2. Jadilah Istriku

1681 Words
Zaka sudah dipindahkan ke ruang perawatan dengan fasilitas cukup memadai. Dia masih harus dirawat secara intensif karena kondisinya, lemah dan akan terus diobservasi. Yusuf duduk santai di sofa di dekat jendela, kedua tangannya tengah asyik bermain ponsel. Dia tiba-tiba melirik ke arah putrinya. Zara terlihat masih memasang wajah pilu selama duduk di sebuah kursi berbahan logam—tetapi ringan sekali ketika digeser—di sebelah brankar. "Apakah kau sudah memberitahu keluarganya?" Di antara dua helaan napas, Zara lantas membalas lirikan ayahnya sekilas dan menuturkan, "Belum, Pa, aku tidak tahu harus menghubungi siapa karena ponselnya dikunci dengan sandi." Zara tahu akan sesuatu. Di sini, Zaka sudah sempat bangun dan menghubungi seseorang dengan menggunakan ponsel dengan layar sedikit retak di area sudut kanan atas. Dia berlagak lugu dan berdrama bersama kedua orangtuanya untuk mencapai tujuan utamanya sejak dirinya mulai mencicipi tanah di Kota Semarang. Jelas, kedua kakinya telanjur basah, maka andaikan seluruh anggota badannya dibuat senasib sekalian adalah suatu bentuk kewajaran. Yusuf mulai bosan dengan setiap menu di ponselnya, hingga memutuskan untuk mengalihkan perhatian ke sosok putri tercintanya. Dia cukup sedih karena dipaksa keadaan untuk berkata, "Ah, benar-benar hanya menyita waktuku." "Tidak usah memaksakan, Pa," sahut Zara dengan nada dinaikkan setengah. Dia benar-benar sigap, hanya dalam hitungan singkat bisa langsung paham akan maksud tersirat dari ucapan ayahnya, "kalau Papa tidak suka, Papa boleh pergi dari sini." Di samping kanan Yusuf, Maya terlihat tidak acuh. Dia masih betah dengan panorama dari sosial medianya. Tiba-tiba, suara dering ponsel hadir di tengah-tengah aktivitasnya untuk merebut perhatiannya. "Halo," sahutnya dengan nada akrab sesudah menekan dan menggeser sebuah ikon telepon berwarna hijau di layar ponsel mahalnya. "Lagi di mana, sih, Say? Apa kau tidak melihat jam? Acaranya sudah mau dimulai." "Eh, sebentar, sebentar," kata Maya, kedua sudut bibirnya telah membentuk garis akibat ditarik ke belakang. "Tahanlah dulu, aku akan segera datang," katanya dengan wajah berseri-seri, bahkan irama dari suaranya sampai ketularan. Maya meriah tas kulit berwarna cokelat di atas meja di hadapannya, lalu berdiri tegak dan menatap ke arah putrinya untuk berseru, "Zara." "Aku sudah mengerti, kok, Ma," ujar Zara. Dia tahu benar kalau ibunya hendak berpamitan kepadanya. Anehnya, walau semula terlihat bahagia karena akan meninggalkan dirinya, ibunya malah sempat bersedih sebelum berkata, "Maafkan mama, ya." Apakah Mama tidak merasa kalau aktingnya sangat berantakan? Duh, mereka bertiga bisa dicurigai diam-diam. Parahnya, Maya mendadak berganti sikap lagi, menjadi dingin dan seolah-olah tidak dapat tersentuh siapa pun. "Jangan cemas berlebihan," katanya dengan sebelah tangan dibuat sibuk untuk memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas, "nanti mama datang lagi." Yusuf ikutan berlalu. Dia merasa sangat risih karena sudah seperti mematikan dirinya sendiri menjadi orang lain. Ke mana kehangatannya? Dibuang untuk sementara waktu. Hiks ... hiks .... Hal tersulit dalam bersandiwara adalah menciptakan air mata. Meski hati berkata enggan, Zara tetap harus menjalankan. Dia benar-benar memaksakan kedua matanya untuk memproduksi cairan bening dengan diiringi suara isak tangis dari dalam kerongkongan. "Eh?" Zara tidak mau kehabisan akal, tanpa perlu menunggu adanya aba-aba, kedua tangannya segera diangkat dengan bagian jemari digunakan untuk menyapu butiran-butiran rapuh di sekujur bawah matanya selama beberapa detik. "Maaf, Pak," katanya dengan suara berkarakter serak dan basah. "Aku tidak bermaksud untuk menangis di hadapan Bapak," tambahnya. Dia sadar benar. Zaka memiliki wajah rupawan sekalipun usia laki-laki itu sudah termasuk dalam kategori matang, bukan dari golongan sebayanya. Dari manik mata dan hasil penilaian pribadi, laki-laki itu harus banyak-banyak bersyukur karena dianugerahi wajah dengan struktur bisa dibilang mendekati sempurna. Zara tiba-tiba tersenyum tipis, tetapi sebuah kepedihan terlihat bersatu padu dengannya. Dia tidak kuasa untuk menutupinya karena terlalu susah dikendalikan. "Omong-omong." "Ponsel Bapak sempat berdering. Tapi, aku tidak berani untuk mengangkatnya, apalagi di layar ... terpampang nama seorang wanita. Aku bisa dituduh bermacam-macam," gumamnya, tanpa merasa terganggu dengan adanya kekacauan di dalam batinnya. Dia masih menatap muka bermode lelap milik dosennya. Mungkin, segalanya terkesan mudah karena dirinya terlalu menikmati perannya. "Jujur, aku belum siap untuk berhadapan dengan siapa pun, terutama keluarga Bapak." Entah, momen hening disinyalir sangat pas ketika ditempatkan. Zara menarik napas dalam-dalam, seperti tengah bersiap sebelum bertanya, "Apakah Bapak akan melaporkanku?" Belum sempat dijawab, Zara sudah mengerahka bibirnya untuk bergerak dengan ringannya. Dia dapat diibaratkan sebagai sabun mandi batangan di atas papan luncur dengan daerah permukaan terkena percikan air, sungguh tidak bisa direm. "Pak, aku tahu sekali. Bapak adalah orang baik, mana mungkin sampai berbuat tega kepada gadis malang sepertiku." "Kata siapa? Ha?" Zara hampir terjungkal ke belakang gara-gara mendengar suara maskulin barusan, tentu sengaja dilakukan olehnya karena merupakan salah satu bentuk totalitasnya selain beradaptasi dengan kepura-puraan dosennya ketika tubuh dibiarkan berbahasa untuk mengelabuinya, seolah-olah masih belum sadarkan diri. "Bapak?" Masih dengan kornea membulat, Zara secara refleks sudah membuka bibir merah delimanya untuk bertanya, "Jadi, Bapak sudah sadar dan mendengar seluruh ucapanku?" Zaka menekan sebuah tombol di sisi ranjang sebelah kanan untuk membuatnya bisa berubah posisi menjadi setengah duduk. Dia habis mengalami kecelaaan serius, tetapi malah tampak seperti tidak pernah kenapa-napa. "Begitulah. Bahkan, salah seorang dokter malah sudah menemuiku dan memberitahukan kondisiku sekarang," jawabnya dengan sangat lancar. Apakah karena menelan pelumas? Tidak. Zara cukup tertegan dengan respons dosennya. Kenapa bisan santai sekali? Laki-laki itu memang terlihat seperti tidak mengalami luka apa pun, kecuali cedera di kedua kakinya dan adanya robekan kecil di salah satu sudut bibirnya, skenario dari sang pencipta sungguh tidak dapat disangka-sangka. "Pak, maaf," ujarnya. Dia segera menunduk untuk memutus kontak mata mereka, terpatri dengan sangat rapi entah sejak kapan. "Sungguh, saya tidak sepenuhnya sengaja," imbuhnya. Zaka menarik napas dalam-dalam. Jika boleh jujur, maka seluruh anggota tubuhnya akan serta merta dalam menyampaikan sesuatu di balik kepalanya. Entah mengapa, tidak ada perasaan marah dan kecewa sedikit pun. Dia justru merasa bangga karena sudah menyelamatkan nyawa seseorang sekalipun harus memikul beban baru di masa depan dengan tidak dapat berjalan secara normal lagi. Dia mencoba untuk berpikir keras, bagaimana supaya kejadian ketiga tidak meluap? Otak dibiarkan berputar tanpa jeda. Dia hanya mengikuti kata hatinya dan menemukan satu solusi. "Percayalah, aku telah memaafkanmu. Tapi, tetap saja, tidak akan mengubah apa pun." Mata Zara berkaca-kaca untuk kesekian kalinya. Nyali untuk menatap netra dosennya sudah datang lagi. "Pak, saya mohon," pintanya, "jangan laporkan saya." "Siapa namamu?" tanya Zaka. Langkah awal perkenalan. Dia sudah hapal nama dari wanita di sebelah kanannya, tetapi diperlukan suatu salam pembuka untuk mengawali segalanya. "Zara." Alangkah merdu alunan suara barusan. Zaka dibuat terkesima dengan kefemininan di dalamnya, entah dengan metode apa, bisa masuk ke kedua lubang telinganya dengan sangat sopan. Dia segera berseru, "Zara, sekali berani berbuat, maka suka tidak suka dan mau tidak mau, kau harus siap untuk menanggung risikonya." "Kau tahu benar, akibat ulah ugal-ugalanmu, aku menjadi tidak bisa berjalan dengan menggunakan kedua kakiku lagi ... tidakkah kau pernah merasa menyesal karenanya? "Tapi, aku tidak pernah bermaksud–" Ucapan Zara tidak selesai karena Zaka sudah menyela, "Aku hanya sebatas menuntut keadilan. Apakah salah?" Zara hanya membisu dengan wajah diarahkan ke bawah, sementara kedua tangannya terkepal di atas paha dengan jemari bergerak untuk meremas celana jeansnya. "Aku sudah tidak memiliki siapa pun selain adikku, sementara adikku masih harus sekolah," imbuh Zaka, "rasa-rasanya terlalu mustahil kalau harus mengurusku selama hampir dua puluh empat jam untuk setiap harinya." Ada jeda sebentar. Zara tergoda untuk mendongak dan sedikit menoleh ke samping kiri, lalu menatap Zaka. "Jadilah istriku," ujar Zaka tidak lama setelahnya, "akan kupastikan dirimu tidak perlu berurusan dengan pihak kepolisian." "Aku sudah berhasil?" batin Zara dengan d**a seperti tengah dilanda gempa guguran. Menurut Zara, Zaka memiliki jalan pikiran aneh. Kenapa tidak mengamuk kepadanya? Apakah karena sudah mencintai dirinya? Apakah tidak terlalu cepat? Zaka menatap Zara dengan penuh kelembutan. Dia merasa sudah membuat keputusan benar dengan menjadikan wanita itu sebagai miliknya. "Bukankah dengan demikian, aku bisa sangat leluasa dalam menjagamu?" Saat sorot mata keduanya sama-sama terkunci, waktu seolah-olah sedang berhenti bergulir karena adanya campur tangan dari penguasa alam semesta. "Bisakah aku menjadi alasanmu untuk bertahan?" Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Zaka memutuskan untuk membuka bibir keringnya dan mengucapkan, "Di sini, aku sedang membutuhkan seseorang untuk merawatku, seumur hidupku." "Tidak bisa." Diawali suara pintu dibuka dengan kasar, dua kata dari bibir Yusuf bagaikan sambaran petir di hari cerah. "Siapa dirimu? Berani sekali." "Papa?" gumam Zara seraya berdiri dengan kedua tangan ditumpukan di pinggiran kasur. Zaka hanya bungkam ketika melihat Yusuf masuk ruangan dengan langkah angkuh. Laki-laki itu balik lagi ke ruangan karena ponselnya ketinggalan. "Katakan. Berapa maumu?" tanya Yusuf dengan irama menusuk. Dia sudah mengambil ponselnya di meja, lalu jemarinya bermain-main di atas layar untuk formalitas. "Ayo, tidak usah malu-malu. Sebutkan nominalnya," tambahnya dengan tidak sabaran, semakin menjadi-jadi karena belum ditanggapi, "seratus juta, lima ratus juta ... atau satu miliar?" "Lupakanlah mimpimu untuk menikahi putriku, maka aku akan menjamin masalah keuanganmu, baik di masa sekarang maupun di masa depan." Jika ayahnya sedang ujian praktik dalam materi drama, Zara berani menjamin bahwa ayahnya akan mendapatkan nilai sempurna. Dia tidak mengira, ternyata ayahnya bisa mendalami peran hingga seolah-olah telah mematikan karakter sebelumnya. Zaka tidak mau kalah. Dia merasa cukup enteng selama menanggapi, "Tuan, mungkin Anda sedang melupakan fakta bahwa tidak setiap hal bisa dibeli dengan menggunakan uang." "Pak, saya berjanji kalau saya akan menebus seluruh kesalahan saya. Tapi, tidak dengan cara menikah," sela Zara di tengah-tengah hawa panas akibat perseteruan antara dua manusia di dekatnya, "bahkan, kalau perlu, saya akan mencarikan seorang perawat pribadi untuk Bapak." Sejak tadi, Zara sudah tertuntut hati kecilnya untuk meloloskan kata bersedia, tetapi demi terlihat natural, maka pertama-tama harus direspons dengan penolakan. Alhasil, Zaka malah terkesan memaksa dirinya sesudah mengucapkan, "Aku hanya akan menawarimu dua pilihan, menghabiskan sisa hidupmu di balik jeruji besi atau mendampingiku sebagai istriku." Muka Yusuf tampak kecut. Dia benar-benar terlihat tidak suka bernegosiasi kalau sasarannya susah sekali untuk diajak bekerja sama. "Sudahlah," ucapnya denga nada ketus, tidak mau tahu, "lebih baik kita pulang saja." "Dia hanya butuh tambahan waktu untuk memikirkan besarnya nominal kompensasi," tambahnya dengan ditemani lirikan tidak sukanya. Zara segera diseretnya keluar dari ruangan dengan memanfaatkan sebelah tangannya. Menarik, bukan? Mereka adalah bukti nyata bahwa untuk bisa bermain peran setiap orang tidak harus mengikuti kelas khusus. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD