My Prince - 10

1505 Words
Siang itu, ketika matahari sedang semangat-semangatnya mengeluarkan sinarnya, para putri di istana Vanterlock dipanggil oleh Raja William untuk segera datang ke hadapannya. Merasa terpanggil, masing-masing dari lima perempuan itu lekas pergi ke singgasana ayahnya, mencari tahu ada hal apa hingga mereka dipanggil di waktu yang bersamaan. Charlotte yang wajahnya babak belur tergesa-gesa masuk ke dalam singgasana ayahnya, diikuti oleh Emilia yang menundukkan kepalanya, Victoria yang meloncat-loncat ceria, Laila yang memamerkan senyumannya, dan Agnes yang mukanya bersemu merah. Kelima putri kerajaan yang William panggil sudah ada di hadapannya, berdiri tegak dengan gaunnya yang warna-warni. "Sebenarnya, ada masalah apa sampai Ayah memanggil kami berlima? Apakah--" perkataan Victoria-putri berambut pirang yang ceria-dipotong oleh William dengan cepat. "Sejujurnya," William mengatur nadanya agar lebih berwibawa, ia juga mengetuk-ngetuk jemarinya di lengan kursi singgasananya. "Aku sudah memutuskan siapa yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin di kerajaan ini untuk menggantikanku." Bersamaan, kelima putri kaget, mata mereka terbelalak tidak percaya dengan keputusan ayahnya yang terlalu cepat, padahal ia bisa memimpin kerajaan ini puluhan tahun lagi, tetapi mengapa ia ingin turun takhta secepat itu? "Konyol," Agnes mendesis. "Kau sengaja melakukan itu untuk memaksa kami menggantikanmu, begitu? Dasar bodoh, usia kami masih belum cukup matang untuk mengatur kerajaan yang luas ini serta mengurus jutaan manusia di luar sana." Mata William menyoroti kelima wajah putrinya dengan tenang, lalu dengan ketegasan seorang ayah, ia menjawab protes dari putri keduanya, Agnes. "Kalian tidak perlu cemas, Anak-anak. Aku sudah membulatkan niatku untuk tidak memaksa kalian, para putriku, mengurusi urusan kerajaan yang rumit ini sendirian." Merasa ada kejanggalan pada ucapan Ayahnya, Emilia bertanya, "Jika bukan kami yang menggantikan posisi Ayah, lalu siapa?" "Apakah para bangsawan?" sindir Charlotte. "Atau rakyat jelata?" tambah Victoria. "Mungkin sepupu kita?" duga Laila. "Jangan-jangan ...." sambar Agnes dengan mulut yang menganga. "Kau benar, Agnes," jawab Raja William dengan mata menyoroti Agnes. "yang akan menggantikan posisiku sebagai Raja di Kerajaan Vanterlock adalah ... Arga Gelisto." BUM! Bunyi kekagetan yang tercipta di antara Emilia, Agnes, Victoria, Laila, dan Charlotte telah berhasil membuat Raja William yang mengamati mereka senyam-senyum sendiri. Inilah bagian yang ditunggu-tunggu oleh William, yaitu melihat reaksi lima putrinya setelah mendengar keputusannya yang telah matang. "APA AYAH GILA!?" Karena keterkejutannya yang sudah menggunduk, Emilia sampai menghancurkan topeng yang dia jaga dari dulu dengan berteriak tak terima atas keputusan yang ayahnya ambil. Tidak peduli lagi pada seberapa pentingnya dalam menjaga topeng sempurnanya, Emilia, dengan percaya diri, menunjukkan diri aslinya demi mencegah ayahnya melakukan hal segila itu. Keempat adiknya bahkan terkejut mendengar teriakan Emilia yang sangat ganas, melambangkan amarah yang sudah tak terbatas, mereka berempat mendelik pada kakak pertamanya itu yang kini maju selangkah dari posisi mereka untuk lebih dekat ke hadapan ayahnya. "DI DALAM ATURAN KERAJAAN, JIKA SEORANG RAJA HENDAK TURUN TAKHTA, MAKA ORANG YANG WAJIB MENGGANTIKAN POSISI KEPEMIMPINANNYA ADALAH ISTRINYA, PUTRA-PUTRINYA, SAUDARA-SAUDARANYA, SEPUPU-SEPUPUNYA, ATAU ORANG YANG DIBERIKAN KEPERCAYAAN UNTUK MEMIMPIN. TETAPI, MENGAPA ARGA GELISTO YANG AYAH PILIH DALAM MENGGANTIKAN POSISIMU! DI SINI MASIH ADA KAMI! MUNGKIN KEEMPAT ADIKKU MASIH BELUM KUAT UNTUK MENGEMBAN TUGAS SEBESAR ITU! TAPI, PERCAYALAH! AKU SUDAH CUKUP UNTUK BISA MENGGANTIKANMU, AYAH! JADI KUMOHON ...." "Cukup, Emilia!" William membentak Emilia yang tingkahnya sudah kelewatan, berteriak-teriak pada ayahnya yang kini menjabat sebagai raja adalah tindakan yang sangat tak sopan. "Jika kau keberatan dengan keputusanku, maka berikanlah padaku saran dan pendapatmu dengan benar untuk bisa mengubah pola pikirku, bukan dengan teriakan-teriakan yang memekikan telinga, Emilia." Rambut hitamnya tergerai pasrah, Emilia menundukkan kepalanya, kekesalannya merasa sedang ditekan, urat-urat di keningnya masih terlihat, bertanda kemarahannya belum reda. Emilia mundur selangkah untuk kembali berdiri di baris yang sama dengan keempat adiknya, perasaanya campur aduk antara jengkel dan putus asa. "Siapa yang keberatan dengan keputusanku, angkat tangan!" Tak disangka kalau seluruh putri William mengangkat tangan kirinya serentak, mereka seperti bekerja sama untuk menggulingkan ayahnya untuk merebut takhta. Karena terkesan dengan semangat mereka berlima, William mencoba untuk menanyakan satu-persatu dari mereka, apa alasannya hingga mereka menolak keputusan yang ia buat secara matang-matang itu? "Apa alasanmu mengangkat tangan, Charlotte? Dan ada apa dengan wajahmu yang babak belur itu? Dengan siapa kau berkelahi? Padahal kau seorang putri, tapi kelakuanmu--" "Apa kau bisa diam, Yang Mulia Raja?" potong Charlotte dengan intonasi yang tajam. "Bisa kau abaikan terlebih dahulu mengenai apa yang terjadi pada wajahku? Aku sangat senang jika kau bilang 'iya', baiklah, sekarang, biar kujabarkan dengan jelas mengapa aku keberatan dengan usulanmu mengangkat seekor serangga untuk menjadi penerusmu. "Coba kau pikirkan. Dia datang ke istana ini tanpa menyebutkan dari mana dia berasal, bukan? Aku dengar itu dari gosip, lalu, dia juga tanpa rasa malu menawarkan diri untuk menjadi menantumu? Dari sini kita sudah menemukan sesuatu mengenai letak bahaya pada diri Arga Gelisto yang tidak lain hanyalah seorang tamu tak diharapkan di istana ini. Aku hanya khawatir kalau Ayah telah dihipnotis oleh serangga itu untuk melakukan keputusan yang mengejutkan ini." Kumis William bergerak-gerak seperti ulat bulu, tampaknya, pria buncit itu sedang menahan tawa setelah mendengar alasan dari putri bungsunya, Charlotte. Tentu saja, ia tak bermaksud meremehkan alasan dari putri Charlotte sedikit pun, malahan, dia bangga karena putri bungsunya bisa mengemukakan pendapatnya tanpa rasa canggung sedikit pun walau sedang diperhatikan oleh kakak-kakaknya, hanya saja, dia merasa terhibur karena bisa melihat keberanian-keberanian dari lima putrinya. "Setelah kusimak baik-baik, sepertinya Charlotte sangat penasaran dengan tempat tinggal Arga Gelisto, sampai-sampai kau ingin tahu secara detail di mana letak rumahnya atau bahkan kamarnya? Sebelum pria itu menduduki posisi Raja, begitu?" Sindirian macam apa ini? batin Charlotte geram mendengar ayahnya dengan sengaja menggodanya di depan kakak-kakaknya. Padahal biasanya, Charlotte lah dalang dari segala masalah yang bermula dari sindir-menyindir atau goda-menggoda, dan sekarang, gadis itu terkena balasannya. "Kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol seperti itu." dengus Charlotte dengan memalingkan mukanya ke samping agar kakak-kakaknya tak dapat memandang ekspresinya yang sudah dipermalukan oleh ayahnya. "Lalu, bagaimana denganmu, Victoria?" perhatian William sudah dialihkan sepenuhnya pada gadis berambut pirang itu. "Akhirnya aku diberikan kesempatan untuk berbicara~ hehehehe! Aku senang sekali! Aduh! Aku senaaaaaaang. Okay-okay, aku akan menjawabnya demi Ayah tercinta. Jadi, alasannya begini, ummmm ... mungkin karena lelaki memang tak cocok untuk dijadikan sebagai pemimpin," mendadak, wajah Victoria yang sebelumnya ceria berubah menjadi kesal. "Lelaki itu sampah! Lelaki itu jelek! Lelaki itu bodoh! Lelaki itu payah! Lelaki itu menjijikan! Mereka semua bagusnya dilenyapkan dari muka bumi ini!" "Hm? Apa maksudmu Ayah juga tak pantas untuk menjadi seorang Raja?" Tiba-tiba Victoria terdiam, dia mendongakkan kepalanya, menatap mata ayahnya yang sedang memperhatikannya. Kedua kaki Victoria gemetar hingga menjatuhkan pantatnya ke karpet merah yang terhubung ke singgasana ayahnya. Kedua mata Victoria berkaca-kaca, secara tak sadar, lewat makiannya barusan pada sosok lelaki, dia sudah seperti menghina ayahnya sendiri. Saat ini, air mata Victoria menetes-netes karena menyesal telah menghina sosok lelaki yang juga bagian dari ayahnya itu. Kedua betis Victoria sudah tak bisa menahan berat badannya untuk kembali berdiri karena lemas tak berdaya. "Ma-Maafkan aku~ Ayah! Hiks! Aku tidak bermaksud ... merendahkanmu, menghinamu, meremehkanmu, menghujatmu! Aku tidak bermaksud seperti itu, Ayah! Hiks! Kumohon ... maafkan aku!" Dengan dingin, perhatian William berpaling ke Agnes, mengabaikan permintaan maaf serta suara tangis dari Victoria. "Jelaskan alasanmu kenapa kau keberatan dengan keputusanku, Agnes?" "Sebenarnya hanya satu hal mengapa aku tidak setuju dengan keputusanmu, Ayah," ujar Agnes dengan serius. "Karena kau tidak memilihku. Aku yakin seratus persen jika kau memilihku untuk menggantikan pekerjaanmu, Kerajaan Vanterlock pasti akan sejahtera selamanya." "Apa sejahtera yang kau maksud itu adalah memaksa seluruh rakyatmu untuk menghormati iblis-iblis yang kau dongeng, 'kan? Lalu, mengajarkan mereka untuk menjadi penganut setan dan memberikan segala pengetahuanmu tentang cara membuat ramuan-ramuan aneh serta ilmu-ilmu hitammu, begitu?" Merasa tertampar oleh kata-kata ayahnya, Agnes membisu di posisinya, dia tak bisa membela dirinya lagi karena apa yang diduga William memang benar. "Laila, aku penasaran pada alasanmu, bisa kau jelaskan mengapa kau menolak usulanku?" Dengan anggukkan kepala, Laila pun membuka suaranya, "Maaf jika sekiranya alasan yang kukeluarkan terdengar lancang atau tak sopan. Aku keberatan jika yang menjadi Raja berikutnya adalah Arga Gelisto, karena setahuku, setelah aku mengenal dekat dengannya, dia tidak punya kewibawaan seorang lelaki, tata bahasanya pun kurang sopan, gaya tubuhnya juga tidak enak dipandang, aku sarankan untuk memberikan dia pengajaran terlebih dulu sebelum dia diangkat menjadi seorang Raja olehmu, Ayah." "Bagus sekali, alasanmu terdengar sangat mulia, Laila. Namun, aku merasa kalau kau sedang memandang rendah seorang Arga, mungkinkah di matamu dia hanyalah sosok pria yang tak bisa mengatur sikapnya? Astaga, aku terkejut kau menilai seseorang hanya dari luarnya saja, Laila? Bukankah kau selalu mendapatkan peringkat pertama di akademi? Tapi mengapa pandanganmu terhadap orang lain hanya sebatas menilai tampilan luarnya saja? Aku kecewa padamu." Saat ini, jantung Laila berdegup kencang karena kaget pada ucapan ayahnya pada dirinya, dia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi karena menurutnya dia memang layak untuk dimarahi seperti ini. "Dan sekarang, aku ingin kau mengutarakan alasanmu, Emilia. Kuharap tidak ada teriakan serigala lagi di dalam suaramu." Mendengar namanya disebut membuat Emilia menarik napasnya panjang lalu dihembuskan melalui mulut, dia sudah menstabilkan emosinya dan bersiap untuk mengucapkan alasannya. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD