My Prince - 11

1368 Words
Kini, giliran Emilia yang diberi kesempatan untuk mengutarakan alasannya menolak Arga Gelisto sebagai penerus ayahnya, dia mengatur napasnya terlebih dulu agar tidak seceroboh saat dia meneriaki ayahnya dengan bahasa yang sarkas, karena itu sangat tidak sopan. Bukan hanya untuk menstabilkan emosinya saja Emilia melakukan persiapan napas, dia juga siap menerima resiko karena telah mengeluarkan sifat aslinya di hadapan keluarganya. Sejujurnya Emilia malu untuk berada di tengah-tengah keluarganya setelah dia membentak-bentak ayahnya seperti itu, tapi dia tidak bisa begitu saja kabur dari tempat ini sebelum urusannya selesai. "Sebelumnya, aku minta maaf pada Ayah dan juga keempat adikku karena telah berbuat kehebohan yang berisik dan menjadi contoh yang tak baik untuk adik-adikku," Suasana sepi ketika Emilia berbicara, kesunyian itu membuat gadis sipit itu agak tak percaya diri untuk bersuara karena dipikirannya, ia sudah tak berhak meminta maaf. "Langsung pada intinya. Aku, dengan sepenuh hati, menolak Arga Gelisto untuk menjadi pengganti Ayah di kerajaan ini. Bukan karena dia misterius, tidak sopan, tak disiplin, atau karena terlahir memiliki dua tanduk di kepalanya, bukan itu yang kupermasalahkan, karena soal penampilan atau pun sifat manusia, itu bisa dengan mudah diubah oleh yang bersangkutan, tapi yang jadi poin utama adalah ... mengapa harus Arga? Maksudku, lima putrimu pun bisa menggantikanmu, Ayah. Atau jika kau tidak percaya pada kami, maka setidaknya, pilihlah sepupu-sepupu kita? Atau para bangsawan? Aku jadi ingin bertanya pada Ayah, atas alasan apa sampai Ayah begitu tertarik untuk mengangkat Arga Gelisto menjadi penerusmu?" Senang, William tersenyum pada Emilia sebab gadis itu sudah berhasil menyentuh faktor utama dalam masalah ini, ia juga kagum pada usahanya untuk tidak melontarkan teriakan-teriakan kasar seperti sebelumnya. Inilah yang William suka pada sisi Emilia, yaitu dapat menahan sesuatu dengan usahanya dan mengolah tata bahasanya hingga terdengar berbeda dari yang lain. "Begitu rupanya," Cengiran William masih terpatri di wajahnya, hiburannya masih belum usai, senang sekali rasanya memandangi lima putrinya yang tegang pada situasi ini, biasanya, dia selalu mengalah pada mereka, tapi untuk saat ini, dia harus bersikap bijaksana. "Emilia, kau penasaran pada alasanku, kan? Karena memilih Arga untuk menggantikan posisiku padahal di luaran sana masih banyak orang-orang lebih cocok daripada Arga Gelisto, maka, mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya adalah ... karena bocah itu menarik perhatianku." Kaget, alis Emilia terangkat serentak, bibir Charlotte menganga, mata Agnes membelalak, telinga Victoria berkedut, dan pipi Laila mengembang. Mereka berlima terkejut mendengar alasan ayahnya yang terkesan sangat remeh. Apa hanya karena menarik sampai Arga ditujukan sebagai calon raja berikutnya? Para putri sampai keheranan pada akal sehat ayahnya. Kalau mencari orang yang menarik, banyak di luaran sana yang lebih menarik dibanding Arga Gelisto. Pasti ada hal lain yang membuat Raja William sangat yakin memilih Arga sebagai raja berikutnya, mereka berlima meyakini itu. "Oh, tentu saja," William melanjutkan ucapannya. "Bukan karena menarik saja aku sampai memilihnya untuk menjadi penerus takhta, ada beberapa hal yang aku kira cocok untuknya menjadi sebagai seorang raja baru, yaitu sifat beraninya, percaya dirinya, konyolnya, polosnya, dan juga kuatnya kesabaran yang dia miliki dalam menghadapi kelima putri yang terkenal kejam di istana ini. Itulah alasan mengapa dia bisa membuatku tertarik, bagaimana? Apa kalian memahami alasanku?" Kicauan burung yang riuh di luar istana seakan melengkapi suasana tegang di ruang singgasana ini, tampaknya, kelima putri di hadapan William tak ada yang merespon ucapannya, membuat ia mengira kalau mereka sudah setuju terhadap usulannya untuk mengangkat Arga sebagai raja berikutnya. Sepakat, mereka menganggukkan kepala pada omongan ayahnya untuk menyetujui Arga sebagai penerus pemimpin Kerajaan Vanterlock walau William tahu kalau mereka berlima tidak sepenuhnya setuju pada kemauannya. Selesai, William pun mempersilakan Emilia, Agnes, Victoria, Laila, dan Charlotte untuk pergi dari singgasananya. Para putri pun keluar dari ruang singgasana setelah sebelumnya membungkuk hormat pada ayahnya. Seperti biasa, setelah melakukan pertemuan penting, mereka akan pergi ke suatu tempat yang disukainya masing-masing, tidak ada interaksi antar saudara saat mereka berjalan berdampingan di lorong, entah sejak kapan itu terjadi, tapi sepertinya penyebab utamanya karena perebutan harta dan takhta, mereka jadi sedingin itu pada saudara kandungnya sendiri. Bahkan mungkin, tidak ada lagi kasih sayang antar kakak dan adik di hati mereka. *** Sementara itu, di halaman belakang istana, Arga terlihat sedang memasak daging tusuk yang dipanggang di alat pemanggang. Dia memasak di tengah-tengah rerumputan yang hijau, asap hitam hasil dari panggangannya mengepul ke udara, terayun-ayun ke atas, bercampur dengan angin dan menghilang. Aroma daging panggang yang lezat telah masuk ke dalam istana, sampai orang-orang yang tak sengaja menghirup baunya langsung berlarian mengikuti sumber bau tersebut dan lihatlah, satu-persatu orang berdatangan ke tempat Arga memanggang. Mereka semua mengantri ingin merasakan daging yang dipanggang Arga, kebanyakan yang datang ke tempat lelaki bertanduk itu adalah para bangsawan kaya raya. Karena banyaknya jumlah permintaan, Arga terpaksa menyuruh seorang pelayan untuk ikut membantunya memanggang dan menyiapkan makanan. Ramai, Arga gembira karena masakannya berhasil mengundang banyak orang, mereka semua, yang sudah menyantap daging panggang ala Arga, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada lelaki pirang itu karena telah membuat makanan yang sangat lezat. "Sepi juga akhirnya," Kelelahan karena telah melayani banyak orang, Arga berbaring di rumput lembut itu, matanya menyoroti langit sore yang dipenuhi dengan burung-burung beterbangan, angin sepoi-sepoi menggelitik kulitnya, nikmat sekali rasanya. "Tidak kusangka bakal secapai ini melayani banyak orang, aku jadi berpikir kalau para koki benar-benar hebat, karena mereka sudah terbiasa dengan tekanan banyaknya permintaan dari pelanggan, tidak sepertiku yang langsung tumbang hanya beberapa jam saja memanggang untuk orang banyak. Aku merasa tak pantas jika impianku adalah menjadi seorang koki, karena tantangan dunia memasak tidak kalah kejam dari permasalahan dunia nyata. Hah~ Melelahkan." Tap! Tap! Tap! Jejak kaki terdengar mendekatinya, Arga dengan cepat mendongakkan lehernya untuk memandangi seseorang yang berjalan mendekatinya itu. Seorang gadis berambut pirang yang memakai gaun ungu rupanya adalah orang yang barusan mendekatinya. Dilihat secara teliti, tidak salah lagi kalau gadis itu adalah Victoria, putri yang terkenal dengan sifat cerianya yang menghibur. Namun, ada yang berbeda, gadis itu kini sedang menundukkan kepala, menatap muka Arga dengan air mata menggunduk di kelopak matanya. "Arga," lirih Victoria mencemburutkan bibirnya sedih, dan air mata pertamanya jatuh ke kening Arga tanpa disengaja. "Maafkan aku." "Eh?" Tidak tahu apa ini efek dari kelelahan atau bukan, tapi kenapa Victoria yang dia kenal keji mendadak meminta maaf padanya dengan air mata menetes-netes begitu? Arga semakin tak mengerti. "Ada apa, Victoria?" Tak tega melihat perempuan menangis, Arga membangkitkan tubuhnya, lalu menyentuh pundak Victoria-mengisyaratkan untuk duduk di rerumputan bersamanya-syukurlah gadis itu menurutinya. Duduk dengan saling berhadapan di bawah langit sore, Arga dan Victoria saling menatap. Wajah Arga tampak tenang menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya, sementara Victoria terus menangis pilu di depan lelaki bertanduk itu. Tak kunjung diberi penjelasan, akhirnya Arga yang menduga-duga pada Victoria, "Apakah kau menangis karena tidak kebagian daging panggangku?" Konyol, Arga malah menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin membuat Victoria menangis pilu begitu, lagipula, jika hanya sebatas daging, gadis itu sudah bosan memakannya. "Aku ... sepertinya telah melakukan kesalahan besar di depan ayahku." Sesenggukan, Victoria menutupi mukanya yang basah itu dengan telapak tangannya, malu diperhatikan oleh Arga yang sebelumnya lelaki itu adalah target siksaannya. "Kesalahan apa?" Bingung, Arga semakin menampakkan muka tak mengerti pada Victoria yang tiba-tiba datang dan menangis di hadapannya. "Dari kecil, aku selalu dibenci oleh para lelaki, mereka bilang, aku ini gadis yang manja, yang tak bisa hidup tanpa keluarga. Aku tidak terima, karena kesal, aku memerintahkan prajuritku untuk menyiksa mereka, dan membuat keluarganya menderita, aku senang melihat mereka bersujud untuk meminta maaf padaku, walaupun mereka telah meminta maaf, aku tetap membenci mereka, para lelaki, hingga saat ini. "Apa pun yang berhubungan dengan lelaki, aku muak, ingin muntah, dan jengkel. Sampai aku tak menyadari kalau Ayahku juga ... seorang lelaki. Dan tadi, saat di pertemuan, aku tak sengaja menyinggungnya ketika mulutku menghina para lelaki. Aku merasa bersalah, aku minta maaf dan menangis di sana, tapi Ayah terlihat dingin padaku, bahkan dia mengabaikanku. Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan kasih sayang dari Ayah lagi, Arga?" Tersenyum, Arga mulai memikirkan sesuatu, tak bisa dipercaya, rupanya Victoria yang terkenal keji punya masalah sendiri di kehidupannya, padahal sebelumnya, dia agak kesal pada gadis ini karena telah mengerjainya waktu kemarin di ruang pemenggalan kepala, tapi lupakan saja, hari ini dia tidak bisa merasa kesal pada seorang gadis yang menangis. "Ikutlah denganku, Victoria." TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD