My Prince - 05

1515 Words
Pagi ini, secara kebetulan, Arga bertemu dengan Emilia, yang statusnya merupakan putri pertama dari Raja William. Tentu, Arga sangat terkejut, karena sebelumnya, dia menyebut gadis itu sebagai pelayan. Entah apa yang akan terjadi pada nasibnya kali ini karena telah membuat Emilia mendengar dirinya disebut sebagai pelayan. Agar Emilia tidak mengingatnya, Arga cepat-cepat mengganti topik pembicaraan. "Jadi, apa yang membuatmu datang ke kamarku, Putri Emilia?" Mendengarnya, Emilia tersenyum ramah, "Sebenarnya, aku datang, hanya ingin memuaskan rasa penasaranku pada tamu baru sepertimu, tapi syukurlah, ternyata kau adalah lelaki baik yang menghuni kamar 301 ini, aku jadi tenang. Oh iya, kemarin aku mengirim surat padamu, apa sudah dibaca olehmu, Tuan Arga?" Arga senang, akhirnya dia berhasil mengelabui Emilia untuk tidak mengingat kata-katanya yang menyebut gadis itu pelayan. "Oh, surat yang kemarin, ya? Aku belum membacanya, soalnya ada lima surat yang datang bersamaan padaku, jadi aku belum sempat membaca semuanya. Memangnya, kalau boleh tahu, apa isi surat yang kau tulis itu, Putri Emilia?" Rambut hitam Emilia terhembus angin, menari-nari dengan lembut. "Maaf, tapi tidak enak rasanya jika aku membocorkan isi surat yang kukirim padamu, padahal kau belum membacanya. Jadi, lebih baik, kau membacanya saja nanti, setelah itu, kau pasti akan mengerti," kata Emilia dengan memiringkan kepalanya penuh senyuman. "Ngomong-ngomong, aku pernah dengar dari seorang prajurit, kalau kau datang ke istanaku untuk ... menikahi salah satu putri dari Raja William? Apa itu benar?" Sial, Arga benci mendengar pertanyaan ini, karena yang menanyainya saat ini adalah salah satu dari putri itu sendiri. "Ah-Ahahaha!" Arga tertawa kaku, sungguh, mukanya hampir memerah. "Y-Ya, bisa dibilang begitu. Ahahaha!" Gadis berambut hitam itu langsung menjatuhkan tas yang dibawanya, wajah Emilia menampilkan ekspresi super kaget, seperti seseorang yang terkejut bertemu dengan hantu yang menyeramkan. Kini, Arga menduga kalau putri Emilia pasti akan memberikan perlawanan atas tindakannya, seperti yang dilakukan Charlotte dan Victoria padanya. Cup~ Tetapi, tiba-tiba, Emilia berlari mendekati Arga dan mengecup bibir lelaki pirang itu dengan pelukan hangat, wajah Arga menandakan kalau dia sedang super-super-super kaget. "HWAAA!" Arga langsung melepaskan kecupan itu, memundurkan tubuhnya untuk keluar dari pelukan yang dibuat Emilia. "Ap-Apa yang!? Ke-Kenapa kau tiba-tiba!? I-Ini sangat--" Emilia menghembuskan napasnya, ternyata ketika dia mengecup Arga, matanya tertutup, lalu, secara perlahan, gadis itu membuka kelopak matanya. Bola matanya yang berwarna hitam terlihat basah, kemudian, perhatian gadis itu tertuju pada muka Arga, dan senyuman tipis terukir di wajah Emilia. "Itu adalah sambutan dariku untukmu, aku sangat senang, ada seorang lelaki jantan sepertimu berkunjung ke rumahku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi saking senangnya, hiks," Emilia mengelap air matanya yang keluar dengan punggung tangannya. "Apalagi, mendengar kau akan memilih salah satu dari kami untuk dijadikan sebagai istrimu kelak, itu benar-benar membuatku terharu." Reaksi macam apa ini? Arga juga tak bisa berkata-kata lagi setelah melihat sikap Emilia yang cukup mengejutkan. "Pu-Putri Emilia, ma--" "Panggil saja aku Emilia, tidak usah memakai embel-embel Putri, aku tidak senang mendengarnya." Mendengarnya, Arga mengubah pertanyaannya, "Ba-Baiklah, anu, Emilia, maukah kau biarkan aku memakai bajuku dulu? Soalnya, tidak enak rasanya mengobrol denganmu tanpa mengenakan apa-apa." Emilia terkikik, gadis itu mengangguk. "Silakan, Arga. Lagi pula, dengan handuk saja sudah cukup bagiku." Arga menggeleng-gelengkan kepalanya, dia sangat heran pada sifat Emilia. Kemudian, Arga masuk ke dalam kamarnya untuk memakai kostumnya yang seperti biasa, jaket berbulu hitam, kaos merah, dan celana kulit yang biasa dipakai para bangsawan. Emilia dibuat tercengang dengan penampilan Arga yang baru keluar dari kamarnya itu. "Tidak kusangka, kau juga memiliki busana yang sangat menawan, Arga. Karena kau sudah serapi ini, maukah kau pergi bersamaku ke ruangan balet?" "Balet? Untuk apa?" Arga tercekat mendengarnya, padahal sudah sejantan ini, tapi mengapa harus ke ruangan balet? Melihat Emilia memungut kembali tas yang tadi jatuh membuat Arga sedikit berpikir kalau gadis itu ternyata tak seburuk dari yang dia kira. Baguslah, dia bisa bernapas lega, karena ada satu putri yang menyenangkan untuk dijadikan sebagai teman, dan itu adalah Emilia. Selama diperjalanan menuju ruang balet, Arga dan Emilia mengobrol dengan sangat akrab, tertawa-tawa dan membahas hal-hal yang ringan, jika dilihat sekilas, mereka tampak serasi. Namun, di tengah gelak tawa yang renyah, tiba-tiba, Emilia menghentikan tawanya dan berkata, "Ciuman pertama," Emilia menundukkan kepalanya, "Yang tadi adalah ciuman pertamaku." "E-Eh? Jadi, yang tadi itu adalah ciuman pertamamu?" Arga berkeringat jika membahas hal itu. "Ma-Maaf, karena telah mengambil ciuman pertamamu, Emilia. Aku yakin, kau pasti ingin melakukannya bersama orang yang kau cintai, 'kan? Aku benar-benar minta maaf." Emilia langsung menoleh, menatap mata Arga dengan intens, air matanya menetes. "Kau tidak perlu khawatir, Arga," ucap Emilia dengan pelan. "Lagi pula, aku sendiri yang melakukan itu padamu, dan juga, aku bahagia karena kau lah, lelaki yang saat ini kucintai. Bola mata Arga bergetar, lelaki pirang itu sekarang sedang bingung harus berkata dan berbuat apa dalam merespon perkataan Emilia. "Ka-Kau bilang, saat ini, lelaki yang kau cintai adalah aku? Mengapa kau bisa mencintai lelaki sepertiku, Emilia? Padahal kita baru pertama bertemu, kupikir itu sangat tidak wajar." "Bu-Bukankah," Emilia langsung menjawabnya dengan bibir bergetar. "Yang namanya cinta itu selalu datang secara tiba-tiba? Aku juga, sebenarnya tidak mengerti kenapa bisa seperti ini." *** Mereka berdua pun sampai di ruangan balet, tempat itu memiliki lantai kayu yang licin dan membentang luas sekali. Banyak keringat berjatuhan di lantainya bekas dari para gadis yang latihan menari. Arga dan Emilia masuk ke sana dengan perasaan canggung, mereka masih malu pada apa yang dibicarakan saat di perjalanan menuju kemari. Ada sekitar dua puluh gadis berusia 12 tahun berlarian dan menjerit senang kepada Emilia, mereka menyambut kedatangan perempuan bergaun putih itu dengan hangat. Sekilas, Emilia melirik Arga. Sementara Arga sedang duduk di sisi ruangan, menyenderkan punggungnya ke dinding untuk mengamati Emilia yang mengajari gadis-gadis itu untuk menari balet. "Ya! Benar! Lebih cepat lagi ritmenya!" Emilia memberikan beberapa arahan pada setiap anak yang menari. "Kakimu harus berada pada satu titik hingga kau terasa seperti terbang. Nah, seperti itu! Lalu, kamu tegakkan lagi dadamu!" Ruangan ini berisik dengan bunyi decitan kaki yang menari dan suara Emilia yang memberikan intruksi, sampai-sampai Arga ketiduran di sana. Emilia melirik lagi pada Arga dan tersenyum, "Sekarang saatnya, Anak-anak!" Tiba-tiba, Semua anak perempuan yang dilatih oleh Emilia mengentikan latihannya dan berhamburan menghampiri Arga yang ketiduran di pinggir tempat latihan, merasa ada yang mendatanginya, Arga membuka matanya buru-buru dan apa ini? Arga dikelilingi oleh gadis-gadis kecil yang menggenggam palu dengan seringaian di wajah imut mereka. "Wo-Wow? Ada apa? Kenapa kalian mengelilingiku dengan membawa palu? Apa latihannya selesai? Dan juga, mengapa kalian menyeringai seperti itu?" "Kakak~" Salah satu dari gadis menjawab pertanyaan Arga dengan riang. "Ini adalah perintah dari Guru Emilia, jadi, kami tidak bisa menolaknya." Palu yang dipegang gadis itu bergetar, tanda tidak sabar untuk dihantamkan ke kepala seseorang. "Perintah dari Emilia? Apa perintahnya?" tanya Arga gelagapan, ini benar-benar mengejutkan. "Membunuhmu." BUAG! Gadis-gadis itu langsung menghempaskan palu itu ke kepala Arga, beruntung, lelaki itu berhasil keluar dari kepungan anak-anak tersebut dengan menerobos lubang dari bawah kaki salah satu anak. Akhirnya, yang mereka serang hanyalah dinding tak bersalah, membuat muka para gadis itu kesal. Arga memang lepas dari amukan gadis-gadis kecil, tetapi saat ini, yang ada di hadapannya adalah Emilia, pelaku utama dibalik peristiwa ini, sedang berdiri tegak dengan melipatkan tangannya sambil tersenyum ramah pada Arga. "Baru kali ini ada orang yang berhasil kabur dari kepungan murid-muridku, kau memang hebat, Arga. Aku sangat terharu." kata Emilia dengan menunjukkan ekspresi senangnya. Arga kaget atas apa yang terjadi. "Jadi, selama ini kau tidak benar-benar baik, ya? Emilia? Aku kira kau berbeda dari Charlotte dan Victoria, tapi astaga, kakak dan adik tidak ada bedanya." Emilia tersenyum tipis mendengarnya, "Banyak yang bilang kalau aku ini adalah Putri bertopeng iblis, aku tidak mengerti mengapa mereka menyebutku begitu? Tapi aku bangga, karena dengan itu, aku bisa dikenal." "Topeng, ya? Kau selalu memakai topeng untuk menyembunyikan dirimu yang sesungguhnya? Konyol sekali." Arga berhadapan dengan Emilia, ditonton oleh gadis-gadis yang membawa palu. Suasana di ruangan balet sangat panas, karena Arga telah masuk ke dalam perangkap Emilia. "Begitulah, jadi intinya, terima kasih atas kebodohanmu karena dengan mudahnya terjebak dalam perangkapku, Arga," Emilia tersenyum ramah, lalu dia menjentikkan jemarinya, secara mendadak, terdengar suara musik khas balet yang berbunyi keras di dalam ruangan itu. "Aku menantangmu, Arga, Untuk menari bersamaku di sini. Jika kau menang, kau bisa membalas perbuatanku sesukamu, tapi, jika kau kalah, kau akan kugantung di tempat yang ramai dengan tubuh telanjang bulat!" Arga terkejut mendengar tantangan dari Emilia, lalu dia paksakan untuk tersenyum santai, "Apa boleh buat, aku tidak diperkenankan untuk menolak, 'kan?" Kemudian, mereka berdua mulai melakukan ancang-ancang untuk menari di tengah ruangan yang luas itu, ditontoni oleh murid-murid Emilia. Musik masih berdentum-dentum dengan indah, menunggu momentum tarian dari dua insan yang akan bertarung. "Kita mulai! Arga!" Emilia bergerak dengan lincah, meloncat-loncat memutari lantai licin ini. Sementara Arga, berdiam kaku tak berdaya di posisinya karena kaget melihat perbedaan mencolok antara dia dan Emilia dalam tari-menari. "Sialan, semakin aku takut kalah, semakin tinggilah rasa penasaranku untuk menang." ungkap Arga dengan semangat. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD