My Prince - 06

1624 Words
Sangat tak terduga, Emilia yang sebelumnya sangat baik dan ramah tiba-tiba berubah menjadi kejam dan licik, tentu saja, Arga tidak percaya pada perubahan sifat dari gadis bermata sipit itu karena awalnya, dia mengira kalau perempuan itu berbeda dari adik-adiknya, tapi siapa sangka, kalau kakak mau pun adik, sama saja. Sekarang, karena Arga telah terperangkap dalam jebakan yang dibuat Emilia, dia sudah tak bisa berkutik lagi, terlebih, murid-murid dari putri bergaun putih itu pun siap menyerangnya kapan saja menggunakan sebuah palu, membuat Arga semakin tak tahu harus bagaimana. Dan dia yakin, kalau ruangan balet sudah dikunci rapat-rapat dari segala penjuru agar dia tak bisa kabur. Apa boleh buat, Arga akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Namun, mendadak, Emilia memberikan sebuah tantangan pada Arga, yaitu menari melawannya, jika lelaki itu menang, dia boleh membalas perlakuan Emilia sesukanya, tapi, jika dia kalah, sebuah hukuman akan menunggunya, yaitu digantung di tempat ramai dengan tubuh telanjang bulat. Siapa pun pasti merasa tertekan dengan hukuman berat yang memalukan itu, bukan? Beruntungnya, Arga bisa mengatur emosinya agar tidak merasa cemas dan kemudian dia menerima tantangan itu dengan senang hati, lantas, apakah dia bisa memenangkan kompetisi itu? Dimana dirinya lah yang paling dirugikan di sini karena menari bukan keahliannya, sementara Emilia kelihatannya sudah profesional dalam tarian balet. "Mari kita mulai! Arga!" Musik yang mengiringi mereka sudah berbunyi merdu entah dari mana asalnya, mungkin saja ada salon-salon mungil yang ada di ruangan ini. Emilia langsung melemaskan tubuhnya, berputar di atas lantai licin itu dan melakukan berbagai variasi-variasi yang indah, seperti melompat dengan mengikuti alunan musik. Sementara Arga, yang notabanenya adalah seorang pemula di sini hanya bisa melongo melihat tarian yang dilakoni oleh Emilia, gestur tubuh gadis itu benar-benar seimbang, dan gerakan lembut namun lincah itu cukup membuat para penonton tercengang. "Sialan, semakin aku takut kalah, semakin tinggilah rasa penasaranku untuk menang." Pelan-pelan, Arga mencoba menggerakkan kedua kakinya, rasanya dia seperti berjalan di atas permukaan es yang licin, saking licinnya, dia hampir jatuh berkali-kali hingga gelak tawa terdengar dari murid-murid Emilia yang mengamatinya. Mencoba untuk fokus, Arga kembali bangkit dari posisi hampir jatuhnya, kemudian, dia ingin meninggikan kakinya sedikit dan hanya beberapa jari kaki saja yang menyentuh lantai, seperti penari balet profesional, tapi, BRUG! Dia tersungkur ke lantai dengan bantingan yang sangat kuat, lagi-lagi suara gelak tawa terdengar ditambah dengan ejekan-ejekan yang memuakkan dari para murid Emilia. "Sial sekali." Arga juga tak habis pikir kalau ternyata sulit sekali untuk bisa menari lepas dengan kaki yang berjinjit, rasanya dia mual jika terus melakukan itu. "Tapi, ayolah! Tinggal sedikit lagi aku bisa menyusulnya!" Padahal kenyataannya, Arga sama sekali belum menari, yang barusan dia lakukan hanyalah mencoba melakukan posisi dasar sebelum menari, tapi dia sudah tumbang karenanya. Sementara di sampingnya, Emilia telah berkali-kali menampilkan tarian-tarian indah yang dapat membuat semua orang terpesona akan gerakannya. Didukung dengan tubuh rampingnya, Emilia sangat luwes menyajikan berbagai gerakan yang berbeda di tiap ritmenya. Arga terlihat sedikit kesal dengan perbedaan yang menyakitkan ini, bahkan, dia berpikir kalau semua ini sudah diatur sedemikian rupa agar kekalahan menimpanya. "Jangan bodoh, aku juga pasti akan mengalahkanmu! Emilia!" SET! Karena kesal, Arga langsung menegakkan badannya, kedua tangannya dilebarkan dan dibengkokan sedikit seperti kepiting, lalu, dadanya ditarik agar lebih tegak lagi, dan bumbu terakhir dalam tampilannya adalah senyuman menawan. TAK! Sepatunya berdetak, memukul lantai, membuat para murid Emilia mengalihkan perhatiannya pada Arga. Kemudian, dengan gerakan yang sangat tegas, Arga mulai menggoyangkan pantatnya dan menggerakkan kakinya untuk berputar-putar seperti mesin blender, hingga akhirnya, dia meloncat sambil menyunggingkan senyuman tampan. Reflek, murid-murid Emilia menjerit histeris saking senangnya melihat tarian asal-asalan yang dibuat oleh Arga. Walaupun gerakannya berantakan, Arga menutupi kekurangannya dengan senyuman percaya diri, yang bisa menghipnotis siapa saja. Sadar ada yang berbeda, Emilia melirik ke tempatnya Arga, dan dia terkejut, karena kelihatannya, lawannya kali ini sudah dapat menari dengan lincah, walau tidak selincah dirinya. Karena merasa tersaingi, Emilia pun tak ingin kalah, dia langsung menunjukkan variasi hebat miliknya, berputar kencang, menghempaskan rambut hitamnya ke segala arah, dan membanting kakinya berkali-kali sambil menari, menandakkan kalau kali ini, dia sedang sangat serius. Sebagian murid memalingkan kepala mereka untuk menonton Emilia, sementara sebagiannya lagi tetap melihat tarian Arga dengan penuh jeritan semangat. Musik terus bergemuruh di ruangan itu, hingga terciptalah, detik-detik terakhir yang memukau dari penampilan Emilia mau pun Arga di hadapan penonton, membuat gadis-gadis itu menjerit-jerit untuk mendukung dua kubu yang berbeda. Alhasil, karena musik telah selesai dan tarian pun telah usai, sekarang adalah saatnya untuk penilaian. Arga sedikit khawatir pada hasilnya, karena dia sadar kalau tariannya tidak sebagus Emilia. Sementara Emilia memberengutkan wajahnya karena kesal pada kemampuan Arga yang mengejutkan. Yang menentukan siapa pemenang dan pencundang di pertarungan ini adalah mereka, para penonton yang telah mengamati dari awal hingga akhir. "Melelahkan sekali, ya? Aku bahkan sampai lupa untuk bernapas saat sedang menari, huh." ucap Arga dengan ngos-ngosan. Dadanya kembang kempis, kondisi Emilia pun sama buruknya dengan Arga karena lelah akibat menari. Namun, jiwa mereka masih membara layaknya api dalam menunggu hasil penilaian dari para penonton. "Aku pikir, semuanya sudah tahu, kalau pemenang di pertarungan ini adalah ak--" Kata-kata Emilia langsung tertahan saat matanya melihat hasil sesungguhnya dari penonton. Cara menilainya yaitu para penonton diberikan masing-masing dua papan berwarna merah dan biru, jika mereka suka terhadap penampilan Emilia, maka mereka harus mengangkat papan berwarna merah, dan sebaliknya, jika mereka tertarik dengan penampilan Arga, papan birulah yang harus diangkat. Dan siapa sangka kalau dua puluh muridnya mengangkat papan berwarna biru, ini tidak mungkin, seharusnya Emilia lah yang memenangkan pertandingan ini. Ah, cobalah berpikir positif, mungkin saja mereka salah mengangkat papan, Emilia langsung tersenyum ramah. "Anak-anak, papan yang kalian angkat itu salah, lho? Seharusnya, yang warna merah diangkat. Ayo, simpan saja papan biru itu, sayang." rayu Emilia untuk menyadarkan murid-muridnya yang dia kira ceroboh. "Ma-Maafkan kami, Guru! Tapi, kali ini, kami tidak mengangkat papan yang salah, karena kami memang suka pada penampilan ... Tuan Arga." Jantung Emilia serasa diremukkan untuk sesaat setelah mendengar jawaban dari salah satu muridnya, matanya melotot hingga urat-urat merahnya muncul, dan dia menggigit bibirnya hingga terluka. Sementara Arga terbelalak dengan hasil yang diperolehnya, tak disangka kalau penampilannya dapat membuat anak-anak itu menyukainya. "Wow! Luar biasa, Anak-anak! Kalian benar-benar hebat!" Arga tersenyum lebar sambil berlari menghampiri anak-anak lalu memeluk mereka sekaligus dengan lengan kekarnya saking bahagianya. Palu-palu yang sebelumnya mereka genggam sudah tergantikan dengan papan biru yang ada di tangan mereka. Entah mengapa, anak-anak juga membalas pelukan Arga dengan senyuman imut di wajah mereka. Melihat semua itu membuat tubuh Emilia bergetar saking jengkelnya, bahkan, seluruh tubuhnya menjadi merah akibat kemarahan yang telah memuncak. Sadar akan hal itu, Arga melepaskan pelukannya ke anak-anak dan berdiri menatap Emilia yang terlihat gondok akan kekalahannya. "Jadi, apakah kau ingat tentang aturan mainnya? Emilia? Kau sendiri yang membuatnya, 'kan? Bahwa jika aku kalah, maka aku akan digantung di tempat ramai dengan kondisi telanjang bulat, tapi jika aku menang," Arga tersenyum hangat. "Aku boleh membalas perbuatanmu dengan cara sesukaku, 'kan?" "Katakan saja apa maumu." jawab Emilia dengan menggeram seperti banteng. "Hmm? Apa mauku? Kalau kau bertanya begitu, aku jadi bingung, soalnya, banyak sekali yang ingin kulakukan padamu, tapi biar kusingkatkan saja," kata Arga dengan mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana kalau kau sekarang menjadi ... temanku." Emilia kaget dengan pernyataan itu, padahal masih banyak hal yang lebih kejam untuk membalas perbuatannya, tapi mengapa Arga hanya memilih itu sebagai balasannya? "Teman? Apa maksudmu?" Arga tersenyum dan melipatkan tangannya dengan gagah. "Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa, kok. Aku juga tidak terlalu menginginkannya." "BAIKLAH!" Tiba-tiba, Emilia berteriak dengan kencang. "Mu-Mulai sekarang ... aku akan berusaha untuk menjadi ... TEMANMU!" Arga terkejut mendengarnya, dia kira Emilia bakal menolak permintaannya mentah-mentah, tapi apa ini? Dia ternyata mau? "Namun, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu, Emilia," Gadis itu langsung tertegun mendengar kata-kata Arga. "Selama kau menjadi temanku, aku ingin kau hancurkan topengmu itu. Aku tidak suka pada wajah palsumu yang pandai menipu itu." Emilia menundukkan kepalanya, dia merasa menyesal pada sifatnya yang suka menampilkan kepalsuan pada setiap orang, setelah mendengar itu, hatinya sedikit tergerak untuk mengubah sifatnya. "Baiklah, aku mengerti. Terima kasih karena kau tidak membalas perbuatanku dengan kejahatan, aku benar-benar berterima kasih padamu, Arga." Kemudian, Arga pun keluar dari ruangan balet, meninggalkan Emilia beserta murid-muridnya yang terdiam karena perkataannya. *** "Ya ampun, tak kusangka ternyata hari ini pun aku mendapatkan kejutan lagi dari putrinya Raja William, tapi kali ini, aku benar-benar dibuat lelah oleh Emilia." Arga kini sudah pulang ke kamar tercintanya, setelah mandi, dia langsung menyantap sosis bakar yang dibawakan oleh pelayan, dia memakannya dari balkon kamarnya, untuk menikmati pemandangan langit sore. "Kupikir, dibandingkan dengan Charlotte yang sadis dan Victoria yang kejam, sifat Emilia terlihat lebih berbahaya dari mereka berdua, karena gadis itu pandai memainkan peran malaikat, padahal sebenarnya, dia sama buruknya seperti Charlotte dan Victoria. Ayolah! Apakah tidak ada satu pun Putri di sini yang hatinya baik dan perilakunya bak bidadari? Kurasa, seharusnya Putri kerajaan memiliki sifat seperti itu, tapi mengapa gadis-gadis yang kutemui semuanya punya sikap yang buruk. Haaaah~ aku lelah." Walaupun Arga berkata begitu, tapi sejujurnya, dia juga punya rasa ketertarikan pada Charlotte, Victoria, juga Emilia. Puk! Tiba-tiba, sebuah benda terjatuh entah dari mana ke kepalanya, setelah dia lihat, ternyata itu adalah sebuah pensil yang ditubuhnya tertulis nama 'Laila'. "Oh, sepertinya pensil ini milik Putri Laila, kebetulan sekali aku belum pernah bertemu dengannya, kalau begitu, nanti malam aku akan menanyai para pelayan mengenai kamarnya Putri Laila, aku akan mengembalikan pensil miliknya dan juga, berkenalan dengannya." Arga bersiul-siul santai, padahal sebenarnya, dia masih trauma pada sikap para putri di sini, dia berharap semoga Putri Laila berbeda dari tiga putri yang telah ditemuinya. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD