My Prince - 04

1367 Words
"Apa maksudmu membawaku ke tempat seperti ini, Putri Victoria?" tanya Arga dengan melotot kaget. Mendengarnya, Victoria tersenyum licik. "Sudah jelas, 'kan?" kata Victoria mengangkat kedua alisnya. "Ini adalah waktunya untukmu mati, Tuan Arga." "Eh?" Arga terkejut tidak percaya, matanya membulat, mencoba untuk memastikan kalau semua ini adalah nyata, bukan mimpi. "Tapi aku tidak melakukan kesalahan, 'kan? Mengapa aku harus mati?" "Tck!" Victoria berdecak ludah, kemudian langsung mencekik leher Arga dengan satu tangannya. "Mengapa kau bilang? Itu karena kau adalah LAKI-LAKI! AKU BENCI LAKI-LAKI!" Arga tersedak ludah, lehernya dicengkram sangat kencang sampai mulutnya berbusa dan pernapasannya tak stabil. Namun, karena Victoria hanya seorang gadis, maka dengan mudah dia lepaskan cekikan itu dari lehernya, menggunakan tenaga lelakinya yang kuat. Victoria kesal karena cekikannya berhasil dilepaskan, alhasil, gadis itu berteriak, "INILAH KENAPA AKU BENCI LAKI-LAKI! MEREKA SEMUA TIDAK PERNAH MAU MENGALAH! DASAR b******k!" Arga hampir tuli mendengar teriakan Victoria yang melengking, sampai suaranya bergema di tempat tersebut. "Maaf kalau begitu, tapi, bisakah kau hentikan semua ini? Kau tidak berhak membunuh seseorang hanya karena kau membencinya, Putri Victoria? Perbuatanmu sudah termasuk ke dalam tindakan kriminal, kau bisa masuk penjara dan kena hukuman jika semua orang tahu." "Masuk penjara? Kena hukuman? Apakah kau belum dengar kalau kami, anggota keluarga kerajaan, memiliki kebebasan untuk membunuh siapa pun." Wow, Arga tidak tahu kalau ada aturan seperti itu di sini, Mau bagaimana pun, aturannya terdengar tidak normal. Baru kali ini ada kerajaan yang punya sistem sekejam ini pada rakyatnya, jika memang benar, mengapa semuanya damai-damai saja? Sudah tertebak kalau aturan yang dia dengar hanyalah bualan Putri Victoria, karena sesungguhnya, kerajaan ini sangat menjunjung tinggi keadilan dan kedamaian. "Baiklah, aku terima kemauanmu, tapi sebelum itu, siapa orang yang membuat aturan kejam seperti itu, aku ingin tahu namanya." Pertanyaan Arga langsung membuat wajah Victoria dihiasi dengan kecemasan. Gadis itu menjawab pertanyaan Arga dengan nada kaku. "Si-Siapa pun aku tidak peduli! La-Lagi pula, tidak penting membahas itu! Sekarang, lebih baik kau baringkan tubuhmu di bawah alat pemenggal itu!" Arga menghembuskan napasnya, ternyata dugaannya benar, aturan itu hanya omong kosong belaka. Lelaki itu langsung menuruti perintah Victoria untuk berbaring di bawah kapak pemenggal. "Seperti ini?" tanya Arga setelah badannya benar-benar dibaringkan. "Ya, bagus. Pertama-tama, sebelum acara utama dimulai, aku akan menjelaskan sesuatu padamu," ungkap Victoria dengan tersenyum menghampiri Arga. "Kapak yang menggantung di atasmu itu adalah benda yang telah ribuan kali memenggal kepala manusia, ketajamannya masih terjamin, dan ketahuilah bahwa hari ini, kau adalah satu-satunya orang yang akan memuaskan rasa rinduku pada acara pemenggalan kepala. Terima kasih atas kerja kerasmu, dan mari kita mulai." Arga hanya memejamkan matanya, karena sedari tadi dia malas untuk mendengar ocehan yang Victoria katakan. Merasa telah berakhir, Arga membuka matanya kembali, dan dia terkejut karena Victoria sedang bersiap-siap untuk menekan tombol yang akan menjatuhkan kapak tersebut ke leher Arga. "Tunggu dulu! Oi!" Baru saja mau protes, Victoria langsung menekan tombol tersebut dengan cepat lalu kapak itu bergoyang-goyang tepat di atas kepala Arga kemudian, ZRASH! Kapak itu jatuh ke bawah, menghantam dan menghancurkan lantai hingga berkeping-keping, tunggu, lalu di mana Arga? Rupanya, Arga berhasil selamat, dia kini sedang berdiri memandang hancurnya lantai di samping Victoria. "Hm, membosankan." ucap Arga yang langsung membuat Victoria kaget. Gadis itu memalingkan perhatiannya ke Arga yang ada di sampingnya, matanya bergetar, dan mulutnya membeku. "Mu-Mustahil!" Victoria menyentuh-nyentuh leher dan muka Arga dengan gemetaran. "Mengapa kau masih hidup? Bu-Bukankah!?" "Aku berhasil meloloskan diri, kenapa kau tidak tahu? Padahal kau memperhatikanku dari sini, kan? Seharusnya kau tahu, Putri Victoria." "Tidak mungkin! Aku yakin seratus persen bahwa dari awal kau tidak pernah sekali pun bergerak dari tempat berbaringmu! Tapi, mengapa kau bisa hilang saat kapak itu jatuh!? Jangan-jangan, kau pengguna ilmu sihir, ya!? b******k!" Arga mengangkat alisnya heran, "Hey-hey! Coba tenangkan dirimu dahulu, Putri Victoria. Sebelum kau menghakimi seseorang, lebih baik kau pastikan dulu kebenarannya. Kukira kau melihatnya, tenyata tidak, ya? Tidak apa-apa, mungkin kau terlalu tegang pada sesi pemenggalan sampai-sampai kau tidak sadar kalau aku bergerak. Hahaha!" Arga tertawa setelah mengungkapkan semua itu, sementara Victoria terlihat tidak suka pada kenyataan seperti itu, yang dia inginkan adalah melihat lelaki itu mati di hadapannya, tapi dia gagal. "Mungkin kali ini kau lolos! Tapi suatu saat nanti, aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi! Lelaki b******k! Hmph!" Kemudian, Putri Victoria mengangkat gaun ungunya dan berlari secepat mungkin untuk keluar dari tempat itu meninggalkan Arga yang masih tertawa di sana. "Tapi tetap saja," kata Arga menghentikan tawanya dengan memasang wajah pucat ketakutan. "Aku trauma pada saat-saat kapak itu akan jatuh ke leherku. Semakin aku mengingatnya, tubuhku semakin merinding!" *** Malam pun tiba, yang artinya, cahaya terang yang menyilaukan sudah tak muncul, tergantikan oleh sinar rembulan yang menghangatkan suasana. Kali ini Arga sedang berdiri melipatkan lengannya di balkon kamarnya, memandang bulan mungil yang ada di langit malam, sambil tersenyum tipis. "Kira-kira, akan ada hal apalagi yang menungguku di esok nanti? Kemarin saja aku sudah kewalahan dengan sambutan dari Putri Charlotte dan hari ini aku juga dibuat kaget oleh Putri Victoria. Aku penasaran pada tiga putri lainnya, yang belum kutemui di istana ini. Kejutan apa lagi yang akan mereka berikan padaku? Aku sangat menantikannya." Arga tertawa setelahnya, sampai akhirnya, dia bergegas masuk ke dalam kamar, melepaskan pakaiannya dan hanya menyisakan celana dalamnya, otot-ototnya ditunjukkan, kemudian dia matikan lampu kamar dan akhirnya, dia tidur terlentang di kasur tanpa memakai selimut. *** "Selamat pagi~" ucap Emilia pada setiap orang yang berpapasan dengannya di lorong istana, gadis berambut hitam itu berjalan anggun menuju ruangan balet untuk melatih murid-muridnya menari di sana. Bahkan, Emilia pun kini sedang membawa tas yang berisi kostum balet, karena ada beberapa muridnya yang belum kebagian kostum. Namun, ketika dia melewati sebuah kamar, dia merasakan aura yang tak dikenal di dalamnya. Alhasil, Emilia menghentikkan langkahnya, memperhatikan pintu kamar bernomor 301 dengan serius, kedua alisnya mengkerut, Emilia penasaran. "Kupikir, aku tidak pernah mengenal aroma ini, ada seseorang di dalam sana yang belum berkenalan denganku. Apakah tamu bangsawan? Ah, baiklah, sebelum aku melatih anak-anak, aku harus menyapa tamu ini agar kami bisa akrab." ucap Emilia dengan semangat. Dia pun mendekati pintu 301 dan mengetuknya dengan lembut, ternyata benar, samar-samar dia mendengar ada seseorang yang sedang mandi di dalamnya. Sudah pasti, tamu kali ini merupakan seseorang yang kurang disiplin, soalnya, waktu mandi seharusnya dilakukan pada pukul lima pagi, dan sekarang sudah pukul sepuluh pagi. "Aneh, mengapa seorang bangsawan mandi pada pukul segini? Biasanya mereka sudah sibuk di tempat kerjanya pada pukul segini." Cklek! Pintu kamar 301 terbuka, menampilkan seorang lelaki telanjang d**a yang mengenakkan handuk biru, otot perut dan lengannya tercetak jelas di tubuh atletis pria itu, dan setelah melihat mukanya, Emilia tersedak, karena orang itu memiliki wajah super tampan yang baru kali ini dia lihat, walau ada dua tanduk tertanam di rambut pirangnya. "Hmm? Apa kau seorang pelayan? Maaf, tapi aku belum memanggilmu, mungkin kau salah kamar, Nona. Kalau begitu--" "Si-Siapa? Aku? Pelayan?" Emilia terkejut mendengar perkataan lelaki tersebut, dia juga baru kali ini disebut sebagai pelayan oleh seorang tamu. "Hm? Mengapa kau bertanya padaku? Kalau kau bukan pelayan, lalu kau siapa?" tanya Arga dengan membereskan rambut pirangnya yang basah. "Maaf, tapi seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, siapa Anda?" Emilia balik tanya pada Arga dengan nada yang sengaja ditekankan. "Aku adalah tamu yang terhormat dari Raja William, kalau kau tidak percaya, kau bisa tanyakan padanya." Emilia kaget, dia tidak pernah diberitahu oleh ayahnya mengenai tamu ini. Tapi baiklah, dia harus mencoba untuk bersikap sopan pada siapa pun itu, karena sudah sewajarnya seorang putri menghormati tamunya. Gadis bermata sipit itu pun menyunggingkan senyuman hangat pada Arga. "Kalau benar begitu, maafkan aku, karena sudah menanyakan hal-hal yang tak senonoh pada Anda, kalau boleh tahu, siapa nama Anda?" "Arga." Emilia ingat soal nama itu, dan dia sudah membuat surat untuk lelaki yang bernama Arga itu. Jadi, dia orangnya, ya? "O-Oh, namamu Arga, ya? Nama yang bagus," ucap Emilia dengan kaku, matanya terus memperhatikan Arga dari kaki hingga ujung rambut, dia sedang menilai seberapa berharganya orang itu. "Kalau kau sendiri, siapa namamu?" "Emilia, Putri pertama dari Raja William." Arga terbelalak mendengarnya, dia sudah salah sangka pada Emilia. Sial sekali, sekarang, Arga sedang khawatir pada nasibnya. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD