuluh-puluh tahun Ia berkutat dengan masalah itu. Setiap harinya sosok Ratu hanya disibukkan dengan pekerjaan, rapat, bertemu klien, pergi ke luar kota, tanda tangan, tanpa pernah sedikit pun mencari kesibukan di luar jadwal tersebut. Bahkan hingga sekarang pun, dia masih tetap sama. Manik berbentuk almond dengan warna amber keemasan itu nampak redup. Pagi ini kepalanya terasa pusing, tak ada niat sama sekali menghadiri rapat yang akan dilaksanakan pukul 12 siang nanti. Walaupun sudah lama wanita itu kehilangan niat untuk bekerja lagi. Tapi apa daya, satu-satunya hal yang bisa mengalihkan pikiran Ratu hanya bekerja saja. Semakin bertambah usianya, pikiran Ratu mudah dipengaruhi. Bahkan tak jarang dia menangis di dalam ruangan sendiri. Saat berita televisi masih memperlihatkan bagaimana perkembangan perusahaan Ragnala akhir-akhir ini. Entah kenapa dia merasa muak. Bergerak mematikan berita itu secepat mungkin, ruangan kembali hening. Ia mencoba fokus pada salad di atas meja. ‘Apa saja jadwalku hari ini,’ batin Ratu sekilas, manik melirik ke arah pintu masuk ruangan. “Tania, kau ada di luar?” Bibirnya segera memanggil nama sosok yang selama beberapa tahun ini menjadi assisten pribadinya. Tania Sekarpuja. Hanya sekedar asisten pribadi, tak lebih. Tanpa perlu waktu lama, wanita berusia 30 tahun itu langsung masuk ke dalam ruangan. Rambut panjang terikat ponytail, tak lupa kacamata menggantung di wajahnya. Tubuh tinggi tegap itu berjalan mendekati, sembari membawa sebuah berkas harian. “Ada apa, Nyonya?” Menyudahi acara sarapan kali ini, Ratu menghapus noda di sudut bibirnya, “Apa saja jadwalku hari ini?” Seperti yang Ia duga, tidak pernah sehari pun Ratu mendapat waktu luang. Bahkan hingga sekarang, entah dia harus bersyukur atau mengutuk takdirnya. Tania berdiri tegap, dengan sigap menjelaskan semua jadwal Ratu, tanpa terlewat. “Siang ini pukul 12, anda harus mengikut rapat penting dengan beberapa manager cabang Ragnala, lalu dilanjut dengan pertemuan dengan tuan Davaron pukul 3 sore, pukul 5 ada acara makan malam dan pertemuan beberapa pembukaan perusahaan klien baru serta investor, pukul 9 malam ada beberapa pertemuan singkat dengan investor asing yang baru saja datang nanti pukul 8 malam.” Semua pertemuan itu sudah cukup menyita waktu Ratu. Ia hanya mendesah tipis dan mengangguk paham, “Baiklah, terimakasih. Kau boleh kembali ke luar,” Menutup manik sekilas, Tanpa menyadari sosok Tania masih berdiri setia di sampingnya. “Nyonya, bagaimana kondisi anda hari ini?” Ratu menegang, kedua mata itu kembali terbuka. Melirik Tania sekilas, “Kondisiku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir.” jawabnya singkat, berpikir bahwa Tania akan menyerah, tapi tidak. Wanita itu tak pernah berubah, “Saya lihat akhir-akhir ini tubuh anda semakin kurus. Nyonya, bahkan hanya makan satu piring salad saja itu pun tidak habis, saya khawatir dengan kesehatan anda.” jelas Tania tipis. Ratu mungkin menganggap bahwa selama ini dia selalu sendiri, tanpa menyadari seseorang masih setia berada di sampingnya. Tahan dengan semua sifat dingin dan datar Ratu. Tanpa sadar tersenyum tipis, “Apa aku semakin tua, Tania? Semakin hari tubuh ini semakin lemah, bahkan untuk bangkit di pagi hari pun aku kadang enggan.” Menggeleng cepat, Tania memeluk erat berkasnya. “Anda masih tetap cantik, Nyonya Edrea! Hanya saja tubuh anda semakin kurus karena menolak makanan bergizi dari para chef. Seharusnya anda tidak memaksakan diri untuk bekerja jika kondisi sedang tak sehat,” Siapa sangka kalimat kecil Tania sanggup membuat semangatnya sedikit terangkat. Walau usia Tania bisa dibilang tak muda lagi, tapi sifatnya tetaplah seperti gadis remaja. “Bagaimana kabar putrimu? Apa dia tidak rewel ibunya pergi pagi-pagi terus setiap hari?” Wanita itu sudah menikah dan bahagia dengan suami dan satu anak perempuan mereka. Kekehan tipis Tania terdengar, wanita itu nampak tersipu dan senang, “Kabar Risa baik-baik saja, Nyonya. Dia sedikit rewel tadi karena saya tinggal, tapi tidak masalah, saya sempat menidurkan dan memberinya susuu setelah itu berbagi tugas dengan Veno,” Dari ucapan Tania, Ratu sudah bisa menebak seberapa harmonis hubungan keluarga wanita itu. Tidak ada beban, melainkan rasa senang dan puas dengan kehidupannya sekarang. “Baguslah,” Berbeda dengan dirinya. Entah berada dimana sekarang suami dan putranya. Sudah hampir berapa tahun mereka tak bertemu. Usai perceraian mereka, tiga tahun setelahnya Ravin meninggalkan dunia ini. *** Senin tanggal 14 Februari, bangun dalam bayang mimpi buruk yang semakin terasa nyata. Bagaimana bisa Ratu lupa, bahwa khusus untuk hari ini saja. Dia harus membuang semua jadwal kesibukannya. “Tania,” Wanita dalam balutan baju kerja berkerah warna cream itu berdiri tepat di depan kaca besar, di belakangnya sosok Tania nampak sibuk menyiapkan beberapa berkas dan memasukan ke dalam tas. “Iya, Nyonya?” “Bisakah kau kosongkan waktu pukul dua siang nanti?” pinta Ratu dengan nada tipis, bergerak merapikan rambut pendeknya sekilas. Tak perlu riasan yang mewah dan waktu banyak, Ratu sudah selesai dengan semua kegiatannya pagi ini. Tanpa melihat ekspresi Tania yang awalnya tak mengerti maksud Ratu, namun beberapa detik kemudian dia langsung sadar. Raut wajahnya berubah pedih, “Maaf, Nyonya. Bagaimana bisa saya lupa,” ucap Tania pelan, menundukkan tubuh berulang kali. Menahan tangis, Ratu menggeleng kecil, “Tak masalah, aku yang salah karena tidak mengingatkanmu tadi. Jadi apa kau bisa mengatur ulang waktuku nanti siang bersama tuan Davaron?” Tania kembali berdiri tegap, dengan senyuman yakin Ia mengangguk kecil. “Saya akan berusaha mengatur semuanya, Nyonya.” “Kalau begitu saya akan menunggu di dalam mobil, Nyonya." Kembali berucap tipis, Ratu hanya menjawab dengan senyuman. Meninggalkan wanita paruh baya itu sendirian lagi, masih dalam posisi berdiri menatap kaca besar di dalam ruangan. Senyuman tipis Ratu perlahan menghilang, digantikan manik yang semakin redup. Bibir yang tertekuk, memaksa untuk tetap tegar, Ratu berusaha kuat. Menggigit bibir bawah sekencang mungkin meski nanti akan meninggalkan luka. Sesak dan air mata terbendung perlahan. “Kau harus kuat, Ratu. Semua ini akan kau tanggung hingga ajal menjemput,” bisiknya tipis. Menepuk-nepuk dadaa berulang kali, mencoba bernapas panjang. Hari ini, tanggal 14 Februari, tepatnya sepuluh tahun lalu. Salah satu malaikat kecil yang selama ini Ratu abaikan harus kembali ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, karena ketidakmampuannya. Tuhan mengambil kembali nyawa salah satu putra kembarnya. Ratu tidak akan lupa. Fakta bahwa semua kesalahan ini dikarenakan dirinya sendiri. Sosok wanita egois yang tidak pernah peduli pada siapapun selain harta dan harga diri. “Bagaimana kabarmu di atas sana hari ini, Ravin?” bisik Ratu tipis. Disertai senyuman pedih, berdiri tegap memandang diri yang nampak kurus dan menunduk rapuh. “Sampai kapan kau ingin menghukum ibumu ini?” Hukuman itu terus Ratu rasakan, tanggal 14 Februari. Hari kelahiran yang menyenangkan harus diganti dengan tangis dan trauma mendalam. Tidak ada kebahagiaan, melainkan sengsara. “Ibu akan berusaha dan bertahan dengan semua hukuman yang kau berikan,” Ratu siap. Meski harus menghancurkan dirinya sendiri. Dia tidak akan marah atau kesal. *** Pukul 3 siang–Pemakaman Khusus – Pusat Kremasi Satu buket bunga yang cukup besar, beberapa bungkus makanan serta coklat seperti biasa Ratu siapkan dengan sangat lengkap. Tak lupa dengan satu kotak susuu besar rasa pisang. Mobil besar berwarna hitam itu sengaja diparkirkan tak jauh dari area pemakaman. Tanpa bantuan dari Tania, Ratu ingin membawa semua barang-barang itu sendiri. Dibalik senyuman tipisnya, “Nyonya, anda benar-benar tidak ingin saya temani?” tanya Tania sekali lagi. “Anda juga belum makan siang sejak tadi, Nyonya.” Menggeleng kecil, “Tidak perlu, kau tunggu saja di sini, aku tak akan lama.” jawab Ratu singkat, Berjalan sembari membawa banyak barang, sedikit kesusahan masuk ke area pemakaman khusus untuk anak-anak. ‘Ravin, pasti suka, ibu sudah membawakan banyak makanan untuknya,’ batin Ratu tersenyum tipis. Berjalan tanpa memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Area pemakaman khusus anak ini hanya dihadiri beberapa anggota keluarga yang ingin menjenguk. Para penjaga pun sudah mengenal wajah Ratu dan langsung membiarkannya masuk. “Wah, kali ini sepertinya Nyonya membawa banyak makanan lagi,” Sosok wanita paruh baya berwajah teduh tersenyum menyapa. Ratu mengangguk tipis, “Semua ini makanan kesukaan Ravin, Ibu Asmi.” Tukas Ratu pelan. “Ravin, pasti senang karena ibunya selalu datang menjenguk.” Betapa inginnya Ratu menangis kali ini, tapi tenang saja. Bakat beraktingnya sudah cukup luar biasa, menahan semua ekspresi dan tetap tenang. Biarlah semua orang menganggapnya wanita tanpa perasaannya, karena Ratu hanya menunjukkan wajah terlemah dan tangisannya cukup di depan makam Ravin atau saat sendirian saja. Sebelum Ratu beranjak masuk ke area pemakaman, ibu Asmi seolah ingin memberi kabar. “Oh, iya Nyonya. Tadi baru saja ada yang datang juga ingin menjenguk makam Ravin,” Tubuh Ratu menegang, maniknya setengah melebar. Senyuman di wajah ibu Asmi memudar sekilas, sementara Ratu hanya mengangguk kecil. Kembali tenang, “Terimakasih informasinya,” Dia tahu siapa orang-orang itu. Setiap tahunnya, tak hanya Ratu saja yang rajin menjenguk makam Ravin dan membawa banyak makanan untuk putranya. Ratu tidak mungkin lupa. *** Perlahan berjalan mencari area pemakaman Ravin. Sedikit terhuyung membawa banyak makanan dan buket bunga untuk putranya. Walau detak jantung Ratu terus berdegup kencang, berusaha tetap tenang. Menjaga ekspresi wajah, terus melangkah, tanpa sempat melihat sekitar. Cukup banyak keluarga yang datang ke area pemakaman anak ini. Terus berjalan, saat melihat area pemakaman Ravin semakin dekat, Ratu mempercepat langkahnya. Tidak menyadari sama sekali, kalau tubuhnya yang tadi terhuyung hampir saja terjatuh karena tidak fokus melihat sekitar, tak sengaja menabrak tubuh tegap seseorang. “Hya!!” Ia hampir terjatuh, sebelum sebuah tangan besar menopang tubuhnya sigap. Begitu juga mengembalikan barang-barang Ratu yang hampir terjatuh. “Anda tidak apa-apa?” Suara berat yang kental, dan menenangkan, dibalik banyak barang itu. Ratu seolah kenal, maniknya mengerjap sekilas. Berusaha menegapkan tubuh kembali, detak jantung wanita itu makin terdengar kencang. Diantara banyaknya orang di sekitar area pemakaman ini. Kenapa dia harus bertemu dengan laki-laki itu? Sosok paruh baya yang berdiri dengan wajah kebingungan, namun dalam beberapa detik ekspresi wajahnya berubah. Walau usia lelaki itu sudah mencapai 50 tahun, ketampanan dan raut teduhnya masih tercetak jelas. Dulu mungkin, tidak sekarang. Karena begitu sosok itu tahu bahwa orang yang Ia tolong adalah Edrea Ratu Raveena, raut tenangnya berubah menjadi dingin. “Oh, ternyata kau datang juga,” Suara teduh berubah datar dan menekan. Berdiri tepat di depan Ratu, dalam balutan baju santai yang tetap formal. Ratu hanya tersenyum tipis. “Terimakasih sudah menolongku, Arsen.” Mantan suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD