bc

The Deceitful Life

book_age16+
733
FOLLOW
3.3K
READ
suicide
teacherxstudent
love after marriage
forced
drama
tragedy
sweet
mystery
genius
secrets
like
intro-logo
Blurb

[TAMAT]

Yang Zaka tahu, Zara memiliki latar belakang memprihatinkan, bernasib malang karena harus hidup di tengah-tengah keluarga broken home, bahkan sudah berkali-kali mencoba untuk bunuh diri. Di suatu momen, Zara berbuat ulah hingga membuat Zaka tidak dapat berjalan dengan normal lagi. Zaka memutuskan memanfaatkan keadaan dengan memaksa Zara untuk menikah dengannya.

Pada malam ketiga pernikahan mereka, Zara pernah berkata, "Yah ... sesuai dengan isi dokumennya, kalau aku bisa membuatmu berjalan lagi, maka kau harus menceraikanku."

Awalnya, segalanya dapat berjalan dengan baik tanpa khawatir dengan kesepakatan hitam di atas putih tersebut. Akan tetapi, bagaimana kalau ternyata semuanya hanya sebatas tipuan belaka?

***

Cover: Canva

Up Daily Tiap Pukul 10.00 WIB Mulai 1 Juni 2021 s.d Akhir Juli 2021 atau Awal Agustus 2021.

chap-preview
Free preview
1. Kesalahan Terbesar Zara
Di sebuah ruangan rahasia, gelap dan seolah-olah kekurangan udara karena saking rapatnya setiap elemen bangunan, Zaka masih menatap sebuah layar elektronik terbesar dengan posisi tepat berada di hadapannya sebagai satu-satunya sumber pencahayaan di dalam sana. Ibarat oksigen di antara lautan manusia, teknologi adalah nyawa dari tempat untuknya berkutat dengan misinya. Mirisnya, sebagai objek amatan, wanita di dalam video di layar komputer terlihat sangat memprihatinkan, kedua bola matanya sampai bengkak, ujung hidungnya berubah merah dan cairan ingus sudah pecah. Di setiap tutur katanya, nada-nada penuh dengan emosi terus bergejolak tanpa haluan. "Kenapa Papa dan Mama harus memutuskan untuk bercerai?!" "Apa kalian sudah tidak menyayangiku?!" "Ini adalah salah Papa!" "Jika Papa tidak pernah selingkuh, mungkin semuanya tidak akan berakhir begini!" Di dalam keheningan, Zaka memiliki argumen tersendiri: wajar sekali apabila seorang laki-laki sampai selingkuh setelah merasa tidak terurus karena memiliki istri super sibuk, sampai melupakan keluarga gara-gara terlalu fokus dengan teman-teman sosialitanya. Dia yakin sekali bahwa meski pelaku sudah berusaha keras untuk mengobati luka mendalam di hati korban, sampai kapan pun tetap masih akan menyisakan bekas. Ingatan Zaka melayang ke tiga bulan lalu. Di dalam memori, suatu momen masih tersimpan dengan jelas. Hari itu, sosok raja siang sedang asyik bernaung di titik puncak hingga membuat sel-sel kulit manusia dapat terbakar apabila berdiam di bawah sinarnya selama berjam-jam. Pyar! Zaka dengan suara sebuah benda ringkih ketika membentur lantai. Dia tahu dari warna suara, sebagai kode untuk menerangkan dua kondisi berbeda, semula masih padat dan utuh sebelum akhirnya terpecah belah. Di sebuah sudut, di suatu lorong di lantai teratas gedung tempatnya mengajar, seorang wanita terlihat menaiki pembatas, siap-siap untuk melompat, tetapi dilanda perasaan takut dengan dibuktikan kedua kelopak matanya selalu terkatup setiap mendapati adanya angin bertiup. Wanita itu benar-benar cantik, berparas seperti bidadari, beberapa helaian dari rambut hitam lurusnya terlihat menari-nari di udara dengan gemulai, ukuran tubuhnya bisa dikatakan cukup proporsional, sungguh menyatu dalam balutan sebuah atasan hijau pupus berbahan jatuh dan celana jeans biru tua sebagai teman untuk kedua kaki rampingnya. Zaka melihat adanya gerakan naik dan turun di d**a wanita itu. Dia baru akan mendekat, tetapi terhenti karena wanita itu sudah tidak dalam situasi berbahaya. Wanita itu turun dari pembatas dan lompat ke arah belakang, bukan ke depan. Lega rasanya. Saat bibir akan digunakan untuk membuat panggilan merdu, Zaka dibuat mematung karena wanita itu tahu-tahu sudah berlari cepat dan melewatinya begitu saja. Dia segera menoleh untuk menyaksikan kepergian wanita rapuh itu. Langkahnya tersusun lagi, mula-mula lurus sebelum berbelok untuk menuju tempat wanita itu sedang dibisiki setan. Dia tanpa aba-aba sudah merendahkan tubuh dengan tangan kanan terulurkan untuk memungut sebuah ponsel pintar dengan layar sudah retak dan tampak pasrah selama tergeletak di atas lantai. "Siapakah dirimu? Bagaimana mungkin hanya dalam waktu singkat dirimu bisa membuatku sampai begitu memikirkanmu?" tanyanya tidak sampai berselang lama, merupakan akar atas keputusan untuk memanfaatkan ponsel di tangan kanannya sebagai jalan masuknya ke kehidupan wanita itu. Di atas pangkuan, bekas remasan di permukaan bantal adalah saksi nyata atas perihnya hati wanita malang dalam siaran video di layar komputer. Zaka hanya bisa menebak-nebak dengan wajah berkerutnya, seolah-olah tidak pernah tersentuh air dan sabun gara-gara saking kusutnya. Di balik mata berlapiskan cairan hangat dan asin, wanita itu seperti habis membatin, "Aku tidak mampu walau pun hanya sebatas membayangkan untuk terus-terusan hidup dalam keluarga broken home." Dari tarikan napas, wanita itu terlihat seakan-akan sedang berbicara sendiri, Zaka berusaha mengartikan hingga terbentuk kalimat, "Hilangkan nyawamu. Percayalah, seluruh penderitaanmu akan langsung berakhir." "Ya, aku harus mati." Duar! "Tidak, Zara. Aku tidak mengizinkanmu untuk merenggut nyawamu sendiri." Zaka menggeleng-geleng, tidak percaya dengan gumaman Zara barusan. Dia cepat-cepat keluar dari ruangan dan bergegas untuk menuju parkiran, segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan melebihi biasanya. Parah, malam minggunya hancur seketika. Dia dibuat cemas hingga tidak memedulikan busananya sekarang, hanya berupa kaus putih polos dan celana pendek selutut. Zaka mengaku, untuk pertama kalinya dalam dua puluh delapan tahun hidupnya, dadanya bisa terasa terbakar hanya karena pemikiran pendek dari orang asing. *** Zara lagi-lagi terkesan minggat dari rumah gara-gara suasana panas sebagai dampak atas pertengkaran sengit antara kedua orangtuanya. Dia sedang melajukan mobil merahnya dengan sangat kencang, seakan-akan tengah bersaing dengan angin musim kemarau. Sungguh, tidak dapat dipungkiri bahwa sebak di dadanya bisa terasa sangat nyata, sampai-sampai hidungnya terlihat kembang-kempis karena berusaha mencari pasokan oksigen sementara kedua bola matanya sudah tampak memerah akibat menahan cairan hangat dan bening, serta memiliki rasa seperti air laut. Dia tidak mau menanam dosa, tetapi malah dipaksa untuk melakukannya. Adakah siksaan lain? Mungkin, akan lebih dipilihnya daripada dirinya harus bermain-main dengan hidup dan matinya. Dia sudah melempar kail ke tengah lautan, sekarang dirinya hanya diharuskan menunggu hingga umpannya dimakan ikan. Tanpa disangka-sangka, gelapnya langit karena tiada bintang berpendar adalah teman setianya selama kedua manik matanya memperhatikan ke arah spion kiri secara sekilas. Di depan, seratus meter dari lokasinya, sebuah tikungan tajam sudah menyambut mobilnya, kalau sampai dirinya salah dalam mengendalikan kemudi, maka napasnya akan raib misalkan mobilnya sampai menembus pembatas dan terperosok ke daerah curam. Jalanan sepi. Dia merasa didukung keadaan. Tanpa berlama-lama, kaki terkuatnya—sebelah kanan—segera digunakan untuk menginjak pedal gas hingga tandas. Diterpa silau, kedua matanya terpejam diiringi dengan suara teriakannya sementara kedua lengannya terangkat untuk melindungi wajahnya. "Awwwwh!" Brak! Tidak ada kesakitan berarti di tubuhnya. Dia sadar benar kalau arah mobilnya teralihkan karena sebuah mobil melintas di hadapannya, langsung menggantikan mobilnya untuk menyatu dengan alam, membelah jurang sesudah terguling. Lepas kelopak mata dibuka, kaca mobil di pintu sebelah kanan segera diturunkannya, selanjutnya kepalanya diputar searah jarum jam sebelum menatap ke sumber keresahan. "Gawat, aku sudah membuat orang lain celaka." Zara bergegas keluar dari mobil, lalu berlari cepat untuk menembus tanah-tanah berlekuk dengan segenap keberaniannya demi dapat menyelamatkan sosok manusia di dalam mobil berwarna putih di bawah sana. "Apakah skenario mereka tertukar?" Di luar rencana, harusnya dirinya tidak baik-baik saja. Jika sudah telanjur begini, bukankah termasuk kriminalitas? *** Rumah Sakit Citra Husada. Pukul 22.22 WIB. Zara tahu akan keberadaan kamera tersembunyi, diam-diam paham akan setiap makna dari langkah kaki, sadar kalau udara mulai berbisik untuk menuntun ke mana akalnya akan mengarah. Dia menarik napas dalam-dalam, duduk di kursi tunggu di sebelah ruangan IGD dengan tangan kanan terangkat untuk memegangi sebuah ponsel pintar di sebelah telinga kanannya. "Halo," sahut seorang wanita paruh baya di seberang telepon, tidak lama setelah selama beberapa detik hanya terdengar nada monoton sebelum panggilan tersambung. "Ma, tolong aku," ucapnya dengan tangan kiri terangkat dan jemarinya digunakan untuk mengusir hawa panas di bawah matanya, "secara tidak sengaja, aku nyaris membunuh seseorang." "Apa?" Suara Maya dibuat bernada tertegun, tentu karena hasil kurang sesuai dengan prediksi, harusnya tidak sampai memakan korban, kecuali kalau korbannya adalah putrinya sendiri. Begitulah. "Zara, katakan kepada mama, di mana kau sekarang?" tanyanya kemudian. "Aku ada di Rumah Sakit Citra Husada, Ma," jawab Zara tanpa merasa harus menunda-nunda. Maya segera memutuskan panggilan, tetapi sudah sempat menyuruh Zara untuk tetap tenang. Dia akan mengomunikasikan dengan suaminya terlebih dahulu sebelum menyusul putri mereka. Zara terlihat mengetuk-ngetukkan sudut ponselnya ke dahi. Dia hanya berniat untuk menarik perhatian dan merebut simpati dari targetnya dengan cara melukai dirinya sendiri baik secara fisik maupun batin, sementara hasil akhirnya benar-benar sudah telanjur di luar dugaannya. "Kenapa aku bodoh sekali?" "Harusnya, sebelum memutuskan untuk seolah-olah mengakhiri hidup, aku terpikirkan untuk memilih tempat aman sehingga tidak perlu melibatkan nyawa siapa pun." Entah mengapa, untuk pertama kalinya selama belasan tahun umurnya, baru sekarang dirinya bisa merasa sangat ketakutan hanya gara-gara orang asing. "Eh, tunggu sebentar ... orang asing?" Tidak. Tidak. Laki-laki itu tidak bisa dikatakan orang asing, merupakan salah satu dosennya sekaligus targetnya. Zara berdoa dalam kebisuan. "Tuhan, berikanlah kesembuhan kepada Pak Zaka." Setahu Zara, Pak Zaka masih terbilang muda dan memiliki hati mulia, bahkan dengar-dengar sudah menjadi donatur tetap di sebuah panti asuhan selama bertahun-tahun. Dia tentu sedih setiap melihat egoisme dari orang-orang di atasnya tidak pernah terluluhkan karenanya. "Bukankah hidup laki-laki itu terlalu singkat kalau harus meninggalkan dunia fana sekarang?" Menit pun berlalu, Zara mencoba bernegosiasi dengan malaikat pencabut nyawa. Siapa tahu, sebagai salah satu tangan kanan dari sang pencipta, sosoknya dapat terayu dengan tutur kata manisnya. Akibat terlalu larut dalam merenung, Zara sampai tidak menyadari kedatangan kedua orangtuanya. Dia baru tahu setelah nama depannya diserukan ibunya. "Zara!" Dia segera berdiri, lalu berlari cepat ke arah depan untuk mempercepat pertemuan antara dirinya dengan kedua orangtuanya di tengah-tengah koridor. "Mama," serunya beberapa waktu kemudian, kedua tangannya terlihat tidak sabaran untuk memeluk tubuh ibunya. "Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya Maya dengan suara lembut, tetapi kurang hangat. Dia hanya menepuk punggung rapuh putrinya sebanyak dua kali dan melanjutkan, "Kau tidak terluka, bukan?" Dia sudah mempersiap jawaban dengan matang setelah menyadari kalau targetnya masih mengembuskan napas dan berpeluang besar untuk mengawasi gerak-geriknya. "Tidak, Ma. Tapi, gara-gara kecerobohanku, seseorang sampai menjadi korban dan ... aku tidak tahu, apakah nyawanya bisa terselamatkan atau tidak," katanya sebelum mengendurkan pelukannya. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja," ucap Maya dengan suara dibuat seolah-olah kalau sedang menahan kesal. Dari dalam ruangan dengan suasana menegangkan, seorang dokter laki-laki terlihat sungguh berwibawa ketika melangkah keluar. Dia tahu-tahu sudah berdiri di dekat mereka bertiga. "Maaf, bisa berbicara dengan keluarga pasien?" Zara segera menyahut, "Ada apa, Dok?" "Begini, akibat terkena benturan keras, kemungkinan besar kedua kaki pasien tidak bisa berfungsi dengan normal lagi. Diharapkan pihak keluarga dapat berbesar hati dan berkenan untuk senantiasa menguatkan pasien." Lepas mendengar keterangan dari dokter, Zara memasang mimik muka tertegun, benar-benar terguncang karena bisa dikatakan aksinya sudah sangat kelewatan. "Apakah sudah tidak bisa dipulihkan, Dok?" tanyanya. Dia tidak sampai harus menunggu lama untuk mendapatkan tanggapan. "Bisa, kalau ada keajaiban dari Tuhan. Tapi, tentunya ... memerlukan waktu tidak sebentar." Zara beralih menatap ke arah ayah dan ibunya secara bergantian. Dia benar-benar serius ketika mengatakan, "Ma, Pa, bagaimana nasibku? Aku tidak menyangka, ternyata kesalahanku sungguh besar." Awalnya, pikirannya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata tidak sepenuhnya demikian. Dia masih mengingat dengan jelas. Saat dilakukan evakuasi, laki-laki itu terlihat tidak banyak mengalami luka fisik. Oh, Tuhan ... kenapa bisa berakhir begini? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

Dua Cincin CEO

read
231.5K
bc

A Boss DESIRE (Ganda - Gadis)

read
984.8K
bc

My Husband My CEO (Completed) - (Bahasa Indonesia)

read
2.2M
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K
bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook