STORY 02 - Penyesalan
***
“Kau membunuh adikku!! Pembunuh!!”
“Kalau saja kau tidak sibuk dengan pekerjaan dan lebih memperhatikan putramu, Ravin tidak akan meninggal!! Kembalikan adikku!!”
“Tolong dengarkan aku, Ratu. Wanita itu mencurigakan! Jangan percaya dengannya!!”
“Tolong bantu aku, Ratu. Su-suamiku, dia hampir membunuhku tadi, hiks- tolong!!”
“Aku kecewa padamu, Ratu.”
“Jangan pernah temui aku lagi.”
***
Terngiang berulang kali, sebuah mimpi yang terus datang tanpa henti. Membasahi tubuh ramping itu dengan keringat, walau kini Ia berada di ruangan ber-AC.
Suara teriakan itu terus terngiang, menamparnya berulang kali. Berusaha keras untuk bangun, namun Tuhan seolah melarang, dan memberi dia hukuman.
Untuk terus tidur, merasakan penderitaan dari orang-orang yang sudah Ia abaikan, dan khianati. Kesakitan, kesedihan, lolongan meminta tolong.
Tuhan benar-benar menghukum Ratu hingga titik terbawah hidupnya selama bertahun-tahun. Sudah sangat lama.
“Kenapa Ibu tidak mau datang? Padahal aku sudah menunggumu.”
Bayangan sesosok pemuda kecil dengan darah di sekujur tubuh, kepala yang terluka, kedua manik menatap dengan terbelalak tak percaya. Salah satu tangan patah, dan salah satunya lagi berusaha menggapai sosok Ratu yang ketakutan.
“Ma-maafkan Ibu,” Wanita itu menggeleng terus menerus, menangis terisak melihat kondisi putranya yang sangat kacau.
“Ra-Ravin,” Tubuh Ratu berubah lemas saat melihat putranya terjatuh, dan ikut menangis kencang.
“Ibu jahat!! Kenapa Ibu tidak datang malam itu?! Kenapa Ibu malah membiarkan aku sendiri?!” Tangisan kencang dengan darah mengucur dari luka-luka pemuda kecil itu.
Ratu ikut menangis, berusaha untuk bergerak menggapai tubuh mungil putranya. Ia menggeleng kencang, “Maafkan Ibu Ravin, maafkan Ibu!”
Ravin sama sekali tidak dengar teriakannya, pemuda kecil itu terus menangis. “Huaa, Ibu jahat!!”
Dia memang wanita yang sangat jahat. Penyesalan ini tidak akan bisa dibayar oleh apapun. Meski harus mati berkali-kali. Mencoba bunuh diri, namun dia tetap kembali.
Dengan dosa besar, melihat putra mungilnya menangis, tanpa bisa menggapai atau memeluk.
“Ibu jahat!! Aku kesakitan di sini!! Ibu jahat!! Huaa, ayah!! Kak Asta!! Tolong aku!!”
Teriakan Ravin terngiang, “MAAFKAN IBU!! RAVIN, MAAFKAN IBU!!” Membuat Ratu hampir gila, karena kesalahannya sendiri.
“Bukannya sudah kukatakan, kenapa kau tidak pernah mempercayaiku, Ratu.”
Kali ini, sesosok wanita yang familiar muncul dari dalam bayangan, tak jauh dari sisi Ravin, dengan beberapa luka tubuh dan memar bekas ikatan tali kuat di bagian leher.
Tangisan Ratu terhenti, Ia mengenal jelas wanita itu. Sosok yang biasa lembut dan ramah, sudah hampir berapa tahun dia tidak melihatnya.
“Ha-Hanum?”
Sosok itu tersenyum tipis, namun senyumannya menghilang dalam hitungan detik. Hanum berjalan mendekati Ravin, memeluk tubuh mungil putranya yang masih menangis.
“Kasihan sekali, kau harus pergi karena keegoisan Ibumu sendiri. Tante akan membawamu ke tempat yang indah, jadi jangan menangis lagi.”
A-apa? Membawa Ravin pergi?
“Jangan! Jangan bawa putraku pergi, Hanum!” Saat tangisan Ravin terhenti, pemuda kecil itu hanya mengangguk. Perlahan bangkit dan membiarkan tubuhnya digendong oleh Hanum.
Tanpa mengucapkan apapun pada Ratu.
“HANUM!! JANGAN BAWA PERGI PUTRAKU!!”
Tangisan Ratu pecah, tubuhnya tidak bisa bergerak, seberapa keras Ia berusaha. Ia hanya bisa menangis dan menggeleng, dengan salah satu tangan hendak menggapai tubuh Ravin.
“MAAFKAN AKU!! HANUM, KUMOHON JANGAN BAWA RAVIN!!”
Tubuh Hanum semakin menjauh, membawa Ravin bersamanya. Masuk ke dalam gelap bayangan, tanpa menatap Ratu lagi.
“HANUM!!! JANGAN BAWA PUTRAKU PERGI!! HANUM!!”
Satu teriakan kencang diiringi tangisan, “RAVIN!!!”
***
20 Tahun Berlalu
“RAVIN!!”
Kedua manik wanita itu terbuka cepat, salah satu tangannya dalam posisi menggapai ke atas. Tubuh penuh dengan keringat mengucur. Air mata mengalir deras dari pelupuk. Napas terengah,
Ratu terbangun dalam keadaan shock. Lagi-lagi, puluhan kali Ia menangis dan mimpi itu terus datang.
“Hh, Ravin?” Tubuh yang kini nampak sangat kurus berusaha bangkit dari posisinya tadi. Lemas, kedua manik mencari sosok yang muncul di dalam mimpi.
“Ravin, dimana kau,” Bergumam tipis, tanpa menghapus air mata yang masih membasahi pipi. Wajah itu perlahan penuh oleh kerutan, nampak letih dan semakin tua.
Rambut panjang kebanggaannya pun sudah tidak ada lagi. Sekarang hanya tersisa rambut pendek yang kian memutih hari demi hari. Rontok karena beban pikiran.
Mencari seseorang yang mungkin berada di kamarnya dan berlari khawatir saat mendengar Ia berteriak.
“Ravin, Hanum,” Tapi sayangnya tidak ada lagi. Di dalam ruangan yang besar dan mewah ini, Ratu sendiri.
Suaranya perlahan semakin menipis, tangan yang hendak menggapai sesuatu bergerak turun. Kedua manik dengan kerutan itu nampak redup kembali.
Tubuhnya gemetar, reflek menekuk kedua lutut, saat mengingat mimpi itu lagi. Tetesan bening nampak untuk kedua kali.
Penyesalan seorang Edrea Ratu Raveena yang tidak akan pernah Ia lupakan. Karena sikapnya yang egois, dingin dan hanya mementingkan kekayaan. Inilah hukuman dari Tuhan.
Saat semua orang kini sudah pergi. Di usianya yang menginjak 45 tahun. Ratu sendiri. Tak ada keluarga, tak ada suami, tak ada kedua putra kembarnya dan tak ada teman baik.
Semua hilang.
Bertahun-tahun, tepat setelah kematian putra bungsunya. Ratu menutup diri. Penyesalannya semakin bertambah saat sang putra sulung mengatakan bagaimana dia begitu membenci Ratu dan memilih untuk ikut dengan sang suami.
Ini semua salah Ratu. Apalagi yang bisa Ia pertahankan dari pernikahan yang dulu begitu Ratu benci. Semua ketamakan, sifat egois, dingin dan tidak pernah mencoba untuk mengerti perasaan orang lain selalu muncul. Hidup hanya dengan membawa kebanggaan, harga diri dan uang membuat Ratu termakan begitu mudah, semua hasutan kedua orangtuanya seolah menjadi panduan hidup bagi Ratu.
Siapa yang menyangka bahwa hasilnya akan seperti ini?
“Ugh,” Terisak lagi dan lagi, mengingat bagaimana kematian Ravin beberapa tahun lalu. “Maafkan Ibu, Ravin. Maafkan Ibu,”
Bahkan saat kematian salah satu sahabatnya, Ratu tidak sempat menjenguk sekali pun. Hal yang paling membuatnya semakin terpuruk adalah sifat egois Ratu dulu begitu besar.
Menolak untuk mempercayai semua ucapan salah satu sahabatnya yang sangat polos dan lebih percaya pada gossip. Bahkan saat wanita itu datang menangis pada Ratu, meminta tolong padanya.
Ratu memilih untuk diam dan tidak peduli. Apa kematian Hanum juga karena kesalahannya?
Wanita itu selalu datang ke dalam mimpinya, tersenyum tipis namun tidak menangis. Memeluk Ravin dan akhirnya membawa putranya pergi. Selalu seperti itu.
“Hanum, maafkan aku juga,”
Wanita itu ditemukan gantung diri di kamar tidurnya. Banyak yang mengira bahwa dia tidak waras, dan mengalami stress berlebihan karena itu menggunakan segala cara untuk membunuh dirinya sendiri.
Semua opini publik tak ada yang menyalahkan keluarga ataupun sang suami. Justru mereka merasa iba saat melihat suami Hanum menangis.
Tidak tahukah mereka? Atau semua hanya berpura-pura tak peduli?
Kematian Hanum- sangatlah tak wajar.
“Tolong aku, Ratu! Laki-laki itu ingin membunuhku!! Tolong!!”
***
Apa penyesalan ini bisa Ia ubah kembali? Setelah semua orang pergi. Meninggalkan Ratu sendiri.
Tangisan demi tangisan setiap harinya. Mimpi buruk terus datang. Tanpa ada siapapun di sisi-nya. Menjalani masa tua tanpa kehadiran sang suami dan kedua putranya.
“Hiks- maafkan aku, Arsen. Maafkan Ibu, Asta, Ravin,”
Bertahun-tahun, entah dimana keberadaan mereka sekarang. Mungkin Arsen dan Asta sudah bahagia bersama wanita itu.
“Rhea,”
Musuh terbesar Ratu.
Dengan bodohnya dulu dia begitu termakan oleh sifat wanita itu dan tidak mempercayai ucapan Hanum. Sangat bodoh.
Perlahan beranjak turun dari tempat tidur, tubuh kurus itu berjalan lemah menuju meja rias, menggunakan pakaian tidur yang sedikit berantakan.
Tidak perlu waktu lama baginya untuk melihat seperti apa wajah seorang Ratu sekarang. Stress yang menumpuk membuat Ia sedikit lebih cepat menua, tidak menggunakan perawatan mahal lagi, atau menjalani skincare rutin setiap minggu.
Ratu seolah mengabaikan semua perawatan tubuhnya, dia hanya fokus bekerja untuk membiayai hidup.
Wajah yang dulunya begitu kencang dan cantik kini nampak letih, lesu dan tidak bercahaya. Tak ada senyuman di sana, kedua manik yang biasa menusuk semua orang kini nampak redup.
Postur tubuh Ratu pun semakin menunduk kian hari, menerima beban pekerjaan dan tidak mengambil satu hari pun untuk beristirahat.
Dia hancur. Dalam ataupun luar
Tidak ada lagi yang tersisa. Sosok Ratu sekarang hanyalah sebatas cangkang kosong tanpa kehidupan. Bertahan untuk hidup, dan pasrah jika Tuhan akan mengambil nyawa-nya.
Ia sudah terlalu lelah untuk hidup.