Kontrak Kerja

1107 Words
Alina membuka handphone dan berselancar dengan serius. Sesekali keningnya mengerut dan bibirnya tampak komat-kamit membaca harga yang tertera di bawah gambar sepeda motor. “Mahal, ya? Tabunganku mana cukup,” keluhnya sambil menghela nafas. “Papa, kenapa dulu selalu memanjakan Alina? Tau begini nasibku, lebih baik menjadi mbak Nita saja.” Ia merebahkan tubuh di atas kasur yang hanya muat untuk satu orang. Tatapannya menengadah ke langit-langit kamar. Tiba-tiba ia berjingkrak dari pembaringan dan dan langsung menyambar dompetnya. “Motor seken ajalah. Jadi, tabunganku gak ke pakai buat beli motor. Gak melulu menyusahkan mbak Nita,” usai bergumam sendiri, Alina mengenakan jilbab instan. Ia memesan ojek online supaya tidak perlu naik turun angkot seperti sebelumnya. Lima menit berselang, seorang pengendara ojek online menghampiri Alina yang sudah menunggu di pinggir jalan. Mereka berbicara sebentar, memastikan bahwa Alina pemesanan jasa ojek online yang baru datang. Alina memberikan sebuah alamat sebuah dealer motor, tak jauh dari kontrakan sebenarnya. Hanya saja, Alina enggan berjalan kaki atau menaiki angkot dengan berbagai macam aroma keringat di dalamnya. Tak payah memilih kendaraan yang ia butuhkan. Sebuah motor matic hitam dengan harga sesuai isi dompet Alina. Uang yang tidak seberapa itu, menjadikan Alina tidak bebas memilih. Ia langsung membawa pulang barang beliannya itu setelah meninggalkan uang delapan juta rupiah. Sebuah mobil mewah terparkir di halaman depan kontrakan, Alina memberikan senyuman ketika mengetahui pemiliknya. “Kok, gak ngomong mau datang, Mbak?” tanya Alina sambil melepas helm. “Gimana mau ngomong. Makanya kalau punya handphone itu di letakkan di dekat telinga. Biar tau kalau ada orang memanggil.” “Oh, iya, maaf. Handphone tadi kuletakkan dalam jok motor.” Alina membuka jok belakang dan mengambil handphone di dalam tas kecil di sana. Benar saja, ada delapan penggilan tak terjawab dan sebuah pesan yang semuanya dari Anita. “Motor siapa?” tanya Anita memandang motor yang baru datang bersama Alina. “Motorku, baru beli.” “Seken?” “Iya Mbak. Mana punya uang kalau beli yang baru. Yang penting, gak merepotkan Mbak Nita kalau nanti pas dapat kerjaan.” “Oh, bagus, deh! Oh ya, Al. Besok datang ke kantor bawa CV lamaran pekerjaan. Tapi sebelumnya, buka dulu pesan yang kukirimkan tadi. Di situ berisi persyaratan dan nama perusahaan yang harus kamu datangi. Ingat, besok jam delapan pakai baju hitam putih.” Anita memberi penjelasan. “Iya Mbak, siap. Tapi ... aku belum punya baju hitam putih.” “Ya ampun, Alina ... malang bener, sih, hidup lo. Beli dong, Al! Apa perlu kukirimkan pakaian mbak?” “Nggak usah, Mbak. Biar beli aja. Mbak Nita sudah banyak kurepotkan.” “Nah, gitu, dong! Jangan manja, kamu harus mandiri dan jangan bergantung sama orang lain. Oh, ya, ambil makan siangmu di dalam mobil. Mbak tadi membawakan ayam panggang kesukaan kamu.” “Beneran Mbak?” Alina berbinar dengan cepat membuka pintu mobil. Ia menemukan sebuah bungkusan di jok belakang. “Makasih ya, Mbak. Kita makan sama-sama. Aku sudah masak nasi.” Baru saja membuka pintu kamar, Anita berjalan ke arah mobilnya. “Nggak usah, Al. Aku sudah makan tadi bersama Adam.” “Mas Adam? Gak pergi lagi?” “Nggak dong. Mas Adamku sekarang sudah menetap di sini. Jadi, dia punya waktu lebih banyak denganku.” “Berarti ... boleh dong, aku dikenalin?” “Kapan-kapan, ya? Nunggu dianya gak sibuk. Ya sudah, Mbak pergi dulu.” “Hati-hati ya, Mbak?” Seulas senyum mengembang di bibir Anita sebagai balasan dari ucapan Alina. Tangan Alina melambai mengikuti kendaraan Anita yang melaju perlahan meninggalkannya yang masih bergeming dengan perhatian lebih kakak angkatnya. “Beruntung ada mbak Nita. Aku jadi merasa lebih kuat saat ini.” ** Anita membolak-balik surat lamaran pekerjaan di atas meja. Mencari satu persatu nama yang tertera di sana. “Kenapa susah sekali mencari namanya, sih!” keluh Anita. Ia mulai tidak sabar dan menghentakkan pena yang ada di tangan ke atas meja. “Maaf, Bu.” Seorang karyawan mengetuk dan langsung membuka pintu. Mega, salah seorang bawahan Anita. “Sini, kamu!” Anita cepat memberi perintah dengan tangan melambai. “Gimana?” tanyanya menggantung. “Beres, Bu. Atas nama Alina Putri Bramantyo sudah masuk daftar rekrutmen. Sekarang sedang menandatangani kontrak,” ucap karyawan itu memberi penjelasan. “Sudah kamu pastikan kalau dia menandatangani kontrak kerja? Kalau sampai gagal, bonus bulananmu akan aku tarik kembali.” “Oh, iya sebentar, Bu.” Wanita itu mengeluarkan handphone dan menunjukkan dua buah foto. “Ini yang bersangkutan ‘kan, Bu? Yang ini surat tanda tangan kontrak di atas materai.” Anita memandang dengan saksama kedua foto, sebelum akhirnya tersenyum puas. “Bagaimana, Ibu? Kerja saya sukses ‘kan.” Mega berucap sambil menarik handphone dari hadapan Anita. “Jangan bangga dulu. Tugas kamu masih banyak,” ucap Anita sambil menyandarkan punggungnya. “Siap, Bu.” “Sekarang, keluarlah!” perintah Anita bersamaan dengan pintu yang di buka paksa sehingga meninggalkan suara. “Fatih!" kejut Anita. Mega buru-buru keluar dan menutup pintu. Ia tahu, atasannya itu sedang tidak dalam kondisi yang baik. Sebab, Fatih datang dengan membawa surat lamaran pekerjaan yang terpampang foto Alina. “Apa maksudmu memasukkan Alina ke sini? Kamu mau membuat nama baikku hancur?” Fatih melemparkan lembaran kertas ke atas meja di hadapan Anita. “Sabar, Sayang. Alina butuh pekerjaan.” “Tapi tidak di sini tempatnya.” “Hai, kamu tidak sedang galau ‘kan?” Anita menangkap keresahan dari diri kekasihnya. “Apa maksudmu?” “Aku ingin balas dendam, betapa sakitnya hidup diabaikan.” “Tidak begini caranya, Nita! Aku tidak akan bisa bekerja membawahi Alina. Begitupun sebaliknya, dia tidak mungkin bisa bekerja dengan bersinggungan langsung denganku. Gila kamu, ya?” “Justru aku ingin mempermudah prosesnya, Sayang. Alina perlu tau kebenarannya, bahwa kita lebih dulu membangun, kemudian baru datang dirinya yang menghancurkan.” “Dia adikmu, Nita.” “Bukan lagi setelah dia merebut kamu dariku.” “Jangan bilang, kalau kamu akan menyiksanya di sini selama dua tahun. Itu menyakitkan, Nita." “Sebentar-sebentar, aku menangkap maksud lain dari ucapanmu. Fatih ... kamu tidak benar-benar jatuh cinta padanya ‘kan?” “Kamu menuduhku? Kenapa jadi mikir ke sana sih?” “Kalau nggak merasa seperti itu, ya nggak perlu marah, dong.” “Ah, sudahlah. Semakin lama kamu semakin ngelantur. Pokoknya, aku tetap nggak setuju Alina berada di kantor ini. Titik!” Fatih membanting pintu ruang kerja dengan kasar. Ia tak menyangka jika Anita akan menempatkan dirinya di posisi yang sulit. Berpisah dengan Alina jelas bukan keputusan yang mudah, kemudian beralih pada Anita juga bukan keputusan yang mudah jika berpikir waras, dan ia abai akan hal itu. Bagaimanapun, Anita dan Alina adalah saudara, walaupun bukan kandung. Next
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD