My Prince - 12

1573 Words
Sore ini, Victoria mencurahkan kesedihannya pada lelaki yang dulunya adalah target kebenciannya, Arga. Tentu saja, pemuda bertanduk itu heran pada gadis yang kemarin memaksanya untuk berbaring di alat pemenggal kepala datang dan menangis di hadapannya, itu adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Bahkan, Victoria menceritakan semuanya pada lelaki pirang dengan sesenggukan dan tangan menutupi mukanya, entah mengapa, suasana sore jadi kelabu mendengar curhatan gadis bergaun ungu padanya. "Ikutlah denganku, Victoria!" Beranjak dari rumput, Arga mengajak Victoria untuk bergegas ke suatu tempat, membuat gadis itu membuka mukanya yang sedari tadi ditutupi oleh lengannya, matanya yang basah menatap wajah lelaki itu dengan tatapan bertanya-tanya. "Kemana?" tanya Victoria dengan suara yang lirih. "Ikut saja," Arga menarik lengan kanan Victoria untuk berdiri dan dia tersenyum. "Aku akan menghiburmu." Terkejut, Victoria sempat tidak percaya Arga melakukan hal itu padanya, padahal, sebelumnya dia telah menjahili pria itu tapi mengapa lelaki pirang itu tetap menerimanya? Victoria semakin tidak mengerti. Namun, dibalik semua itu, Victoria bahagia, karena masih ada seseorang yang perhatian padanya. Victoria berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengganggu Arga lagi, sebaliknya, dia akan menghajar siapa pun yang akan mencelakai lelaki bertanduk itu. Mereka berjalan, melewati rerumputan, bangunan istana terlihat mungil di belakang sebab Arga dan Victoria sudah sangat jauh dari istana tersebut, walau begitu, mereka masih berada di wilayah istana, belum keluar gerbang. "Arga," panggil Victoria. "Kupikir, kita sudah mendekati gerbang utama, apakah kita akan keluar dari istana ini?" "Ya," jawab Arga. "Kita akan keluar." Terbelalak, Victoria menghentikkan langkahnya, dia tidak mau keluar dari wilayah istana. Banyak yang bilang, kalau suasana di luar sangat menyeramkan, penduduk Kerajaan Vanterlock terkenal dengan tindakan kriminal yang sangat tinggi, hampir semua kalangan selalu berbuat jahat, mau itu dari rakyat jelata hingga para bangsawan. Takut, Victoria mencengkram punggung baju Arga, membuat lelaki itu berhenti melangkah dan menoleh pada gadis pirang di belakangnya. "Jangan, Arga." Ekspresi Victoria dihiasi dengan rona ketakutan yang sangat menyesakkan, gadis itu terlihat seperti seseorang yang memiliki rasa takut berlebihan pada dunia luar. Mengerti pada ucapan Victoria, Arga tersenyum. "Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya, Victoria," Arga menghampiri Victoria dan berdiri di sampingnya. "Tenangkan dirimu. Lagi pula, kau belum pernah ke luar istana, 'kan? Kau terlalu terpaku pada kemewahan istana hingga kau tidak mau melihat kehidupan rakyatmu yang sederhana, 'kan?" Tidak terima dinilai sebagai gadis sombong yang jijik melihat rakyatnya, Victoria pun sedikit kesal. "Kau salah, aku bukannya tidak mau melihat mereka! Aku hanya takut jika ... rakyatku sama dengan yang digosipkan oleh orang-orang di istana, aku sangat takut." "Jangan khawatir, serahkan saja padaku." Arga menunjukkan senyuman lebar yang memperlihatkan gigi-gigi taringnya pada Victoria, rasa takutnya sedikit hilang setelah mendengar lelaki itu berkata begitu. Lalu, mereka kembali melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di gerbang utama yang menghubungkan antara wilayah rakyat dan istana. Dua penjaga gerbang yang melihat putri Victoria langsung membungkuk hormat padanya. "Selamat sore, Tuan Putri Victoria, maaf jika saya bertanya, apa yang membuat Anda kemari dengan Tuan Arga?" Victoria agak bingung untuk menjawab pertanyaan dari salah satu penjaga gerbang, dia tidak mungkin mengatakan kalau saat ini dia sedang bersedih dan membutuhkan hiburan karena itu terdengar sangat menyedihkan untuknya. Melirik Arga, Victoria memberi kode pada lelaki itu untuk menjawab pertanyaan si penjaga karena ia malas untuk meresponnya. Paham, Arga langsung berdehem seketika. "Tidak sopan sekali kalian," ucap Arga pada dua penjaga yang sedang membungkuk hormat pada Victoria dengan intonasi tajam. "Apakah kalian berniat menghalangi kehendak Tuan Putri Victoria yang ingin jalan-jalan keluar istana serta menyapa rakyat-rakyatnya?" "Eh?" Victoria terkejut mendengar ucapan Arga yang seakan-akan memarahi dua penjaga itu padahal dia tidak perlu sampai berlebihan seperti itu. "Ma-Maafkan kami, Yang Mulia, kami tidak ada niat untuk menghalangi Anda. Baiklah, jika pertanyaan kami membuat Anda terganggu, kami akan langsung membuka gerbang ini untuk Anda." Berhasil, Arga tersenyum pada Victoria memamerkan tindakannya yang membuahkan hasil, sementara gadis pirang itu sedikit kagum dengan lelaki itu yang pandai dalam bertindak. Gerbang besar pun perlahan-lahan terbuka, menampilkan jalan setapak yang dikelilingi oleh rimbunan pepohonan besar, Victoria heran, bukankah di luar adalah rumah para penduduk? Mengapa yang dia lihat hanya sebuah hutan yang sepi? "Arga," bisik Victoria. "Di mana rumah para rakyatku?" "Rumahmu dengan rumah mereka terpisah sangat jauh, butuh waktu beberapa jam hingga sampai di sana jika kita menaiki kereta kuda, tapi kalau berjalan kaki, mungkin kita akan sampai di sana besok." Kaget, Victoria memandang pepohonan yang bergoyang-goyang tersentuh angin, tidak dipercaya, ternyata ada jarak antara istana kerajaan dengan rumah para warga, saking kagetnya, gadis itu sampai menggelengkan kepalanya. "Tuan Putri Victoria! Jika Anda akan pergi ke desa Artobolo, kami akan menyiapkan kereta kuda untuk Anda!" teriak salah satu penjaga gerbang setelah Arga dan Victoria keluar. "Tuan Putri kalian ingin menikmati pemandangan hutan, dia tidak butuh kendaraan apa pun!" sahut Arga dengan lantang. Dua penjaga gerbang itu paham lalu mulai menutup pintu gerbang dan kembali bekerja seperti biasa. Mata Victoria masih terlihat gusar, dia mengingat detik-detik ayahnya mengabaikannya di pertemuan tadi siang. Sangat menyakitkan. "Hey, Victoria?" Gadis itu melamun, tidak merespon panggilan dari Arga yang ada di sampingnya, sampai lelaki itu menepuk-nepuk bahu Victoria. "Ad-Ada apa!? Kau memanggilku?" Syukurlah, Victoria sudah sadar dari lamunannya dan menoleh pada Arga, wajah lelaki itu terlihat agak cemas. "Kenapa? Apa yang kau pikirkan sekarang?" Enggan untuk membahasnya lagi, Victoria tersenyum pada Arga. "Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang mengagumi betapa indahnya hutan ini~ sampai tak sadar kalau kau memanggilku." "Wajahmu mengatakan hal yang berbeda, Victoria." Setelah bertemu dengan Laila, Arga sekarang sudah bisa membedakan wajah yang sedang berbohong dan tidak, dan setelah diteliti, saat ini, Victoria sedang melakukan kebohongan padanya. "Um? Ber-Berbeda? Apa maksudmu?" "Tapi tak masalah jika kau tidak ingin menjelaskannya, aku tidak memaksa. Ngomong-ngomong, aku dari tadi heran," kata Arga dengan menatap tajam mata Victoria. "Bukankah kau itu putri yang terkenal dengan sifat cerianya, 'kan? Mengapa hanya karena satu masalah, sifat alamimu langsung lenyap, dan kau berubah menjadi putri pemurung." "Ha?" Kedua mata Victoria membesar, alisnya ditekan serentak dan bibirnya dicemberutkan. "Putri pemurung, katamu? Biar kuberitahu! Aku ini masih Victoria si ceria! Ingat itu! Kalau kau mengatakan aku adalah putri pemurung, aku akan menghaj--" "Jangan mengelak, kau sekarang memang selalu murung, 'kan?" Sambil menyusuri jalan setapak, mereka berdua mengobrol ria dengan santai, menikmati angin yang semilir dan suasana sejuk dari hutan rimbun tersebut. Langit sudah berwarna jingga pekat, yang artinya sebentar lagi akan mulai gelap. "Apakah aku semurung itu, ya?" Victoria menghembuskan napas beratnya, dia menundukan kepalanya, sampai rambut pirangnya berjatuhan. "Oh, aku lupa memberitahumu tentang isi dari pertemuan tadi siang, ya? Apa kau mau tahu?" Mendengar itu, membuat Arga mengalihkan perhatiannya ke Victoria. "Beritahu aku." "Selamat, kau telah terpilih menjadi calon raja berikutnya." "HAAAAAAAAAAA!?" Suara lengkingan Arga sampai membuat burung-burung beterbangan dari sangkarnya. Victoria tertawa melihat wajah Arga yang sangat terkejut mendengar ucapannya. "Apa-apaan itu!?" "Hahahah! Aku juga tidak paham, tapi sepertinya semuanya berjalan dengan lancar walau awalnya aku dan empat putri lainnya menolakmu." "Jadi, walaupun lima putrinya menolak keputusannya, Ayahmu tetap teguh pada pendiriannya, ya? Sialan! Aku tidak mau jadi Raja! Itu merepotkan. Bisa-bisanya dia memilihku tanpa memberitahuku dulu, aku hampir jantungan mendengarnya!" Kesedihannya sedikit demi sedikit menghilang ketika dirinya berjalan bersama Arga, lambat laun, Victoria merasa nyaman jika berada di dekat lelaki itu, rasanya sangat menghangatkan. Tiba-tiba, tawa Victoria dan kekesalan Arga terhadap Raja William berhenti ketika mata mereka menangkap sebuah kereta kuda yang bergerak di iringi dengan beberapa kuda yang ditumpaki para prajurit. "Mereka siapa?" Baru kali ini Arga melihat seragam prajurit berwarna hitam legam yang berbeda sekali dengan seragam prajurit kerajaan Vanterlock yang putih bersih. "Bersembunyi!" Victoria langsung menarik lengan Arga dan lari ke semak belukar yang cukup untuk menyembunyikan tubuh mereka. Mereka mengamati kereta kuda yang bergerak melewati tempat persembunyiannya. "Mengapa kita harus bersembunyi, Victoria?" Victoria mendengus. "Dilihat dari warna seragam prajuritnya, tidak salah lagi, mereka berasal dari Kerajaan Binesta." "Jadi kau takut pada Kerajaan Binesta?" tanya Arga dengan polosnya. "Bu-Bukan seperti itu! Aku hanya tidak mau mereka melihatku! Soalnya di dalam kereta kuda itu ada ... Ibuku." "Ibumu? Apa artinya ... Ibumu adalah seorang Ratu di Kerajaan Binesta?" "Ya dan aku membencinya! Dia selalu saja berkunjung ke istana Vanterlock lalu menghina kami! Mengatakan bahwa Ayah tidak becus mengurusi kerajaannya serta mendidik para putrinya! Dia adalah orang yang paling kubenci selain para lelaki!" Tersentak, Arga kembali bertanya, "Mengapa orangtuamu memimpin kerajaan yang berbeda? Bukankah mereka adalah suami istri?" "Mereka sudah bercerai dua tahun yang lalu. Ibuku sepertinya kesal pada sikap Ayah yang terlalu lunak pada rakyatnya, sampai akhirnya, mereka bercerai dan Ibuku menikah dengan seorang Raja yang memimpin Kerajaan Binesta, tapi pria yang dinikahinya telah meninggal, entah dibunuh oleh Ibuku atau bukan, pada akhirnya, wanita itu menggantikan posisi suami barunya sebagai Raja dan seluruh harta dari Kerajaan Binesta menjadi miliknya. Dengan kedudukannya itu, dia berniat ingin membalaskan dendamnya pada Ayah dengan berkunjung ke Vanterlock lalu menyombongkan harta dan takhta miliknya pada Ayah kemudian merendahkan derajat Ayah. Tingkahnya seperti kotoran yang menjijikan di mata kami, para putrinya!" "Wow, aku kaget kalian, para putri, memiliki hubungan yang buruk dengan seorang ibu." "Lupakan saja, ayo Arga! Kita kembali lanjutkan perjalanan untuk ke tempat yang ingin kau tunjukkan padaku." Arga tersenyum. "Tidak perlu," Victoria terkejut mendengarnya, mengapa Arga tiba-tiba membatalkan niatnya. "Soalnya, kita sudah sampai." "Sampai?" Arga mengedikkan matanya ke belakang, memberi isyarat kalau tempat tujuannya ada di belakang, Victoria mengerti dan memalingkan mukanya. "Astaga!" pekik Victoria karena kaget. Victoria pikir Arga akan mengajaknya ke desa di mana rakyatnya tinggal, tapi ternyata dugaannya salah. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD